Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Thursday, October 1, 2015

Mendalami Makna Gotong Royong (Bagian 2)


“Karut-marut di negeri ini akibat terlalu banyak yang mengurusi hal-hal besar saja. Mereka melupakan untuk memperbaiki hal-hal kecil. Padahal hal-hal kecil itulah yang bisa membangun hal-hal besar. Kuat-rapuhnya pondasi bangsa ini tak lepas dari pondasi yang ada di rumah setiap warga.” 
~ Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto (1932 – 2013) ~ 
(https://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/20/kisah-prof-sutandyo-hidup-sederhana-tidak-memiliki-rumah/)


Gotong Royong Adalah Kemanusiaan

Seringkali orang salah menafsirkan, bahwa segala pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama dianggap gotong royong, padahal tidak selalu demikian. Jika kita mau mendalami, tentu kita punya pertanyaan-pertanyaan: Apakah dalam melakukan pekerjaan bersama itu ada pihak-pihak lain yang dirugikan? Motivasi menolongnya itu apa? Karena sungkan (merasa tidak enak) atau karena mengharap pujian, atau berharap suatu waktu nanti mendapat balasan pertolongan?

Siapa pun tentu tahu, bahwa membantu atau menolong tidak hanya memberikan tenaga kita secara cuma-cuma. Kita juga bisa membagi sesuatu yang kita punya. Tetapi kegiatan membagi atau saling berbagi pun tidak serta-merta dikatakan gotong royong. Jika kita mau mengupas lebih dalam, kita juga tentu punya pertanyaan-pertanyaan: Yang dibagikan itu apa? Berakibat baik atau buruk? Sumbernya dari mana? Mengambil hak orang lain atau tidak? Motivasi berbaginya itu apa? Hitung-hitungankah?

Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu mengandung cinta, itulah gotong royong. Sebab gotong royong didasari oleh cinta, dimana rasa akan tergetar untuk berbuat sesuatu. Cinta yang tak meminta syarat. Cinta terhadap sesama manusia, yaitu kemanusiaan. Cinta memiliki nilai yang lebih besar dari sekedar bersikap adil, sebab adil belum tentu cinta. Tetapi dengan cinta kita pasti ingin berbuat adil seadil-adilnya. Dan ciri-ciri masyarakat gotong royong, adalah masyarakat yang respect pada harkat dan martabat manusia. Tidak membiarkan dekandensi moral yang akan mengganggu suasana saling menghormati harkat dan martabat masing-masing.

Mulai dari yang Kecil, Mulai dari Diri Sendiri

Menanggapi perdebatan di atas, saya setuju dengan istilah yang digunakan Si A, bahwa gotong royong tidak memilih, kepedulian tidak memilih. Saya juga sependapat bahwa dalam hidup berkolektif ya segala sesuatu haruslah dikerjakan bersama-sama. Jika seseorang terbiasa dimanja, dilayani oleh keluarganya, kebiasaan itu harus ditinggalkan ketika memilih hidup bersama dengan teman-temannya. Tidak ada manusia yang tidak bisa berubah, bahkan karakter yang buruk pun bisa diubah jika ada kemauan untuk mengubahnya, sebab manusia dibekali otak yang super komputer. Kita mengenal istilah adaptasi, tentu dengan situasi dan kondisi yang berbeda manusia bisa melakukan itu. Binatang saja mampu beradaptasi, mengapa manusia tidak? Bukankah manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna sebab memiliki akal budi? 

Menagih gotong royong bukan berarti tidak ikhlas melakukan pekerjaan sendirian. Bisa saja itu terjadi, tetapi tidak selalu, sebab tidak ada manusia yang benar-benar terbebas dari rasa ikhlas. Pun tidak ada manusia yang seratus persen ikhlas sepanjang hidupnya. Si B yang tampak sabar, adakah dia selalu merasa ikhlas? Tidak. Tentu ada hal-hal yang tidak bisa diikhlaskan. Satu-satunya yang pasti diiklaskan oleh manusia adalah saat nongkrong di Water Closed

Menagih gotong royong bukan berarti hitung-hitungan tenaga, sebab kebiasaan yang dibiarkan atau dilakukan dengan sengaja membebankan tanggung jawab kita kepada orang lain, sama saja dengan melakukan penindasan. Membiarkannya sama dengan tidak mendidik. Apalagi sebagai orang yang mengaku Pancasilais, jika tidak sekedar berteori, tentu tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Dan dalam mini magazine yang saya baca, ada statement anti penindasan, cita-cita menuju kesetaraan, maka membiarkan adanya panindasan dalam bentuk sekecil apa pun sama dengan mendukung adanya klas-klas. Ada klas penindas, ada klas yang ditindas. Ada klas majikan, ada klas pesuruh. Melanggengkan patron-klien. 

Kebanyakan masyarakat kita meremehkan hal-hal kecil yang dianggap sepele. Padahal hal-hal sepele bisa berakibat fatal, sebab tidak pernah dipikirkan. Hal-hal kecil yang tidak dibenahi akan mengganggu kerja-kerja besar dan akan menghambat langkah ke depan. Bukankah sesuatu yang besar berasal dari yang kecil? Pribadi yang baik diciptakan dari kondusifnya rumah tangga. Seperti membuat bangunan, seseorang mesti membuat dulu pondasinya. Jika pondasinya yang terdiri dari bagian-bagian yang kecil tidak dipikirkan kekuatannya, bagaimana mampu menopang yang besar? Jika pondasinya saja rapuh, bagaimana mungkin bangunan yang besar memiliki kekuatan?

Beberapa orang mampu menyelesaikan hal-hal besar di luar sana, tetapi tak terlihat memberikan efek pada perubahan, sebab masih banyak yang melewatkan hal-hal kecil itu dan tidak segera melakukan perbaikan. Sebab tidak mampu bertanggung jawab dalam lingkup terkecil di tempat tinggalnya. Menyerukan gotong royong ke seluruh penjuru, tetapi masih mengandalkan orang lain. Berteriak bak revolusioner sejati, meminjam nama komunitasnya, menjual rakyat tertindas, tetapi melenakan diri sendiri bak bos besar yang tinggal perintah. Dari tidak adanya kemauan, sehingga tidak memiliki kemampuan melayani diri sendiri.  
 
Sudah banyak terjadi, setelah melewati beberapa tahap perjuangan, akhirnya mendapatkan kursi dalam pemerintahan. Tetapi dengan mudah mengkhianati rakyatnya, melupakan tujuan semula yang dianggap mulia, dengan mudah digoyahkan oleh keindahan dan kemewahan sebab tidak kuat tertanam di dalam diri sebagai pribadi yang baik yang meneladani.

Si B tidak setuju dengan konsep Si A, yaitu melayani diri sendiri. Mengapa? Barangkali Si B mengidap penyakit tertentu sehingga memiliki ketakutan tidak bisa melakukan segala hal sendirian ketika datang sakitnya. Padahal melayani diri sendiri itu tentu memiliki pengecualian bagi yang sakit. Di situlah kepedulian diuji, kebersamaan diterapkan. Bisa jadi Si B merasa tidak nyaman dengan konsep itu, sebab ia pemalas yang sukanya dimanja dan diladeni. Atau bisa juga Si B ini type seorang majikan yang lebih suka menyuruh atau memberi perintah. Seperti contoh misalnya peraturan pemerintah yang melarang masyarakat membuang sampah sembarangan dengan ancaman denda dan pidana. Tentu masyarakat yang punya kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya, akan merasa gerah dengan peraturan ini. Contoh lain misalnya peraturan pemerintah tentang larangan merokok di tempat umum atau kampanye-kampanye bahaya merokok. Tentu para perokok tidak setuju sebab mengganggu kesenangannya, maka mereka akan menentang dengan berbagai macam argumentasi, hingga membuat apologi bahwa merokok adalah hak, merokok bukan kriminal.

Saya setuju dengan konsep Si A bahwa semua dimulai dari diri sendiri. Tetapi Si B tidak setuju juga dengan konsep ini. Mengapa? Lagi-lagi ini terjadi akibat ketidak-nyamanan pada dirinya. Barangkali selama ini Si B hanya pandai berteori (tidak pernah berpraktek) dan cenderung mengesampingkan hal-hal kecil. Ya, bagaimana kita bisa menyerukan “Z” jika kita tidak melakukan “Z”. Bagaimana kita bisa mengajak orang untuk tidak melakukan penindasan jika kita sendiri melakukan itu? Bagaimana mungkin kita bisa menciptakan generasi muda yang mandiri, jika kita sendiri tidak mampu melayani diri sendiri? Kalau kita saja tidak mampu melayani diri sendiri, bagaimana kita bisa melayani banyak orang? Jika mengurusi satu rumah saja tidak mampu, bagaimana bisa mengurusi rumah tangga yang besar yang disebut negara?

Ada lelucon satir yang dibawa teman saya dari Singapura, katanya, kalau orang Jepang, sedikit bicara banyak kerja. Kalau orang Cina, banyak bicara banyak kerja. Kalau orang Indonesia, lain yang dibicarakan, lain yang dikerjakan. Begitulah kondisi umum yang terjadi pada masyarakat kita.

Sebagai kumpulan orang-orang yang berorganisasi, tentu mereka akan mengajak masyarakat untuk bergabung dan berjuang bersama. Mereka akan melakukan pengorganisiran dari kampung ke kampung, dari pabrik ke pabrik atau dari kampus ke kampus. Dan sebagai orang awam yang belum pernah bersentuhan dengan organisasi, apa yang bisa mereka lihat dari orang-orang yang dianggap “sadar” dan pintar? Jelas bukan kerja-kerja di depan komputer, urusan surat-menyurat, atau hubungan dengan instansi pemerintah, melainkan hal-hal sederhana yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Perilaku keseharian mereka. Jika mereka berteriak anti penindasan, sementara mereka main perintah atau membiarkan seseorang mengerjakan semua sendirian tanpa ada kepedulian untuk membantu, apakah masyarakat awam percaya bahwa perjuangan yang mereka lakukan adalah perjuangan bersama? Jika mereka berteriak lantang: anti kapitalisme, lawan imperialisme, sementara mereka sendiri mendukung sistem itu melalui perilakunya yang hedonisme, konsumerisme, apakah masyarakat awam akan percaya dengan yang mereka perjuangkan?

Ada satu titik dimana seseorang menyadari kekeliruannya hingga merasa muak dengan perilaku buruknya. Di situlah manusia mengalami perubahan menjadi pribadi yang lebih baik. Inilah kesuksesan yang dicapai manusia secara spiritual.

Yang kecil-kecil itu adalah latihan untuk menuju yang besar. Jika hal-hal kecil sudah kita lakukan dengan baik, tentu akan menjadi kebiasaan yang baik, sehingga kita tidak perlu alergi ketika orang lain membahas hal-hal kecil sebab kita sudah mampu melaluinya. Menyelesaikannya. Jika kita sudah menyadari itu tentu kita setuju, bahwa perbaikan keadaan tidak akan terwujud tanpa tindakan 3M:
      -  Mulai dari yang kecil
      - Mulai dari diri sendiri
      -  Mulai dari sekarang! 

Kita boleh berpikir besar, tetapi selalu dimulai dari yang kecil. Think Big, Start Small. 

(Selesai)


(Tebet Dalam, 10 September 2015)


No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates