Photo Source: Google Images |
Kritik ibarat jamu. Pahit, namun mampu mengobati. Jika yang disinggung marasa tersinggung, maka kritik mampu membawa perubahan. Lagu Iwan Fals misalnya “Kereta Tiba Pukul Berapa“ dan satu lagu yang sempat saya tulis berjudul “Kertajaya“, sepertinya hanya tinggal kenangan. Karena sejak awal tahun 2011, Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia (PT KAI) mulai melakukan perbaikan-perbaikan dengan menerapkan beberapa peraturan baru. Kebijakan ini diterapkan demi meningkatkan mutu pelayanan dan kenyamanan bagi pengguna jasa Kereta Api (KA).
Kalau dulu penumpang ditumpuk-tumpuk layaknya barang, seperti dalam lirik lagu “Kertajaya“:
"Tiket kereta bebas tempat duduk,
berarti kita harus berebut.
Siapa cepat, dialah yang dapat,
yang tak dapat, duduk dan tidur di bawah.
Gelar tikar, gelar koran atau gelar apa saja,
yang penting bisa buat alas.
Di kolong bangku, di pintu, kalau perlu di jalanan,
tak peduli pedagang lalu lalang."
Kini PT KAI menerapkan peraturan “ Nol Toleransi “ terhadap daya tampung kereta. Artinya, setiap rangkaian ada 10 gerbong dan hanya boleh diisi sesuai kapasitasnya yaitu, masing-masing gerbong maksimal 200 orang penumpang. Penerapan kebijakan ini juga termasuk meniadakan karcis anak, sehingga saat ini baik anak-anak atau orang dewasa mengantongi tiket dengan harga sama. Imbal baliknya penumpang tidak harus berjubelan untuk berebut kursi, karena dalam pembelian tiket sudah tertera nomor kursi penumpang.
Namun peraturan ini tidak serta merta diterima oleh pengguna jasa KA lainnya. Di Banten misalnya, seperti yang diberitakan Satelit News; Ratusan penumpang memblokir jalur KA jurusan Rangkasbitung-Jakarta, Kamis (3/5/12) sekitar pukul 06.00 hingga pukul 10.00 WIB. Mereka melakukan pemblokiran dengan cara membangun tenda di bantaran rel KA, meletakan batang pohon kelapa, hingga melempari gerbong dengan batu. Aksi protes dilakukan akibat adanya kebijakan PT KAI terkait perubahan jadwal pemberangkatan dan pembatasan penumpang. Sebelumnya jadwal keberangkatan menuju Jakarta di pagi hari ada empat kereta, kini tinggal tiga kereta. Mereka menganggap peraturan baru itu merugikan, karena kereta tidak mau berhenti di stasiun kecil akibat gerbong sudah memenuhi kapasitas
Di beberapa blog juga sempat saya temukan. Ada beberapa blogger yang merasa kecewa dengan peraturan ini, karena PT KAI dianggap mampu memberi kenyamanan bagi para pengguna jasa KA yang masing-masing mendapatkan tempat duduk, tetapi tidak menambah gerbong. Akibatnya, banyak penumpang yang tidak terangkut.
Selain itu, PT KAI juga menerapkan peraturan larangan merokok. Berdasarkan Instruksi Direksi PT KAI Nomor 4/LL.006/KA-2012 yang diberlakukan per 1 Maret 2012, siapapun dilarang merokok, termasuk para awak kereta. Peraturan ini berlaku baik di KA kelas eksekutif, bisnis, maupun ekonomi.
Merokok sudah menjadi hal yang jamak dilakukan bukan hanya oleh penumpang, tapi juga awaknya seperti kondektur, atau bahkan masinis saat menjalankan kereta. Namun, meski kebijakan ini masih mendapat pro dan kontra dari masyarakat, PT KAI tetap bersikeras menerapkan peraturan ini dan memberi sanksi : akan diturunkan dari kereta, jika ada yang merokok di dalam gerbong.
