Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Monday, September 28, 2015

Mendalami Makna Gotong Royong (Bagian 1)


“Many small people, in small places, doing small things can change the world” (Banyak orang kecil, di tempat-tempat kecil, melakukan hal-hal kecil dapat mengubah dunia) 

~ Penulis dan Jurnalis Uruguay, Eduardo Galeano (1940 – 2015) ~


Hampir setahun lalu saya ingin mengulas tentang “gotong royong”. Tetapi keinginan itu tenggelam oleh kesibukan saya sehari-hari. Tertumpuk oleh rencana baru. Terlupakan. Dan sebuah kejadian menginspirasi saya. Membangkitkan kembali ingatan saya untuk menuliskan itu. Membuka lagi catatan-catatan kecil yang pernah saya buat. 

Baiklah, akan saya mulai dari kejadian itu, lalu dari sana akan saya coba mengupasnya …

Suatu hari, saya mendatangi sebuah kantor organisasi. Katakanlah nama organisasi itu X. Niat saya hanya untuk bertemu dengan kawan lama. Kami sudah bikin janji. Tetapi pada waktu yang sudah kami sepakati, melalui short message service dia mengatakan, sedang keluar sebentar. Ada keperluan mendadak yang harus diselesaikan, dan saya diminta menunggu. 

Sendiri di ruang tamu, saya iseng mengambil bacaan yang tergeletak di samping saya. Sebuah mini magazine yang mereka cetak sendiri sepertinya, sebab tertulis besar-besar di cover depan, nama organisasi mereka. Ruangan tamu itu bersih. Saya bisa melihat dari lantai keramik putih yang tampak bening. Berkilau. Kaki saya pun bisa merasakan kesatnya, sebab alas kaki mesti dilepas dekat pintu. Tidak ada kursi tamu atau sofa di sana. Hanya permadani yang diletakkan di sisi dekat jendela sebagai gantinya. Lesehan. Ada satu meja belajar dengan dua bangku plastik yang ditumpuk jadi satu di sampingnya. Ada satu unit komputer lengkap dengan speaker systemnya, buku-buku, koran, majalah, dan beberapa box file yang tertata rapi. 

Tetiba saya ingin buang air kecil. Saya masuk saja menemui salah seorang di dalam untuk ijin ke toilet. Saya dipersilahkan dengan ramah oleh seorang perempuan yang tadi pagi menerima kedatangan saya dengan ramah pula. Saya diantar menuju ke sana melewati dapur. Rupanya ada dua orang perempuan lagi yang sedang memasak di sana. Mereka tersenyum. Barangkali tempat ini dijadikan kantor plus tempat tinggal, sebab perabotan dapurnya cukup lengkap. 

Saya kembali ke ruang tamu, memungut majalah mini dan mulai membuka isinya. Sedang asik membaca, telinga saya menangkap pembicaraan kedua perempuan yang tadi saya temui di dapur. Suara mereka terdengar keras. Menggema. Mengganggu konsentrasi saya saat membaca. Barangkali karena bangunan gedungnya yang besar dan tinggi, serta suasana kantor yang lengang. Saya coba fokus pada bacaan saya tapi suara mereka semakin keras terdengar. Rupanya terjadi perdebatan di tengah mereka sedang memasak. Semakin lama semakin lantang. Pada akhirnya, telinga saya yang jadi pemenang. Saya memilih untuk mendengar perdebatan sengit itu daripada membaca. Seru. Menarik untuk disimak. 

Lalu bagaimana isi perdebatan itu? Baik, saya namakan saja kedua perempuan itu Si A dan Si B. Saya tidak tahu namanya, tetapi saya bisa membedakan suara mereka. Dan nama-nama yang disebut dalam perdebatan itu sebagian saya ingat, sebagian hasil rekayasa saya. Barangkali isi perbedabatan itu juga tidak lengkap atau kata-katanya tidak sama persis. Maklum, hanya tersimpan di memori otak saja, yang kemudian tertimpa oleh kejadian-kejadian lain. Tapi saya yakin tidak mengurangi substansinya, sebab saya sudah dapat menangkap maksudnya.  

