Sprei bermotif bola-bola itu tampak kusut membalut spring bed merah jambu. Di atasnya, tergolek lemas sepasang anak manusia yang
saling mengasihi. Separuh tubuh mereka terbungkus selimut berwarna hijau lumut.
“Uda’ …” Zi memanggil pelan.
“Ya …”
“Peluk aku …”
Uda’ segera mengganti posisi tubuhnya. Yang semula tengkurap,
kini menghadap ke arah Zi, lalu melingkarkan lengannya.
“Uda' …”
“Hmm …”
“Kalau tidak ada keperluan yang benar-benar mendesak, tolong
jangan tinggalkan aku setelah senggama kita ya …”
“Kenapa?”
"Aku ingin merasa dimiliki. Aku tidak mau diperlakukan
seperti pelacur yang ditinggalkan setelah ditiduri.”
“Apa semua perempuan juga merasakan begitu?”
“Aku rasa sebagian besar dari perempuan yang menghormati dirinya. Hanya
kebanyakan mereka tidak mau berterus terang. Mereka lebih suka memendam
keinginannya, lalu menangis diam-diam di saat malam. Paham tua telah
mengajarkan mereka, bahwa perempuan tidak boleh banyak menuntut. Harus nurut
suami. Mengatakan rindu, malu. Mengakui cemburu, gengsi. Mereka tidak menyadari
pentingnya komunikasi atau keterbukaan. Uda’ juga boleh membicarakan padaku,
jika Mr. P Uda' mendadak ereksi ketika
melihat perempuan lain. Karena bisa jadi itu bukan keinginan Uda’, melainkan
dorongan dari otak primitif Uda’. Dorongan untuk melakukan hubungan seks dengan orang lain tidak boleh dilawan, karena itu sama saja dengan memberinya energi,
sehingga keinginan itu akan semakin menjadi-jadi.”
“Kalau melawan sama dengan memberinya energi, terus diapakan
dong? Diikuti, sudah tentu salah.”
“Diakui saja, Uda’, lalu biarkan keinginan itu lewat. Atau
dibicarakan dengan pasangan, lalu pergi menghindar atau dialihkan untuk memikirkan hal-hal lain yang
positif. Sepatutnya-lah manusia berkuasa atas dirinya. Kalau manusia justru yang dikuasai oleh nafsu birahinya, berapa banyak uang dan
waktu yang mereka habiskan di tempat-tempat pelacuran, sehingga tidak ada waktu
lagi untuk menjadi manusia yang berguna bagi manusia lainnya.”
“Berarti, kita tidak membutuhkan otak primitif dong. Kalau
begitu, bukankah lebih baik dioperasi atau dibuang saja?”
“Enggak, Uda’. Otak primitif itu juga berguna, agar manusia
bisa bertahan hidup. Rasa lapar dan haus yang mendorong kita untuk makan
dan minum, dorongan seksual yang membuat manusia bereproduksi sehingga memiliki
keturunan, juga rasa takut untuk menghindari bahaya. Itu semua karena adanya nafsu hewani
kita. Itu sebabnya, kenapa Tuhan menyelipkan otak primitif ke dalam kepala manusia.
Jadi, otak primitif itu tidak perlu dibuang, tetapi dikendalikan, mana yang
untuk kebaikan dan mana yang bukan."
“Ohh … begitu. Kau dapat ilmu itu dari mana sih? Kau bilang
tak pernah kuliah, tapi kau tahu banyak. Aku juga tak pernah melihatmu baca
buku tentang itu.”
“Uda’ … Untuk mendapatkan ilmu kan nggak harus di bangku sekolah
atau di universitas. Asal kita mau belajar dan merenungkan itu, maka setiap
waktu yang kita lalui adalah pelajaran dan setiap orang yang kita temui adalah
guru. Bahkan kita juga bisa menjadi guru bagi orang lain, sehingga setiap orang
adalah guru.”
Mata Uda’ terbuka. Tangannya meraba-raba. “Zi … Zi …”
Uda’ bangkit dari rebahnya. Masih berada di atas tempat
tidur. Matanya sibuk mencari-cari. “Zi … Zi … Hah! Cuma mimpi!” Kesal Uda’ meninju kasur.
Hari ini, Uda’ berniat tinggal di markas, menempati
kamar Zi yang sudah hampir setahun ini kosong. Tiba-tiba, matanya seperti
diarahkan pada kardus yang terletak di atas lemari paling ujung. Uda’ penasaran ingin tahu isinya. Iapun membukanya. Kardus itu penuh debu, seperti tak ada yang pernah menyentuhnya selama ini.