Berbeda dengan realitanya ketika terakhir saya melakukan perjalanan ke Surabaya dengan menggunakan jasa KA sekitar sebulan yang lalu. Di kereta kelas ekonomi masih banyak penumpang yang merokok baik di tempat duduknya maupun di sambungan gerbong (bordes). Kalau di kelas bisnis memang agak tertib, mereka hanya ada di bordes saja. Tetapi untuk KA kelas eksekutif sepertinya peraturan ini tidak perlu diterapkan, karena dari dulu sudah disediakan ruang khusus merokok. Ruangannya tersekat pintu rapat, sehingga tidak mengganggu penumpang lain yang tidak merokok.
Memang banyak bertebaran tulisan yang saya baca “AREA DILARANG MEROKOK“ dan “AREA MEROKOK“ ditempat yang berbeda di area stasiun. Namun para penumpang tidak peduli dengan peringatan-peringatan itu, tidak peduli dimana tempat, kalau mereka ingin merokok ya merokok saja dan petugas pun mendiamkan. Bisa jadi para petugas itu berkaca diri, karena mereka juga perokok yang tak mau dilarang. Tapi sepanjang pengetahuan saya, kejadian ini adanya di Stasiun Pasar Senen dan Stasiun Tanjung Priok (Jakarta). Kalau di Stasiun Pasar Turi (Surabaya), Polsuska bertindak tegas. Dengan suara yang lantang melarang penumpang yang sedang merokok di ruang tunggu dan memberi peringatan kepada seorang penumpang yang kedapatan sedang merokok di atas kereta untuk segera mematikan rokoknya.
Menurut Yayasan Layanan Konsumen Indonesia, secara sosiologis, bahkan kultural, masyarakat Indonesia adalah “friendly smoking“. Tak kurang dari 68 juta rakyat Indonesia adalah perokok aktif (sekitar 30 persen dari total populasi). Bahkan dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok. Dengan konfigurasi statistik semacam itu, sangat boleh jadi lebih dari 30 persen penumpang KA adalah perokok. Apalagi lamanya waktu tempuh, menjadi tantangan tersendiri bagi perokok untuk tidak merokok di sepanjang perjalanan.
Berbicara tentang jadwal, dalam setiap pembelian tiket selalu tertera waktu keberangkatan dan kedatangan. Pembaca pasti masih ingat lirik lagu Iwan Fals “Kereta Tiba Pukul Berapa“:
“Biasanya...kereta terlambat dua jam mungkin biasa...“
Namun PT KAI sekarang sudah mulai disiplin, dengan jadwal keberangkatan dan kedatangan tepat waktu. Hal ini berdasarkan pengalaman saya pribadi setelah beberapa kali dalam waktu dekat menggunakan jasa KA. Bahkan sekali, saya sempat ketinggalan kereta karena beranggapan PT KAI masih seperti dulu, mengulur waktu.
Mulai bulan Maret, PT KAI juga menerapkan peraturan pelayanan pembelian tiket yang sebelumnya bisa dibeli pada 40 hari sebelum berangkat menjadi 90 hari sebelum pemberangkatan. Peraturan ini merupakan keputusan Direksi PT KAI No D6/26 Tanggal 2 Maret 2012 yang berlaku untuk kereta api kelas eksekutif, bisnis, serta ekonomi komersial jarak jauh dan menengah ke segala jurusan demi kenyamanan dan kemudahan bagi penumpang.
Pemesanan tiket KA H-90 untuk kelas eksekutif dan bisnis dapat dilayani di setiap stasiun online, contact center, PT Pos Indonesia, Pertokoan Indomaret dan di agen-agen PT KAI yang tersebar di berbagai daerah Indonesia. Sedangkan pemesanan tiket H-90 untuk kelas ekonomi komersial jarak jauh dan menengah bisa diperoleh di stasiun-stasiun online. Peraturan ini berarti PT KAI sudah tidak melayani lagi pembelian tiket secara langsung yang mengakibatkan antrean panjang dan kemacetan yang sangat tidak nyaman.
Namun ada beberapa orang yang mengaku sebagai pengguna setia jasa KA tidak setuju. Mereka juga merasa kecewa dengan kebijakan ini karena tidak selalu memiliki rencana sebelumnya. Jadi, sangat tidak mungkin untuk dilakukan ketika tiba-tiba ada kepentingan mendadak dan harus pergi hari itu juga.
Ada baiknya memang masih diberlakukannya pembelian tiket secara langsung, asal tidak menggunakan cara-cara seperti di Stasiun Pasar Senen dengan antrean berdiri. Karena cara itu tidak membuat para calon penumpang menjadi tertib. Selain terjadi aksi saling dorong dan saling selang yang bisa merugikan pengantre yang lebih dulu datang, juga kerap merugikan kaum wanita akibat terjadinya tindak pelecehan seksual yang dilakukan para lelaki yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Berbeda dengan cara-cara antrean yang dilakukan di Stasiun Pasar Turi. Disana terlihat rapi dan sangat tertib dengan menyediakan bangku buat para pengantre. Jumlah tempat duduk ada 16 x 7 dan di bawah pengawasan beberapa Polsuska. Mereka mengatur pengantre dengan sangat tegas, sehingga tidak terjadi saling serobot dan aman bagi para wanita.
Namun ada perkembangan baru dari hasil wawancara saya dengan beberapa kawan dari Surabaya yang baru saja datang ke Jakarta, 16 Mei lalu. Mereka melakukan perjalanan dengan menggunakan jasa KA kelas ekonomi 'Kertajaya'. Ternyata, peraturan pembelian tiket H-40 atau H-90 masih belum diberlakukan. Bahkan menurut Umar, ketika Ia datang ke stasiun untuk memesan tiket pada H-8 masih belum bisa dilayani. Kata petugas tiketnya besok saja, karena peraturannya H-7. Keesokan harinya, Taqim kawan Umar datang ke stasiun pukul 05.00 WIB. Ia berniat untuk antre. Jam 7 pagi loket dibuka, namun yang kebagian hanya beberapa orang saja karena tiket sudah habis. Ketika Umar bertanya, alasan petugas adalah tiket habis karena banyak yang memesan secara online di 60 stasiun. ”Ini tidak masuk akal,” kata Umar. ”Di Surabaya saja, stasiun yang melayani penjualan tiket jurusan Surabaya-Jakarta melalui jalur utara hanya Stasiun Pasar Turi. Mana ada 60 stasiun? Bahkan jika dihitung sampai Jatim pun,” imbuhnya lagi. Akhirnya, Umar dan kelima kawannya terpaksa harus membeli tiket melalui calo yang ada disana.
Berbicara lagi tentang percaloan, berdasarkan informasi yang saya dapat, PT KAI akan serius menegakkan aturan yang mengharuskan nama dalam tiket sesuai dengan kartu identitas penumpang. Dan satu tiket hanya untuk satu orang. Hal ini sebagai upaya mempersempit ruang gerak calo. Mereka juga berjanji akan menertibkan calo tiket yang marak berkeliaran di sekitar stasiun.
Memang dI Stasiun Pasar Senen, Polsuska dengan sangat tegas menginstruksikan agar calo tidak ikut antre. Jika Ia menemukan ada calo disana, maka Ia tak segan-segan untuk merobek tiket tersebut. Namun kenyataanya berbeda, kalau calo-calo diluar diberantas, maka yang di dalam jelas-jelas dilindungi. Logika saja...bagaimana seorang penumpang bisa naik KA tanpa tiket??
Kebetulan penumpang itu duduknya berhadapan dengan saya. Ketika Polsuska melakukan pengecekan tiket, pasangan suami istri yang membawa kedua anaknya itu tak menunjukkan tiketnya. Mereka cukup menyebut nama seseorang yang ada di dalam (restorasi) dan petugas pun lalu pergi.
Berbeda dengan situasi di Stasiun Pasar Turi, lebih ketat. Meski nama di KTP sudah tercatat dalam tiket, namun saat penumpang akan memasuki area stasiun masih diwajibkan menunjukkan KTPnya lagi. Sehingga terkesan mematikan ruang gerak para calo tiket.
Dari hasil wawancara saya dengan beberapa kawan dari Surabaya selanjutnya, menunjukkan adanya kejanggalan. Setelah melakukan negosiasi dengan seorang calo, merekapun harus membayar tiket seharga Rp 90.000, sedangkan harga normalnya adalah Rp 43.500. Maka, jadi pertanyaan lagi buat saya...bagaimana bisa mereka masuk ke area stasiun dengan penjagaan yang ketat melebihi Stasiun Pasar Senen? Taqim kembali menjelaskan, bahwa enam tiket yang mereka beli itu menggunakan nama yang sama dan mereka disarankan berangkat dari Stasiun Babat. ”Disana, kami sudah tidak menggunakan KTP lagi ketika memasuki area stasiun. Tiket yang kami tunjukkan langsung dicoret (sebagai tanda sudah diperiksa) setelah kami mengatakan bahwa kami membeli di Surabaya,” jelas Taqim lagi. ”Sudah jelaslah ada kerjasama antara orang dalam dengan para calo. Mana bisa mereka membeli tiket sebanyak itu dengan waktu yang singkat dan nama yang sama, sedangkan peraturannya kan satu tiket untuk satu orang,” kata Hermawan menambahkan.
Maka dapatlah disimpulkan bahwa praktek percaloan masih terus berlangsung di stasiun-stasiun KA di berbagai daerah. Gertakan para Polsuska bak tong kosong, hanya nyaring terdengar namun tak ada bukti bahwa mereka benar-benar memberantas calo tiket.
Ada lagi peraturan PT KAI yang melarang penumpang memasuki area stasiun (tempat keberangkatan dan tempat kedatangan KA), sebelum satu jam kereta berangkat. Seperti tulisan yang pernah saya lihat tertempel di dinding ruang tunggu Stasiun Pasar Senen, berbunyi : “TERHITUNG SEJAK BULAN OKTOBER 2011, PENGANTAR DILARANG MEMASUKI PERON“. Itu artinya sudah ditiadakannya lagi karcis peron. Namun apa yang terjadi??... Pintu menuju area stasiun tidak terhalang apapun, karena meja penjaga berada di samping dan hanya dijaga oleh dua orang petugas. Sebelah pagar tertutup dan sebelah lagi terbuka.
Saya kemudian menemukan keanehan disana. Beberapa kali saya melihat para pengantar yang sebenarnya patuh terhadap peraturan dengan tidak melewati terali besi yang membatasi antara ruang tunggu dan area stasiun. Namun beberapa kali pula, salah seorang dari petugas jaga mendekat dan membisikkan sesuatu. Si pengantar lalu merogoh kantongnya, memberikan lembaran uang dan masuk kedalam.
Lagi-lagi..saya menemukan perbedaan ketika berada di Surabaya. Di Stasiun Pasar Turi penjagaan benar-benar sangat ketat. Pintu/terali besi yang membatasi area stasiun dengan ruang tunggu dihalangi dengan meja dan beberapa petugas (sekitar enam orang), hingga hanya bisa dilewati satu orang saja. Tak satu orang pun bisa mendekati pintu gerbang atau masuk ke dalam area stasiun tanpa menunjukkan tiket dan KTPnya. Juga tak ada toleransi kepada para pengantar selama beberapa waktu dan beberapa kali kesempatan saya berada di sana. Jika ada penumpang yang melakukan perjalanan sendiri namun tak mampu membawa barang-barangnya yang terlalu banyak, maka petugas yang akan membantu membawanya ke dalam.
Meski sedemikian banyak peraturan baru yang diberlakukan PT KAI dengan dalih ingin memberi kenyamanan kepada para pengguna jasanya, namun masih ada juga kekurangan-kekurangan yang harus dibenahi. Seperti banyaknya binatang-binatang kecil (mirip kecoa) yang merayap di dinding-dinding gerbong dan bangku-bangku penumpang KA kelas ekonomi yang sangat mengganggu. Juga kurangnya persediaan air dalam WC yang mengakibatkan air habis sebelum setengah perjalanan.
Saya pun kembali melanjutkan lirik lagu saya: “Kertajaya“ sebagai protes yang belum terjawab...
"Kau kabarkan padaku WC tak ada air,
kau harus menahan inginmu.
Di kemeja hitammu terbentuk pulau-pulau,
karena keringat kucuri tubuhmu.
Jangan berharap kawan, ada AC disini,
kereta ini kereta kelas kambing.
Jangan berharap kawan, cepat sampai tujuan,
kereta ini sering berhenti...dan kaupun mengumpat."
( Casablanca, 19 Mei 2012 )
Theme Song: (Tari Adinda - Kertajaya): http://www.youtube.com/watch?v=7L3yGiE9bHQ
Seperti apa karya lagu saya yang berjudul KERTAJAYA?
ReplyDeleteDi akhir tulisan ini, saya sisipkan link YouTube - nya ...