“Karut-marut di negeri ini akibat terlalu banyak yang mengurusi hal-hal besar saja. Mereka melupakan untuk memperbaiki hal-hal kecil. Padahal hal-hal kecil itulah yang bisa membangun hal-hal besar. Kuat-rapuhnya pondasi bangsa ini tak lepas dari pondasi yang ada di rumah setiap warga.”
~ Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Dr. Soetandyo
Wignjosoebroto (1932 – 2013) ~
(https://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/20/kisah-prof-sutandyo-hidup-sederhana-tidak-memiliki-rumah/)
Gotong Royong Adalah
Kemanusiaan
Seringkali orang salah menafsirkan, bahwa segala pekerjaan
yang dilakukan secara bersama-sama dianggap gotong royong, padahal tidak selalu
demikian. Jika kita mau mendalami, tentu kita punya pertanyaan-pertanyaan: Apakah
dalam melakukan pekerjaan bersama itu ada pihak-pihak lain yang dirugikan?
Motivasi menolongnya itu apa? Karena sungkan (merasa tidak enak) atau karena
mengharap pujian, atau berharap suatu waktu nanti mendapat balasan pertolongan?
Siapa pun tentu tahu, bahwa membantu atau menolong tidak hanya
memberikan tenaga kita secara cuma-cuma. Kita juga bisa membagi sesuatu yang
kita punya. Tetapi kegiatan membagi atau saling berbagi pun tidak serta-merta
dikatakan gotong royong. Jika kita mau mengupas lebih dalam, kita juga tentu
punya pertanyaan-pertanyaan: Yang dibagikan itu apa? Berakibat baik atau buruk?
Sumbernya dari mana? Mengambil hak orang lain atau tidak? Motivasi berbaginya
itu apa? Hitung-hitungankah?
Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu mengandung
cinta, itulah gotong royong. Sebab gotong royong didasari oleh cinta, dimana rasa
akan tergetar untuk berbuat sesuatu. Cinta yang tak meminta syarat. Cinta
terhadap sesama manusia, yaitu kemanusiaan. Cinta memiliki nilai yang lebih besar
dari sekedar bersikap adil, sebab adil belum tentu cinta. Tetapi dengan cinta
kita pasti ingin berbuat adil seadil-adilnya. Dan ciri-ciri masyarakat gotong
royong, adalah masyarakat yang respect pada harkat dan martabat manusia. Tidak
membiarkan dekandensi moral yang akan mengganggu suasana saling menghormati harkat
dan martabat masing-masing.
Mulai dari yang Kecil, Mulai dari Diri Sendiri
Menanggapi perdebatan di atas, saya setuju dengan istilah yang digunakan Si A, bahwa gotong royong tidak memilih, kepedulian tidak memilih. Saya juga sependapat bahwa dalam hidup berkolektif ya segala sesuatu haruslah dikerjakan
bersama-sama. Jika seseorang terbiasa dimanja, dilayani oleh keluarganya, kebiasaan
itu harus ditinggalkan ketika memilih hidup bersama dengan teman-temannya. Tidak
ada manusia yang tidak bisa berubah, bahkan karakter yang buruk pun bisa diubah
jika ada kemauan untuk mengubahnya, sebab manusia dibekali otak yang super komputer.
Kita mengenal istilah adaptasi, tentu dengan situasi dan kondisi yang berbeda
manusia bisa melakukan itu. Binatang saja mampu beradaptasi, mengapa manusia
tidak? Bukankah manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna sebab memiliki
akal budi?
Menagih gotong royong bukan berarti tidak ikhlas melakukan
pekerjaan sendirian. Bisa saja itu terjadi, tetapi tidak selalu, sebab tidak
ada manusia yang benar-benar terbebas dari rasa ikhlas. Pun tidak ada manusia yang seratus persen ikhlas sepanjang hidupnya. Si B yang tampak sabar, adakah dia selalu
merasa ikhlas? Tidak. Tentu ada hal-hal yang tidak bisa diikhlaskan. Satu-satunya yang pasti diiklaskan oleh manusia adalah saat nongkrong di Water
Closed.
Menagih gotong royong bukan berarti hitung-hitungan tenaga,
sebab kebiasaan yang dibiarkan atau dilakukan dengan sengaja membebankan
tanggung jawab kita kepada orang lain, sama saja dengan melakukan penindasan. Membiarkannya
sama dengan tidak mendidik. Apalagi sebagai orang yang mengaku Pancasilais,
jika tidak sekedar berteori, tentu tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Dan dalam mini magazine yang saya baca, ada statement
anti penindasan, cita-cita menuju kesetaraan, maka membiarkan adanya panindasan
dalam bentuk sekecil apa pun sama dengan mendukung adanya klas-klas. Ada klas
penindas, ada klas yang ditindas. Ada klas majikan, ada klas pesuruh.
Melanggengkan patron-klien.
Kebanyakan masyarakat kita meremehkan hal-hal kecil yang
dianggap sepele. Padahal hal-hal sepele bisa berakibat fatal, sebab tidak
pernah dipikirkan. Hal-hal kecil yang tidak dibenahi akan mengganggu
kerja-kerja besar dan akan menghambat langkah ke depan. Bukankah sesuatu yang
besar berasal dari yang kecil? Pribadi yang baik diciptakan dari kondusifnya
rumah tangga. Seperti membuat bangunan, seseorang mesti membuat dulu
pondasinya. Jika pondasinya yang terdiri dari bagian-bagian yang kecil tidak dipikirkan
kekuatannya, bagaimana mampu menopang yang besar? Jika pondasinya saja rapuh,
bagaimana mungkin bangunan yang besar memiliki kekuatan?
Beberapa orang mampu menyelesaikan hal-hal besar di luar sana, tetapi tak terlihat memberikan efek pada perubahan, sebab masih banyak yang melewatkan hal-hal kecil itu dan tidak segera melakukan perbaikan. Sebab tidak mampu bertanggung jawab dalam lingkup terkecil di tempat tinggalnya. Menyerukan gotong royong ke seluruh penjuru, tetapi masih mengandalkan orang lain. Berteriak bak revolusioner sejati, meminjam nama komunitasnya, menjual rakyat tertindas, tetapi melenakan diri sendiri bak bos besar yang tinggal perintah. Dari tidak adanya kemauan, sehingga tidak memiliki kemampuan melayani diri sendiri.
Sudah banyak terjadi, setelah melewati beberapa tahap perjuangan, akhirnya mendapatkan kursi dalam pemerintahan. Tetapi dengan mudah mengkhianati rakyatnya, melupakan tujuan semula yang dianggap mulia, dengan mudah digoyahkan oleh keindahan dan kemewahan sebab tidak kuat tertanam di dalam diri sebagai pribadi yang baik yang meneladani.
Si B tidak setuju dengan konsep Si A, yaitu melayani diri sendiri. Mengapa? Barangkali Si B mengidap penyakit tertentu sehingga memiliki ketakutan tidak bisa melakukan segala hal sendirian ketika datang sakitnya. Padahal melayani diri sendiri itu tentu memiliki pengecualian bagi yang sakit. Di situlah kepedulian diuji, kebersamaan diterapkan. Bisa jadi Si B merasa tidak nyaman dengan
konsep itu, sebab ia pemalas yang sukanya dimanja dan diladeni. Atau bisa juga Si B ini type seorang majikan yang lebih suka menyuruh atau
memberi perintah. Seperti contoh misalnya peraturan pemerintah yang melarang masyarakat membuang sampah
sembarangan dengan ancaman denda dan pidana. Tentu masyarakat yang punya kebiasaan membuang sampah tidak
pada tempatnya, akan merasa gerah dengan peraturan ini. Contoh lain misalnya peraturan
pemerintah tentang larangan merokok di tempat umum atau kampanye-kampanye bahaya merokok. Tentu para perokok tidak setuju sebab mengganggu kesenangannya, maka mereka akan menentang dengan berbagai macam argumentasi, hingga membuat apologi bahwa merokok adalah hak, merokok bukan kriminal.Beberapa orang mampu menyelesaikan hal-hal besar di luar sana, tetapi tak terlihat memberikan efek pada perubahan, sebab masih banyak yang melewatkan hal-hal kecil itu dan tidak segera melakukan perbaikan. Sebab tidak mampu bertanggung jawab dalam lingkup terkecil di tempat tinggalnya. Menyerukan gotong royong ke seluruh penjuru, tetapi masih mengandalkan orang lain. Berteriak bak revolusioner sejati, meminjam nama komunitasnya, menjual rakyat tertindas, tetapi melenakan diri sendiri bak bos besar yang tinggal perintah. Dari tidak adanya kemauan, sehingga tidak memiliki kemampuan melayani diri sendiri.
Sudah banyak terjadi, setelah melewati beberapa tahap perjuangan, akhirnya mendapatkan kursi dalam pemerintahan. Tetapi dengan mudah mengkhianati rakyatnya, melupakan tujuan semula yang dianggap mulia, dengan mudah digoyahkan oleh keindahan dan kemewahan sebab tidak kuat tertanam di dalam diri sebagai pribadi yang baik yang meneladani.
Saya setuju dengan konsep Si A bahwa semua dimulai dari diri sendiri. Tetapi Si B tidak setuju juga dengan konsep ini. Mengapa? Lagi-lagi ini terjadi akibat ketidak-nyamanan pada dirinya. Barangkali selama ini Si B hanya pandai berteori (tidak pernah berpraktek) dan cenderung mengesampingkan hal-hal kecil. Ya, bagaimana
kita bisa menyerukan “Z” jika kita tidak melakukan “Z”. Bagaimana kita bisa
mengajak orang untuk tidak melakukan penindasan jika kita sendiri melakukan
itu? Bagaimana mungkin kita bisa menciptakan generasi muda yang mandiri, jika
kita sendiri tidak mampu melayani diri sendiri? Kalau kita saja tidak mampu
melayani diri sendiri, bagaimana kita bisa melayani banyak orang? Jika
mengurusi satu rumah saja tidak mampu, bagaimana bisa mengurusi rumah tangga
yang besar yang disebut negara?
Ada lelucon satir yang dibawa teman saya dari Singapura, katanya, kalau orang Jepang, sedikit bicara banyak kerja. Kalau orang Cina, banyak bicara banyak kerja. Kalau orang Indonesia, lain yang dibicarakan, lain yang dikerjakan. Begitulah kondisi umum yang terjadi pada masyarakat kita.
Ada lelucon satir yang dibawa teman saya dari Singapura, katanya, kalau orang Jepang, sedikit bicara banyak kerja. Kalau orang Cina, banyak bicara banyak kerja. Kalau orang Indonesia, lain yang dibicarakan, lain yang dikerjakan. Begitulah kondisi umum yang terjadi pada masyarakat kita.
Sebagai kumpulan orang-orang yang berorganisasi, tentu mereka akan mengajak masyarakat
untuk bergabung dan berjuang bersama. Mereka akan melakukan pengorganisiran
dari kampung ke kampung, dari pabrik ke pabrik atau dari kampus ke kampus. Dan sebagai orang awam yang belum pernah bersentuhan dengan organisasi, apa yang bisa mereka lihat dari
orang-orang yang dianggap “sadar” dan pintar? Jelas bukan kerja-kerja di depan komputer, urusan surat-menyurat, atau hubungan dengan instansi pemerintah, melainkan hal-hal sederhana yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Perilaku keseharian mereka. Jika mereka berteriak anti penindasan, sementara mereka main perintah atau membiarkan seseorang mengerjakan semua sendirian tanpa ada kepedulian untuk membantu, apakah masyarakat awam percaya bahwa perjuangan yang mereka lakukan adalah perjuangan bersama? Jika mereka berteriak lantang: anti kapitalisme, lawan imperialisme, sementara mereka sendiri mendukung sistem itu melalui perilakunya yang hedonisme, konsumerisme, apakah masyarakat awam akan percaya
dengan yang mereka perjuangkan?
Ada satu titik dimana seseorang menyadari kekeliruannya hingga
merasa muak dengan perilaku buruknya. Di situlah manusia mengalami perubahan
menjadi pribadi yang lebih baik. Inilah kesuksesan yang
dicapai manusia secara spiritual.
Yang kecil-kecil itu adalah latihan untuk menuju yang besar.
Jika hal-hal kecil sudah kita lakukan dengan baik, tentu akan menjadi kebiasaan yang
baik, sehingga kita tidak perlu alergi ketika orang lain membahas hal-hal
kecil sebab kita sudah mampu melaluinya. Menyelesaikannya. Jika kita sudah menyadari itu tentu
kita setuju, bahwa perbaikan keadaan tidak akan terwujud tanpa tindakan 3M:
- Mulai dari yang kecil
- Mulai dari diri sendiri
- Mulai dari sekarang!
Kita boleh berpikir besar, tetapi selalu dimulai dari yang
kecil. Think Big, Start Small.
(Selesai)