“Masa perkembangan masyarakat berganti dari jaman feodal menjadi jaman industri sejak ditemukannya mesin uap. Namun perubahan ini belum dapat membebaskan peran perempuan dimana para pengusaha masih melestarikan paham feodal. Meskipun mereka mengakui persamaan hak, namun diskriminasi berdasarkan gender masih berlangsung. Perempuan masih ditempatkan pada industri-industri ringan, tugas-tugas yang ringan, dengan upah yang lebih rendah dari laki-laki. Meskipun tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional, sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya, namun persamaan hak masih terus diperdebatkan. Ruang-ruang untuk perempuan masih dibatasi. Pelecehan terhadap perempuan masih tinggi, masih banyak yang memandang perempuan hanya sebagai obyek seksual laki-laki. Dan pekerjaan domestik masih menjadi ladangnya perempuan. Pernah tidak kawan-kawan membandingkan fasilitas dari industri yang khusus mempekerjakan laki-laki dengan industri yang khusus mempekerjakan perempuan?”
Semua peserta pendidikan hanya diam menatap ...
“Jangankan upahnya, makanan atau ransum yang mereka dapatkan
saja berbeda. Dari kualitas nasinya, sayurnya, juga lauknya. Itu sebabnya,
banyak pengusaha yang lebih suka mencari pekerja perempuan, karena perempuan
itu dikenal nurut, mudah diatur, sehingga diupah murahpun diam saja.”
“Iya, kami suka dapat nasi basi. Sudah berasnya beras jatah
lagi.”
“Sayurnya juga sampah. Yang seharusnya
dibuang, dimasak juga. Sepertinya nggak dicuci. Masak ada rumputnya. Emang kita kuda disuruh makan rumput.”
“Kalau dapat daging atau telur dadar juga secuil. Kalau
dapat telur bulat, dibagi dua. Kadang dapat tempe orek saja, ikan teri
saja, atau tempe rebus saja sepotong. Kalau dapat ikan, nggak pernah dibersihin
sisiknya. Emang kita kucing?”
“Nah … nah … nah … dapat buah tidak?” Tanya Zi.
“Enggaaakk …”
“Orang kantor saja yang dapat, kak …”
“Ya, itu artinya, perusahaan memberikan jatah uang makan
yang sangat murah pada kawan-kawan yang diserahkan pada pemilik catering. Harga
nasi bungkus kan sesuai menu-nya.”
“Mending dibayar uang saja, kak. Percuma dapat makan, masih
beli lauk juga.”
“Pernah tidak protes ke managemen perusahaan?”
Mereka menggeleng …
“Nah, itu dia. Kenapa banyak perusahaan yang lebih suka mencari
pekerja perempuan? Berbeda dengan perusahaan yang rata-rata pekerjanya
laki-laki. Kebanyakan mereka atau managemen tidak berani semena-mena, karena
laki-laki itu suka melawan dan gampang emosi. Maka hal-hal yang tidak
kawan-kawan setujui, harus dimusyawarahkan dengan kawan-kawan yang lainnya.
Atau kalau ada serikat buruh, harus dibicarakan juga dengan serikatnya
masing-masing, lalu diajukan ke managemen. Itulah gunanya kita berserikat atau
berorganisasi, agar kita kuat karena kita tidak berjuang sendirian. Ok! Saatnya
kita melawan !!” Zi mengacungkan tinjunya. “Setuju?”
“Setujuuuuu …” Para peserta menjawab serentak.
“Kalau begitu, angkat semua tangan kirinya! Jangan tangan kanan,
tapi yang kiri, karena kiri pertanda melawan. Lalu kepalkan tangan kita dan kita
teriakkan, lawan! Ok! Kita teriakkan apaaa?”
“Lawan !!”
Ruang kelas itu seolah bergetar, ketika dengan penuh semangat
perempuan-perempuan pabrik itu menyatukan suara, hingga terdengar seperti petir yang menggelegar
…
***
Pukul sepuluh malam, Zi keluar mencari rokok. Karena warung
di dekat markas tutup, Zi mencari penjual rokok yang mangkal di pinggir jalan
raya.
“Bang, beli bang … bang … bang …”
Zi mencoba membangunkan laki-laki pemilik kios rokok yang
tertidur pulas di atas motornya.
Aneh. Tidur kok di atas motor. Nggak takut jatuh apa? Emm, mungkin sudah terbiasa ...
Telinganya lantas mendengar suara televisi
dari dalam. Zi melongokkan kepalanya. Semua juga sudah tertidur. Ada seorang
perempuan, istri lelaki itu, tidur setengah duduk memangku anak lelakinya yang
masih balita. Di samping kakinya, ada anak perempuan seusia empat tahunan. Di
pintu kios, dua anak lelaki mereka yang sering terlihat bersekolah di SD Negeri dekat markas. Kira-kira kelas 2 dan kelas 3.
Zi lalu pergi mencari-cari lagi kios rokok yang masih buka.
Sambil berjalan melintasi trotoar, batinnya kembali bersuara …
Nggak habis pikir.