A: Dulu, Si Bambang itu kebiasaan sekali kalau kami lagi masak belum selesai, sudah makan duluan. 

B: Ya, mungkin dia kelaparan.

A: Semua juga lapar. Tapi apa salahnya menunggu makan bareng-bareng. Dan itu kan nggak sekali dua kali. 

B: Dia itu memang kolokan. 

A: Kecuali kalau ikut bantu-bantu, bolehlah, karena punya andil memasak. 

B: Tidak bisa dipaksa. Kan tidak setiap orang bisa memasak.

A: Bantu-bantu kan bukan berarti memasak. Bisa cuma kupas bawang, potong sayuran atau cuci perabotan. 

B: Ya, di rumah saja kan kita biasa begitu. Ibu kita belum selesai masak, kita sudah makan duluan.

A: Ya jangan disamakan di rumah sendiri dengan di sini. Kita kan hidup bersama. Apa-apa ya harus dikerjakan bersama.

B: Kan tidak semua orang suka dengan kegiatan memasak.

A: Ya suka nggak suka, namanya hidup bareng kok. Bersih-bersih juga enggak.

B: Masing-masing orang kan tidak sama. Tidak semua punya kesadaran seperti kamu. Biarkan saja. Kalau kamu begitu, itu sama saja dengan membebani dirimu sendiri. Nggak sehat buat kamu.

A: Ya nggak begitu. Kalau nggak ngerti ya mesti dikasih pengertian. Kalau nggak sadar ya mesti disadarkan. 

B: Sudah, kerjakan saja. Biar kepalamu jadi kaki, kaki jadi kepala, kalau orang sudah begitu ya begitu. Nggak akan berubah.

A: Siapa bilang? Buktinya, beberapa dari mereka sudah mulai ngerti kok. Kalau mau pergi, dia cuci gelas kopinya sendiri. Habis bikin kopi juga mereka cuci sendoknya. Biasanya pada digeletakin saja di meja. Numpuk sendok-sendok kotor. Ya awalnya kita beri contoh melalui tindakan kita, kalau masih nggak ngerti ya mesti pakai mulut. Ditegur. Sama kayak peraturan yang ditulis, kalau nggak dijalankan ya mesti ditegakkan. Bagaimana cara menegakkannya? Ya pakai mulut.

B: Ah, memasak itu tidak penting. 

A: Memasak memang tidak harus, karena tanpa masak pun kita bisa makan. Tinggal beli lauk, jadi. Tapi bersih-bersih, ya harus itu. Kalau kita tidak bersih-bersih, apa gantinya? Siapa yang membersihkan? Kita kan nggak punya pembantu. Kalau kantor kita kotor, memang kita nggak malu kalau ada tamu? Kebersihan dan kerapian kantor itu buat aku, salah satu harga diri organisasi kita. Kalau kita tidak malu ketika organisasi kita dilecehkan karena kantor kita yang kayak kandang ayam, ya patut dipertanyakan kadar cintanya pada organisasi. 

B: Kamu tidak bisa memaksa kalau kamu pegang sapu, yang lain juga harus pegang sapu. 

A: Ya nggak harus pegang sapu. Paling tidak layanilah diri sendiri. Jangan tinggalkan gelas-gelas kopi atau gelas-gelas yang sudah dikotori. Buang bekas bungkus rokok dan bungkus makanan di atas meja, juga abu dan puntung rokok yang luber dari asbaknya. Kan sudah disediakan tempat sampah dekat pintu. Tinggal buang di situ apa susahnya sih? Masak buang sampah saja mesti diajarin. Memangnya anak TK. 

B: Biarkan saja, nggak usah kamu bersihkan. Nanti kan ada saja teman-teman lain yang mengerjakan.

