Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Monday, April 14, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 16)


“Masa perkembangan masyarakat berganti dari jaman feodal menjadi jaman industri sejak ditemukannya mesin uap. Namun perubahan ini belum dapat membebaskan peran perempuan dimana para pengusaha masih melestarikan paham feodal. Meskipun mereka mengakui persamaan hak, namun diskriminasi berdasarkan gender masih berlangsung. Perempuan masih ditempatkan pada industri-industri ringan, tugas-tugas yang ringan, dengan upah yang lebih rendah dari laki-laki. Meskipun tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional, sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya, namun persamaan hak masih terus diperdebatkan. Ruang-ruang untuk perempuan masih dibatasi. Pelecehan terhadap perempuan masih tinggi, masih banyak yang memandang perempuan hanya sebagai obyek seksual laki-laki. Dan pekerjaan domestik masih menjadi ladangnya perempuan. Pernah tidak kawan-kawan membandingkan fasilitas dari industri yang khusus mempekerjakan laki-laki dengan industri yang khusus mempekerjakan perempuan?”

Semua peserta pendidikan hanya diam menatap ...

“Jangankan upahnya, makanan atau ransum yang mereka dapatkan saja berbeda. Dari kualitas nasinya, sayurnya, juga lauknya. Itu sebabnya, banyak pengusaha yang lebih suka mencari pekerja perempuan, karena perempuan itu dikenal nurut, mudah diatur, sehingga diupah murahpun diam saja.”

“Iya, kami suka dapat nasi basi. Sudah berasnya beras jatah lagi.”

“Sayurnya juga sampah. Yang seharusnya dibuang, dimasak juga. Sepertinya nggak dicuci. Masak ada rumputnya. Emang kita kuda disuruh makan rumput.”

“Kalau dapat daging atau telur dadar juga secuil. Kalau dapat telur bulat, dibagi dua. Kadang dapat tempe orek saja, ikan teri saja, atau tempe rebus saja sepotong. Kalau dapat ikan, nggak pernah dibersihin sisiknya. Emang kita kucing?”

“Nah … nah … nah … dapat buah tidak?” Tanya Zi.

“Enggaaakk …”

“Orang kantor saja yang dapat, kak …”

“Ya, itu artinya, perusahaan memberikan jatah uang makan yang sangat murah pada kawan-kawan yang diserahkan pada pemilik catering. Harga nasi bungkus kan sesuai menu-nya.”

“Mending dibayar uang saja, kak. Percuma dapat makan, masih beli lauk juga.”

“Pernah tidak protes ke managemen perusahaan?”

Mereka menggeleng …

“Nah, itu dia. Kenapa banyak perusahaan yang lebih suka mencari pekerja perempuan? Berbeda dengan perusahaan yang rata-rata pekerjanya laki-laki. Kebanyakan mereka atau managemen tidak berani semena-mena, karena laki-laki itu suka melawan dan gampang emosi. Maka hal-hal yang tidak kawan-kawan setujui, harus dimusyawarahkan dengan kawan-kawan yang lainnya. Atau kalau ada serikat buruh, harus dibicarakan juga dengan serikatnya masing-masing, lalu diajukan ke managemen. Itulah gunanya kita berserikat atau berorganisasi, agar kita kuat karena kita tidak berjuang sendirian. Ok! Saatnya kita melawan !!” Zi mengacungkan tinjunya. “Setuju?”

“Setujuuuuu …” Para peserta menjawab serentak.

“Kalau begitu, angkat semua tangan kirinya! Jangan tangan kanan, tapi yang kiri, karena kiri pertanda melawan. Lalu kepalkan tangan kita dan kita teriakkan, lawan! Ok! Kita teriakkan apaaa?”

“Lawan !!”

Ruang kelas itu seolah bergetar, ketika dengan penuh semangat perempuan-perempuan pabrik itu menyatukan suara, hingga terdengar seperti petir yang menggelegar …
       
***

Pukul sepuluh malam, Zi keluar mencari rokok. Karena warung di dekat markas tutup, Zi mencari penjual rokok yang mangkal di pinggir jalan raya.

“Bang, beli bang … bang … bang …”

Zi mencoba membangunkan laki-laki pemilik kios rokok yang tertidur pulas di atas motornya. 

Aneh. Tidur kok di atas motor. Nggak takut jatuh apa? Emm, mungkin sudah terbiasa ... 
 
Telinganya lantas mendengar suara televisi dari dalam. Zi melongokkan kepalanya. Semua juga sudah tertidur. Ada seorang perempuan, istri lelaki itu, tidur setengah duduk memangku anak lelakinya yang masih balita. Di samping kakinya, ada anak perempuan seusia empat tahunan. Di pintu kios, dua anak lelaki mereka yang sering terlihat bersekolah di SD Negeri dekat markas. Kira-kira kelas 2 dan kelas 3.

Zi lalu pergi mencari-cari lagi kios rokok yang masih buka. Sambil berjalan melintasi trotoar, batinnya kembali bersuara …

Nggak habis pikir. Setiap kali aku melewati kios itu atau belanja, mereka selalu ada di sana. Apakah mereka tuna wisma? Manusia gerobak? Bagaimana mereka mandi dan membuang kotorannya ya? Di belakang kios itu memang ada rumah. Tapi tentu bukan rumah mereka, karena jelas mereka tak perlu tidur berdesak-desakan di kios seperti itu. Di bawah kios itu berdiri, ada selokan selebar satu meter. Apakah di sana mereka membuang hajat? Tapi, tidak ada penghalangnya. Terus, bagaimana juga mereka memenuhi kebutuhan biologisnya ya? Apakah mereka melakukan seks kilat ketika suaminya ingin, saat anak-anak mereka bermain? Hmm … kasihan istrinya. Tanpa 'foreplay', tentu hubungan intim rasanya hampa. Meskipun laki-laki juga membutuhkan 'foreplay' agar bisa menikmati kegiatan seksnya, tapi tentu perempuan lebih membutuhkan, karena perempuan tidak bisa menikmati seks mendadak seperti laki-laki. Kecuali perempuan yang melacurkan diri, terpaksa mengikuti pelanggannya demi rupiah, sehingga tak ada tuntutan yang mengganjal perasaannya. Dan kalau suaminya tiba-tiba horny, sementara ia merasa terganggu dengan anak-anaknya, gampang saja. Dengan uang dua puluh ribu, ia bisa mencari pelacur jalanan. Main di kuburan, di bawah jembatan atau diantara bak-bak sampah. Istrinya? Hanya bisa menahan keinginannya. Sudah susah, anaknya banyak. Bagaimana bisa menikmati hidup? Sekedar menikmati kegiatan di atas ranjang saja, sulitnya minta ampun. Kenapa ya? Yang hidupnya mapan, hartanya berlebih-lebih, rata-rata anaknya sedikit. Kalau nggak satu, ya dua. Yang hidupnya kekurangan, beranak terus kayak kucing. Kalau ditanya kenapa tidak menggunakan alat kontrasepsi? Kebanyakan mereka menjawab,”Boro-boro buat KB, buat makan saja susah.” Ohh ... negeriku yang kaya raya ... sementara rakyatnya tidak mampu membeli alat kontrasepsi, kondom bekas bertebaran di setiap kamar mandi gedung wakil rakyat. Para pejabat yang dipilih dan diharapkan bisa memperbaiki nasib mereka, malah asik berpesta seks bersama sekretaris pribadinya ...

***

Di sebuah gedung tempat diadakannya seminar yang bertajuk “Pancasila dan Filosofi Anti-kolonialisme”, Zi bersama kawan-kawannya terlihat sibuk menyiapkan segala keperluan untuk acara. Tugas telah dibagi ke beberapa kelompok. Zi dan Inez kebagian tugas menyiapkan souvenir untuk para undangan. Sebuah tas berbahan kain dengan warna dasar putih bergambar Garuda Pancasila dengan motif batik. Indah sekali . Tas itu kemudian diisi dengan foto copy materi, block note dan pulpen.

Para undangan sudah banyak yang hadir. Hampir seluruh kursi yang tersedia sudah terisi. Sesuai dengan rundown acara, tepat pada waktu yang sudah ditentukan, acarapun dimulai. Setelah bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan do’a. Ketua lalu memberikan sambutan, disambung pembicara yang menyampaikan pandangannya dan diskusi.

Waktu merangkak, dunia bergerak, ceritapun berubah. Demikian juga dengan para pemerannya. Tak salah jika dikatakan, dunia adalah panggung sandiwara. Kalau dulu Mas Wi yang memahat kenangan di setiap acara, mengalihkan pandangannya di sela-sela keseriusannya, kini perannya digantikan oleh sahabatnya. 

Dulu setiap ada acara, Uda’ tak pernah duduk diam di dalam ruangan. Uda’ lebih suka bebas mondar mandir, bahkan lebih banyak berada di luar. Sekarang berbeda. Seperti ada yang fokus diperhatikan. Tentu gadis bermata sipit itu. Beberapa kali Uda’ terlihat berpindah tempat duduk, karena Zi tak konsisten berada di satu bangku. Uda’ selalu berusaha mengambil posisi di belakang perempuan yang tak pernah bisa diam itu. Sementara keinginan Zi pun begitu. Ia ingin berposisi di belakang Uda’. Alasan mereka juga sama, agar sewaktu-waktu bisa mencuri pandang, sehingga mereka terus bergeser, seperti berlomba mencari tempat yang terbelakang.

Zi akhirnya yang menjadi pemenang. Ia mendapatkan posisi paling belakang, meski harus keluar dari deretan kursi para undangan. Membuat Uda’ gelisah, duduknya tak tenang. Sebentar-sebentar, Uda’ menoleh ke belakang, mencari gadis keturunan Cina yang berlesung pipit itu. Sedangkan Zi tak perlu repot-repot. Ia tinggal memainkan bola matanya saja untuk memandang lelaki pejuang yang kini jadi pujaannya.

Acara selesai pukul lima sore. Para undangan segera meninggalkan gedung pertemuan. Hanya beberapa tamu dan kawan-kawan lama yang melepas kangen, masih asik ngobrol berpencar membuat kelompok sendiri-sendiri. Juga beberapa wartawan, masih terlihat sedang melakukan wawancara dengan ketua. Demikian pula Zi dan Uda’, tak lagi diam di tempat yang sama.

Di sebuah ruangan khusus tempat para panitia berkumpul, juga sebagai tempat menyimpan konsumsi dan segala perlengkapan, terlihat Uda’ sedang duduk berduaan dengan seorang perempuan. Zi memasuki tempat itu. Niatnya melepas lelah sambil bersantai menyantap beberapa kue yang tersisa untuk mengisi perutnya yang terasa lapar. Tetapi, betapa kagetnya ia ketika melihat pemandangan itu. Begitu pula Uda’ yang tampak terkejut melihat kedatangan Zi. Niat semula diurungkan, tetapi ia tak mungkin tiba-tiba berbalik arah. Zi hanya mengambil sisa air mineralnya di gelas plastik yang tadi diletakkan di meja, lalu keluar.

Ada perih yang dirasakan bersarang di dadanya. Zi merasa tak perlu menunggu rombongan. Ia kemudian pamit pada Ines untuk kembali ke markas lebih awal dengan alasan sakit kepala.

Uda’ seperti merasa bersalah. Setelah mencari-cari Zi tak ketemu, Uda’ bertanya pada seorang kawan yang berada di luar gedung. Dari sana, Uda mendapat kabar, kalau Zi sudah kembali ke markas sendirian. Uda’ segera pergi menyusul.

Pintu markas tertutup rapat. Uda’ yakin ada Zi di dalam, karena posisi gembok terkunci dari dalam pagar. Memang tidak semua memegang kunci markas. Hanya Diah dan Joko. Zi memiliki sendiri, karena ia sengaja menggandakannya.

“Woooooyyy … Ziiiiiii … bukaaaaaaa …”

Berkali-kali Uda’ berteriak, Zi tak mendengar. Teriakan Uda’ tenggelam oleh tangisnya yang pecah di kamar mandi. Lepas, menggerung-gerung. Air matanya larut bersama air yang jatuh membasahi rambut dan sekujur tubuhnya. Ia terus mengguyur membabi buta, mengalihkan keinginannya untuk mengobrak-abrik seluruh barang yang ada, hingga benar-benar merasa lelah.

Zi menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Kasurnya basah, ia tak peduli. Dalam keadaan lemas terkulai, ia berharap bisa segera tidur. Tetapi pemandangan tadi seperti melekat di matanya, membuatnya tak berhenti ingin menangis. Bisa jadi, Zi tak akan memiliki kecemburuan sehebat itu, jika saja ia tak pernah mendengar cerita, bahwa perempuan itu pernah menyukai Uda’. Bahkan tak berhenti mengejarnya. Hanya Uda’ tak pernah menanggapi. Tetapi kali ini Zi menganggap berbeda, karena Uda’ telah membuka hatinya. Mungkin saja Uda’ memberinya harapan.

Aku tahu, perempuan itu terlihat mapan karena gajinya tinggi, karena kerja-kerjanya dibiayai asing. Uda’ boleh menganggap aku tidak pantas untuk Uda’, tapi buat aku tidak begitu. Satu-satunya alasan Tuhan menciptakan manusia karena cinta, maka semua manusia menjadi setara dan dipantaskan. Siapa, memiliki hak untuk mencintai dan dicintai oleh siapa, selama tidak mengganggu hak orang lain. Dan semua kembali kepada siapa itu sendiri. Meski keadaanku atau latar belakangku dianggap salah, sehingga aku menjadi rendah di mata Uda’, aku tidak pernah menyesal menjadi Zi yang akan tetap menyayangi Uda’. Bahkan sedikitpun aku tak pernah berpikir untuk melumpuhkan ingatanku. Aku ingin Uda’ selalu hidup di sini (Zi menunjuk dahinya) … di sini (Zi menunjuk dadanya) …  

Zi tak pernah tahu kalau Uda’ mengejarnya ke markas. Berteriak-teriak memanggil, bahkan berkali-kali menghubunginya lewat telepon. Tapi ponselnya sudah di-non aktifkan sejak dalam perjalanan.

Air matanya masih deras mengalir. Zi menikmati setiap hangatnya …  

~ Bersambung ~ 
    

(Sawo Kecik, 3 April 2014) 

Theme Song: (Acha Septriasa - Sampai Menutup Mata) https://www.youtube.com/watch?v=m4T-yhYiQ8I 

Photo Source: Google Images



Saturday, April 12, 2014

Cerpen: Dari Lorong 20 sampai ke Mona


Setahun yang lalu, aku ingin menuliskan ini, sebagai kado ulang tahun Mas Tejo yang jatuh pada tanggal 11 April. Tapi aku selalu lupa membuat konsepnya untuk persiapan. Jadinya, mendadak hari ini harus kutulis.

Aku mengenalnya pada tahun 2006, ketika mendatangi acara yang diselengggarakan oleh Organisasi FNPBI (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia), mengundang pembicara dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Gedung Olah Raga Semper, Jakarta Utara. Itupun karena terbujuk kawan Rogayah. Beberapa kali ia mengundangku ke acara diskusi-diskusi dan pendidikan, aku tak pernah tertarik untuk datang. Tapi rupanya, kawan Rogayah tahu kelemahanku. Maka ketika memberikan undangan itu, ia mengatakan, kalau di acara itu ada bazar dan hiburan dari kelompok band.

Aku akhirnya datang. Tetapi baru sampai lokasi dan melihat situasinya, aku sudah kecewa karena tidak seperti yang dikatakan kawan Rogayah dan seperti bayanganku. Tidak ada bazar. Hanya ada satu meja di depan pintu yang menjual buku, kaset CD, kerajinan tangan dan accessories. Tidak ada juga alat-alat band. Panggung hanya diisi kursi-kursi dan meja panjang untuk pembicara. Kawan Rogayah masih terus membujukku, katanya, hiburan musiknya di akhir acara.

Tanya jawab dengan pembicara dan diskusi selesai, tiba saat acara untuk hiburan. Dua orang lelaki muda tampil di panggung. Mereka dari Organisasi JAKER (Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat). Yang satu membawa gitar, kelak aku kenal bernama Tejo Priyono. Yang satu lagi sebagai vokalis, yang akhirnya aku kenal bernama Kamal. Aku langsung menyukai lagu-lagu yang mereka bawakan. Meski lagunya sederhana dan hanya diiringi satu gitar saja, namun mampu membangkitkan semangatku. Apalagi semua kawan-kawan yang hadir serentak ikut bernyanyi. Aku yang semula duduk di bangku belakang, langsung menuju kursi yang paling depan. Akupun pelan-pelan mengikuti. Kelak aku tahu, lagu-lagu itu dari album Sanggar Satu Bumi.

Usai acara, kami nongkrong ramai-ramai di samping gedung.

“Aku juga punya teh, lagu kayak gitu.” Kataku pada Kawan Rogayah.

“Gimana lagunya?”

Akupun bernyanyi … 

Hei ... duniaku saat ini, dunia yang penuh dengan, emosi dan caci maki. Na-sib seorang buruh kontrak, bagai bola yang ditendang, bila tak lagi dibutuhkan …  

“Itu lagumu sendiri?”

“Iya. Aku bikin sendiri berdasarkan pengalamanku.”

“Kalau begitu, kamu masuk Sanggar Kapuas saja. Nanti aku kenalin kamu sama Tejo, yang tadi main gitar.”

Di dalam pabrik saat istirahat, Kawan Rogayah menunjukkan pesan singkat dari mas Tejo yang mengajak ketemuan di sekretariat SBTPI (Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia). Sepulang kerja, kami mampir ke tempat pertemuan yang sudah disepakati.

“Ooohh … kamu to ... Yang kemarin datang di acara kan?”

“Iya.”

Terjadi tanya jawab, dari kegiatanku di seputar pabrik sampai di kost-an. Seperti interview. Aku lalu disuruh nyanyi sambil memainkan gitar membawakan lagu-lagu karyaku, disaksikan kawan-kawan yang lain.

Menjelang Hari Buruh Sedunia, FNPBI mengadakan Aksi Really Kawasan untuk mengajak semua buruh di KBN (Kawasan Berikat Nusantara) turun aksi di May Day nanti. Setelah long march mengitari area pabrik, kami berhenti di tanah lapang. Sebuah tempat yang strategis, berada di tengah-tengah kawasan, sehingga orang yang lalu lalang akan melihat kegiatan itu. Di sana, aku disuruh tampil menyanyikan lagu Buruh Kontrak. Mas Tejo datang membawakan gitar untukku.

“Mas, kok nggak ada bangkunya? Bagaimana duduknya?”

“Ya nggak pakai duduk. Berdiri saja. Berdiri lebih kereeenn …” Mas Tejo mengangkat kedua jempolnya, lalu memasang dan mengencangkan strap gitar di punggungku.

Sesuatu yang pernah aku impikan, terwujud. Bernyanyi dan bergitar sendiri, menyanyikan karyaku sendiri, menghibur dan menyemangati mereka yang sedang berjuang. Semua orang bertepuk tangan dan ikut bernyanyi.

“Lagu-lagumu itu harus dibikin album, Tar, karena belum ada yang menciptakan lagu secara spesifik tentang kehidupan buruh. Lihat saja tadi, buruh dari mana saja menyambut lagumu dengan teriakan-teriakan yang membenarkan. Karena mereka juga mengalami itu.” Usul Kawan Kamal usai acara.

“Itu mimpiku, mas. Apa mungkin?”

“Kenapa tidak? Kan nanti kawan-kawan akan membantu.” Jawabnya, memberi semangat. 

Aku tidak pernah menyangka, kalau lagu Buruh Kontrak akan mendapat sambutan yang luar biasa. Lagu yang pernah aku nyanyikan sendiri di kamar kost, lalu aku tertawakan. Pikirku, siapa yang mau mendengar lagu seperti itu?

Sejak itu, aku jadi sering main ke Lorong 20, dekat Tanjung Priok, tempat sekretariat SBTPI. Aku jadi kenal dengan Kawan Dedi Fauzi, Kawan Agus Broto (biasa dipanggil Ndoro), Kawan Agus Bobo (aku biasa memanggilnya kakek), kawan Gustin (terkenal dengan GG), Kawan Cipto, Kawan Tomblo’, Kawan Irwan, Kawan Alif dan masih banyak lagi yang aku lupa namanya. Meskipun semua penghuninya laki-laki, tapi tempatnya tidak begitu kotor, karena ada piket yang dijalankan.

“Jangan pulang, Tar. Ini sudah malam, nanti kamu diculik orang. Sudah tidur di sini saja.” Begitu Kawan Ilhamsyah atau biasa aku panggil Mas Boing, melarangku pulang kalau sudah lewat dari pukul sembilan. “Tapi tidurnya jangan di ruang tamu, karena pintu nggak pernah ditutup dan pagar nggak pernah dikunci. Di dalam saja.” Lanjut Mas Boing.

“Awas lho, Tar, ada satu orang di dalam yang kalau tidur suka peluk-peluk dan kakinya nimpa-nimpa.” Kata Mas Kamal.

“Iiih … nggak maulaaah … Aku tidur dekat Mas Kamal saja kalau gitu. Pokoknya, aku tidur di pojok mepet dinding, baru sebelahku Mas Kamal.”

“Iyaaa …”

Kalau berkumpul dengan banyak lelaki dan aku yang satu-satunya perempuan, itu sudah biasa sejak SMA. Kebanyakan teman-temanku, ya laki-laki. Tapi kalau tidur beramai-ramai dengan banyak lelaki dan aku satu-satunya perempuan, baru kali itu. Tetapi semua kawan-kawan sopir, baik. Tidak ada yang bersikap tidak sopan. Mereka semua menjagaku.  

Begitu selalu, setiap kali aku menginap, Mas Kamal yang akan menjadi bentengku di antara banyak lelaki yang tidur berjejer seperti ikan cuwek (pindang). Kebetulan Kawan Kamal itu badannya tinggi besar seperti bodyguard, meski usianya masih sangat muda. Jauh lebih muda dariku. Tapi ada tambahan kepedulian kalau Mas Tejo ikut menginap juga di sana. Biasanya, Mas Tejo tidur di dapur sama kakek. Pagi-pagi, aku sudah bangun, bersih-bersih apa saja. Setengah jam kemudian, Mas Tejo bangun.

“Tari, ini masih pagi, kamu ngapain nyapu-nyapu. Tidur lagi sana.”

“Ih, orang sudah waktunya bangun. Nggak bisalah tidur lagi. Orang nggak ngantuk”

“Ya sudah, ayo cari sarapan. ”

“Mau beli apa?”

“Nasi uduk.”

“Enggak ah, nggak suka pagi-pagi makan nasi.”

“Nanti perutmu sakit lho kalau nggak sarapan.”

“Enggak. Nggak pa-pa.”

Sebentar kemudian, Kawan Gustin bangun. Dia langsung bikin kopi dua gelas dan beli gorengan, lalu kami duduk lesehan di teras. 

“Tar, buat aku, kau itu mutiara dari KBN.”

“Maksudnya?”

“Kau itu yang paling bersinar di antara kawan-kawan buruh yang lain. Berapa banyak kami menemui mereka, tapi belum ada yang memiliki kemampuan seperti kau.”

“Ah, kebetulan saja belum ketemu. Pasti adalaaah selain aku.”

“Ah, kau tak percaya. Aku itu sudah bertahun-tahun ngobok-ngobok KBN, mengorganisir buruh perempuan di sana, tapi belum ada yang seperti kau. Yang menciptakan lagu cinta, sudah banyak, Tar. Tapi yang kau ciptakan itu, lagu-lagu perlawanan, realisasi sosial. Kau juga bisa bernyanyi dan memainkan alat musik sendiri. Jarang itu. Apalagi perempuan.”

“Tari, Tari … jangan duduk di lantai. Pakai alas, pakai alas, nanti kamu masuk angin.” Mas Tejo datang setelah makan pagi di warung, berdiri di antara kami.

Hmm ... jadi ingat waktu kami tinggal bareng di kedai, Mas Tejo bilang,“Tari, jangan kamu terus yang nyuci gelas, capek kamu. Minggir, gantian aku yang nyuci.” 

Ya … mas Tejo itu sabar, penyayang. Kami jarang bertemu. Biasa bertemu kalau tidak di Lorong 20, di Enim (rumah pacar Mas Tejo), atau saat aksi, ya di Mona (sekretariat FNPBI). Dan setiap ketemu, Mas Tejo punya ciri khas, mengusap-usap kepalaku sambil bertanya,”Gimana kabarnya, neng …” Bahkan itu dilakukan di depan pacarnya. Tapi pacarnya tidak cemburu, karena dia tahu, hubungan kami hanya sebatas pertemanan atau persaudaraan. 

Aku menyanyangi Mas Tejo seperti kakakku sendiri, karena Mas Tejo banyak membimbing dan menyemangati aku. Seperti charger, Mas Tejo terus memompa semangatku. Ketidak-percayaan diriku, mungkin dipengaruhi oleh ibuku yang tidak pernah mempercayai kemampuanku dalam olah vokal, hanya karena suaraku tidak mencapai nada-nada tinggi. Padahal, apalah artinya nada tinggi, power, vibrasi, jika lagu yang dibawakan tidak memiliki dinamika, sehingga terdengar monoton atau datar karena tidak dinyanyikan dengan hati. Sebuah lagu menjadi tidak hidup, karena tak bernyawa. Menyanyi yang sebenarnya, tidak sekedar mengeluarkan suara atau berteriak. Tetapi bagaimana mengolah suara agar terdengar indah, serta dibutuhkan penghayatan agar pesan tersampai, sehingga bisa dinikmati. Meskipun istri si pemilik Grup Keroncong Remaja yang aku ikuti sejak kelas 2 SMP, lebih menyukai vokalku dibanding dengan penyanyi perempuan lainnya, kakak-kakak seniorku. Ibu Polwan (Polisi Wanita) itu akan menyuruhku menyanyi lagi, kalau pas latihan dia kelewatan mengikutiku. Meski Band Angkatan Laut memintaku bergabung, gara-gara sekali aku diajak latihan di kapal oleh guruku yang jadi pacarku waktu SMA. Belum lagi orang-orang di kampungku yang senang mendengar suaraku. Sampai-sampai tukang warung kopi merekamnya waktu aku nyumbang satu lagu di acara Agustusan yang mengundang kelompok musik dangdut. Kata mereka, suara penyanyinya kalah sama yang nyumbang. Aku jadi malu. Atau ... waktu aku ikut lomba nyanyi di Radio Suzana. Surat berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Timur untuk mengajakku kenalan. Kata mereka, suaraku bagus. Hah? (tanda tanya besar). Padahal cuma menyanyikan jingle iklan dan bukan aku pemenangnya. Tapi itulah, karena yang mengatakan adalah ibuku dan itu terus diulang-ulang, sehingga mematikan salah satu jaringan neuron dalam otakku. Namun sejak bertemu Mas Tejo, aku mampu mengatakan,“Ya, aku BISA!”

Aku sering curhat sama mas Tejo, tak jauh dari masalah seni dan gerakan, bahkan suatu hari aku pernah menangis di Mona dan kawan-kawan melihatnya. Sampai akhirnya, mereka menjuluki Mas Tejo sebagai bapakku.

“Eh Mba Tari, kok kemarin nggak datang di acara sih, dicari-cari bapaknya lho …” Kata pacar Mas Tejo.

“Iya Tari. Dapat salam dari bapaknya.” Kata Kawan Asmawati (Almarhumah).  

Kedekatan aku dengan Mas Tejo sering dinilai salah. Seperti seorang kawan yang semula menyangka kami pacaran. Ada juga yang menjodohkan kami, karena dianggap aku mencintai Mas Tejo. Bahkan pacarku sempat cemburu, menganggap aku punya hubungan yang spesial dengan Mas Tejo. Gara-gara aku tinggal dia di kost-an sendiri saat aku membeli makanan, lalu dia buka hp-ku. Di pesan masuk terlihat, 90% adalah sms Mas Tejo yang sudah 3 tahun lalu tidak aku hapus.

Ya, aku memang mengagumi Mas Tejo, tapi tidak berkembang melebihi rasa itu. Aku menyukai karya-karyanya, cara bertuturnya melalui tulisan-tulisannya. Aku bahkan masih menyimpan Tabloid Pembebasan Edisi 19 Tahun V Juni – Juli  2006, dimana ada kumpulan puisi-puisi Mas Tejo di sana. Aku juga suka permainan gitarnya. Mas Tejo juga konsisten dari awal mengatakan bahwa semua orang itu belajar, sehingga tak perlu menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. Dan tidak sekedar di mulut, tapi direalisasikan dalam sikapnya sehari-hari. Sekalipun, aku tidak pernah mendengar Mas Tejo merendahkan orang lain. Dan pujian-pujian yang diberikan padaku, tidak lalu membuat aku jadi besar kepala, tapi justru membuat aku semakin bertanggung jawab untuk mempertahankan atau meningkatkan kemampuanku, agar tidak mengecewakan Mas Tejo.

Akhirnya, demi menjaga perasaan pacarku, aku hapus saja pesan-pesan itu. Tapi sebelumnya, aku catat dulu di buku agendaku. Mau tahu, seperti apa sih pesan-pesan Mas Tejo? Ini dia …

·         ~ Siapkan teks lagu2mu, biar nanti bisa diketik. Ada foto yang sdg action g ? Buat sampul albummu nanti. Minggu depan kita ketemu & latihan lagu2mu. Ok ! Berkaryalah terus dan sukses ! (8 Mei 2006, 19:25)

·         ~ Terima kasih untuk perhatiannya. Tapi g usah datang segala, do’ain saja aku bisa pulih kembali & bisa kembali berjuang bersama-sama lagi. Ok Tari, salamku buat kawan2 yang lain. “HIDUP RAKYAT !!” (13 Mei 2006, 19:16)

      ~ Jangan lupa menulis ucapan2 terima kasih kepada ortu-mu, saudara dan kawan2 untuk disampul kaset. Sempatkan dirimu untuk sarapan dulu, biar kuat narik suaranya nanti. SUKSES ! (4 Juni 2006, 07:43)

·        ~ Ya, ampun ! Itu to masalahnya. Tari, kamu itu harus tahan dikritik, jadikan itu cambuk untuk terus maju. Jawab saja kritikan mereka dengan bijak. Kamu itu dahsyat Tari, produktif ! (5 Juni 2006, 23:06)

      ~ Jujur, aku aja kalah produktif sama kamu dalam hal mencipta lagu. Aku baru bikin 5 lagu, kamu punya puluhan karya. Jadi jangan patah semangat Tari. Maju terus ! Keep alive !! (5 Juni 2006, 23:37)

·         ~Ya seperti itulah kenyataan/realita kehidupan. Terkadang tidak selalu manis seperti yang kita duga. Tapi g apa2, kamu jangan cengeng dong ! Seniman kiri itu harus kuat ! Sekeras karang ! (5 Juni 2006, 23:47)

~ Lagu2mu direspon positif oleh kawan2 di Tebet. Ada g percaya kalau kamu yang mencipta sekaligus memainkan gitar. Berkarya terus ! Jangan surut oleh kritik. Maju terus Tari !! (6 Juni 2006, 20:31)

~ Kamu titipkan saja ke Dedy/sama Agus Broto kalau aku belum datang, karena harus ngurus sampul CD-mu dulu biar hasilnya maksimal. Oke ! Bendera perlawanan sudah dikibarkan, pantang untuk surut !!! (6 Juni 2006, 22:14)

      ~ Gimana ? Sudah kau tawarkan belum rekamanmu ke kawan2 pas pendidikan kemarin ? Pesan untukmu: jangan takut dan jangan gampang tersinggung dengan kritik. Jawab kalau kau mampu menjawabnya. Ok ! (12 Juni 2006, 21:27)

      ~ Aku minta maaf g bisa menampilkan kamu di aksi tadi. Aku sudah daftarkan kamu di kantor gubernur, tapi kembali antrinya banyak dan keburu sore. Maafkan Tejo ya Tari, lain waktu pasti bisa. (29 Juni 2006, 20:53)   

      ~ G masalah kan ? Hadapi saja dengan berani. Bilang bahwa itu kebebasan ber-ekspresi. Jangan takut dengan apa yang kau lakukan. Kalau keyakinanmu itu benar, jalan terus ! Met’ berjuang ! (13 Oktober 2006, 22:17)
   
      ~ Gimana pentasmu di Goethe Institut kemarin malam ? Sukseskah ? Wah semakin meningkat saja nih jam terbangmu. Okelah kalau begitu. Tetaplah berkarya & berjuang ! (8 Desember 2006, 20:50)

·        ~   Kau punya penghasilan tetap, apalagi sekarang kau kerap dapat undangan pentas, dari situlah sumber uangmu. Ya ampun nikmat sekali naik eksekutif ya… aku bersiap sengsara lagi dengan Kertajaya. (1 Januari 2007, 12:29)

      ~ Besok May Day : Hari Buruh Sedunia, kamu harus ikut merayakan. Kita ketemuan di Bundaran HI. Sampai besok ya. Sukses ! (30 April 2007, 19:59)

      ~ Syukurlah kamu tetap berkarya, karena perjuangan sangat butuh seniman2 kerakyatan yang ikhlas berjuang & membuat indah perjuangan ini dengan karya2nya. (6 Mei 2007, 09:34)

Begitulah … bapakku tetaplah bapakku, kakakku, juga kawanku, meski Atta dan Adam memanggilnya ayah dengan manja dan Mas Tejo melayaninya dengan sabar serta penuh kasih. Mas Tejo pernah mengutarakan keinginannya untuk membeli gitar kecil seperti milikku dan mengajari anak-anaknya bermain gitar. Semoga selalu sehat dan selalu menjadi ayah yang baik. Happy Birthday … 


(Sawo Kecik, 12 April 2014) 

Photo Source: Tejo's Photos

Tuesday, April 1, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 15)



“Penindasan yang dilakukan oleh pemilik budak kepada para budaknya, akhirnya menjadi pertentangan yang semakin kuat, hingga melahirkan revolusi kaum budak, atau pemberontakan budak. Meningkatnya perlawanan para budak, membuat tuan budak terpaksa memerdekakan budak-budaknya dan merubah klas budak menjadi tani hamba. Sedangkan tuan budak yang kini hanya memiliki tanah sebagai harta pribadinya, berubah menjadi tuan pemilik tanah. Nah, dari sini fase perkembangan masyarakat berubah, dari jaman perbudakan menjadi jaman feodal atau pertanian modern. Oke! Sampai di sini, ada pertanyaan?”

Senyap …

“Ayo, siapa yang ingin bertanya? Jangan malu-malu. Malu bertanya, sesat di kamar lho …”

“Sesat di jalan, kak …” 

“Ah, itu kuno. Yang terbaru, malu bertanya sesat di kamar. Malu pacaran, kesepian. Malu pelukan, kedinginan. Malu ciuman, jerawatan …”

Para peserta tertawa. Suasana sepi menjadi pecah oleh guyonan yang dilontarkannya dengan gaya sedikit jenaka. Menjadi gaduh dibarengi celoteh mereka beberapa saat. Sengaja ia berikan sedikit hiburan, agar mereka tidak terlalu tegang, sehingga dihinggapi rasa kantuk.

“Oke! Bisa dilanjut? Bisa serius lagi ya?”

Suasana kembali senyap …

“Kita akan memasuki jaman feodal atau pertanian modern. Pada fase ini, lahir budaya patriarkhi. Apa budaya patriarkhi itu? Ada yang bisa menjawab mungkin?”

Tidak ada yang menjawab …

“Budaya patriarkhi adalah budaya yang menomor-duakan perempuan. Artinya, bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Budaya ini sengaja diciptakan oleh para pemilik tanah atau tuan tanah, agar mereka tidak kehilangan tenaga kerjanya yang rata-rata perempuan. Agar perempuan tidak melawan, agar perempuan bisa ditundukkan, maka dilemahkan melalui opini atau pendapat tentang watak dasar perempuan. Apa saja watak dasar perempuan itu? Siapa yang bisa menjawab?”

“Lembut.”

“Ya. Apa lagi? Ayo yang lain?”

“Lemah.”

“Ya. Lebih tepatnya, lemah gemulai. Lemah gemulai gerakannya. Apa lagi?”

“Cantik.”

“Ya, boleh. Lebih tepatnya, bahwa perempuan itu harus merawat diri. Ada lagi?”

Sepi …

“Santun, dan perempuan hanya boleh bekerja di lingkungan terbatas. Seperti melayani suaminya atau bekerja dalam rumah tangga saja. Pekerjaan dalam rumah tangga ini yang sering disebut sebagai pekerjaan domestik, yaitu: sumur, dapur, kasur.”

*** 

Kenapa ya, aku tidak berani mengungkapkan perasaanku pada Uda’, seperti yang pernah aku lakukan pada Mas Wi? Apa karena tampang Uda’ yang terlalu serius? Apa karena Uda’ seorang yang tegas, sehingga aku tidak siap menerima resikonya? Ya, karena tegas selalu dikonotasikan sebagai tindakan yang kejam. Karena tegas seringkali tidak memerlukan pendekatan emosional. Tidak mengenal rasa ‘tidak enak’ atau sungkan, sehingga terkesan tidak menggunakan perasaan. Jika aku salah atau Uda’ tidak menyukai tindakanku, pasti jawabannya sangat menyakitkan. Tetapi lelaki tegas seperti Uda’, tentu aku suka, karena jarang aku temui. Dan tradisi ‘tidak enak’ yang masih terus dipelihara oleh bangsa di negeri ini, menjadi salah satu faktor yang membuat Indonesia sulit mencapai kemajuan. Yang seharusnya tidak disetujui, di-iya-kan. Yang semestinya dikritisi, di-amin-kan. Mereka terpaksa mengingkari kata hatinya, hanya karena ‘sungkan’. Dan kapitalis asing sudah mempelajari kebiasaan itu untuk memanfaatkan orang-orang yang berpengaruh di negeri ini, sehingga tempat-tempat yang strategis banyak dikuasai oleh mereka. Sikap tegas Uda’ juga mengindikasikan bahwa ia adalah orang yang setia pada prinsipnya. Uda’ menjadi identik dengan idealisme. Seperti barang yang sangat mewah …

Aku pernah membayangkan Uda’ menjadi lelakiku. Suatu sore, aku masuk ke ruang kerjanya. Ceritanya di dalam rumah kami itu, aku dan Uda’ memiliki ruang kerja masing-masing. Aku berhenti tepat di depan pintu yang terbuka. Sambil memegang gagang pintu, aku bertanya,“Uda’ sibuk nggak?”

“Ada apa?”

“Enggak. Ya sudah kalau Uda’ sibuk.”

Aku segera berbalik keluar ruangan, tetapi Uda’ buru-buru memanggilku. Aku mendatanginya lagi.

“Ada apa sih …?”

Kali ini, nada suaranya tidak lagi datar, tetapi meneduhkan.

“Kan tadi aku yang tanya, kenapa Uda’ balik bertanya?”

“Ya sudah, aku tidak terlalu sibuk. Terus, ada apa?”

“Cuma pengen peluk Uda’ saja, sebentar. Boleh nggak?”

“Oooh … sini …”

Tubuhnya yang tinggi besar seperti postur orang Eropa, membuat aku tampak kecil di hadapannya. Uda’ tak perlu berdiri. Cukup merubah arah posisi duduknya, membentangkan kedua tangannya, dan kami saling berpeluk.

Beberapa menit kemudian,”Sudah, Uda’.”

“Sudah?”

“Iya. Uda’ kerja lagi.”

Uda’ merenggangkan kedua lengannya dan aku segera keluar dari ruangan itu.

Huuuuuffftt … bagaimana aku berani mengungkapkan perasaanku? Mengembangkan imajinasiku saja, aku tak bisa. Apa karena Uda’ terlalu sopan, sehingga aku mengimbanginya dan harus meminta ijin setiap kali aku ingin memeluknya? Harusnya ada yang nakal di antara kami. Bisa saIah satu, atau dua-duanya. Itu sah-sah saja. Bukankah kami sudah resmi menjadi sepasang kekasih? Harusnya Uda’ tak mengindahkan pernyataanku yang menyudahi keinginanku. Harusnya bibir, lidah dan jari-jariku melakukan tugasnya masing-masing, sehingga adegan itu berkembang menjadi lebih panas. Apa karena Uda’ juga terkenal disiplin, sehingga saat jam kerja aku tidak berani mengganggunya? Meski pada umumnya, hubungan seks bagi pasangan suami istri, bebas dilakukan kapan saja di rumah mereka. Tentu tanpa paksaan atau atas persetujuan kedua belah pihak.

Seperti suatu malam, aku bermimpi. Di atas ranjang kami yang berukuran ‘king size’, membuat jarak tidur kami berjauhan. Sambil memeluk guling menghadapnya, aku memanggil pelan.  

“Ya, ada apa?” Uda’ menjawab.

“Pengen dipeluk Uda’…” Pintaku dengan wajah memelas.

Uda’ mendekat, memelukku.

Hmm … bahkan dalam mimpi pun, aku tak mampu menjadi seorang penggoda yang sukses. Pun tak bisa membayangkan prosesnya, bagaimana dingin malam meletupkan hasrat, yang kemudian menakhlukkan kami pada persetubuhan, hingga perutku membuncit dan melahirkan generasi. Yang mampu aku gambarkan, hanya aku dan Uda’ menyatukan jemari di tengah aksi massa. Menyanyikan hymne perjuangan, lalu mengibarkan panji-panji kami bersama seorang bocah di gendongan Uda’. Mengajarkannya berjuang dan bersolidaritas bersama rakyat, agar kelak ia tumbuh menjadi pejuang yang tangguh, yang peduli dengan persoalan-persoalan rakyat kecil, mencintai alam dan semua makhluk yang ada di bumi.

Maafkan aku, Uda’ … Seharusnya aku tidak menahan hakmu untuk tahu, bahwa kau sangat pantas dikagumi. Sebelum kau percayakan hidupmu padaku. Sebelum kau memintaku menemani hari-harimu hingga di ujung usiamu. Aku telah mengkhawatirkan laparmu, lelahmu, juga sakitmu …

Matanya sudah mulai berat. Kantuknya telah menyerang. Baru saja ia mengatupkan mata, adzan Subuh sudah terdengar. Zi mengurungkan niatnya untuk tidur, karena akan ada rapat organisasi di sekretariat pada pukul delapan pagi. Ia tak mau mentang-mentang sebagai ketua, lantas seenaknya datang terlambat. Zi harus menerapkan kedisplinan dan menjadi teladan bagi yang lain. Karena lokasinya cukup jauh dari markas, maka ia sudah mengatur waktunya sendiri. Pukul lima, mandi dan pukul enam, berangkat. Zi sudah harus sampai di sana, satu jam sebelumnya. Atau paling tidak, setengah jam sebelum jadwal waktu yang sudah disepakati. Dan kali ini, Zi tidak akan lagi mengulur waktu hanya untuk menunggu yang belum datang. Itu sama saja tidak mendidik. Berapapun orang yang ada, tepat pukul delapan, rapat harus dimulai. Biar saja yang terlambat akan merasa malu karena tertinggal. Biar mereka belajar menghargai waktu.  

Alat mandi sudah disiapkan. Zi segera menuju ke kamar mandi …  

~ Bersambung ~ 


(Casablanca, 20 Maret 2014) 

Theme Song: (Martina McBride - My Valentine) https://www.youtube.com/watch?v=siKDn3k1axY 


Photo Source: Google Images

 
Blogger Templates