Kalau saja aku bisa menemuimu melalui mimpi aku ingin bertanya,
pernahkan kau minta mati? Bukan saat leukimia datang menyerangmu, tapi
ketika kau dalam keadaan sehat. Segar bugar.
Tujuh tahun
kita tak ketemu. Aku masih ingat semua kebaikanmu. Kau bahkan terlalu
baik, mbak. Terlalu sabar. Berapa kali diselingkuhi suamimu, kau
maafkan. Berapa kali dibuat malu, kau tetap bertahan. Barangkali kau
marah juga, tapi tak lama. Hanya ngomel-ngomel sebentar, lalu berdamai.
Aku tahu sifatmu. Mulutmu tak kenal caci maki. Bahasamu tak pernah
kasar. Rasanya tak terhitung kekerasan psikis yang kau dapatkan, tapi
kau tak pernah memutus kepercayaan. Itu sebabnya pengkhianatan demi
pengkhianatan terus diulangi. Kau biarkan kemanusiaanmu diinjak mati.
Kau masih muda, mbak. Cantik. Kau bisa tinggalkan suamimu yang jauh
lebih tua itu untuk mendapatkan lelaki yang benar-benar mencintaimu.
Tapi tak kau lakukan itu. Kau tetap saja setia menemaninya dan menolak
dua lelaki yang menemuimu saat sendiri. Di rumah, di tempat kerja.
Secara ekonomi kau tidak bergantung. Kau sudah mandiri meskipun hanya
seorang buruh pabrik. Nyatanya kau sanggup memenuhi kebutuhanmu,
anak-anakmu, bahkan kebutuhan suamimu saat ia nganggur. Rokoknya,
bensinnya, cicilan motornya, dan lain-lainnya meski kadang kau harus berhutang. Tapi semua akan terbayar saat kau panen lembur.
Aku masih ingat
bentuk parasmu. Bibirmu, hidungmu, pipimu, matamu. Kulitmu bersih. Aku
belum lupa meski tujuh tahun tak melihatmu. Kecantikan alami perempuan
Jawa dan keluguan gadis desa masih melekat.
Kau tahu, mbak, aku
masih mengherankanmu yang tak pernah berprasangka. Tak punya firasat.
Sedikit pun kau tak peka terhadap gejala negatif di sekitarmu. Jauh hari
aku sudah merasa, tapi kau tak merasa. Semakin jelas gejala itu semakin
aku sedih melihat keadaanmu. Tapi mulutku sulit bicara. Aku sudah coba
memancingmu dengan menggambarkan situasi yang seharusnya kau waspadai,
tapi kau tak nyambung juga.
Perempuan itu ada di samping
kamarmu, lewat satu kamar lagi. Perempuan yang kerap kau tawari makan
bersama di kamarmu, seperti aku. Perempuan yang kerap nonton TV di
kamarmu. Yang akrab dengan anak-anakmu. Yang pernah kulihat menyelinap
pagi-pagi ketika kau berangkat kerja dan dia mangkir, lalu tidur
bersama lelakimu sewaktu anak-anakmu masih pulas. Kau tahu dan tak
curiga melihat suamimu kerap bertandang ke kamarnya. Tapi apa kau juga
tahu kalau lelakimu kerap mandi di sana? Sewaktu kau mencarinya
dan bertanya pada tetangga sebelah, aku tahu dia ada di dalam kamar
itu. Tapi mulutku terkunci sebab pintu itu terkunci. Sekali kulihat
mereka berduaan di bawah tangga, gelap-gelapan, sewaktu aku pergi ke warung. Kau selalu
ketiduran saat nonton TV. Aku tahu, mbak, kau kelelahan sebab lembur
tak habis-habis. Pagi-pagi sekali kau harus bangun, belanja, masak
(untuk anak dan suamimu di rumah, juga untuk bekalmu di pabrik).
Suatu malam aku pernah memergoki lelakimu masuk ke kamar perempuan itu.
Kamarku dalam perbaikan, aku terpaksa ngungsi tidur di sana. Beruntung
aku belum pulas benar ketika pintu terbuka. Kaget setengah mati melihatnya masuk, cepat aku bangun menutupi bagian dadaku dengan bantal. Ia kaget juga sewaktu melihatku ada di dalam, langsung keluar tutup
pintu.
"Kenapa pintu nggak dikunci sih?" Tanyaku protes. "Sembrono amat lo jadi orang."
"Nggak papa cuma si babe ini. Sudah biasa dia mah."
"Enak aja ngomong, lo kan tahu gua tidurnya nggak pakai BH.
Sembarangan." Aku sedikit emosi. "Ya udahlah kalau pintu nggak lo kunci,
mending gua tidur di kamar sebelah biar banyak orang juga. Daripada di
sini nggak tenang gua."
"Ri ... jangan, Ri ... tidur sini aja ..."
"Ya kalau gitu kunci pintunya dong."
"Ya udah, kunci aja."
Pintu kukunci.
Tapi tahukah, mbak, aku masih saja tak tenang tidur. Entah kenapa aku
tak percaya pada perempuan itu. Aku takut saat tertidur nanti, lelakimu
mengetuk pintu, lalu dibukanya. Bolak-balik badanku, kelap-kelip
mataku. Baru bisa merem menjelang pagi ketika kulihat perempuan itu
sudah pulas dan kuperkirakan si babe tak datang lagi.
Aman sampai pagi.
Di suatu malam lagi aku pernah merasa aneh ketika lampu teras tetiba
padam. Tak biasanya. Kalau putus pasti cuma satu, masak bebarengan?
Ada dua kemungkinan, sengaja dipadamkan atau kepencet. Mau keluar
nyalakan lampu, takut. Kau kan tahu, saklar ada di ujung samping
tangga. Jauh dari kamarku yang di sudut. Sudah tengah malam. Tak
kudengar lagi suara TV yang menyala. Tak kudengar lagi suara manusia di
luar sana. Kubiarkan saja. Ada sedikit berisik di depan kamarku,
aku intip dari jendela ternyata suamimu. Aku bisa melihat jelas sebab lampu kamar selalu kupadamkan menjelang tidur. Heran, tumben si babe tidur di sini? Biasanya di
depan kamarnya sendiri. Aku jadi makin takut. Cerita tentang babe dengan istri pak haji di kampung sebelah sudah santer terdengar. Aku juga ingat waktu baru
pindah babe pernah datang ke kamarku dan cerita tentangmu, katanya, kau pernah
selingkuh, kau perempuan nggak bener tapi babe diam saja. Dia
menilai dirinya sebagai lelaki yang super sabar.
Ngemong. Aku segera menangkap maksudnya. Dia ingin mendapat simpatiku. Aku
tidak mudah dirayu, mbak. Aku tidak buta. Meski aku belum mengenalmu
lebih jauh, dari dasar hatiku tak percaya kau begitu. Mataku bilang, kau bukan
perempuan genit. Kau bahkan lugu selugu-lugunya. Dia juga pernah bilang
kalau kau dulu tergabung dalam grup musik. Kau seorang gitaris. Sewaktu
kutanya kau malah tertawa geli, kau tak bisa main musik apa pun.
Berarti suamimu memang pintar ngarang cerita. Tukang bohong.
Esoknya aku
masih memikirkan keherananku tentang lelakimu yang tidur di depan kamarku.
Perasaanku tak enak. Aku lantas coba menyelidiki di sekitar area, siapa tahu dapat jawaban. Kau tahu, mbak, apa yang
kutemukan? Bukan bekas tapak kaki sesiapa sebab lantainya sungguh
bersih. Aku selalu mengepel dari sudut hingga ujung. Semua teras
tetangga jadi bersih, termasuk terasmu. Tapi biar begitu, namanya juga
di luar pintu. Terbuka. Tentu saja ada debu. Dan diantara debu-debu
halus yang terbawa angin itu aku mendapati
jembut. Ya,
jembut,
mbak, banyaknya tiga helai kutemukan dekat pintu kamarku. Aku jadi
curiga mereka tidur bersama malam itu. Ya, di teras depan kamarku, tanpa
alas apalagi kasur. Dan aku semakin yakin ketika seseorang
yang kebetulan malam itu numpang tidur di kamar perempuan itu mengaku sewaktu kutanya, ia keluar tengah malam ke sudut bangunan. Lama
baru kembali, menjelang subuh. Aku lantas katakan keherananku tentang
suamimu, tapi tanggapanmu
enteng saja seolah tak ada yang perlu dikuatirkan.
"Sudah biasa ... bapaknya memang sukanya begitu. Nggak betah tidur di
dalam. Panas, katanya. Namanya juga kamar sepetak isinya empat orang,
belum lagi barang-barangnya banyak."
"Tapi ini di depan kamarku, mbak ... Kamarku di sudut, kamarmu dekat jalanan, artinya apa?"
"Nggak tahu."
"Mbak nggak ngerasa ada yang aneh?"
"Enggak. Cuma jam empat pagi dia bangunin aku minta dimasakin mie goreng tiga bungkus. Katanya, laper banget. Biasanya sih nggak pernah."
Ya ampun, mbak ... Itu artinya biar nggak kelihatan kalau ada orang yang lalu-lalang di jalanan. Gemasku hanya tersampai dalam hati. Mataku lekat menatap matamu.
Akhirnya perempuan itu hamil, kau pun tak tahu. Ia coba membodohiku, katanya, sedang tak enak badan. Beberapa hari itu ia memang muntah-muntah, tak masuk kerja. Ia keluhkan juga semua badannya yang nyeri akibat haid yang tidak datang pada waktunya. Lalu segala macam jamu dan obat, juga nanas muda dikonsumsi untuk ngobati sakitnya. Mengapa nanas muda juga? Aku tidak sanggup lagi nahan emosi.
"Jujur aja lo, lo hamil kan?"
Seketika lehernya seperti tak bertulang. Kepalanya jatuh. Tunduk. Ia tak sanggup menatap mataku seperti terdakwa dalam persidangan.
"Tik, jawab! Lo hamil sama babe kan? Jangan dikira gua diem
selama ini gua nggak tahu. Lo bilang kalau babe udah biasa masuk
kamar lo malem-malem, apa itu gua anggap wajar? Babe itu orang lain. Bukan bapak lo, bukan saudara lo." Nadaku sedikit tinggi.
Ia melihatku sebentar, kembali menunduk. Matanya
kosong menatap lantai, lalu dialihkan pada kakinya. Satu jari iseng
menggosok-gosok tumitnya. Lama ia baru bersuara, lirih sekali. Mulutnya hampir tak terbuka. "Iya ..."
"Mata lo buta nggak lihat istrinya ada di situ, anak-anaknya
ada di situ? Lo diajak makan di rumahnya, dimasakin. Apa yang dia punya
dia bagi. Si mbak itu sebegitu baiknya sama lo, tapi lo tega
ngembat
lakinya. Nggak punya hati lo!"
Begitu aku memakinya, mbak.
Sarkasme. Sebab aku merasakan sakitmu. Juga malu. Bagaimana kalau yang punya kontrakan
tahu? Dia temanku. Aku yang membawanya sewaktu ada satu kamar kosong.
Sejak peristiwa itu pemilik kontrakan berkoar, tidak terima lagi anak gadis untuk pengontrak baru. Duh!
Setelah itu ia pulang kampung.
Kontrakannya ditinggal begitu saja. Kau masih tak tahu juga. Baru
sadar kehilangan satu tetangga setelah kakak lelakinya datang menemuimu,
mencari suamimu, meminta pertanggung-jawaban. Suamimu harus
menikahinya! Mendengar kabar itu si babe lantas kabur. Sembunyi. Tak
pulang-pulang. Tapi tak seperti Bang Toyib, sebab kau tak perlu menunggu
sampai tiga kali puasa, tiga kali Lebaran. Belum genap sebulan ia
tertangkap keamanan kampung sewaktu mengendap-endap pulang malam hari.
Yang seperti itu bukan pertama kali. Hanya kali itu tak cukup disidang
di rumah RT, lelakimu bahkan dibawa paksa ke kampung perempuan itu. Malam itu
juga kau pun turut dibawanya ke sana. Jam dua malam. Kau tak bisa berbuat
apa-apa. Kau relakan suamimu menikahi perempuan itu demi menghindari
hukuman penjara. Air matamu jatuh saat akad nikah yang kau saksikan di
depan mata.
Kalau saja aku bisa menemuimu melalui mimpi aku ingin
bertanya, pernahkan kau minta mati? Bukan saat leukimia datang
menyerangmu, tapi ketika kau dalam keadaan sehat. Segar bugar.
Seperti aku ...
(Tebet Dalam, 7 Juni 2016)
Selamat jalan, mbak. Beristirahatlah dalam damai. Kau telah menemukan kebahagiaanmu yang sejati.
|
Photo Source: Google Images |