A: Nunggu sampai kapan? Siang, sore, malam atau pagi lagi? Nunggu kita malu kalau ada tamu? Mereka itu mau melakukan kalau pusarnya lagi miring. Satu dua orang saja mau bantu kalau kebetulan dia ada. Dan kalau dibiarkan, sama saja dengan penindasan. Apa dong artinya teriak anti penindasan, kalau realitanya menindas teman sendiri. 

B: Kamu itu terlalu sensitif. Ada hal yang lebih penting dikerjakan.

A: Dari dulu, kamu dan Tono selalu menentang aku soal bersih-bersih dan rapi-rapi kantor, padahal waktu temanmu datang ke sini, kantor sudah dalam keadaan bersih, hanya ada makanan dalam plastik yang terbuka saja lantas kamu singkirkan ke belakang, padahal kan itu bukan sampah. Kamu malu kan? Bagaimana kalau kantor berantakan kayak kandang ayam. Tono juga, giliran tempatnya aku tinggal, ngeluhnya nggak karu-karuan karena yang nunggu nggak peduli kondisi kantornya.

B: Enggak. Kotor pun tidak masalah. Asal kita kerjakan dengan ikhlas, maka masalah-masalah itu tidak akan membebanimu. Menggerogotimu.  

A: Ah ngeles. Nggak ngaku kalau malu sama teman-temannya yang datang. Tapi malu saja juga nggak cukup sih untuk mengetahui kadar cinta kita pada organisasi. Harus ditambah dengan berbuat sesuatu. Dan bukan masalah nggak ikhlas, tapi mana gotong-royongnya? Katanya Pancasilais. 

B: Gotong-royongnya di bagian lain. Di kerja-kerja yang lain. 

A: Ya nggak begitulah. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri saja nggak bisa, bagaimana bertanggung jawab pada hal-hal yang besar. Semua itu diawali dari yang kecil. Itu pondasi. Bagaimana sebuah bangunan bisa kuat kalau pondasinya saja rapuh? 

B: Enggak. Enggak begitu. Itu nggak prinsip. Jangan itung-itungan tenaga. Itu akan menyiksa dirimu sendiri. 

A: Bukan juga itung-itungan tenaga, tapi yang namanya gotong-royong itu tidak memilih mana yang prinsip dan mana yang tidak. Atau di bagian mana gotong royong itu harus dilakukan dan di bagian mana yang tidak. Kepedulian juga tidak memilih, peduli pada yang “ini” saja atau yang “itu” saja, yang lain bodo amat. Ya nggak begitu. 

B: Kamu itu terlalu perasa.

A: Bukannya kamu dulu pernah bilang, kamu tidak suka kalau kamu sedang menggoreng, lalu anak-anak main comot. 

B: Enggak, aku bercanda.

A: Ah, aku lihat kamu marah-marah waktu ada yang nyomot makanan, lalu kamu serius mengatakan ketidak-sukaanmu itu. 

B: Enggak … enggak, aku bercanda.

A: Ah, nggak ngaku ah. Dulu juga kamu pernah ngomongin Si Ayung karena dia nggak pernah bantu-bantu masak. Kupas bawang saja nggak pernah, katamu. Sekarang bilangnya nggak penting. Biarkan saja.

B: Enggak … enggak …

A: Ya, nggak ada yang diakui. Statementnya berubah-ubah. Nggak konsisten (sambil berjalan menuju ruang yang lain, seperti bicara sendiri). 

Kawan saya muncul di pintu, menegur saya. Dia langsung mengajak saya keluar mencari tempat tongkrongan. Biar ngobrolnya asik, enaknya di luar sambil ngopi plus “ngudut”, katanya. Maka saya tinggalkan kantor itu dengan perdebatan yang entah masih berlanjut atau disudahi.

*** 

Gotong Royong Adalah Saripati Pancasila

Siapa yang tak kenal istilah gotong royong. Dua kata yang selalu dipasangkan ini sudah sangat familiar di telinga masyarakat. Jika dijabarkan, gotong berarti pikul, royong berarti bersama. Jika digabungkan, artinya memikul bersama atau bekerja bersama-sama. Seperti peribahasa yang mengatakan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, maka dengan gotong royong, beban yang berat akan menjadi ringan. Kalau menurut Bung Karno, seperti dalam pidatonya yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945 di depan peserta Sidang BPUPKI: “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.”

Namun tidak semua kegiatan saling membantu bisa dikatakan sebagai upaya melakukan gotong royong. Bekerja bersama, saling membantu atau saling menolong baru bisa dikatakan gotong royong apabila kegiatan itu memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu tentu merujuk pada hasil perenungan Bung Karno yang telah ditetapkan sebagai dasar negara kita, yaitu Pancasila:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Dari Pancasila, jika diperas akan menjadi Trisila:

1. Sosio Nasionalisme (berasal dari kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan)
2. Sosio Demokrasi (yaitu demokrasi dengan kesejahteraan)
3. ke-Tuhanan (yang menghormati satu sama lain)

Dari Trisila, jika diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Jadi Pancasila, ya gotong royong, sehingga saling menolong bisa dikategorikan sebagai gotong royong apabila tidak terlepas dari kerangka besarnya, yaitu Pancasila. 

(Bersambung)


(Tebet Dalam, 10 September 2015)


Monday, September 21, 2015

' pesan gajah '


Kataku, “Jika suatu hari nanti aku tidak lagi ada di sana, bukan berarti aku tak cinta. Aku tidak mudah cinta, pun tidak mudah lupa.”

dan malam … 
duduk bersila
diteras rumah bertingkat
dipandang tangga berkelok
pagar besi yang selalu tertutup
motormotor yang ditinggal dihalaman
satu jam sebelum mengantarku pulang
satu hari sebelum aku kembali ke ibukota
ia berpesan: jangan pernah takut ditentang, dibenci, bahkan dimusuhi banyak orang karena niat baikmu, ning … 

(Surabaya, 3 Agustus 2015)



Photo Source: Google Images

 

Sunday, September 13, 2015

' aku kembalikan kalimatmu '

kau bilang ingin mampir
aku tak lantas mengiyakan
bertanya maksud dan keperluanmu
kau menghindar tanpa jawab
naluriku berkata: yang tersisa dari matamu hanya nafsu
berkali kau mengakhiri
berkali kau memulai
jatuh cinta dan tersakiti dengan orang yang sama?
tidak!
cukup!!
semoga angin dini hari
menyampaikan pesanku
yang tak sempat terucap
sebuah kalimat yang kupinjam dari mulutmu dulu
“kita sudah selesai”

(Casablanca, 23 Juli 2014)

Tuesday, September 1, 2015

' aku rindu '

aku kecil 
tetiba diam
ngelamun
mata berkaca
tahan suara
si mbah bertanya: kenapa nangis, nak?
jawabku: enggak, aku nggak nangis kok, mataku kelilipan 


disekolah kuceritai guruku
taman kanak – kanak dekat rumah
aku rindu mama
mamaku yang pergi jauh
aku rindu suara lembutnya
nyanyi lagu – lagu
hantar tidurku
aku rindu tingkah lucunya
menghiburku
aku rindu didekapnya
digendongnya
sambil ngayuh sepeda
sambil kendarai motor
aku rindu tangannya
memanjaiku
menyuapi mulutku
aku rindu mama ciumi tubuhku
yang bau asam dari bangun tidur
yang telanjang sebelum mandi

hanya satu yang tak kucerita
aku rindu ketiaknya
yang kuciumi sepulang kerja
yang kumainkan menjelang tidur …


(Tebet Dalam, 24 Agustus 2015)
Photo Source: Google Images
 
Blogger Templates