Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Sunday, May 10, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 6)



Betapapun dalam setiap golongan terjadi friksi internalnya masing-masing, namun sejauh menyangkut persoalan dasar negara, terjadi konsolidasi internal yang menciptakan pengkubuan. Secara semena-mena kubu yang muncul dinamakan ‘Pendukung Pancasila’ versus ‘Pendukung Islam’, meski sesungguhnya masih ada satu kubu lagi, yakni ‘Pendukung Sosial - Ekonomi’ yang karena jumlahnya kecil, sering diabaikan.

Mengenai fraksi-fraksi yang ada dalam masing-masing kubu, bisa digambarkan sebagai berikut:
-          Kubu Pancasila, mempunyai 274 kursi yang berasal dari 7 fraksi besar (PNI, PKI, Republik Proklamasi, Parkindo, Partai Katolik, PSI dan IPKI) ditambah 14 fraksi partai kecil.

-          Kubu Islam, mempunyai 230 kursi yang berasal dari 4 fraksi besar (Masyumi, NU, PSII dan Perti) ditambah 4 fraksi partai kecil.

-          Kubu Sosial – Ekonomi, mempunyai 10 kursi yang berasal dari 3 fraksi (Partai Buruh, Partai Murba dan Acoma)

Dikatakan semena-mena karena kubu tersebut sesungguhnya memiliki banyak kesamaan pandangan dan mencapai persetujuan dalam hal-hal substantif. Sejak pelantikannya pada 10 November 1956 sampai 18 Februari 1959, persidangan Konstituante telah berhasil mencapai banyak kesepakatan hingga mampu menyelesaikan 90% kerjanya. Bahkan menyangkut dasar negara pun, Komisi I yang membahas hal ini, secara substantif telah mencapai kerangka kesepakatan.

Kesepakatan yang dimaksud adalah bahwa Dasar Negara dan konstitusi baru harus memenuhi hal sebagai berikut:
1.       sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia,
2.       dijiwai semangat Revolusi 17 Agustus 1945,
3.       musyawarah hendaknya menjadi dasar dalam segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan,
4.       terjaminnya kebebasan beragama dan beribadat,
5.       berisikan jaminan-jaminan sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang luas dan keadilan sosial.

Selain itu, setiap kubu juga bisa menerima setiap sila Pancasila, kecuali menyangkut ‘tujuh kata’ di balik sila Ketuhanan yang kembali dipersoalkan oleh kubu Islam.

Akan tetapi ketika butir-butir kesepakatan mengenai ‘dasar negara’ itu harus diberi nama, masing-masing kubu tidak bisa mencapai titik temu. Kubu Islam bersikukuh menyodorkan kata ‘Islam’, sedangkan kubu Pancasila bertahan membubuhkan kata ‘Pancasila’. Kubu Islam juga menuntut agar ‘tujuh kata’ dicantumkan kembali dalam Pembukaan UUD 1945. Alhasil, dalam bangkitnya gelora politik identitas, nama dan identitas kelompok itu jauh lebih penting ketimbang substansi.

Secara substantif, pokok-pokok argumen yang dikemukakan oleh kedua kubu masih sama seperti pada persidangan BPUPKI. Dimensi baru dari golongan Islam dihadirkan oleh kemunculan tokoh-tokoh politik generasi baru dengan Mohammad Natsir sebagai juru bicara utamanya. Dimensi baru dari golongan kebangsaan dihadirkan oleh arguman-argumen baru yang dikemukakan tokoh-tokoh Partai Katolik dan Kristen (Partindo), dan yang paling penting lagi oleh kehadiran representasi Partai Komunis yang memberi amunisi baru bagi kubu Islam.

Bagi kubu Islam, selain umat Islam merupakan elemen terpenting dari perjuangan kemerdekaan, agama Islam memuat ajaran yang lebih lengkap dan lebih rinci daripada Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila harus menjadi bagian dari Islam, bukan Islam menjadi bagian dari Pancasila. Pernyataan seperti ini terkandung dalam hampir semua pidato tokoh-tokoh Islam di Konstituante. Kasman Singodimedjo misalnya, berpendapat, “Islam adalah ciptaan Allah, Pancasila adalah bikinan manusia, tidak mungkin Islam di-subordineer Pancasila, tidak mungkin!” Tentang hal ini, Roeslan Abdoelgani bertanya, “Patron  negara Islam manakah yang akan dijadikan contoh, kalau Indonesia menginginkan negara Islam?” Rusjad Nurdin menjawab, “Tidaklah terlintas sedikit pun dalam hati kita untuk menjadikan satu di antara negara-negara Islam itu sebagai patron bagi Indonesia yang berdasar Islam, malahan negara yang pertama sekali pun yang didirikan oleh Muhammad SAW tidaklah akan dijadikan patron sendiri…” Menurutnya, petunjuk dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW itu tidak berbau Arab, tidak pula berbau Mesir, Irak, Syria, Turki, Yaman, Pakistan dan sebagainya, dan tidak berbau monarki feodal dan sebangsanya. Petunjuk-petunjuk itu dapat dipakai oleh semua bangsa dan di seluruh zaman.

Di sisi lain, golongan kebangsaan menyatakan, bahwa usaha kemerdekaan merupakan ‘hasil jerih-payah bersama’. Selain itu, dasar Islam dan sosial-ekonomi memang tidak buruk, tetapi keduanya belum mencakup nilai-nilai yang disepakati dalam Komisi I, dan tidak bisa diterima begitu saja oleh golongan agama lain di Indonesia. Tentang klaim-klaim kelebihan Islam, Prof. Mr. R.A. Soehardi dari Partai Katolik merangkum secara baik melalui pendapatnya: “Kami tidak dapat melihat kelebihan Islam dari Pancasila, sekalipun dipaparkan norma-normanya yang serba khusus karena tidak diadakan perbandingan dengan agama-agama lain.” Dia juga mengatakan, bahwa konsepsi negara Islam tidak sesuai (bertentangan) dengan ajaran agama yang golongan Islam juga menyatakan sebagai agama yang suci. Selanjutnya dia menghimbau:

“Apabila kebenaran ajaran ini didiskreditkan, Islam akan inkonskuen terhadap pernyataannya (normanya) tentang kesucian dari agama kami. Saya yakin bahwa inkonskuensi ini tidak akan diperbuat oleh Islam. Dan oleh karena dalam ruangan ini berulang-ulang dinyatakan oleh tokoh-tokoh Islam bahwa Islam tidak akan memaksakan pendapatnya, maka saya memberanikan diri untuk meminta pada golongan Islam supaya tidak menuntutkan direalisasikannya konsepsi negara sebagai religious institution.

Tampaknya sebagian besar masalah ditimbulkan oleh kekaburan dalam melihat hubungan agama, Pancasila dan negara. Ada kesan kecemasan dari tokoh Islam bahwa Pancasila bisa menggantikan peran agama. Tentang hal ini, Roeslan Abdoelgani merasa perlu meluruskan, “Bagi kita adalah terang, bahwa Pancasila adalah nama bagi kelima dasar negara. Ia bukan agama yang menempatkan dirinya secara congruent, sama dan sebangun dengan agama Hindu, Buddha, atau secara antagonistis berhadap-hadapan dengan Islam.”

Kecemasan kelompok Islam terutama timbul dari menguatnya pengaruh komunisme dalam politik pasca-Pemilu 1955. Bagi kelompok Islam, penerimaan tokoh-tokoh komunis atas Pancasila yang mengandung sila Ketuhanan menunjukkan bahwa PKI tidak konsisten pada pendirian isme-nya, dan harus dianggap sebagai siasat belaka. Terlebih perwakilan PKI dalam Komisi I yang membahas dasar negara, berusaha mengganti sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dengan ‘Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup’.

Tentang usahanya itu, tokoh-tokoh PKI seperti Sakirman, K.H. Dasuki Siradj, Nyoto, Jean Torey dan Wikana, punya alasan sendiri. Dalam pandangan mereka, formulasi ‘Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup’ memang selain lebih bersifat ilmiah dan cocok dengan pengalaman serta kebutuhan hidup, juga lebih mempunyai jiwa yang sesuai dengan ide orisinal Bung Karno mengenai sila Ketuhanan, yakni ‘Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain’. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Sakirman:

“Jika dengan sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa memang benar-benar tidak terkandung maksud paksaan-paksaan dan perkosaan-perkosaan terhadap agama-agama dan keyakinan lain, jadi praktiknya, pada pokoknya seperti dua belas tahun Republik Indonesia, maka demi penghormatan kami kepada kaum monotheis dan kaum politheis yang mengakui adanya kekuasaan tunggal yang meliputi seluruh kekuasaan bagian dan demi kelancaran sidang-sidang Konstituante, maka PKI dalam Sidang Pleno ini menyatakan bersedia menerima Pancasila tanpa perubahan atau perbaikan.”

Kesan ini muncul antara lain dari pandangan Soekarno yang menerangkan ketuhanan dalam konsep darwinisme sosial yang menganggap religiositas masyarakat agraris pra-industri dan pernyataan tokoh-tokoh komunis yang mengidealkan penggantian sila ketuhanan menjadi sila kebebasan beragama, termasuk kebebasan tidak beragama.

Berdasarkan pasal 29 (2) UUD 1945: ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Selain kebebasan beragama, dalam pasal 18 Konstitusi RIS dan UUD 1950 bahkan disebutkan tentang jaminan kebebasan ‘keinsyafan batin dan pikiran’. Maknanya, kebebasan juga diberikan kepada keyakinan kepercayaan lain, seperti kepercayaan agnostik (agnosticism). Harap diingat bahwa di antara para anggota BPUPKI, ada juga orang seperti Wongsonagoro, seorang teolog yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (supreme being) tetapi tidak otomatis menganut agama tertentu.

Lebih dari itu, kepedulian Pancasila lebih tertuju pada moralitas publik, tidak mencampuri moralitas (keyakinan) pribadi. Oleh karena itu, dalam kerangka Ketuhanan menurut Pancasila, boleh saja seseorang secara pribadi tidak memeluk agama formal (sebagai agnostik atau bahkan atheis). Pengertian ‘atheis’ tidak sama dengan ‘anti-theis’. Akan tetapi dalam kehidupan publiknya harus tetap menghormati nilai-nilai Ketuhanan-keagamaan seperti dikehendaki Pancasila berdasarkan hasil kesepakatan Konstitusional, sehingga tidak diperkenankan menyebarkan propaganda untuk menolak atau membenci agama.

Demikianlah, setiap perwakilan kekuatan politik sesungguhnya secara substantif memiliki titik temu dalam meyakini, atau setidaknya menghargai pentingnya dasar Ketuhanan dalam kehidupan publik, lebih khusus lagi dalam pengelolaan negara, Indonesia. Akan tetapi ketegangan ideologis berbalutkan semangat politik identitas yang kerap menarik selubung batas dengan yang lain, membuat golongan Islam bersikukuh ingin menamai dasar negara itu dengan ‘Islam’, sementara mayoritas yang lain ingin menamainya dengan ‘Pancasila’.

Di ambang kebuntuan, golongan Islam sesungguhnya mulai menyadari kelemahan posisi dan ketidakmungkinan memaksakan tuntutannya. Sebagaimana dicatat oleh Adnan Buyung Nasution (1995), ketika tekanan untuk kembali ke UUD 1945 bergema, diam-diam para pimpinan Konstituante: Wilopo, Prawoto, Idris Ilyas, Natsir dan beberapa yang lain masih berunding mencari modus yang bisa diterima semua pihak dengan landasan demokrasi. Mereka sepakat, demokrasi harus dijaga demi menyelamatkan kemajemukan Indonesia, hak-hak asasi manusia, dan cita-cita negara hukum. Waktu itu pihak Natsir atau Masyumi sudah sampai pada kesadaran bahwa dasar Negara Islam tidak bisa dipaksakan. Ketegangan yang terjadi merupakan sesuatu yang wajar. Di lembaga demokrasi, orang bebas menggunakan hak demokrasinya, dan hal itu tidaklah berarti memaksakan kehendaknya.

Akan tetapi suasana ketidaksabaran dan kegentingan dalam atmosfer politik membuka jalan bagi Soekarno untuk membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945. Dalam Dekrit itu, Presiden Soekarno sekali lagi mencoba melakukan kompromi dengan menyebutkan di awal Dekritnya, bahwa ‘Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi’. Meskipun demikian, status ‘tujuh kata’ tetap tidak jelas dan terus menjadi persoalan kontroversial. Ada yang menginterpretasikan Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 ini merupakan Piagam versi rancangan Panitia Kecil BPUPKI (22 Juni), ada pula yang menafsirkannya sebagai Piagam versi penetapan PPKI (18 Agustus). Persoalan ‘tujuh kata’ ini pada akhirnya tenggelam dalam hiruk-pikuk realitas politik semasa, dan setidaknya hingga awal milenium baru, tidak berhasil dibangkitkan kembali.

Berdasarkan kenyataan ini, Negara Indonesia berdasarkan Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan agama. Tidak terpisah, karena negara, seperti yang dikatakan Roeslan Abdoelgani, “Secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara dan mengembangkan agama, khususnya melalui departemen agama. Tidak pula menyatu dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim dikatakan, Indonesia bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama.”

(Bersambung)
Photo Source: Google Images


 
Blogger Templates