Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Wednesday, November 11, 2015

' Kepekaan Rasa '



Berita buruk itu … tidakkah mampir di telinganya? Berhari-hari menjadi headline news di TV, di radio, bahkan di mulut-mulut yang berceloteh. Tidakkah terbaca matanya? Beberapa kali aku lihat, ia rajin membaca koran pagi. Menjadi berita utama. Tertulis besar-besar “Hilangnya pesawat Air Asia …” Dan tepat di penghujung tahun 2014 tersiar kabar, ditemukannya bangkai Air Asia yang hilang beserta para korban: 155 penumpang, 7 awak pesawat. Belum semua. 

Sehari sebelumnya kami sudah siapkan sayur-mayur untuk dimasak, ikan untuk dibakar, akan kami eksekusi bersama pada malam tahun baru. Tentu sebelum terdengar berita duka itu. Jika kabar itu sudah terdengar, tentu aku tidak akan turut merayakan tahun baruan. Tapi aku sudah janji datang. Aku lalu membayangkan, kami akan membuat lingkaran. Di hadapan kami ada makanan yang sudah matang dan siap kami santap bersama. Kami akan buat semacam sarasehan dibalut suasana keprihatinan. Ada diskusi ringan, ada do’a-do’a untuk para korban: semoga yang meninggalkan mendapat ketenangan, dan yang ditinggalkan diberi ketabahan, lalu diakhiri dengan merefleksikan apa saja yang sudah kami lakukan selama setahun ini. Apa yang salah. Apa yang perlu dibenahi. 

Suasana batinku masih dibalut mendung sejak pagi. Beberapa kali pandanganku kabur, sebab air bening menggenangi mata. Ingat berita yang kubaca. Ingat ekspresi wajah orang-orang yang ditinggalkan: menangis, histeris. Dan mereka tahu, atau tak mau tahu pada orang-orang yang kehilangan keluarganya? 

Sementara aku menahan sedih, seseorang merengek minta dibelikan mercon. Sementara aku menahan air mataku agar tak kembali jatuh, ia (seseorang itu) berjingkrak-jingkrak kegirangan. Teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, berfoto ria di antara para pembakar ikan dan para penyemangat yang sesekali membantu. Suasana gembira terus ia kobarkan, sebab ia tak berhenti mendapat dukungan. Tertawa dan tertawa … 

Apakah ia menganggap bahwa ia tak perlu berempati sebab para korban itu bukan keluarganya? Ya, banyaknya usia dan tingginya pendidikan memang tak bisa dijadikan ukuran seseorang untuk menjadi dewasa dan memiliki empati. Ini masalah kepekaan rasa. Seorang anak pun kadang bisa lebih peka dari orang dewasa. Aku pernah membaca kata-kata puitis berlatar keprihatinan yang ia sebarkan di medsos, tapi ternyata itu tak berarti ia benar-benar berempati. Serupa pencitraan. Berpura-pura, sekedar untuk mendapatkan jempol. Dan ia semakin bangga dengan kepura-puraannya, sebab banyak komentator yang mampir untuk memujinya. Ya, hanya orang-orang yang berkacalah yang bisa merasakan penderitaan orang lain dan akan menjadi kata-kata itu sendiri. Sebab kata-katanya adalah tindakannya. 

Aku merasa suasana batinku tidak sinkron dengan suasana yang aku hadapi. Aku ingin pergi meninggalkan hiruk-pikuk dan tawa-canda yang didukung ketidak-pedulian warga kota. Kembang api yang ditembakkan dari segala arah sebelum waktunya berdebum-debum di udara. Langit terang dengan warna-warni nyala apinya. Pelan aku melangkah pulang seusai pamit dan mengucap: selamat tahun baru, teman-teman … yang kemudian aku lanjutkan dalam hati saja: semoga dalam waktu dekat, kau tidak ditinggalkan oleh orang terdekat yang kau sayangi …


(TTD, 11 Januari 2015)

***

Tak ada yang tahu kapan bencana datang. Tak ada yang tahu batas hidup manusia. Kematian adalah rahasia. Kematian adalah kebahagiaan abadi bagi yang mati, tetapi bencana bagi yang ditinggalkan. Sebab orang-orang terdekat dan yang pernah dekat akan menghujani waktu demi waktu dengan air mata. Bukan untuk yang mati, melainkan untuk dirinya. Menangisi dirinya sendiri. 

Beberapa bulan berselang aku mendengar kabar, ia menjatuhkan tubuhnya di lantai, menangis menggelung-gelung dengan handphone yang masih tergenggam di tangannya. Ia yang merantau di kota besar, jauh dari keluarganya, mendapat berita: ibunya meninggal dunia secara mendadak … 


(Tebet Dalam, 19 Mei 2015)

***

Dia, bu ... seseorang yang aku ceritakan itu yang pernah menyerangku ketika aku panik menunggu waktu. Ketika aku fokus memikirkanmu. Hanya beberapa jam saja, rasanya aku tak sabar menuju bandara dimana pesawat akan membawaku terbang ke Surabaya. Pulang. Menjengukmu. Ibu yang saat itu berada di rumah sakit tak sadarkan diri, lalu masuk ruang ICU. Dan hari ini, tepat saat tulisan ini aku terbitkan adalah hari jadimu yang ke-67. Selamat ulang tahun, ibu ... sehat dan bahagialah selalu ...


(Tebet Dalam, 11 November 2015)

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates