Hujan deras mengguyur Stasiun
Manggarai dan sekitarnya. Semakin mendekati malam, semakin padat gerbong
kereta. Tiga lelaki muda memaksakan diri masuk ke dalamnya. Yang semula
kuanggap tak mungkin ternyata mungkin. Seorang perempuan cantik ber-make up
tebal dengan high heels dan busana eksklusif turut menjejalkan diri. Terpental.
Beruntung tangannya mendapat pegangan yang kuat. Hampir saja ia terjatuh keluar
gerbong. Kalau itu terjadi, aku yakin kakinya akan mengalami cedera. Keseleo.
Dan ia terus berusaha dengan tingkah-polahnya: memaksa mendorong penumpang di
belakangnya. Sebab tak ada celah lagi yang bisa ia masuki. Menjadikan yang
padat semakin padat. Manusia tak ubahnya barang! Benda mati! Atau binatang?
(dalam hati aku berkata: mbak mbak ... dengan dandananmu yang mirip artis itu,
mestinya kamu naik mobil pribadi). Seorang lelaki kurus setengah baya mencoba
menerobos, tak berhasil. Ia terpental keluar, lalu mencari gerbong lain yang
bisa ia masuki. Terdengar rekaman suara operator yang diputar melalui sound
system dari dalam kereta, "Hati-hati, pintu akan ditutup." Dan sekali
lagi, yang semula kuanggap tak mungkin ternyata mungkin. Ketika tubuh perempuan
itu menghalangi pintu otomatis, pintu gagal menutup. Satu pintu terbuka, yang
lain ikut terbuka. Perempuan itu mendesakkan lagi tubuhnya ke belakang. Petugas
menutup kembali pintu otomatis, tapi terganjal oleh sepatunya. Pintu gagal
menutup. Terbuka lagi. Perempuan itu tak mau menyerah keluar gerbong. Ia berusaha
lebih keras mendorongkan tubuhnya yang tak juga tergerak, sebab sudah
benar-benar padat. Ia lalu memundurkan kakinya mencari celah. Hampir saja
sepatu setinggi 12 cm itu menginjak kaki penumpang lelaki bersepatu-sandal di
belakangnya. Setelah pintu ditutup untuk ketiga kalinya, akhirnya berhasil.
Dalam situasi seperti ini,
dibutuhkan militansi yang cukup tinggi tanpa membedakan jenis kelamin.
Dibutuhkan perjuangan yang keras untuk menjadi "pemenang". Laki-laki,
perempuan, besar, kecil, semua sama. Kekuatan fisiklah yang menjadi penentu.
Begitulah suasana pagi dan menjelang
malam di hari kerja, di setiap stasiun kereta. Selalu dipadati penumpang.
Bedanya, di sini jauh lebih banyak. Sebab Stasiun Manggarai adalah stasiun
kereta api terbesar di Jakarta. Memiliki 10 jalur kereta api dan berada di
persimpangan tujuh. Pusat transit bagi para penumpang Commuter Line.
Di sinilah manusia-manusia yang
mayoritas berstatus buruh, tumpah! Ribuan! Buruh berkerah putih yang umumnya
tak mau disebut buruh. Pekerja, kata mereka. Padahal sama saja. Dalam keadaan
seperti ini, setiap orang menjadi ganas. Lebih ganas lagi saat turun hujan.
Masing-masing memiliki kepentingan yang sama: ingin cepat sampai di rumah.
Seperti pagi di jam kantor, hujan membuat langkah-langkah kaki terburu-buru.
Ada yang berlari mengejar kereta, kepleset, jatuh. Ada yang memanjat pagar
memotong jalan. Seorang perempuan mungil terombang-ambing ketika hendak
menyeberang berpindah jalur. Ia tak sanggup melawan arus deras penumpang di
hadapannya. Tujuannya tak sampai-sampai. Hanya berputar di tempat saja.
Dihempas ke kiri, ke kanan, terdorong mundur, maju lagi, dihempas lagi. Begitu
seterusnya. Tetiba ia melihat seorang lelaki gendut yang berjalan searah
dengannya. Sekuat tenaga ia menyibak para penumpang yang menghalanginya dan
segera berlindung di belakang lelaki itu. Maka amanlah ia sampai jalur yang
dituju.
Begitulah yang terjadi. Saling
hempas, saling sikut, saling dorong, saling desak. Mirip cerita dalam Film
Titanic. Dalam kondisi seperti ini, kecantikan dan ketampanan tidak lagi
penting untuk dilihat. Dinikmati. Yang cantik tak lagi terlihat anggun. Yang
ganteng tak lagi terlihat gagah dan berwibawa. Dalam kondisi seperti ini,
setiap orang berani mati. Seperti menyimpan bom waktu yang siap meledak kapan
saja. Dalam kondisi seperti ini, masing-masing orang meninggikan egonya. Cuma
memikirkan nasibnya sendiri. Kemanusiaan mati! Kalaupun tersisa, barangkali
tinggal nol koma nol sekian persen. Hanya keberuntungan saja jika kita
mendapatkan kepedulian dari orang-orang yang dekat dengan kita. Seperti kata
Pram dalam bukunya Bumi Manusia: Cinta itu dipilih, bukan memilih.
Keberuntungan itu memilih orang, tidak bisa dipilih.
(Stasiun Manggarai, 11 Oktober 2016)
Photo Source: Google Images |