Berita buruk itu … tidakkah mampir di telinganya? Berhari-hari
menjadi headline news di TV, di radio, bahkan di mulut-mulut yang berceloteh.
Tidakkah terbaca matanya? Beberapa kali aku lihat, ia rajin membaca koran pagi.
Menjadi berita utama. Tertulis besar-besar “Hilangnya pesawat Air
Asia …” Dan tepat di penghujung tahun 2014 tersiar kabar, ditemukannya bangkai
Air Asia yang hilang beserta para korban: 155 penumpang, 7 awak pesawat. Belum
semua.
Sehari sebelumnya kami sudah siapkan sayur-mayur untuk dimasak, ikan untuk dibakar, akan kami eksekusi bersama pada malam tahun baru. Tentu
sebelum terdengar berita duka itu. Jika kabar itu sudah terdengar, tentu aku tidak akan turut merayakan tahun baruan. Tapi aku sudah janji datang. Aku lalu membayangkan, kami akan membuat
lingkaran. Di hadapan kami ada makanan yang sudah matang dan siap kami santap
bersama. Kami akan buat semacam sarasehan dibalut suasana keprihatinan. Ada
diskusi ringan, ada do’a-do’a untuk para korban: semoga yang meninggalkan
mendapat ketenangan, dan yang ditinggalkan diberi ketabahan, lalu diakhiri
dengan merefleksikan apa saja yang sudah kami lakukan selama setahun ini. Apa
yang salah. Apa yang perlu dibenahi.
Suasana batinku masih dibalut mendung sejak pagi. Beberapa
kali pandanganku kabur, sebab air bening menggenangi mata. Ingat berita yang kubaca.
Ingat ekspresi wajah orang-orang yang ditinggalkan: menangis, histeris. Dan
mereka tahu, atau tak mau tahu pada orang-orang yang kehilangan keluarganya?
Sementara aku menahan sedih, seseorang merengek minta
dibelikan mercon. Sementara aku menahan air mataku agar tak kembali jatuh, ia (seseorang
itu) berjingkrak-jingkrak kegirangan. Teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, berfoto ria
di antara para pembakar ikan dan para penyemangat yang sesekali membantu.
Suasana gembira terus ia kobarkan, sebab ia tak berhenti mendapat dukungan.
Tertawa dan tertawa …
Apakah ia menganggap bahwa ia tak perlu berempati sebab para
korban itu bukan keluarganya? Ya, banyaknya usia dan tingginya pendidikan memang
tak bisa dijadikan ukuran seseorang untuk menjadi dewasa dan memiliki empati. Ini
masalah kepekaan rasa. Seorang anak pun kadang bisa lebih peka dari orang dewasa.
Aku pernah membaca kata-kata puitis berlatar keprihatinan yang ia
sebarkan di medsos, tapi ternyata itu tak berarti ia benar-benar berempati.
Serupa pencitraan. Berpura-pura, sekedar untuk mendapatkan jempol. Dan ia
semakin bangga dengan kepura-puraannya, sebab banyak komentator yang mampir untuk
memujinya. Ya, hanya orang-orang yang berkacalah yang bisa merasakan penderitaan
orang lain dan akan menjadi kata-kata itu sendiri. Sebab kata-katanya adalah
tindakannya.
Aku merasa suasana batinku tidak sinkron dengan suasana yang
aku hadapi. Aku ingin pergi meninggalkan hiruk-pikuk dan tawa-canda yang
didukung ketidak-pedulian warga kota. Kembang api yang ditembakkan dari segala
arah sebelum waktunya berdebum-debum di udara. Langit terang dengan warna-warni
nyala apinya. Pelan aku melangkah pulang seusai pamit dan mengucap: selamat
tahun baru, teman-teman … yang kemudian aku lanjutkan dalam hati saja: semoga
dalam waktu dekat, kau tidak ditinggalkan oleh orang terdekat yang kau sayangi
…
(TTD, 11 Januari 2015)
***
Tak ada yang tahu kapan bencana datang. Tak ada yang tahu batas
hidup manusia. Kematian adalah rahasia. Kematian adalah kebahagiaan abadi bagi
yang mati, tetapi bencana bagi yang ditinggalkan. Sebab orang-orang terdekat
dan yang pernah dekat akan menghujani waktu demi waktu dengan air mata. Bukan untuk yang mati, melainkan untuk dirinya. Menangisi
dirinya sendiri.
Beberapa bulan berselang aku mendengar kabar, ia menjatuhkan
tubuhnya di lantai, menangis menggelung-gelung dengan handphone yang masih tergenggam
di tangannya. Ia yang merantau di kota besar, jauh dari keluarganya, mendapat
berita: ibunya meninggal dunia secara mendadak …
(Tebet Dalam, 19 Mei 2015)
***
Dia, bu ... seseorang yang aku ceritakan itu yang pernah menyerangku ketika aku panik menunggu waktu. Ketika aku fokus memikirkanmu. Hanya beberapa jam saja, rasanya aku tak sabar menuju bandara dimana pesawat akan membawaku terbang ke Surabaya. Pulang. Menjengukmu. Ibu yang saat itu berada di rumah sakit tak sadarkan diri, lalu masuk ruang ICU. Dan hari ini, tepat saat tulisan ini aku terbitkan adalah hari jadimu yang ke-67. Selamat ulang tahun, ibu ... sehat dan bahagialah selalu ...
(Tebet Dalam, 11 November 2015)
***
Dia, bu ... seseorang yang aku ceritakan itu yang pernah menyerangku ketika aku panik menunggu waktu. Ketika aku fokus memikirkanmu. Hanya beberapa jam saja, rasanya aku tak sabar menuju bandara dimana pesawat akan membawaku terbang ke Surabaya. Pulang. Menjengukmu. Ibu yang saat itu berada di rumah sakit tak sadarkan diri, lalu masuk ruang ICU. Dan hari ini, tepat saat tulisan ini aku terbitkan adalah hari jadimu yang ke-67. Selamat ulang tahun, ibu ... sehat dan bahagialah selalu ...
(Tebet Dalam, 11 November 2015)
No comments:
Post a Comment