Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, June 20, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 20)



Sprei bermotif bola-bola itu tampak kusut membalut spring bed merah jambu. Di atasnya, tergolek lemas sepasang anak manusia yang saling mengasihi. Separuh tubuh mereka terbungkus selimut berwarna hijau lumut.

“Uda’ …” Zi memanggil pelan. 

“Ya …” 

“Peluk aku …” 

Uda’ segera mengganti posisi tubuhnya. Yang semula tengkurap, kini menghadap ke arah Zi, lalu melingkarkan lengannya. 

“Uda' …”

“Hmm …” 

“Kalau tidak ada keperluan yang benar-benar mendesak, tolong jangan tinggalkan aku setelah senggama kita ya …” 

“Kenapa?” 

"Aku ingin merasa dimiliki. Aku tidak mau diperlakukan seperti pelacur yang ditinggalkan setelah ditiduri.” 

“Apa semua perempuan juga merasakan begitu?” 

“Aku rasa sebagian besar dari perempuan yang menghormati dirinya. Hanya kebanyakan mereka tidak mau berterus terang. Mereka lebih suka memendam keinginannya, lalu menangis diam-diam di saat malam. Paham tua telah mengajarkan mereka, bahwa perempuan tidak boleh banyak menuntut. Harus nurut suami. Mengatakan rindu, malu. Mengakui cemburu, gengsi. Mereka tidak menyadari pentingnya komunikasi atau keterbukaan. Uda’ juga boleh membicarakan padaku, jika Mr. P Uda' mendadak ereksi ketika melihat perempuan lain. Karena bisa jadi itu bukan keinginan Uda’, melainkan dorongan dari otak primitif Uda’. Dorongan untuk melakukan hubungan seks dengan orang lain tidak boleh dilawan, karena itu sama saja dengan memberinya energi, sehingga keinginan itu akan semakin menjadi-jadi.” 

“Kalau melawan sama dengan memberinya energi, terus diapakan dong? Diikuti, sudah tentu salah.”

“Diakui saja, Uda’, lalu biarkan keinginan itu lewat. Atau dibicarakan dengan pasangan, lalu pergi menghindar atau dialihkan untuk memikirkan hal-hal lain yang positif. Sepatutnya-lah manusia berkuasa atas dirinya. Kalau manusia justru yang dikuasai oleh nafsu birahinya, berapa banyak uang dan waktu yang mereka habiskan di tempat-tempat pelacuran, sehingga tidak ada waktu lagi untuk menjadi manusia yang berguna bagi manusia lainnya.” 

“Berarti, kita tidak membutuhkan otak primitif dong. Kalau begitu, bukankah lebih baik dioperasi atau dibuang saja?” 

“Enggak, Uda’. Otak primitif itu juga berguna, agar manusia bisa bertahan hidup. Rasa lapar dan haus yang mendorong kita untuk makan dan minum, dorongan seksual yang membuat manusia bereproduksi sehingga memiliki keturunan, juga rasa takut untuk menghindari bahaya. Itu semua karena adanya nafsu hewani kita. Itu sebabnya, kenapa Tuhan menyelipkan otak primitif ke dalam kepala manusia. Jadi, otak primitif itu tidak perlu dibuang, tetapi dikendalikan, mana yang untuk kebaikan dan mana yang bukan."

“Ohh … begitu. Kau dapat ilmu itu dari mana sih? Kau bilang tak pernah kuliah, tapi kau tahu banyak. Aku juga tak pernah melihatmu baca buku tentang itu.” 

“Uda’ … Untuk mendapatkan ilmu kan nggak harus di bangku sekolah atau di universitas. Asal kita mau belajar dan merenungkan itu, maka setiap waktu yang kita lalui adalah pelajaran dan setiap orang yang kita temui adalah guru. Bahkan kita juga bisa menjadi guru bagi orang lain, sehingga setiap orang adalah guru.” 

Mata Uda’ terbuka. Tangannya meraba-raba. “Zi … Zi …” 

Uda’ bangkit dari rebahnya. Masih berada di atas tempat tidur. Matanya sibuk mencari-cari. “Zi … Zi … Hah! Cuma mimpi!” Kesal Uda’ meninju kasur. 

Hari ini, Uda’ berniat tinggal di markas, menempati kamar Zi yang sudah hampir setahun ini kosong. Tiba-tiba, matanya seperti diarahkan pada kardus yang terletak di atas lemari paling ujung. Uda’ penasaran ingin tahu isinya. Iapun membukanya. Kardus itu penuh debu, seperti tak ada yang pernah menyentuhnya selama ini. 

Mata Uda’ melebar mendapati lukisan Mas Wi ada di sana. Di bawah lukisan itu ada coretan bertuliskan “Ki Suhardi”. Ya, Uda’ ingat, Ki Suhardi banyak melukis kawan-kawannya di gerakan. Lukisan itu sudah terbingkai dan terbungkus rapi. Seperti hendak dikirim, namun masih tersimpan. Sebelum kertas pembungkusnya dibuka, jelas terbaca tulisan yang tertera, dari Zi untuk Mas Wi. Di atas kaca pigura, ada sobekan kertas bertuliskan tangan, direkatkan dengan sedikit isolasi. Sobekan kertas yang pernah diselipkan Mas Wi dari bawah pintu kamar Zi. Dan Uda’ hafal benar siapa pemilik tulisan itu … 

Kita terluka, agar kita dewasa
Kita gagal, supaya kita belajar
Karena seringkali pelajaran terbaik,
dinyatakan melalui penderitaan dan rasa sakit
Ingatlah selalu…
Jika ingin melihat indahnya pelangi,
maka kita harus kuat bertahan
dengan derasnya hujan dan badai…

- Widiaz Tahta Brahmana -

Terbayang wajah kawan dekatnya. Uda’ tak tahu lagi kabar Mas Wi setelah hampir setahun tidak lagi aktif di gerakan, beberapa hari setelah Zi dinyatakan hilang dari rumah sakit. Dan hingga kini, tak ada perkembangan yang mengabarkan tentang keberadaan Zi saat ini, baik dari kawan-kawan di daerah maupun dari pihak kepolisian. Dua orang yang sama-sama dekat di hatinya.

“Hey, mana bojoku? Katanya tadi boncengan sama kau?” Tanyaku pada Joko.

“Cie cieee … yang merasa punya bojo, takut ilang ni yeee …” Rini meledek.

“Ya iyalah … nanti kalau nggak dicari dibilang nggak peduli. Kan repot kita ini,” balasku sambil tertawa.

“Nggak jadi ikut aku, karena masih ada sisa satu bangku di mobil,” kata Joko.

Uda’ masih terpaku. Pandangannya kosong menatap dinding kamar, seolah ada inFokus yang menggambarkan pikirannya. Seperti sedang menikmati layar lebar di sebuah gedung XXI, dimana ia menjadi pemeran utamanya.

“Hey … bangun …” Bisikku sambil mengelus hidung Zi yang tengah tertidur pulas.

Dini hari itu aku pulang setelah menjalani tugas organisasi di luar kota selama sebulan, langsung menuju kamar.

Zi pelan membuka matanya. Ia kaget melihatku ada di dekatnya.

“Emmm … kenapa pulang nggak ngomong-ngomong?” Zi merengek manja.

“Sekali-sekali bikin surprise kan nggak pa pa.” Aku tersenyum meledeknya. “Eh, kenapa kau pakai kemeja lengan panjangku? Sudah kedodoran, tangannya ilang, macam pakai daster saja.”

Aku masih membiarkan separuh badanku di kolong tempat tidur sambil mengusap-usap kepalanya.

“Abis, kangen Udaaa’ …” Sekali lagi, aku mendengar suara manjanya.

“Uuuh kaciaaaaann …” Balasku sambil menaikkan kaki menenggelamkan diri ke dalam ranjang, mendekap erat tubuh istriku. Zi membalas pelukanku. Tubuh kami menyatu, kami saling melepas rindu.

Uda’ tersadar dari lamunannya. Bermenit-menit ia membuang waktu hanya untuk mengenang mimpi-mimpinya yang tak tersampai. Segera dimasukkan kembali barang-barang itu ke asalnya, dilakban, lalu dibawa ke gudang. Uda’ tak mau lagi tersakiti dengan kenangan-kenangan itu.

Kembali Uda' dikejutkan dengan post-it yang jatuh, saat baru saja meletakkan barang dan berdiri. Rupanya kertas kecil itu sempat menempel di bajunya. Sebuah tulisan tangan yang sangat rapi, dibacanya dalam hati …

Laut … datanglah …
Jemput aku di manapun aku tersembunyi
Tak perlu kau tanya kesiapanku
Tak perlu bertanya, aku tengah sedih atau bahagia
Aku hanya ingin hidup damai di rahimmu …

' Izzi Tan Biyi '

~ Selesai ~


(Casablanca, 30 Januari 2014) 

Theme Song: (Tari & Ulfa - Kepadamu) http://www.youtube.com/watch?v=nNTr8Dh7r9k

Photo Source: Google Images


Wednesday, June 11, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 19)


Di depan ruang ICU, semua kawan-kawan gerakan berkumpul. Rico mengabarkan diagnosa dokter yang mengatakan, bahwa jantung Zi sempat tidak berfungsi. Namun kerja keras team medis berhasil, kini jantungnya terdeteksi normal kembali. Tetapi Zi masih belum sadar. Tampak dari pintu kaca yang membatasi ruang ICU, beberapa selang terpasang pada anggota tubuhnya, sebagian dihubungkan pada monitor elektrokardiograf.

Dari jauh, Mas Wi dan Uda’ tergopoh-gopoh mendekat. Semua mata menatap heran melihat wajah mereka yang penuh ketegangan. Kedua lelaki itu langsung menuju pintu ruang ICU. Kawan yang bersahabat itu tampak sedang bicara, seperti orang yang sedang berunding. Mas Wi kemudian masuk. Setelah mengenakan pakaian khusus, Mas Wi mendekati Zi yang tengah terbaring tak sadarkan diri. Uda’ masih mengintip dari luar melalui kaca pintu. Terlihat, kawan akrabnya itu lama memandangi Zi. Sebentar kemudian, Mas Wi mendaratkan bibirnya pada kening Zi. Uda’ terkejut, tak percaya dengan apa yang dilakukan sahabatnya. Yang ia tahu, Zi dan Mas Wi tak pernah terlihat akrab seperti keakraban Zi dengan beberapa kawan lelaki di markas.

Mas Wi kembali tergopoh-gopoh saat keluar dari ruangan. Tak ada sepatah katapun yang terdengar menyapa orang-orang yang ada di sana. Matanya merah. Semua kawan-kawannya kembali menatap heran. Niat Uda’ memasuki ruang ICU dibatalkan, ia mengejar Mas Wi.

“Diaz, kau kenapa?” Tanya Uda’ kepada Mas Wi. Uda’ memiliki panggilan khusus pada sahabatnya.

Mas Wi bergeming dengan langkah yang semakin cepat. Uda’ masih terus mengejar. Beberapa saat bibir Mas Wi bergetar dan air matanya luruh. Mas Wi cepat mengusap dengan tangannya. Di perbatasan menuju area parkir, Mas Wi berhenti, meletakkan telapak tangannya tepat di dada Uda’. Uda’ segera paham maksud sahabatnya itu. Mas Wi tidak ingin terus diikuti. Dengan kendarannya, mas Wi segera pergi meninggalkan rumah sakit.

Uda’ kembali dengan langkah lesu. Sejenak Uda’ menepi di sebuah bangku panjang, lorong rumah sakit. Berpikir dan coba menganalisa yang baru saja terjadi. Uda’ segera menyadari dan harus menerima kenyataan, bahwa ada kedekatan hati melebihi hubungan seorang kawan antara Zi dengan sahabatnya itu. Sesuatu yang tak pernah terpikir sedikitpun.

***

“Zi hilang ... Zi hilang ...”

Kabar itu segera menyebar, membuat orang-orang di markas pusat menjadi panik dan segera meluncur ke rumah sakit.

“Bagaimana kejadiannya, Jok? Kok Zi bisa hilang sih ...” Ali bertanya.

“Aku masih tidur waktu itu, kaget dibangunkan Inez karena kamar ICU kosong.”

“Jam berapa Inez melihatnya?”

“Sekitar jam enam pagi.”

“Memangnya tidak ada petugas piket?”

“Ada, tapi mereka tidak tahu. Semula, Inez mengira Zi sudah dipindahkan ke kamar lain, ternyata tidak.”

“Sudah kau temui kepala rumah sakit?”

“Sudah. Dia hanya minta maaf. Ya aku bilang, tidak cukup hanya minta maaf, dia harus bertanggung jawab atas hilangnya Zi di rumah sakit ini.”

Terus, apa jawab kepala rumah sakit itu?”

”Anda mau menuntut? Silahkan, katanya. Asal anda ingat, bahwa yang hilang itu bukan bayi. Jadi bisa saja kawan anda itu kabur karena ketakutan membayar biaya rumah sakit yang tentu sangat besar jumlahnya.”

“Kabur? Tadinya aku pikir kalau Zi diculik, Jok.”

“Iya, aku juga berpikir begitu. Tapi kalau kabur, kenapa Zi tidak ada di markas?”

“Kalau dia ke markas, sama saja kita yang bayar biaya rumah sakitnya. Aku kenal Zi. Dia itu tidak mau merepotkan. Setiap dia sakit saja, tidak pernah mau dibawa ke dokter. Katanya, cukup dengan istirahat saja. Pernah juga aku lihat dia sedang membersihkan tempat yang tak pernah tersentuh tangan kita. Sewaktu aku tanya, katanya, dia sengaja cari keringat karena badannya sedang meriang.

“Ya, kita lihat saja perkembangannya nanti. Siapa tahu kawan-kawan yang ada di Malang bisa menemukan Zi di rumahnya.”

“Sudah kau hubungi basis di Malang?”

“Sudah, setelah dapat informasi bahwa Zi tidak ada di markas dan di beberapa sekretariat di Jakarta.”

~ Bersambung ~


(Casablanca, 25 Februari 2014) 

Theme Song: (Sita - Dona Dona) http://www.youtube.com/watch?v=jdXpeCb2zXU 

Photo Source: Google Images



 
Blogger Templates