Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Sunday, August 3, 2014

Cerpen: Rumah Penuh Cinta



Kemanusiaan adalah nilai tertinggi dalam perwujudan cinta, karena cinta hinggap bukan pada materi yang dimiliki atau fisik yang diinginkan, melainkan pada hakekatnya sebagai manusia. Cinta sejati itu ada dan bisa kita temukan pada setiap pribadi yang mampu memberi cinta tanpa meminta syarat, seperti seorang ibu yang merawat bayinya …

Pertama kali memasuki rumah itu, aku terheran-heran melihat ruangannya yang dipenuhi oleh buku-buku. Di setiap kamar, di ruang tamu, di dekat meja makan, semua didominasi oleh buku. Di lemari kayu, di container plastik, bufet, rak-rak, penuh berisi buku. Di lantai bawah, juga atas.

Kalau belum kenal pemilik rumahnya, mungkin akan tertipu melihat rumah yang tampak indah berlantai dua itu, sebab di dalamnya tidak ada barang-barang mewah seperti layaknya orang-orang mampu. Tidak ada sofa set yang anggun, bufet berukir dengan hiasan cangkir dan gelas nan cantik beserta pernak-perniknya, guci-guci antik yang dibeli dari negeri China, lemari es empat pintu atau televisi LED ukuran 90 inchi, seperti yang sering aku temukan di rumah-rumah pengusaha atau pejabat. Sebagai orang nomor dua di sebuah perusahaan besar, tentu Om Martin, pemilik rumah itu bisa membeli perabotan mewah seperti mereka. Tapi Om Martin dan Tante Mirna, istrinya memilih hidup sederhana. Barang-barang di rumah mereka sudah sangat ketinggalan jaman. Usianya bisa sampai 20 tahun atau lebih. Ponsel mereka pun jadul, kalah canggih dengan milik staf-staf Om Martin di kantor. Tapi mereka tidak malu memilikinya. Berdua sepakat untuk tidak membeli furniture dan barang-barang elektronik yang baru dan lebih memilih untuk memperbaiki yang rusak selama bisa diperbaiki. Alasannya untuk mengurangi pengrusakan alam. Menurut mereka, yang paling dirugikan dari penebangan hutan dan kegiatan pertambangan adalah rakyat miskin. Hmm … pilihan yang sangat bijak. Tak ada perhiasan yang menyilaukan mata. Pakaian mereka pun biasa-biasa saja. Mereka tidak butuh yang ber-merk demi gengsi, sehingga harus membayar mahal. Yang penting bersih dan pantas saat di pakai. Dengan begitu, mereka bisa menyisihkan uang untuk membantu kaum papa yang membutuhkan.

Pasangan suami istri itu sering mengikuti aksi-aksi demonstrasi, baik itu aksi buruh, petani, atau aksi-aksi kemanusiaan lainnya. Mereka tidak lagi memandang agama, warna kulit, bendera atau kelompok. Selama itu membela kepentingan rakyat kecil dan melanggar hak asasi manusia, mereka akan bergabung. Tentu dengan pertimbangan dan pembacaan mereka sebagai orang yang mengikuti pergerakan politik di Indonesia.  

Meskipun memiliki mobil beserta sopir pribadi, mereka tidak selalu menggunakannya. Mobil itupun dibeli 9 tahun lalu. Saat aksi atau sepulang aksi, mereka kerap mendapat tawaran dari kawan-kawannya untuk bergabung dalam mobil pribadi. Tapi ditolak. Mereka lebih memilih jalan kaki atau naik metromini bersama peserta aksi lainnya. Pasangan yang saling menghormati itu tidak melekatkan diri terhadap fasilitas yang memberinya kenyamanan. Jalan kaki, panas terik, naik angkot atau bajaj tidak membuat mereka menjadi alergi.

Pagi-pagi sekali sekitar subuh, mereka berdua sudah bangun dan memasak bersama untuk sarapan. Meskipun ada seorang pekerja rumah tangga, mereka tidak membebankan semua urusan rumah kepada pekerja rumah tangganya. Piring bekas makan dan gelas minum, mereka cuci sendiri. Kadang berdua bergantian mengambil tanggung jawab. Ucapan terima kasih akan terlontar dari bibir mereka sebagai penghargaan atas apa yang sudah masing-masing lakukan, termasuk untuk pekerja rumah tangganya yang masih muda, yang masih tergolong pelajar. Om Martin membiayai sekolahnya. Pasangan yang saling mengasihi itu sepakat untuk tidak membeda-bedakan antara pekerja rumah tangga, sopir dan majikan. Penghuni di rumah itu saling membantu dan mengambil tanggung jawab si pekerja rumah tangga. Beberapa hari sekali, akan datang seorang perempuan yang khusus mencuci dan menggosok pakaian. Tengah hari, ada catering yang mengantar makanan sebagai bekal makan malam mereka. Ada juga seorang ibu tua yang datang mengambil jatah makan yang mereka sediakan setiap harinya. 

Pasutri yang selalu romantis itu dikaruniai seorang putra yang sudah menikah dan tinggal terpisah. Dari putranya itu, mereka mendapatkan seorang cucu. Tetapi Om Martin dan Tante Mirna tak pernah merasa kesepian. Ada beberapa lelaki yang tinggal di rumah mereka. Bukan siapa-siapa, tetapi sudah dianggap keluarga. Dan masih banyak lagi di luar sana yang dianggap anggota keluarga. Mereka akan bergantian datang dan menginap bersama istri dan anak-anaknya. Menantu dan cucu Om Martin jadi banyak. Apalagi kalau datang bersamaan, ramai dan seru sekali. Beberapa dari mereka adalah kawan-kawan Om Martin sejak kuliah. Bisa dikatakan orang-orang di dekatnya adalah kawan aktivis yang memiliki kesamaan visi dalam berjuang. Mereka dari berbagai organisasi atau komunitas yang peduli terhadap kemanusiaan. Ada yang bergerak di perburuhan, di pertanian. Ada yang hanya sekumpulan kawan, bergerak untuk memberdayakan remaja yang baru lulus sekolah atau pengangguran. Ada juga yang fokus dibidang kesehatan, membuat pengobatan gratis, memasuki desa-desa terpencil atau pegunungan yang luput dari perhatian pemerintah, membantu warga desa yang tidak mampu berobat. Yang di luar negeri juga ada. Tiap sore, kawannya itu berkeliling dengan mobil bak-nya mendatangi toko-toko kue dan roti, mengumpulkan makanan bagus yang sudah tak dijual lagi untuk dibagikan kepada para TKI yang berada di kolong-kolong jembatan. Dulu, sewaktu putranya masih kuliah, mereka bertiga sering bersama-sama mengikuti aksi-aksi demonstrasi. Hmm ... keluarga yang kompak.

Itu sebabnya mereka tidak pernah mengosongkan meja makan. Akan selalu tersedia makanan untuk siapa saja yang datang. Jika isi meja habis saat sore, mereka tinggal telepon dan pesan makanan. Sebab mereka tidak ingin membebankan pekerjaan memasak pada pekerja rumah tangganya. Tak ada tamu dari kawan-kawan mereka yang harus dilayani. Sistem yang diterapkan di rumah itu adalah melayani diri sendiri. Mau ngopi, silahkan ke dapur, memasak air dan menyeduh sendiri. Ada berbagai macam kopi dan teh, serta gula yang sudah mereka sediakan. Layaknya supermarket, orang tinggal pilih mau teh atau kopi yang mana. Mau makan, tinggal ambil saja di meja makan. Tentu setelah itu, mereka harus mencuci bekas makan dan minumnya sendiri ke dapur.

Di rumah itu juga ada hewan peliharaan. Selain kura-kura di kolam yang menyatu dengan taman buatan dekat ruang tamu, juga ada kucing. Kucing betina itu sudah disterilisasi. Tubektomi. Agar tidak berkembang semakin banyak. Binatang itu juga tidak dicampur dengan manusia. Mereka memberikan area khusus. Mungkin karena rumah itu memiliki banyak pintu, sehingga cukup dengan selalu menutup pintu di area khusus yang tembus menuju jalan keluar rumah. Jika tidak, mungkin mereka akan memberikan kandang untuknya. Barangkali juga karena kucingnya cuma satu, tidak kesulitan mengaturnya. Ia pintar. Tahu di mana tempatnya, jadi tak pernah pub sembarangan. Area di mana hewan itu berada pun tetap bersih, karena dijaga kebersihannya. Tentu ceritanya akan berbeda jika banyak kucing dan dibiarkan berkeliaran di seluruh ruangan. Di mana-mana akan ditemukan air kencing, kotoran, serta muntahannya yang membuat kumuh, bau tak sedap, serta mengganggu kenyamanan manusia. Awalnya si pekerja rumah tangganya yang sangat menyayangi si manis, nama kucing itu, membelikan makanan khusus yang dibeli di Pet Shop. Tapi Tante Mirna melarangnya dengan alasan tidak boleh terlalu memanjakan binatang. Kucing itu harus dibiasakan makan yang sama dengan makanan manusia. Ditakutkan kalau suatu saat tidak mampu membelikan makanan yang harganya cukup mahal itu, kasihan untuk si kucing. Ia jadi tidak mau makan, sakit dan kurus. Kucing itu kini makan dengan ikan dan nasi yang sudah diulet jadi satu. Begitu saja, si manis sehat dan montok. Sebelumnya, pekerja rumah tangganya juga suka memberi susu pada kucing itu. Tante Mirna melarangnya juga, katanya, masih banyak orang yang kelaparan, masih banyak bayi yang tidak bisa minum susu. Mending uang susu itu digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan.         
   
Begitulah yang terjadi di dalam rumah itu. Selain membaca buku di kamar, aku biasa menemui mereka di meja makan. Di sana, aku mendapat banyak pelajaran dari Om Martin dan Tante Mirna. Pengetahuan mereka sangat luas. Aku suka sekali ngobrol atau diskusi bersama. Layaknya anak-anak lainnya, sejak kecil aku selalu ingin tahu tentang banyak hal. Aku tidak berhenti bertanya, dan aku tidak akan puas jika jawaban yang aku terima tidak sampai ke dasarnya. Seringkali para orang tua tidak sanggup meladeni pertanyaan-pertanyaan anaknya, hingga berakhir dengan kalimat “Ya, sudah dari sananya begitu.” 

Pertanyaan-pertanyaan itu masih terus aku simpan. Di meja makan itu, sedikit demi sedikit aku mendapatkan jawabannya. Om Martin dan Tante Mirna sangat sabar menjelaskan setiap pertanyaanku. Tak hanya dijelaskan dari mana asalnya, tapi mereka pilihkan juga bahasa yang paling sederhana lengkap dengan contoh-contohnya, hingga aku benar-benar paham. 

Dan pelajaran yang aku dapatkan hari ini sangat berkesan sebab meruntuhkan keyakinanku selama ini. Mengejutkan. Berawal dari pernyataanku yang tidak sepakat dengan kalimat yang sering digunakan orang-orang di luar sana, bahwa "cinta itu memberi dan tidak mengharap balasan". Pertanyaanku kemudian, apa mungkin orang bisa melakukan itu?

“Ya, memang begitu. Mungkin saja. Kenapa tidak? Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini,” jawab Om Martin tersenyum. 

“Bukankah segala sesuatu itu butuh keseimbangan, Om?” Tanyaku masih penasaran.

“Cinta yang sebenarnya itu tidak butuh keseimbangan, Ay. Kenapa? Karena fitrah manusia adalah mencintai. Jika setiap manusia kembali ke fitrahnya, yang terjadi adalah saling mencintai. So, tidak butuh keseimbangan, bukan?” Tante Mirna menyuapkan buah mangga yang sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil ke dalam mulut Om Martin.

Malam itu, tidak seperti malam-malam sebelumnya dimana kami membicarakan banyak topik. Kali ini pembicaraan kami yang panjang lebar hanya mengulas satu tema, yaitu cinta. Om Martin mengatakan bahwa cinta itu sangat agung, sehingga tidak bisa disamakan dengan perasaan yang hanya sekedar suka. Menyukai dan mencintai itu berbeda. Menyukai itu hanya melihat hal-hal positif atau yang baik-baik saja dari pasangannya atau orang yang diinginkan. Perasaan yang dimiliki oleh orang yang menyukai hanya sesaat seperti berahi. Tetapi kesejatian cinta mampu menghormati harkat dan martabat pasangannya sebagai manusia.

"Tapi biasanya, kalau kita mencintai seseorang kan kita ingin memilikinya?"

“Cinta tidak harus memiliki,” jawab Om Martin sambil mengunyah. “Ego manusialah yang berharap memiliki, karena ingin menguasai. Manusia itu subyek, sehingga tidak bisa dimiliki karena punya pikiran dan berjalan dengan pikirannya sendiri. Seseorang yang ingin memiliki orang lain, sama dengan menjadikannya budak. Cinta itu membebaskan. Tidak mengikat. Cinta itu menyerahkan diri pada orang yang dicintai, maka cinta akan berkata ”aku milikmu”, bukan “kau milikku”. Melihat orang yang kita cintai itu bahagia, itulah sejatinya cinta. Dan di dalam sebuah hubungan perkawinan, yang kita butuhkan hanya komitmen untuk hidup bersama.” 

“Apa tidak ada komitmen setia untuk menjaga perasaan pasangannya?” Tanyaku tak puas. 

“Dengan sendirinya, Ay. Jika pasangan kita mencintai kita, maka ia akan setia untuk menjaga perasaan kita.” 

“Kalau suka itu tidak sama dengan cinta dan kalau ingin memiliki itu adalah ego manusia, kenapa bisa tumbuh rasa cemburu?” 

“Banyak orang menamakan itu semua adalah cinta. Dan di dalamnya ada cemburu. Tetapi cinta yang sejati tidak menjadikan rasa cemburu sebagai alasan atas kemarahannya. Cukuplah dengan rasa sedih melepaskan pasangannya untuk memilih jalannya.” 

“Katanya kalau cinta akan bahagia jika melihat orang yang kita cintai bahagia. Kenapa harus sedih?” 

“Merasa sedih itu tidak salah, Ay. Itu manusiawi. Seperti laki-laki yang menangis, bukan hal yang tabu dilakukan. Meluapkan emosi itu perlu dan menyehatkan, asal tidak merugikan orang lain. Tetapi berlarut-larut dalam kesedihan atau segera bangkit adalah pilihan. Kita bisa menciptakan kebahagiaan kita kapan pun kita mau, jika kita berkuasa atas diri kita.” 

“Cinta juga tidak selalu harus bermanis-manis,” Tante Mirna menambahkan. Suaranya lembut, tak lupa tersenyum. “Kadang dibutuhkan teriakan untuk membuat orang yang kita cintai itu bangun dan berubah.” 

“Seseorang baru bisa dikatakan mencintai pasangannya jika ia tidak mengharapkan imbalan atas apa yang telah dilakukannya, karena cinta tidak mengenal kata "berkorban" atau "pengorbanan". Begitupun dalam organisasi atau dalam perjuangan. Jika kita mencintai sesama, kita tidak akan pernah merasa berjuang, berkorban atau berjasa. Gotong-royong atau saling membantu manusia lain yang tidak berdaya bukan lagi menjadi kewajiban, tetapi hak, sehingga apa yang bisa kita lakukan membuat kita bahagia.” 

“Tapi aku selalu ingin pengertianku terhadapnya dibalas dengan pengertiannya terhadapku, Om …” 

“Kamu tak perlu sedih ketika menyadari bahwa kamu sebenarnya belum mencintai pasanganmu. Cinta itu tidak bisa dipaksa. Cinta itu lahir dengan sendirinya. Muncul dari hati yang paling dalam. Tulus memberi .” 

Hmm … rupanya aku dan banyak orang di sana sudah salah memaknai cinta. Dengan mudah mengatasnamakan rasa suka atau sekedar nafsu dengan cinta. 

“Kami mencintaimu, Ay. Baru kali ini sempat kami katakan ya, Ma?” Tante Mirna mengangguk, tersenyum. “Mencintai itu tidak harus melakukan hubungan seks. Kamu pun tidak harus berubah menjadi seperti apa. Kami tidak perlu tahu juga latar belakangmu dengan mengorek masa lalumu. Tetapi kami siap menjadi pendengar yang baik jika kamu ingin bercerita. Kami mencintaimu apa adanya. Cinta kami juga tidak untuk memilikimu, meski kami sudah menganggapmu sebagai bagian dari keluarga ini. Itu sebabnya kami tidak pernah memaksamu untuk datang, meskipun kami rindu. Kami membebaskanmu mengikuti kata hatimu.” Om Martin lalu menyodorkan tangannya ke arahku diikuti Tante Mirna yang duduk di sampingnya. “Ay, kamu tidak sendirian …” 

Bergantian aku menatap dua pasang mata yang ada di hadapanku. Ada rasa tak percaya, juga haru. Perlahan aku menyodorkan kedua tanganku menyambut tangan mereka. Mataku berkabut, bibirku bergetar tak sanggup mengucap. Hanya dalam hati aku berkata, “Terima kasih atas cinta kalian …”


(Casablanca dini hari, 22 Juli 2014) 


  

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates