Berdasarkan berita Kompas.com, Senin, 22 April 2013, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyerukan desakan penghapusan
Ujian Nasional (UN). UN dinilai cacat secara hukum dan praktik sehingga harus
segera dihentikan. Putusan tentang UN yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan Nomor 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST tertanggal 21 Mei 2007, juga
telah diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung (MA).
Permohonan eksekusi telah diajukan dan bahkan PN Jakarta
Pusat sudah mengajukan peringatan kepada Presiden, Wapres, Mendikbud, dan Ketua
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk melaksanakan putusan tersebut,
namun hingga kini, UN masih tetap digelar.
Menurut LBH Jakarta, pelaksanaan UN bukan saja melawan perintah
pengadilan. Presiden, Wakil Presiden, Mendikbud, dan Ketua BNSP pun secara
tidak malu melanggar UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
di mana Pasal 58 dengan jelas mengatur bahwa evaluasi hasil belajar peserta
didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Senada dengan statement Ahok beberapa waktu yang lalu,
bahwa UN dengan nilai yang tinggi sekalipun, tidak menjamin seorang siswa
memiliki karakter yang bagus, disiplin yang baik, serta menjadi orang yang
tahan banting menghadapi kesulitan. Sistem pendidikan yang baik itu tidak bisa
dinilai hanya dari hasil akhirnya, tapi dari prosesnya.
Pelaksanaan UN hanya akan membuat anak menjadi stress, sehingga
bisa mengganggu psikologisnya. Mereka akan melakukan hal-hal diluar logika,
dengan pergi ke dukun atau mengunjungi kuburan-kuburan yang dianggap keramat. Apalagi
jika akhirnya gagal atau tidak lulus, maka bunuh diri bisa dijadikan pilihan
terakhir karena malu atau takut kepada orang tuanya. Menjadi tidak adil jika
proses belajar siswa yang sudah berjalan selama 3 tahun, kelulusannya hanya ditentukan dari UN
yang berlangsung 4 hari.
Dengan tetap menyelenggarakan UN, sama saja dengan mencetak
generasi muda memiliki mental korupsi, tidak mandiri, dan tidak percaya diri. Diawali
dengan melakukan kecurangan, mereka yang memiliki uang lebih akan beramai-ramai
membeli jawaban soal lalu menyontek. Mereka menjadi malas berpikir dengan
mengandalkan jawaban yang sudah tersedia –tidak menjawab berdasarkan apa yang
mereka pahami. Pun standarisasi pendidikan di masing-masing daerah berbeda.
Buku-buku pelajaran yang direkomendasikan untuk masing-masing daerah bahkan di
tiap sekolah pun berbeda, sehingga yang seringkali terjadi, antara soal-soal
yang mereka terima pada saat UN tidak sesuai dengan materi pendidikan yang sudah mereka dapatkan.
Lalu bagaimana UN masih terus dilaksanakan? Dengan melanggar
keputusan pengadilan, maka bisa dikatakan bahwa pelaksanaan UN itu dipaksakan ada.
Jika pelaksanaan UN membutuhkan dana, artinya dengan dihapuskannya UN, maka ada
penghematan APBN …
sepakat..........terus berkarya untuk rakyat..itulah sjatinya pndidikan
ReplyDeleteTerima kasih elqhy ploer ... :)
Delete