Di
depan ruang ICU, semua kawan-kawan gerakan berkumpul. Rico mengabarkan diagnosa
dokter yang mengatakan, bahwa jantung Zi sempat tidak berfungsi. Namun kerja
keras team medis berhasil, kini jantungnya terdeteksi normal kembali. Tetapi Zi
masih belum sadar. Tampak dari pintu kaca yang membatasi ruang ICU, beberapa
selang terpasang pada anggota tubuhnya, sebagian dihubungkan pada monitor elektrokardiograf.
Dari
jauh, Mas Wi dan Uda’ tergopoh-gopoh mendekat. Semua mata menatap heran melihat
wajah mereka yang penuh ketegangan. Kedua lelaki itu langsung menuju pintu
ruang ICU. Kawan yang bersahabat itu tampak sedang bicara, seperti orang yang
sedang berunding. Mas Wi kemudian masuk. Setelah mengenakan pakaian khusus, Mas
Wi mendekati Zi yang tengah terbaring tak sadarkan diri. Uda’ masih mengintip
dari luar melalui kaca pintu. Terlihat, kawan akrabnya itu lama memandangi Zi.
Sebentar kemudian, Mas Wi mendaratkan bibirnya pada kening Zi. Uda’ terkejut,
tak percaya dengan apa yang dilakukan sahabatnya. Yang ia tahu, Zi dan Mas Wi
tak pernah terlihat akrab seperti keakraban Zi dengan beberapa kawan lelaki di
markas.
Mas
Wi kembali tergopoh-gopoh saat keluar dari ruangan. Tak ada sepatah katapun
yang terdengar menyapa orang-orang yang ada di sana. Matanya merah. Semua kawan-kawannya kembali menatap heran. Niat Uda’ memasuki ruang ICU
dibatalkan, ia mengejar Mas Wi.
“Diaz,
kau kenapa?” Tanya Uda’ kepada Mas Wi. Uda’ memiliki panggilan khusus pada
sahabatnya.
Mas
Wi bergeming dengan langkah yang semakin cepat. Uda’ masih terus mengejar.
Beberapa saat bibir Mas Wi bergetar dan air matanya luruh. Mas Wi cepat
mengusap dengan tangannya. Di perbatasan menuju area parkir, Mas Wi berhenti, meletakkan
telapak tangannya tepat di dada Uda’. Uda’ segera paham maksud sahabatnya itu.
Mas Wi tidak ingin terus diikuti. Dengan kendarannya, mas Wi segera pergi meninggalkan rumah sakit.
Uda’
kembali dengan langkah lesu. Sejenak Uda’ menepi di sebuah bangku panjang,
lorong rumah sakit. Berpikir dan coba menganalisa yang baru saja terjadi. Uda’
segera menyadari dan harus menerima kenyataan, bahwa ada kedekatan hati melebihi
hubungan seorang kawan antara Zi dengan sahabatnya itu. Sesuatu yang tak pernah
terpikir sedikitpun.
***
“Zi
hilang ... Zi hilang ...”
Kabar
itu segera menyebar, membuat orang-orang di markas pusat menjadi panik dan segera
meluncur ke rumah sakit.
“Bagaimana
kejadiannya, Jok? Kok Zi bisa hilang sih ...” Ali bertanya.
“Aku
masih tidur waktu itu, kaget dibangunkan Inez karena kamar ICU kosong.”
“Jam
berapa Inez melihatnya?”
“Sekitar
jam enam pagi.”
“Memangnya
tidak ada petugas piket?”
“Ada,
tapi mereka tidak tahu. Semula, Inez mengira Zi sudah dipindahkan ke kamar
lain, ternyata tidak.”
“Sudah
kau temui kepala rumah sakit?”
“Sudah.
Dia hanya minta maaf. Ya aku bilang, tidak cukup hanya minta maaf, dia harus
bertanggung jawab atas hilangnya Zi di rumah sakit ini.”
“Terus,
apa jawab
kepala rumah sakit itu?”
”Anda
mau menuntut? Silahkan, katanya. Asal anda ingat, bahwa yang hilang itu bukan bayi. Jadi
bisa saja kawan anda itu kabur karena ketakutan membayar biaya rumah sakit yang
tentu sangat besar jumlahnya.”
“Kabur?
Tadinya aku pikir kalau Zi diculik, Jok.”
“Iya,
aku juga berpikir begitu. Tapi kalau kabur, kenapa Zi tidak ada di markas?”
“Kalau
dia ke markas, sama saja kita yang bayar biaya rumah
sakitnya. Aku kenal Zi. Dia itu tidak mau merepotkan. Setiap dia sakit saja,
tidak pernah mau dibawa ke dokter. Katanya, cukup dengan istirahat saja. Pernah juga aku
lihat dia sedang membersihkan tempat yang tak pernah tersentuh tangan kita. Sewaktu aku tanya,
katanya, dia sengaja cari keringat karena badannya sedang meriang.”
“Ya,
kita lihat saja perkembangannya nanti. Siapa tahu kawan-kawan yang ada di Malang
bisa menemukan Zi di rumahnya.”
“Sudah
kau hubungi basis di Malang?”
“Sudah,
setelah dapat informasi bahwa Zi tidak ada di markas dan di beberapa
sekretariat di Jakarta.”
~
Bersambung ~
(Casablanca,
25 Februari 2014)
Theme Song: (Sita - Dona Dona) http://www.youtube.com/watch?v=jdXpeCb2zXU
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment