Aku hanya melihat fotonya sewaktu masih bayi dari ponsel papa-nya. Beberapa kali melihat perkembangannya, juga dari ponsel papa-nya. Terakhir aku lihat gambarnya yang hidup, bergerak-gerak. Video, masih dari ponsel papa-nya. Ia sudah bisa jalan. Barangkali umur setahun atau lebih. Lelaki kecil berwajah oriental itu mengikat hatiku. Aku jatuh cinta. Aku ingin sekali ketemu.
“Ah, dia nakal. Bandel,” kata papanya.
“Tapi anak yang begitu biasanya cerdas, bang,” balasku.
Aku belum bisa memahami kata nakal dan bandel untuk
anak-anak yang belum punya banyak pengalaman. Belum mengerti pantas atau tidak, baik
atau tidak, berbahaya atau tidak. Yang aku tahu, ada anak-anak yang lamban,
aktif dan hiperaktif. Anak balita masih polos. Memorinya masih banyak kosong. Itu sebabnya ia ingin tahu banyak hal, banyak
bertanya dan bicara apa adanya. Tangannya tak berhenti memegangi apa saja
untuk diamati. Kakinya tak berhenti bergerak ke mana saja mencari tahu.
Kecuali ada sesuatu yang menjadi fokus perhatiannya. Menarik baginya. Untuk beberapa saat ia tak berpindah di satu tempat. Tetapi
larangan seseorang akan membuatnya berhenti mengikuti kemauannya. Keingin-tahuannya. Ketika otaknya menangkap, mengolah dan memerintahkan untuk diam,
sebab ada ancaman. Merasa terancam. Jiwanya menjadi kurang berkembang. Tak bebas lagi. Imajinasinya yang tak terbatas menjadi terbatas. Bagi anak-anak, tidak ada yang tidak mungkin. Dan imajinasi yang tak terbatas itu mengandung daya cipta yang luar biasa.
Hari ini penantianku berakhir. Aku dipertemukan dengan
lelaki kecil itu. Wajah orientalnya, kulitnya yang putih, diwarisi dari
mama-nya yang keturunan Tionghoa. Papa-nya asli Medan. Kimmy nama bocah itu. Matanya tidak sempit benar. Tidak terlalu gemuk,
tidak juga kurus. Pipinya sedikit bulat, bibirnya ciut. Ia lucu. Menggemaskan.
Parasnya mengingatkan aku pada aktor cilik yang ku-kagumi berperan dalam film
Shaolin Popey yang jago kung fu, namanya Hao Shaowen atau Shi Xiao Long, atau nama Baratnya Aston Chen. Kimmy tak kenal salim, cium tangan. Pasti upaya papa-nya
untuk mengikis faham feodal dari yang paling sederhana. Lalu ‘tos’ menjadi
gantinya.
Kami langsung akrab. Tentu aku sangat senang. Aku rasa Kimmy menyambut cintaku, sebab tak jarang cintaku bertepuk sebelah tangan pada manusia-manusia kecil sepertinya. Seperti pada Wong yang ginuk-ginuk, pantatnya embol. Juga pada Nayla yang bermata berani. Sama berani dengan mata Kennard dan Carney. Dalam Bahasa Anglo Saxon, Kennard berarti pemimpin dan Carney adalah pejuang. Menurut papa Kennard dan Carney, pemimpin itu tidak hanya memberi perintah. Dalam sebuah pertempuran, pemimpin dan pejuang harus maju bersama. Aku terkesan dengan mata mereka saat kenalan. Kakak beradik yang masih SD kelas 4 dan kelas 2 itu pun menyalamiku tanpa cium tangan. Matanya menatap tajam, mereka menyebut namanya dengan tegas. Tampak berwibawa. Sama tegas seperti Kuna yang kelas 6 SD. Kami bertemu di Goethe Haus. Ketiga lelaki itu sama berani, tak segan-segan mengkritik kami yang dewasa, yang bukan orang-orang terdekatnya. Kalau Dapunta, jelas tak pernah menolak cinta siapa pun. Orang Jawa bilang, Dapunta itu sumeh (murah senyum). Mungkin karena Dapunta masih bayi yang mendekati ulang tahun pertama, belum genap setahun. Mungkin juga karena Dapunta biasa bertemu banyak orang, bersosialisasi, sehingga ia mudah akrab dengan siapa saja.
Rata-rata mereka tidak lagi salim saat kenalan. Mereka menyambut tangan orang dewasa seperti teman sebayanya. Kepalanya tetap tegak. Tidak menunduk. Memang selayaknya begitu, sebab kita semua sama. Sama-sama manusia. Makhluk yang paling sempurna, yang dimuliakan-Nya. Menundukkan kepala saat berhadapan dengan orang lain seperti menunjukkan kelemahan kita. Bukan yang muda yang harus menghormati yang tua, tetapi tua-muda saling menghormati. Sebab setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihormati, termasuk seorang bayi. Sekali pernah kutemui seorang kawan yang sadar benar. Mereka tidak pernah memaksa atau memerintahkan anak balita-nya. Mereka menghindari kata 'jangan' dan 'tidak boleh', yang kemudian diganti dengan komunikasi dalam bentuk ajakan. Mereka juga menanyakan keinginannya atau menawarkan pilihan untuk memberi hak si anak berpendapat. Hmm ... anak-anak yang hebat, tentu karena mereka memiliki orang tua yang hebat pula.
Kami langsung akrab. Tentu aku sangat senang. Aku rasa Kimmy menyambut cintaku, sebab tak jarang cintaku bertepuk sebelah tangan pada manusia-manusia kecil sepertinya. Seperti pada Wong yang ginuk-ginuk, pantatnya embol. Juga pada Nayla yang bermata berani. Sama berani dengan mata Kennard dan Carney. Dalam Bahasa Anglo Saxon, Kennard berarti pemimpin dan Carney adalah pejuang. Menurut papa Kennard dan Carney, pemimpin itu tidak hanya memberi perintah. Dalam sebuah pertempuran, pemimpin dan pejuang harus maju bersama. Aku terkesan dengan mata mereka saat kenalan. Kakak beradik yang masih SD kelas 4 dan kelas 2 itu pun menyalamiku tanpa cium tangan. Matanya menatap tajam, mereka menyebut namanya dengan tegas. Tampak berwibawa. Sama tegas seperti Kuna yang kelas 6 SD. Kami bertemu di Goethe Haus. Ketiga lelaki itu sama berani, tak segan-segan mengkritik kami yang dewasa, yang bukan orang-orang terdekatnya. Kalau Dapunta, jelas tak pernah menolak cinta siapa pun. Orang Jawa bilang, Dapunta itu sumeh (murah senyum). Mungkin karena Dapunta masih bayi yang mendekati ulang tahun pertama, belum genap setahun. Mungkin juga karena Dapunta biasa bertemu banyak orang, bersosialisasi, sehingga ia mudah akrab dengan siapa saja.
Rata-rata mereka tidak lagi salim saat kenalan. Mereka menyambut tangan orang dewasa seperti teman sebayanya. Kepalanya tetap tegak. Tidak menunduk. Memang selayaknya begitu, sebab kita semua sama. Sama-sama manusia. Makhluk yang paling sempurna, yang dimuliakan-Nya. Menundukkan kepala saat berhadapan dengan orang lain seperti menunjukkan kelemahan kita. Bukan yang muda yang harus menghormati yang tua, tetapi tua-muda saling menghormati. Sebab setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihormati, termasuk seorang bayi. Sekali pernah kutemui seorang kawan yang sadar benar. Mereka tidak pernah memaksa atau memerintahkan anak balita-nya. Mereka menghindari kata 'jangan' dan 'tidak boleh', yang kemudian diganti dengan komunikasi dalam bentuk ajakan. Mereka juga menanyakan keinginannya atau menawarkan pilihan untuk memberi hak si anak berpendapat. Hmm ... anak-anak yang hebat, tentu karena mereka memiliki orang tua yang hebat pula.
“Kucing mana? Kucing mana?” Bibir mungilnya bersuara. Aku
lalu menyodorkan tangan kiriku. Dari lima jari yang tersedia, Kimmy mengambil
satu jari saja, yang tengah. Digenggamnya sangat erat. Aku mengajaknya keluar mencari
kucing. Di pinggir lapangan di antara rimbun tumbuhan yang ditanam di sana, aku
temukan induk kucing bersama ketiga anaknya yang masih bayi. Sepertinya baru
beberapa hari melahirkan. Aku yang semula tidak bisa melihat pemandangan itu, sesaat lupa
dengan kegelianku. Kami mendekat. Kimmy tampak senang sekali. Tapi induk kucing
itu jadi galak. Keempat kakinya sebisa mungkin memagari anak-anaknya.
Matanya tajam penuh curiga sambil mengeong pendek --tidak panjang seperti suara
orang atau kucing yang lagi manja. Kedatangan kami seperti ancaman baginya.
Tapi Kimmy tak juga melepas genggamannya yang tetap erat melingkari jariku. Ketiga jarinya yang
paling bawah mencengkeram, sedang telunjuk dan ibu jarinya sekongkol memainkan kedua
cincinku yang menyatu di sana. Naik turun. Dan
aku baru merasa ketika otakku terfokus ke sana. Ada getar-getar yang menjalari
seluruh tubuhku. Berpusat di jari tengah, lalu berjalan, menyebar: ke kedua
tangan, ke kedua kaki, ke kepala. Getaran yang merata dari ujung kaki hingga
ujung kepala itu lalu menyempit, menyatu ke tengah dada, masuk ke dalam. Rasanya sejuk, damai. Mungkin
ini yang dinamakan hormon endorphine. Hormon kebahagiaan. Hormon yang keluar dari tubuh seseorang
ketika ia merasa bahagia, senang dan bersemangat. Sebaliknya, seseorang
akan merasa bahagia, senang dan bersemangat bila hormon endorphine hadir di
dalam tubuhnya. Selama ini endorphin sudah dikenal sebagai zat yang banyak manfaatnya. Selain mengatur produksi hormon pertumbuhan dan
seks, mengendalikan rasa nyeri serta sakit yang menetap, juga mengendalikan
perasaan stres, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Hormon endorphine adalah senyawa kimia yang membuat seseorang merasa
senang, nyaman, diproduksi oleh kelenjar pituitary yang terletak di
bagian bawah otak. Hormon ini bertindak seperti morphine, bahkan
dikatakan 200 kali lebih besar dari morphine. Tentu morphine alami yang dihasilkan oleh tubuh.
Aku yang menyukai anak-anak selalu rindu tangan mungilnya
menyentuh mukaku, jari-jariku, telapak tanganku, atau memainkan anak rambutku.
Apakah setiap orang dewasa memiliki rasa yang sama sepertiku? Bahagia
ketika tangan-tangan mungil menyentuh kulitnya, lalu memperhatikan perasaannya?
Entahlah. Semoga Kimmy kelak menjadi pemuda yang berpikir maju seperti papa-nya. Kritis.
Wawasannya luas karena melahap buku-buku bacaan dan selalu mengikuti perkembangan situasi nasional. Memiliki kepedulian terhadap sesama. Tidak hanya berteori, tapi juga berbuat, bekerja, berorganisasi. Mewarisi sikap tegas papa-nya. Tidak memelihara rasa sungkan, sehingga lantang
berbicara tentang kebenaran. Seperti beberapa saat sebelum aku mengajak Kimmy
keluar. Di ruang yang berbeda, bersama beberapa teman - team kerjanya di perusahaan swasta, papa Kimmy bicara berapi-api, ”Kita ini kurang disiplin, man! Gotong
royong pun bablas! Sorry, bicaraku memang nggak enak. Tapi ini realita!”
Waktu seperti berlari, pertemuan kami terasa singkat. Malam sudah menunjukkan pukul 9, belum puas bermain bersama Kimmy. Seorang kawan sudah menjemputku, menunggu di luar dengan motornya. Aku menciuminya sekali lagi setelah kesekian kali aku mendaratkan bibirku di pipi bulatnya. Tak peduli bekas bibir siapa saja yang menempel di sana, sebab siapa saja sudah mengajaknya bermain sebelum aku. Dan aku segera meninggalkannya. Belum juga sampai ke pintu, aku memutar kepalaku melihatnya lagi. Ada rasa yang masih mengganjal, aku meraihnya lagi, menggendongnya keluar. Mama Kimmy mengikuti. Sampai di depan pagar, aku serahkan kembali Kimmy-nya dan kami akhiri dengan 'tos' sebagai salam perpisahan.
Waktu seperti berlari, pertemuan kami terasa singkat. Malam sudah menunjukkan pukul 9, belum puas bermain bersama Kimmy. Seorang kawan sudah menjemputku, menunggu di luar dengan motornya. Aku menciuminya sekali lagi setelah kesekian kali aku mendaratkan bibirku di pipi bulatnya. Tak peduli bekas bibir siapa saja yang menempel di sana, sebab siapa saja sudah mengajaknya bermain sebelum aku. Dan aku segera meninggalkannya. Belum juga sampai ke pintu, aku memutar kepalaku melihatnya lagi. Ada rasa yang masih mengganjal, aku meraihnya lagi, menggendongnya keluar. Mama Kimmy mengikuti. Sampai di depan pagar, aku serahkan kembali Kimmy-nya dan kami akhiri dengan 'tos' sebagai salam perpisahan.
Ah, tentu aku akan merindukanmu, Kimmy …
(Casablanca, 25 September 2014)
No comments:
Post a Comment