Sejak saya mengetahui beberapa tahun yang lalu bahwa kalimat berbahasa Arab yang berbunyi: Minal aidin wal faizin itu artinya bukan permintaan maaf, saya tidak menggunakannya lagi sebagai ucapan di Hari Raya Idul Fitri. Ada dua kalimat yang biasa saya gunakan, itu pun saya bedakan kepada siapa saya berikan ucapan itu. Untuk orang-orang yang sekedar kenal atau baru bertemu, saya pilih: Selamat ber-Lebaran. Untuk orang-orang yang kenal dekat atau pernah dekat: Maaf lahir batin.
Tetapi beberapa tahun setelah saya temukan kesalahan yang saya dan banyak orang lakukan, beberapa tahun ini pun kesalahan itu masih terjadi di mana-mana. Salah kaprah. Salah kaprah yang berlangsung selama puluhan tahun. Saya ingat waktu masih sekolah banyak kartu Lebaran yang dijual di toko-toko menggunakan ucapan berbahasa Arab yang di-Indonesia-kan, kemudian disambung di bawahnya dengan Bahasa Indonesia. Begitu seterusnya dan diikuti oleh masyarakat kita. Tidak hanya itu, lagu-lagu yang dinyanyikan, media cetak mau pun elektronik juga melakukan hal yang sama, bahkan para tokoh agama, sehingga diasumsikan “Minal aidin wal faizin” artinya “Mohon maaf lahir dan batin”. Parahnya masyarakat kita yang terkenal latah itu hanya mengambil Bahasa Arab yang di-Indonesia-kan agar terkesan Islami. Padahal Bahasa Arab bukan bahasa kaum Muslim saja. Yang non Muslim, yang mereka kafirkan juga menggunakan Bahasa Arab, termasuk kitab-kitab non Muslim juga berbahasa Arab, sebab mereka penduduk Arab Saudi. Masyarakat kita tidak menyadari bahwa kalimat ucapan berbahasa Arab yang mereka gunakan itu tidak ada hubungannya dengan permintaan maafnya. Lalu apa arti yang sebenarnya? Baik, dari beberapa tulisan yang saya baca, artinya sebagai berikut:
- Al-aidin: Orang-orang yang kembali
- Wal: dan
- Al-faizin: Menang
Jadi jika dimaknai secara harfiah dari kalimat “Minal Aidin wal Faizin” dalam bahasa Indonesia menjadi: “Termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang”. Bukan “Maaf lahir dan batin”.
Tradisi Hari Raya Idul Fitri di Indonesia
Selain mempersiapkan segala kebutuhan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri seperti menyediakan kue-kue dan minuman, membeli pakaian baru, sandal/sepatu baru, mukena dan hijab terkini hingga gatget tercanggih dan bagi-bagi angpao, tradisi yang tidak pernah lepas adalah bermaaf-maafan. Dimulai dari keluarga inti, lalu mengunjungi tetangga, kerabat, teman untuk bersalam-salaman dan bermaaf-maafan. Bagi yang memiliki kerabat atau teman dekat yang tinggal jauh, mereka bisa menggunakan media sosial atau telepon seluler sekedar mengucapkan maaf.
“Maaf” … kata itu lalu saya renungkan beserta suasana saat Hari Raya tiba. Saya membaca status seorang teman di akun facebook-nya yang bunyinya begini: “Barangkali, maaf hanya ritual, menggenapi keterbiasaan. Barangkali, kesalahan hanya candaan semata. Barangkali, kita selalu gagap untuk mengakui..barangkali...”
Pada salah
satu webside saya temukan tulisan yang sebagian saya kutip demikian: "Sehubungan dengan akan datangnya Idul Fitri,
sering kita dengar tersebar ucapan: Mohon maaf
lahir dan batin, seolah-olah saat Idul Fitri hanya khusus untuk minta
maaf. Sungguh sebuah
kekeliruan, karena Idul Fitri bukanlah waktu khusus untuk saling maaf-memaafkan.
Memaafkan bisa kapan saja tidak terpaku di Hari Idul Fitri. Demikian Rasulullah
mengajarkan kita. Tidak ada satu ayat Qur'an atau pun suatu Hadits yang menunjukkan
keharusan mengucapkan: Mohon maaf lahir dan batin, di saat-saat Idul Fitri.”
(Tebet Dalam, 14 Juli 2016)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment