sejak kutinggalkan kota kelahiranku
aku tak bisa memaknai hari raya islam seperti dulu
selalu menanti …
menghitung hari demi hari berkurangnya waktu puasa
ditengah ramadhan
kawankawan dipabrik sudah ribut
bicara rencana mudik mereka
pesan tiket kereta, bus, kapal
atau pesawat
naik motor ramairamai
atau rombongan charter mobil
dengan kawannya, kakaknya, adiknya
atau dengan suami dan anakanaknya
aku tenangtenang saja ...
dua atau satu hari menjelang libur
sebagian dari mereka sudah kabur
tak peduli saat masuk
harus berurusan dengan personalia
dipanggil kekantor, dapat surat peringatan, potong gaji
aku santaisantai saja ...
hari terakhir kerja selepas istirahat
suasana pabrik jadi gaduh
mereka tak lagi konsentrasi dengan pekerjaannya
saling berbagi cerita ...
makanan dan oleh-oleh apa yang sudah disiapkan
pakaian apa saja yang sudah dibeli
dipasar mana, dimall apa, dengan harga berapa
terlihat keceriaan diwajah mereka
menyambut moment special dihari lebaran
bertemu dan berkumpul bersama keluarga
aku diam saja ...
malam hari, diberanda facebook
penuh dengan update status mereka
prepare-lah, packing-lah,
siapsiap berangkat-lah, sedang menunggu mobil-lah
menggambarkan kesibukannya
kehabisan tiket, ketinggalan angkutan, kehilangan, kecopetan
dan macet menjadi keluhan yang paling dominan
huuuuuffftt ... seringkali ditinggalkan diakhir kalimat
aku masih berada didalam kamar kontrakan ...
buat aku
pulang kampung atau tidak
tak ada bedanya
negosiasi dengan ibu selalu kulakukan
aku lebih memilih membagi uang thr-ku
daripada pulang, tapi tak banyak memberi
hanya jika ibu benarbenar memaksa
mendengar tangisnya diujung ponsel
aku harus melepas egoku
mengubah sementara asumsiku
bahwa kiriman uangku lebih berharga dari kehadiranku
(Casablanca, 28 Juli 2012)
|
Photo Source: Google Images |