Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, October 20, 2012

Cerpen: Jika Momogi Saja Bisa


Seringkali yang kita inginkan jadi ’cumi’, alias cuma mimpi. Tapi di saat yang berbeda, kita mendapatkan sesuatu yang lebih dari itu. Kalau menurut kamu, bahagia tidak? Menurut aku sih bahagia, cuma belum sempurna. Karena kebahagiaan yang sempurna itu kalau apa yang kita impikan benar-benar jadi kenyataan. Seperti waktu aku mendapatkan kejutan dari Jimmy ―kawanku dari Australia.

Awalnya, waktu kami jalan-jalan ke Kebun Binatang Surabaya. Lagi duduk santai di taman, dia bertanya,“Dinda, what’s your dreams?” Bule itu tidak mau panggil Tari. Katanya, dia lebih suka panggil aku Dinda. Ya udah, terserah dia lah, mulut-mulut dia, hehe …

Sambil menerawang jauh layaknya orang yang lagi menghayal, aku menjawab,”If I have a cute baby orangutan, how glad I am ...”

Tepat di hari ulang tahunku, Jimmy benar-benar mewujudkan impianku. Sebuah kado yang special buat aku, bayi orangutan yang lucu. Tidak cuma itu, Jimmy juga tahu kalau aku lebih suka dengan makhluk yang jenis kelaminnya laki-laki. Jadi, dipilihlah bayi orangutan jantan. Olalaaa … bahagianya akuuu …

Bayi itu usianya dua bulan sewaktu pertama kudapat. Dan aku merasa tak perlu bertanya dari mana Jimmy bisa mendapatkan itu, karena aku tahu, orangutan itu satwa yang dilindungi. Yang penting mimpiku terwujud, choy …

Aku merawatnya seperti seorang ibu pada anaknya. Aku perlakukan dia seperti bayi manusia. Dari makan sampai pakaiannya, aku perhatikan benar. Dan kuberi dia nama MOMOGI.

Jangan tanya kenapa dan apa alasanku memilih nama itu. Karena aku tidak punya alasan apapun, apalagi filosofinya. Aku suka saja, titik. Bahkan nama itu sudah kupilih jauh sebelum aku mendapatkan dia.

*****

Memes mengernyitkan dahinya waktu kusampaikan niatku merawat si Mogi ―pangilan sayang Momogi ―yang lagi di gendonganku.

“Kenapa tidak sekalian saja anak macan, anak buaya dan anak gajah yang kamu pelihara? Biar rumah ini jadi kebun binatang!” Ketus Memes menjawab.

Aku diam saja, sedih, terus nangis. Tapi di tengah kegalauanku, senyum Mogi menghiburku.

Beruntung aku tidak tinggal serumah dengan keluarga. Aku punya paviliun di samping rumah sejak aku bekerja, ingin bebas dan mandiri. Beruntung lagi, Ebes mengerti. Kebetulan Ebesku juga suka pelihara binatang, jadi niatku didukung sekali. Ebes lah yang menggantikan aku merawat Mogi kalau aku sedang bekerja.

*****

Tak terasa dikeloni tiap hari, umur Mogi sudah dua tahun lebih dua bulan. Sudah montok, jarang sakit, ganteng lagi. Senang kalau waktu tidur, terus tangannya melingkar di leherku. Ya wajarlah, aku perhatikan benar asupan makanannya. Susunya saja tidak sembarangan. Aku bekerja keras, merelakan separuh gajiku untuk keperluannya. Termasuk beli susu yang bagus, yang bisa mendekati kualitas ASI. Biar Mogi tumbuh besar, sehat dan cerdas. Tapi ada pertanyaan-pertanyaan yang entah karena iri atau apa aku tidak tahu ...

“Kenapa sih sampai segitunya?”

“Cuma monyet saja dibela-belain?”

“Kenapa tidak ambil bayi-bayi yang terlantar saja yang dibuang ke tempat sampah atau di panti-panti asuhan?”

Ini masalah hati, choy. Aku tidak bisa membiarkan suara hati aku. Entahlah, mungkin karena terlalu sayangnya aku sama Mogi, atau karena itu impian aku. Tapi tidak mungkinlah aku kasih dia ASI, karena air susuku cuma untuk calon anakku, dan wadahnya untuk calon bapaknya. Hehehe … jangan dibayangkan ya, nanti ‘ngajo’ lagi ―ngayal jorok.

Lama kelamaan, Memes senang juga lihat tingkah Mogi yang lucu dan menggemaskan. Makin hari makin sayang, perhatiannya pun makin bertambah. Lihat saja kalau Mogi sedang demam, Memes lah yang paling panik. Duh, jadi terharu …

Oh iya, karena Mogi sudah mulai gede, dia sudah ngerti malu lho. Pernah waktu aku selesai memandikan dia, tiba-tiba keponakan aku masuk saja ―tanpa mengetuk pintu. Mogi spontan menutupi tititnya dengan kedua tangannya sambil teriak-teriak cari tempat sembunyi. Mungkin, itu karena aku membiasakan dia pakai celana dalam, celana luar, lengkap dengan bajunya. Itu juga jadi dampak yang positif. Mogi tidak mau pipis sembarangan. Malu, kalau tititnya dilihat orang lain.

Sejak usia dua tahun, Mogi sudah tidak perlu menggunakan pampers lagi. Dia sudah tahu, ke mana harus buang air. Asal ingin pipis atau pub, dia pasti menarik tanganku. Atau Memesku, Ebesku  ―jika aku sedang tidak di rumah ―terus mengajak ke kamar mandi. Karena aku juga tidak mau mengajarinya seperti kebanyakan orang tua. Mentang-mentang anaknya laki-laki, kalau ingin pipis diajaknya ke luar rumah, cari selokan. Dibukalah celananya di sana. Mudah-mudahan besok kalau dewasa, Mogi tidak seperti manusia laki-laki kebanyakan. Asal ada benda tegak yang menghalangi, kencing deh di situ. Saingan sama guk guk. Ckckck …

Mogi juga sudah mulai susah ditinggal. Dia sudah bisa membedakan, aku yang di rumah dengan aku yang mau pergi. Kebiasaanku di rumah yang suka menggunakan celana pendek ditengarai-nya. Dia jadi ribut kalau aku sudah pakai celana panjang. Yang biasanya main sendiri, jadi tidak mau. Baru berdandan saja, tangannya yang panjang sudah melingkar di perutku dan tidak mau lepas kemana saja aku pergi. Yang lebih repot, kalau aku ingin pipis. Hadeeeh …

Meski kebebasanku semakin berkurang, tetapi menjadi kebahagiaan tersendiri buat aku, karena merasa dibutuhkan. Dan Mogi akan melepaskan pelukannya, kalau aku janji mengajaknya pergi dan mencari baju ganti untuknya. Dia langsung semangat pergi ke rak sepatu, terus memilih sesukanya.

Kelucuan Mogi yang lainnya, kalau dia sedang nonton TV. Kebiasaanku yang suka nonton berita dan politik, jadi menular ke dia lho ... Disimak benar acara itu sambil duduk di sofa kecil, mungil dan lucu. Khusus aku beli untuknya. Dan Mogi paling marah kalau chanelnya diganti tayangan sinetron sama bibiku.

Mogi segera turun dari sofanya, teriak-teriak, berjingkrakkan. Maksudnya minta diganti. Dan dia akan duduk manis kembali, jika keinginannya sudah dituruti. Maklum, ibu-ibu sukanya nonton sinetron. Padahal tayangan macam begitu kan tidak mendidik anak-anaknya. Dan jelas-jelas sudah melecehkan logika. Itu memang produk Kapitalis yang sengaja diciptakan untuk meracuni generasi muda. Agar mereka tidak merasa, kalau negaranya sedang dijajah. Membuat mereka malas berpikir karena sudah mendapatkan yang instan, jadi tidak mau melawan.

Pasti kalau ada yang iri, akan berkata,”Mau jadi apa sih, nyet, nonton berita politik? Bicara saja tidak becus!” Ihh …

Sebagai manusia yang berkaca diri, aku sadar kalau binatang juga butuh tempat untuk bersosialisasi. Selain membelikannya mainan, aku juga mengajak Mogi jalan-jalan ke tempat hiburan, atau bermain bersama anak-anak tetangga. Kadang aku mengundang mereka ke rumah. Mereka pasti mau, karena Mogi punya banyak mainan yang tidak semua mereka punyai. Waktu ulang tahunnya saja, tidak ada satupun yang ketinggalan. Karena mereka semua menyukai Mogi dan aku punya banyak cara untuk bisa menyenangkan mereka.

Tapi yang namanya anak-anak, selalu ada saja yang nakal. Tak terkecuali Mogi yang kadang suka usil meledek temannya sampai nangis. Kalau udah begitu, aku tidak perlu banyak bicara. Cukup aku panggil namanya, lalu aku acungkan telunjuk jariku. Dengan cara begitu saja, Mogi sudah tahu. Dia langsung mendatangiku, memeluk dan menciumi aku. Maksudnya merayu, agar aku tidak marah.

Kalau malam lihat Mogi sedang tertidur pulas, aku suka senyum-senyum sendiri. Ingat lucunya, usilnya. Mengikuti siapa ya? Aku kan orangnya tidak suka usil.

Oh iya, aku lupa, dia kan anak orangutan. Berarti, mengikuti bapaknya kali ya, hehehe ...

Tapi dia juga mengerti kok ... Kalau aku lagi sedih, dia tidak rewel. Malah suka bikin aku jadi tertawa lihat tingkahnya. Dia duduk di sampingku, terus mengikuti setiap gerakku. Misalnya aku sedang melipat tangan, dia meelipat tangan juga. Kalau tanganku sedang menahan dagu, dia juga mengikuti begitu. Ghaghaghag …

Lain lagi kalau lihat aku nangis. Dia ambil tissue lalu mengelap air mataku. Dan kalau aku sedang batuk-batuk, diambillah botol minumku. Ya, itu karena dia suka lihat aku melakukan itu pada Memesku.

Pokoknya, apapun yang aku lakukan, semua diikuti. Termasuk buang sampah ke tempatnya. Tidak peduli bekas bungkus makanan dia atau siapapun. Kalau dia menemukan di meja atau di lantai, langsung dipungut dan dibuang ke tempat sampah.

Harusnya manusia malu kalau melihat kejadian ini. Monyet aja mengerti kebersihan. Itulah gunanya pendidikan sedari dini. Tidak selalu harus menggunakan teori dulu. Langsung praktek justru lebih baik, dengan memberi contoh yang baik.

Mungkin, orang yang jorok itu karena induknya juga jorok ya? Dan orang yang tidak mengerti buang sampah di tempatnya itu, karena induknya juga begitu. Bisa jadi, karena banjir sering terjadi karena got yang mampet dan kali yang kotor penuh sampah. Kalau satu induk aja suka buang sampah sembarangan, akan diikuti beberapa generasinya. Apalagi kalau banyak induk begitu. Berarti lebih banyak lagi sampah yang mengotori jalanan dan sungai. Hmm …

Kadang si Mogi itu tingkahnya seperti orang dewasa. Apa aja yang aku kerjakan, direbut sama dia. Maunya dikerjakan sendiri. Padahal kan belum bisa benar. Makanya, sengaja air minum selalu aku siapkan di botol dan tempat minum yang terbuat dari plastik. Tinggal ambil di atas meja. Kalau tidak, berapa kali saja gelas pecah, air tumpah gara-gara dia mengambil air di dispenser.

Melihat kecerdasannya, aku jadi berharap, si Mogi bisa ngomong seperti manusia. Itu sebabnya setiap malam, aku bikin ritual. Sambil menemani dia di tempat tidur, aku ajari dia bicara dan bernyanyi. Dia menyimak betul sambil minum susu botolnya. Kalau bosan dengar aku bicara, dia tutup mulutku. Maksudnya, aku disuruh nyanyi. Heee … lucu ya …

Mungkin ada yang bertanya, kenapa cuma waktu tidur saja diajari-nya?

Ya karena Mogi itu hiperaktif ―tidak bisa diam. Hanya kalau mau tidur saja dia tenang, sambil ngenyot botol susunya.

Tapi aku jadi bertanya-tanya sendiri. Bagaimana ya kalau nanti ternyata Mogi bisa ngomong beneran? Terus dia tanya aku,”Mama mama, kenapa sih Mogi beda sama teman-teman Mogi?”

Emm ... gampang choy, aku akan menjawab,”Iya sayang, karena kalian lain jenis. Kalau teman-teman Mogi itu manusia, kalau Mogi itu binatang.” Ups! Binatang? Kok sepertinya kasar sekali ya? Kalau hewan? Masih kasar juga. Oh iya, satwa. Manusia dan satwa. Sip!

Terus kalau dia tanya lagi,”Mama mama, kenapa sih Mogi tidak punya papa seperti mereka?”

Waduh, aku harus jawab apa nih …

Oke! Aku akan jawab begini saja,”Karena mama tidak menikah, sayang ...”

Lalu, kalau dia terus mengejar dengan pertanyaan,“Kenapa mama tidak menikah? Ayo dong mama, mama harus menikah, biar Mogi punya papa.”

Ampun DJ … ini jawaban yang sulit untuk dijawab. Aku harus jujur apa bohong ya? Kalau aku bohong berarti aku mengajari dia tidak benar. Akibatnya, seperti manusia sekarang yang banyak jadi koruptor. Wah gawat! Korupsi yang udah mengakar di negeri ini kan awalnya dari bohong kecil-kecilan. Juga dari lingkungan yang paling kecil ―rumah. Mudah-mudahan nanti kalau sudah dewasa, Mogi akan menjadi satwa yang jujur. Agar manusia lebih malu lagi. Karena sejatinya, derajat manusia kan lebih tinggi dari binatang.

Kalau janji? Tidak bagus juga kalau nantinya tidak bisa menepati. Aku saja tidak suka diperlakukan begitu, masak aku mau melakukan itu. Itu namanya tidak berkaca diri. Ya sudah, jujur sajalah …

“Sepertinya, mama sudah tidak punya cinta lagi, sayang … Cinta mama yang tinggal satu-satunya, dipermainkan sama orang yang paling mama sayangi. Mama belum bisa lagi mencintai yang lain. Mau dia punya pacar, punya istri, atau mati sekalipun, cinta mama tetap buat dia …”

Huuuuffftt … aku jadi sedih membayangkan Mogi yang kecewa mendengar jawabanku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku kan musti jujur. Ya, kejujuran memang tidak selamanya manis. Kadang, bahkan terasa sangat pahit. Tapi ya sudahlah, yang terjadi terjadilah. Siapa tahu nanti jawabanku bisa berubah seiring berjalannya waktu. Karena rencana manusia, seringkali tak sejalan dengan rencana Tuhan …


( Casablanca, 7 Oktober 2012 )

Note: Memes = Ibu
          Ebes    = Bapak
     =>Bahasa gaul arek-arek Suroboyo





Saturday, October 13, 2012

' lelah '


(Aku sudah membuangnya selama bertahun-tahun, berharap tak menemukannya lagi. Tapi kenapa kali ini aku harus kembali membacanya?)

aku tak ingin bertanya pada pagi
kenapa aku enggan bernyanyi?

aku tak ingin bertanya pada malam
kenapa terang terasa kelam?

aku ingin mengakhiri hidup
tapi aku tak kuasa membunuh ragaku

aku ingin mati!
tapi kenapa nafasku tak juga berhenti?

aku ingin bertanya pada tuhanku ...

“Gusti, apakah aku sudah benar-benar lelah bermimpi?” 


( Bambu Kuning, 9 September 2004 )

Photo Source: Google Images


  

Wednesday, October 10, 2012

' Seputar PT KAI '

Photo Source: Google Images


Kritik ibarat jamu. Pahit, namun mampu mengobati. Jika yang disinggung marasa tersinggung, maka kritik mampu membawa perubahan. Lagu Iwan Fals misalnya “Kereta Tiba Pukul Berapa“ dan satu lagu yang sempat saya tulis berjudul “Kertajaya“, sepertinya hanya tinggal kenangan. Karena sejak awal tahun 2011, Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia (PT KAI) mulai melakukan perbaikan-perbaikan dengan menerapkan beberapa peraturan baru. Kebijakan ini diterapkan demi meningkatkan mutu pelayanan dan kenyamanan bagi pengguna jasa Kereta Api (KA).

Kalau dulu penumpang ditumpuk-tumpuk layaknya barang, seperti dalam lirik lagu “Kertajaya“:

"Tiket kereta bebas tempat duduk,
berarti kita harus berebut.
Siapa cepat, dialah yang dapat,
yang tak dapat, duduk dan tidur di bawah.

     Gelar tikar, gelar koran atau gelar apa saja,
     yang penting bisa buat alas.
     Di kolong bangku, di pintu, kalau perlu di jalanan,
     tak peduli pedagang lalu lalang."

Kini PT KAI menerapkan peraturan “ Nol Toleransi “ terhadap daya tampung kereta. Artinya, setiap rangkaian ada 10 gerbong dan hanya boleh diisi sesuai kapasitasnya yaitu, masing-masing gerbong  maksimal 200 orang penumpang. Penerapan kebijakan ini juga termasuk meniadakan karcis anak, sehingga saat ini baik anak-anak atau orang dewasa mengantongi tiket dengan harga sama. Imbal baliknya penumpang tidak harus berjubelan untuk berebut kursi, karena dalam pembelian tiket sudah tertera nomor kursi penumpang.

Namun peraturan ini tidak serta merta diterima oleh pengguna jasa KA lainnya. Di Banten misalnya, seperti yang diberitakan Satelit News; Ratusan penumpang memblokir jalur KA jurusan Rangkasbitung-Jakarta, Kamis (3/5/12) sekitar pukul 06.00 hingga pukul 10.00 WIB. Mereka melakukan pemblokiran dengan cara membangun tenda di bantaran rel KA, meletakan batang pohon kelapa, hingga melempari gerbong dengan batu. Aksi protes dilakukan akibat adanya kebijakan PT KAI terkait perubahan jadwal pemberangkatan dan pembatasan penumpang. Sebelumnya jadwal keberangkatan menuju Jakarta di pagi hari ada empat kereta, kini tinggal tiga kereta. Mereka menganggap peraturan baru itu merugikan, karena kereta tidak mau berhenti di stasiun kecil akibat gerbong sudah memenuhi kapasitas

Di beberapa blog juga sempat saya temukan. Ada beberapa blogger yang merasa kecewa dengan peraturan ini, karena PT KAI dianggap mampu memberi kenyamanan bagi para pengguna jasa KA yang masing-masing mendapatkan tempat duduk, tetapi tidak menambah gerbong. Akibatnya, banyak penumpang yang tidak terangkut.

Selain itu, PT KAI juga menerapkan peraturan larangan merokok. Berdasarkan Instruksi Direksi PT KAI Nomor 4/LL.006/KA-2012 yang diberlakukan per 1 Maret 2012, siapapun dilarang merokok, termasuk para awak kereta. Peraturan ini berlaku baik di KA kelas eksekutif, bisnis, maupun ekonomi.         

Merokok sudah menjadi hal yang jamak dilakukan bukan hanya oleh penumpang, tapi juga awaknya seperti kondektur, atau bahkan masinis saat menjalankan kereta. Namun, meski kebijakan ini masih mendapat pro dan kontra dari masyarakat, PT KAI tetap bersikeras menerapkan peraturan ini dan memberi sanksi : akan diturunkan dari kereta, jika ada yang merokok di dalam gerbong.

Berbeda dengan realitanya ketika terakhir saya melakukan perjalanan ke Surabaya dengan menggunakan jasa KA sekitar sebulan yang lalu. Di kereta kelas ekonomi masih banyak penumpang yang merokok baik di tempat duduknya maupun di sambungan gerbong (bordes). Kalau di kelas bisnis memang agak tertib, mereka hanya ada di  bordes saja. Tetapi untuk KA kelas eksekutif sepertinya peraturan ini tidak perlu diterapkan, karena dari dulu sudah disediakan ruang khusus merokok. Ruangannya tersekat pintu rapat, sehingga tidak mengganggu penumpang lain yang tidak merokok.

Memang banyak bertebaran tulisan yang saya baca “AREA DILARANG MEROKOK“ dan “AREA MEROKOK“ ditempat yang berbeda di area stasiun. Namun para penumpang tidak peduli dengan peringatan-peringatan itu, tidak peduli dimana tempat, kalau mereka ingin merokok ya merokok saja dan petugas pun mendiamkan. Bisa jadi para petugas itu berkaca diri, karena mereka juga perokok yang tak mau dilarang. Tapi sepanjang pengetahuan saya, kejadian ini adanya di Stasiun Pasar Senen dan Stasiun Tanjung Priok (Jakarta). Kalau di Stasiun Pasar Turi (Surabaya), Polsuska bertindak tegas. Dengan suara yang lantang melarang penumpang yang sedang merokok di ruang tunggu dan memberi peringatan kepada seorang penumpang yang kedapatan sedang merokok di atas kereta untuk segera mematikan rokoknya.

Menurut  Yayasan Layanan Konsumen Indonesia, secara sosiologis, bahkan kultural, masyarakat Indonesia adalah “friendly smoking“. Tak kurang dari 68 juta rakyat Indonesia adalah perokok aktif (sekitar 30 persen dari total populasi). Bahkan dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok. Dengan konfigurasi statistik semacam itu, sangat boleh jadi lebih dari 30 persen penumpang KA adalah perokok. Apalagi lamanya waktu tempuh, menjadi tantangan tersendiri bagi perokok untuk tidak merokok di sepanjang perjalanan.

Berbicara tentang jadwal, dalam setiap pembelian tiket selalu tertera waktu keberangkatan dan kedatangan. Pembaca pasti masih ingat lirik lagu Iwan Fals “Kereta Tiba Pukul Berapa“:

“Biasanya...kereta terlambat dua jam mungkin biasa...“

Namun PT KAI sekarang sudah mulai disiplin, dengan jadwal keberangkatan dan kedatangan tepat waktu. Hal ini berdasarkan pengalaman saya pribadi setelah beberapa kali dalam waktu dekat menggunakan jasa KA. Bahkan sekali, saya sempat ketinggalan kereta karena beranggapan PT KAI masih seperti dulu, mengulur waktu.

Mulai bulan Maret, PT KAI juga menerapkan peraturan pelayanan pembelian tiket yang sebelumnya bisa dibeli pada 40 hari sebelum berangkat menjadi 90 hari sebelum pemberangkatan. Peraturan ini merupakan keputusan Direksi PT KAI No D6/26 Tanggal 2 Maret 2012 yang berlaku untuk kereta api kelas eksekutif, bisnis, serta ekonomi komersial jarak jauh dan menengah ke segala jurusan demi kenyamanan dan kemudahan bagi penumpang.

Pemesanan tiket KA H-90 untuk kelas eksekutif dan bisnis dapat dilayani di setiap stasiun online, contact center, PT Pos Indonesia, Pertokoan Indomaret dan di agen-agen PT KAI yang tersebar di berbagai daerah Indonesia. Sedangkan pemesanan tiket H-90 untuk kelas ekonomi komersial jarak jauh dan menengah bisa diperoleh di stasiun-stasiun online. Peraturan ini berarti PT KAI sudah tidak melayani lagi pembelian tiket secara langsung yang mengakibatkan antrean panjang dan kemacetan yang sangat tidak nyaman.

Namun ada beberapa orang yang mengaku sebagai pengguna setia jasa KA tidak setuju. Mereka juga merasa kecewa dengan kebijakan ini karena tidak selalu memiliki rencana sebelumnya. Jadi, sangat tidak mungkin untuk dilakukan ketika tiba-tiba ada kepentingan mendadak dan harus pergi hari itu juga.

Ada baiknya memang masih diberlakukannya pembelian tiket secara langsung, asal tidak menggunakan cara-cara seperti di Stasiun Pasar Senen dengan antrean berdiri. Karena cara itu tidak membuat para calon penumpang menjadi tertib. Selain terjadi aksi saling dorong dan saling selang yang bisa merugikan pengantre yang lebih dulu datang, juga kerap merugikan kaum wanita akibat terjadinya tindak pelecehan seksual yang dilakukan para lelaki yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Berbeda dengan cara-cara antrean yang dilakukan di Stasiun Pasar Turi. Disana terlihat rapi dan sangat tertib dengan menyediakan bangku buat para pengantre. Jumlah tempat duduk ada 16 x 7 dan di bawah pengawasan beberapa Polsuska. Mereka mengatur pengantre dengan sangat tegas, sehingga tidak terjadi saling serobot dan aman bagi para wanita.

Namun ada perkembangan baru dari hasil wawancara saya dengan beberapa kawan dari Surabaya yang  baru saja datang ke Jakarta, 16 Mei lalu. Mereka melakukan perjalanan dengan menggunakan jasa KA kelas ekonomi 'Kertajaya'. Ternyata, peraturan pembelian tiket H-40 atau H-90 masih belum diberlakukan. Bahkan menurut Umar, ketika Ia datang ke stasiun untuk memesan tiket pada H-8 masih belum bisa dilayani. Kata petugas tiketnya besok saja, karena peraturannya H-7. Keesokan harinya, Taqim kawan Umar datang ke stasiun pukul 05.00 WIB. Ia berniat untuk antre. Jam 7 pagi loket dibuka, namun yang kebagian hanya beberapa orang saja karena tiket sudah habis. Ketika Umar bertanya, alasan petugas adalah tiket habis karena banyak yang memesan secara online di 60 stasiun. ”Ini tidak masuk akal,” kata Umar. ”Di Surabaya saja, stasiun yang melayani penjualan tiket jurusan Surabaya-Jakarta melalui jalur utara hanya Stasiun Pasar Turi. Mana ada 60 stasiun? Bahkan jika dihitung sampai Jatim pun,” imbuhnya lagi. Akhirnya, Umar dan kelima kawannya terpaksa harus membeli tiket melalui calo yang ada disana.

Berbicara lagi tentang percaloan, berdasarkan informasi yang saya dapat, PT KAI akan serius menegakkan aturan yang mengharuskan nama dalam tiket sesuai dengan kartu identitas penumpang. Dan satu tiket hanya untuk satu orang. Hal ini sebagai upaya mempersempit ruang gerak calo. Mereka juga berjanji akan menertibkan calo tiket yang marak berkeliaran di sekitar stasiun.

Memang dI Stasiun Pasar Senen, Polsuska dengan sangat tegas menginstruksikan agar calo tidak ikut antre. Jika Ia menemukan ada calo disana, maka Ia tak segan-segan untuk merobek tiket tersebut. Namun kenyataanya berbeda, kalau calo-calo diluar diberantas, maka yang di dalam jelas-jelas dilindungi. Logika saja...bagaimana seorang penumpang bisa naik KA tanpa tiket??

Kebetulan penumpang itu duduknya berhadapan dengan saya. Ketika Polsuska melakukan pengecekan tiket, pasangan suami istri yang membawa kedua anaknya itu tak menunjukkan tiketnya. Mereka cukup menyebut nama seseorang yang ada di dalam (restorasi) dan petugas pun lalu pergi.

Berbeda dengan situasi di Stasiun Pasar Turi, lebih ketat. Meski nama di KTP sudah tercatat dalam tiket, namun saat penumpang akan memasuki area stasiun masih diwajibkan menunjukkan KTPnya lagi. Sehingga terkesan mematikan ruang gerak para calo tiket.

Dari hasil wawancara saya dengan beberapa kawan dari Surabaya selanjutnya, menunjukkan adanya kejanggalan. Setelah melakukan negosiasi dengan seorang calo, merekapun harus membayar tiket seharga Rp 90.000, sedangkan harga normalnya adalah Rp 43.500. Maka, jadi pertanyaan lagi buat saya...bagaimana bisa mereka masuk ke area stasiun dengan penjagaan yang ketat melebihi Stasiun Pasar Senen? Taqim kembali menjelaskan, bahwa enam tiket yang mereka beli itu menggunakan nama yang sama dan mereka disarankan berangkat dari Stasiun Babat. ”Disana, kami sudah tidak menggunakan KTP lagi ketika memasuki area stasiun. Tiket yang kami tunjukkan langsung dicoret (sebagai tanda sudah diperiksa) setelah kami mengatakan bahwa kami membeli di Surabaya,” jelas Taqim lagi. ”Sudah jelaslah ada kerjasama antara orang dalam dengan para calo. Mana bisa mereka membeli tiket sebanyak itu dengan waktu yang singkat dan nama yang sama, sedangkan peraturannya kan satu tiket untuk satu orang,” kata Hermawan menambahkan.

Maka dapatlah disimpulkan bahwa praktek percaloan masih terus berlangsung di stasiun-stasiun KA di berbagai daerah. Gertakan para Polsuska bak tong kosong, hanya nyaring terdengar namun tak ada bukti bahwa mereka benar-benar memberantas calo tiket.

Ada lagi peraturan PT KAI yang melarang penumpang memasuki area stasiun (tempat keberangkatan dan tempat kedatangan KA), sebelum  satu jam kereta berangkat. Seperti tulisan yang pernah saya lihat tertempel di dinding ruang tunggu Stasiun Pasar Senen, berbunyi : “TERHITUNG SEJAK BULAN OKTOBER 2011, PENGANTAR DILARANG MEMASUKI PERON“. Itu artinya sudah ditiadakannya lagi karcis peron. Namun apa yang terjadi??... Pintu menuju area stasiun tidak terhalang apapun, karena meja penjaga berada di samping dan hanya dijaga oleh dua orang petugas. Sebelah pagar tertutup dan sebelah lagi terbuka.

Saya kemudian menemukan keanehan disana. Beberapa kali saya melihat para pengantar yang sebenarnya patuh terhadap peraturan dengan tidak melewati terali besi yang membatasi antara ruang tunggu dan area stasiun. Namun beberapa kali pula, salah seorang dari petugas jaga mendekat dan membisikkan sesuatu. Si pengantar lalu merogoh kantongnya, memberikan lembaran uang dan masuk kedalam.

Lagi-lagi..saya menemukan perbedaan ketika berada di Surabaya. Di Stasiun Pasar Turi penjagaan benar-benar sangat ketat. Pintu/terali besi yang membatasi area stasiun dengan ruang tunggu dihalangi dengan meja dan beberapa petugas (sekitar enam orang), hingga hanya bisa dilewati satu orang saja. Tak satu orang pun bisa mendekati pintu gerbang atau masuk ke dalam area stasiun tanpa menunjukkan tiket dan KTPnya. Juga tak ada toleransi kepada para pengantar selama beberapa waktu dan beberapa kali kesempatan saya berada di sana. Jika ada penumpang yang melakukan perjalanan sendiri namun tak mampu membawa barang-barangnya yang terlalu banyak, maka petugas yang akan membantu membawanya ke dalam.

Meski sedemikian banyak peraturan baru yang diberlakukan PT KAI dengan dalih ingin memberi kenyamanan kepada para pengguna jasanya, namun masih ada juga kekurangan-kekurangan yang harus dibenahi. Seperti banyaknya binatang-binatang kecil (mirip kecoa) yang merayap di dinding-dinding gerbong dan bangku-bangku penumpang KA kelas ekonomi yang sangat mengganggu. Juga kurangnya persediaan air dalam WC yang mengakibatkan air habis sebelum setengah perjalanan.

Saya pun kembali melanjutkan lirik lagu saya: “Kertajaya“ sebagai protes yang belum terjawab...

"Kau kabarkan padaku WC tak ada air,
kau harus menahan inginmu.
Di kemeja hitammu terbentuk pulau-pulau,
karena keringat kucuri tubuhmu.

     Jangan berharap kawan, ada AC disini,
     kereta ini kereta kelas kambing.
     Jangan berharap kawan, cepat sampai tujuan,
     kereta ini sering berhenti...dan kaupun mengumpat."

( Casablanca, 19 Mei 2012 ) 

Theme Song:  (Tari Adinda - Kertajaya): http://www.youtube.com/watch?v=7L3yGiE9bHQ

Thursday, October 4, 2012

' kalut '


kalut itu …
aku yang berhenti disebuah warung
tak tahu apa yang kubeli
penjual muncul
bertanya
aku pergi

kalut itu …

aku yang melambatkan langkahku dikeramaian lalu lintas
tak peduli mereka beramai-ramai menyerangku
hingga aku tak bernyawa

kalut itu …

aku yang mampir dikedai bakso
tapi hanya memainkan isi mangkoknya
hingga tak ada nikmat yang tersisa

kalut itu …

aku yang ingin memandang satu titik saja
males ngapa-ngapain
asam lambungku naik
perut mual 
perih

kalut adalah ...

aku yang tak bisa fokus berpikir


(Casablanca, 3 Oktober 2012)

Photo Source: Google Images

Wednesday, October 3, 2012

' menunggu pagi '

aku ingat betul
setiap langkah yang kau lakukan
setiap kalimat dan lagu yang kau sindirkan
memoriku masih mampu menyimpannya
dari a sampai z

bukan salahku
jika aku merasa hebat
juga kau
kita sama-sama hebat

dan ia masih terus bercerita ...
tapi aku tak mampu lagi mendengar
sibuk menenangkan degup jantungku

teka teki itu terjawab tanpa sengaja
tak ingin lebih meluka
dengan penjelasan yang lebih detil
serentak tubuhku bergetar
kaki, tangan, juga bibirku

aku menggigil !

bukan karena dingin ac diruang mewah itu
aku tersiksa dengan sandiwara tanpa sutradara
menertawakan drama korea yang sama sekali tak lucu
menikmati keindahan kota yang tak lagi menghiburku

aku ingin segera pagi …

(Ritz Carlton, 2 Oktober 2012)



 
Blogger Templates