Mata Uda’ melebar mendapati lukisan Mas Wi ada di sana.
Di bawah lukisan itu ada coretan bertuliskan “Ki Suhardi”. Ya, Uda’ ingat,
Ki Suhardi banyak melukis kawan-kawannya di gerakan. Lukisan itu sudah
terbingkai dan terbungkus rapi. Seperti hendak dikirim, namun masih tersimpan. Sebelum kertas pembungkusnya dibuka, jelas terbaca tulisan
yang tertera, dari Zi untuk Mas Wi. Di atas kaca pigura, ada sobekan kertas bertuliskan tangan, direkatkan dengan sedikit isolasi. Sobekan kertas yang pernah diselipkan Mas Wi dari bawah pintu kamar Zi. Dan Uda’ hafal
benar siapa pemilik tulisan itu …
Kita terluka, agar
kita dewasa
Kita gagal, supaya
kita belajar
Karena seringkali
pelajaran terbaik,
dinyatakan melalui
penderitaan dan rasa sakit
Ingatlah selalu…
Jika ingin melihat
indahnya pelangi,
maka kita harus
kuat bertahan
dengan derasnya
hujan dan badai…
- Widiaz Tahta
Brahmana -
Terbayang wajah kawan dekatnya. Uda’ tak tahu lagi
kabar Mas Wi setelah hampir setahun tidak lagi aktif di gerakan, beberapa hari setelah Zi
dinyatakan hilang dari rumah sakit. Dan hingga kini, tak ada perkembangan yang
mengabarkan tentang keberadaan Zi saat ini, baik dari kawan-kawan di daerah
maupun dari pihak kepolisian. Dua orang yang sama-sama dekat di hatinya.
“Hey, mana bojoku? Katanya tadi boncengan sama kau?” Tanyaku
pada Joko.
“Cie cieee … yang merasa punya bojo, takut ilang ni yeee …”
Rini meledek.
“Ya iyalah … nanti kalau nggak dicari dibilang nggak
peduli. Kan repot kita ini,” balasku sambil tertawa.
“Nggak jadi ikut aku, karena masih ada sisa satu bangku
di mobil,” kata Joko.
Uda’ masih terpaku. Pandangannya kosong menatap
dinding kamar, seolah ada inFokus yang menggambarkan pikirannya. Seperti sedang
menikmati layar lebar di sebuah gedung XXI, dimana ia menjadi pemeran utamanya.
“Hey … bangun …” Bisikku sambil mengelus hidung Zi yang
tengah tertidur pulas.
Dini hari itu aku pulang setelah menjalani tugas
organisasi di luar kota selama sebulan, langsung menuju kamar.
Zi pelan membuka matanya. Ia kaget melihatku ada di
dekatnya.
“Emmm … kenapa pulang nggak ngomong-ngomong?” Zi merengek
manja.
“Sekali-sekali bikin surprise kan nggak pa pa.” Aku
tersenyum meledeknya. “Eh, kenapa kau pakai kemeja lengan panjangku? Sudah
kedodoran, tangannya ilang, macam pakai daster saja.”
Aku masih membiarkan separuh badanku di kolong tempat
tidur sambil mengusap-usap kepalanya.
“Abis, kangen Udaaa’ …” Sekali lagi, aku mendengar
suara manjanya.
“Uuuh kaciaaaaann …” Balasku sambil menaikkan kaki
menenggelamkan diri ke dalam ranjang, mendekap erat tubuh istriku. Zi membalas
pelukanku. Tubuh kami menyatu, kami saling melepas rindu.
Uda’ tersadar dari lamunannya. Bermenit-menit ia
membuang waktu hanya untuk mengenang mimpi-mimpinya yang tak tersampai. Segera
dimasukkan kembali barang-barang itu ke asalnya, dilakban, lalu dibawa
ke gudang. Uda’ tak mau lagi tersakiti dengan kenangan-kenangan itu.
Kembali Uda' dikejutkan dengan post-it yang
jatuh, saat baru saja meletakkan barang dan berdiri. Rupanya kertas kecil itu sempat menempel di bajunya. Sebuah tulisan tangan yang sangat rapi,
dibacanya dalam hati …
Laut … datanglah …
Jemput aku di manapun
aku tersembunyi
Tak perlu kau tanya
kesiapanku
Tak perlu bertanya,
aku tengah sedih atau bahagia
Aku hanya ingin
hidup damai di rahimmu …
' Izzi Tan Biyi '
~ Selesai ~
(Casablanca, 30 Januari 2014)
Theme Song: (Tari & Ulfa - Kepadamu) http://www.youtube.com/watch?v=nNTr8Dh7r9k
Photo Source: Google Images |