Setiap kali aku melewati kios itu atau belanja, mereka selalu ada di sana.
Apakah mereka tuna wisma? Manusia gerobak? Bagaimana mereka mandi dan membuang
kotorannya ya? Di belakang kios itu memang ada rumah. Tapi tentu bukan rumah
mereka, karena jelas mereka tak perlu tidur berdesak-desakan di kios seperti
itu. Di bawah kios itu berdiri, ada selokan selebar satu meter. Apakah di sana
mereka membuang hajat? Tapi, tidak ada penghalangnya. Terus, bagaimana juga mereka
memenuhi kebutuhan biologisnya ya? Apakah mereka melakukan seks kilat ketika
suaminya ingin, saat anak-anak mereka bermain? Hmm … kasihan istrinya.
Tanpa 'foreplay', tentu hubungan intim rasanya hampa. Meskipun laki-laki juga membutuhkan
'foreplay' agar bisa menikmati kegiatan seksnya, tapi tentu perempuan lebih
membutuhkan, karena perempuan tidak bisa menikmati seks mendadak seperti laki-laki.
Kecuali perempuan yang melacurkan diri, terpaksa mengikuti pelanggannya demi rupiah, sehingga tak ada tuntutan yang mengganjal perasaannya. Dan kalau suaminya tiba-tiba horny, sementara ia merasa terganggu dengan
anak-anaknya, gampang saja. Dengan uang dua puluh ribu, ia bisa mencari pelacur
jalanan. Main di kuburan, di bawah jembatan atau diantara bak-bak sampah.
Istrinya? Hanya bisa menahan keinginannya. Sudah susah, anaknya banyak. Bagaimana bisa menikmati hidup? Sekedar menikmati kegiatan di atas ranjang saja, sulitnya minta ampun. Kenapa ya? Yang hidupnya mapan, hartanya berlebih-lebih, rata-rata anaknya sedikit. Kalau nggak satu, ya dua. Yang hidupnya kekurangan, beranak terus kayak kucing. Kalau ditanya
kenapa tidak menggunakan alat kontrasepsi? Kebanyakan mereka menjawab,”Boro-boro
buat KB, buat makan saja susah.” Ohh ... negeriku yang kaya raya ... sementara rakyatnya tidak mampu membeli alat kontrasepsi, kondom bekas bertebaran di setiap kamar mandi gedung wakil rakyat. Para pejabat yang dipilih dan diharapkan bisa memperbaiki nasib mereka, malah asik berpesta seks bersama sekretaris pribadinya ...
***
Di sebuah gedung tempat diadakannya seminar yang bertajuk
“Pancasila dan Filosofi Anti-kolonialisme”, Zi bersama kawan-kawannya terlihat
sibuk menyiapkan segala keperluan untuk acara. Tugas telah dibagi ke beberapa kelompok.
Zi dan Inez kebagian tugas menyiapkan souvenir untuk para undangan. Sebuah tas
berbahan kain dengan warna dasar putih bergambar Garuda Pancasila dengan motif
batik. Indah sekali . Tas itu kemudian diisi dengan foto copy materi, block note dan pulpen.
Para undangan sudah banyak yang hadir. Hampir seluruh kursi
yang tersedia sudah terisi. Sesuai dengan rundown acara, tepat pada waktu yang
sudah ditentukan, acarapun dimulai. Setelah bersama-sama menyanyikan lagu
Indonesia Raya, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan do’a. Ketua lalu memberikan sambutan, disambung pembicara
yang menyampaikan pandangannya dan diskusi.
Waktu merangkak, dunia bergerak, ceritapun berubah.
Demikian juga dengan para pemerannya. Tak salah jika dikatakan, dunia adalah
panggung sandiwara. Kalau dulu Mas Wi yang memahat kenangan di setiap acara, mengalihkan
pandangannya di sela-sela keseriusannya, kini perannya digantikan oleh sahabatnya.
Dulu setiap ada acara, Uda’ tak pernah duduk diam di dalam
ruangan. Uda’ lebih suka bebas mondar mandir, bahkan lebih banyak berada di luar.
Sekarang berbeda. Seperti ada yang fokus diperhatikan. Tentu gadis bermata
sipit itu. Beberapa kali Uda’ terlihat berpindah tempat duduk, karena Zi tak
konsisten berada di satu bangku. Uda’ selalu berusaha mengambil posisi di
belakang perempuan yang tak pernah bisa diam itu. Sementara keinginan Zi pun
begitu. Ia ingin berposisi di belakang Uda’. Alasan mereka juga sama, agar
sewaktu-waktu bisa mencuri pandang, sehingga mereka terus bergeser, seperti
berlomba mencari tempat yang terbelakang.
Zi akhirnya yang menjadi pemenang. Ia mendapatkan posisi
paling belakang, meski harus keluar dari deretan kursi para undangan. Membuat
Uda’ gelisah, duduknya tak tenang. Sebentar-sebentar, Uda’ menoleh ke belakang,
mencari gadis keturunan Cina yang berlesung pipit itu. Sedangkan Zi tak perlu repot-repot.
Ia tinggal memainkan bola matanya saja untuk memandang lelaki pejuang yang kini
jadi pujaannya.
Acara selesai pukul lima sore. Para undangan segera
meninggalkan gedung pertemuan. Hanya beberapa tamu dan kawan-kawan lama yang
melepas kangen, masih asik ngobrol berpencar membuat kelompok sendiri-sendiri.
Juga beberapa wartawan, masih terlihat sedang melakukan wawancara dengan ketua.
Demikian pula Zi dan Uda’, tak lagi diam di tempat yang sama.
Di sebuah ruangan khusus tempat para panitia berkumpul, juga
sebagai tempat menyimpan konsumsi dan segala perlengkapan, terlihat Uda’ sedang
duduk berduaan dengan seorang perempuan. Zi memasuki tempat itu. Niatnya
melepas lelah sambil bersantai menyantap beberapa kue yang tersisa untuk mengisi
perutnya yang terasa lapar. Tetapi, betapa kagetnya ia ketika melihat
pemandangan itu. Begitu pula Uda’ yang tampak terkejut melihat kedatangan Zi.
Niat semula diurungkan, tetapi ia tak mungkin tiba-tiba berbalik arah. Zi hanya
mengambil sisa air mineralnya di gelas plastik yang tadi diletakkan di meja,
lalu keluar.
Ada perih yang dirasakan bersarang di dadanya. Zi merasa tak
perlu menunggu rombongan. Ia kemudian pamit pada Ines untuk kembali ke markas
lebih awal dengan alasan sakit kepala.
Uda’ seperti merasa bersalah. Setelah mencari-cari Zi tak
ketemu, Uda’ bertanya pada seorang kawan yang berada di luar gedung. Dari sana,
Uda mendapat kabar, kalau Zi sudah kembali ke markas sendirian. Uda’ segera
pergi menyusul.
Pintu markas tertutup rapat. Uda’ yakin ada Zi di dalam,
karena posisi gembok terkunci dari dalam pagar. Memang tidak semua memegang kunci
markas. Hanya Diah dan Joko. Zi memiliki sendiri, karena ia sengaja
menggandakannya.
“Woooooyyy … Ziiiiiii … bukaaaaaaa …”
Berkali-kali Uda’ berteriak, Zi tak mendengar. Teriakan Uda’
tenggelam oleh tangisnya yang pecah di kamar mandi. Lepas, menggerung-gerung. Air
matanya larut bersama air yang jatuh membasahi rambut dan sekujur tubuhnya. Ia
terus mengguyur membabi buta, mengalihkan keinginannya untuk mengobrak-abrik seluruh barang yang ada, hingga benar-benar merasa lelah.
Zi menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Kasurnya basah,
ia tak peduli. Dalam keadaan lemas terkulai, ia berharap bisa segera tidur.
Tetapi pemandangan tadi seperti melekat di matanya, membuatnya tak berhenti
ingin menangis. Bisa jadi, Zi tak akan memiliki kecemburuan sehebat itu, jika saja
ia tak pernah mendengar cerita, bahwa perempuan itu pernah menyukai Uda’. Bahkan
tak berhenti mengejarnya. Hanya Uda’ tak pernah menanggapi. Tetapi kali ini Zi
menganggap berbeda, karena Uda’ telah membuka hatinya. Mungkin saja Uda’
memberinya harapan.
Aku tahu, perempuan
itu terlihat mapan karena gajinya tinggi, karena kerja-kerjanya dibiayai asing.
Uda’ boleh menganggap aku tidak pantas untuk Uda’, tapi buat aku tidak begitu.
Satu-satunya alasan Tuhan menciptakan manusia karena cinta, maka semua manusia menjadi setara dan dipantaskan. Siapa, memiliki hak untuk mencintai dan dicintai
oleh siapa, selama tidak mengganggu hak orang lain. Dan semua kembali kepada siapa
itu sendiri. Meski keadaanku atau latar belakangku dianggap salah, sehingga
aku menjadi rendah di mata Uda’, aku tidak pernah menyesal menjadi Zi yang akan
tetap menyayangi Uda’. Bahkan sedikitpun aku tak pernah berpikir untuk melumpuhkan
ingatanku. Aku ingin Uda’ selalu hidup di sini (Zi menunjuk dahinya) … di sini
(Zi menunjuk dadanya) …
Zi tak pernah tahu kalau Uda’ mengejarnya ke markas.
Berteriak-teriak memanggil, bahkan berkali-kali menghubunginya lewat telepon.
Tapi ponselnya sudah di-non aktifkan sejak dalam perjalanan.
Air matanya masih deras mengalir. Zi menikmati setiap
hangatnya …
~ Bersambung ~
(Sawo Kecik, 3 April 2014)
Theme Song: (Acha Septriasa - Sampai Menutup Mata) https://www.youtube.com/watch?v=m4T-yhYiQ8I
Photo Source: Google Images |