Jumat, 17 Agustus 2012 | 14:01 WIB · 0 Komentar
Malam 17 Agustus cukup penting bagi warga kota Pahlawan, Surabaya. Ada tradisi yang hingga kini masih hidup, yaitu tasyakuran malam 17 Agustus. Di acara itu, seluruh warga berkumpul dan melakukan selamatan atau bancaan—istilah warga kota Surabaya. Dana yang digunakan untuk membuat acara tersebut adalah hasil dari patungan alis kolekan seluruh warga. Meski masing-masing Rukun Tetangga (RT) membuat acara dengan format yang berbeda, namun pelaksanaannya dilakukan secara serentak seusai shalat Isya’. Jika saatnya bersamaan dengan bulan Ramadhan, maka acara dilakukan setelah shalat Tarawih.
Beberapa hari sebelum malam 17 Agustus, terlebih dahulu diadakan rapat untuk pembagian kelompok kerja. Karena dalam satu RT ada beberapa gang atau lorong, maka tinggal dipilih satu orang yang akan menjadi koordinator lorong. Kemudian koordinator membagi tugas dengan warganya masing-masing. Ada yang memasak nasi dan lauk, ada yang menyiapkan kue, air, dan buah-buahan. Biasanya tugas ini dikerjakan ibu-ibu dan remaja putri. Untuk bapak-bapak dan remaja putra, biasanya mendapat tugas menyiapkan tikar dan sound system.
Makanan yang sudah siap dikumpulkan di rumah salah satu warga. Dan di sana para perempuan beramai- ramai menempatkan makanan ke dalam box nasi. Tinggal nanti dibagi satu box per KK (Kepala Keluarga) dalam satu lorong itu. Namun, ada kalanya dibuat satu tumpeng yang besar, dengan cara berebut. Di sini terlihat antusiasme warga dalam menyiapkan acara tersebut. Tanpa dikomando, masing-masing sudah memiliki inisiatif saling menutupi jika ada kekurangan sehingga acara terselenggara dengan baik.
Jika acara sudah digelar, jangan coba-coba keluar rumah atau masuk ke kampung, karena dipastikan semua jalan akan tertutup akibat jalanan sudah diduduki warga.
Sebagai awal, sambil menunggu warga berkumpul, biasanya akan diputar lagu-lagu perjuangan, seperti: Indonesia Raya, Satu Nusa Satu Bangsa, Hari Merdeka, dan sebagainya. Selain itu, tak luput diputar pula lagu dari Alm. Gombloh, penyanyi kebanggaan arek-arek Suroboyo, Kebyar-Kebyar.
Setelah semua warga terkumpul, acara dibuka dengan pidato dari beberapa sesepuh kampung yang intinya mengingatkan pentingnya persatuan serta menumbuhkan rasa nasionalisme. Dari setiap pidato hampir selalu diawali dan diakhiri dengan salam nasional atau pekik merdeka yang diikuti oleh seluruh warga. Kemudian acara dilanjutkan dengan mengheningkan cipta sejenak untuk mengenang para pahlawan yang telah gugur di medan perang, serta pembacaan do’a yang dipimpin oleh seorang pemuka agama setempat. Selanjutnya, dibagikannya makanan yang sudah disiapkan. Ada yang dibawa pulang, ada juga yang dimakan beramai-ramai di tempat dengan penuh kegembiraan.
Setelah itu, acara bebas. Ada yang bakar ikan atau ayam, dimasak dan dimakan bersama-sama. Atau sekedar berkumpul dengan warga, ngopi sambil putar musik karaoke dan nyanyi bergantian. Tak ada yang melarang, meskipun suasana menjadi gaduh dan orang-orang begadang sampai pagi. Karena malam itu, menjadi malam yang sepenuhnya dimiliki seluruh warga kota Surabaya.
Maka dapat disimpulkan, inti dari tradisi ini yang merupakan kebudayaan turun temurun sejak dulu adalah pentingnya ‘gotong royong’. Karena acara itu tidak akan terlaksana dengan serentak di seluruh wilayah kota Surabaya tanpa persatuan, kerjasama, dan saling mengisi sebagaimana dulu para pejuang dalam mengusir penjajah dari wilayah Indonesia…
“Dirgahayu 67 Republik Indonesia”
Tari Adinda, penggiat Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker)
Sumber: Berdikari Online
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment