Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, January 26, 2013

Review Film Di Balik Frekuensi


Photo Source: Google Images

Senang sekali rasanya berkesempatan menyaksikan premiere film Di Balik Frekuensi yang diputar pada hari Kamis (24/1/2013) malam, di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta.

Sebuah film dokumenter hasil karya rumah produksi Gambar Bergerak yang di sutradarai oleh Ucu Agustin, merupakan film yang menarik, mendidik, dinamis dan mengesankan. Tema film ini jarang sekali dibicarakan di dunia perfilman Indonesia, karena menyoroti konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di media televisi. Film ini menguji, bagaimana reformasi politik di Indonesia yang melahirkan kebebasan dan berpengaruh pada industri media. Juga  bagaimana media-media yang dimiliki oleh segelintir orang itu kemudian berkembang, membentuk grup-grup sehingga dikuasai oleh individu-individu yang berambisi politik. Akibatnya, televisi tak hanya menjadi corong kepentingan pribadi pemiliknya, melainkan ada dampak-dampak sosial lain yang tak terduga.

Selain itu, film ini juga dimaksudkan sebagai 'kampanye' penyadaran publik serta mengungkap tabir dari kegundahan masyarakat akan peran media dan unsur kepentingan pemilik media sebagai alat politik.

Film yang berdurasi 2 jam 20 menit itu menceritakan dua kisah nyata ─kisah tentang Luviana, seorang jurnalis Metro TV yang di PHK sepihak karena memperjuangkan kesejahteraan karyawan, serta Hari Suwandi yang ingin memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo dengan berjalan kaki dari Porong, Sidoarjo menuju Jakarta.

Momen-momen spektakuler muncul ketika Ucu berhasil mencegat Aburizal Bakrie usai deklarasi pencalonan dirinya sebagai presiden, juga ketika Luviana dan para pendukungnya bertemu dengan Surya Paloh. Mengalir bergantian, dua alur cerita itu kemudian bermuara di satu titik, menghasilkan kontras-kontras serta ironi-ironi yang gamblang dan mencengangkan. Membuat kita seperti sedang menyaksikan film petualangan detektif yang mendebarkan, mengaduk emosi.

Film yang mengangkat isu tentang penyalahgunaan frekuensi publik oleh dua media berita raksasa itu, jelas mengandung pesan serta mengingatkan kita kembali pada pasal 33 UUD 1945. Tak hanya menyuguhkan gambar yang bercerita, film ini juga menyajikan prolog serta narasi yang menjelaskan. Sebuah langkah berani dimana satu sisi membuka mata dan mencerahkan pemahaman publik, di sisi lain boleh jadi membuat merah telinga para penguasa media massa. Dengan jernih dan argumentatif, film ini menelanjangi pengkhianatan-pengkhianatan para cukong yang memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan politiknya.

Melalui dua kisah tersebut, film dokumenter ini akan membawa kita pada perjalanan akan sebuah pencarian terhadap makna, apa itu media? Seperti apakah seharusnya media bekerja? Untuk siapakah mereka ada? Kisah tentang perjuangan orang-orang yang ditelan kuasa konglomerasi.

Dalam sesi diskusi malam itu, Ursula Tumiwa ─produser film Di Balik Frekuensi mengatakan, pemutaran komersial di bioskop mungkin belum, tapi rencananya film ini akan menggelar roadshow di beberapa kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Jogja, Malang, Solo dan Denpasar. Selain itu juga akan diputar layar tancap di Porong, Sidoarjo.

Menurut saya, film ini wajib ditonton oleh seluruh masyarakat Indonesia, terutama bagi para pelajar atau kaum muda sebagai generasi penerus bangsa.


(Casablanca, 26 Januari 2013)

Saturday, January 19, 2013

Cerbung: Cerita Anak - Anak Jalanan (Part 1)


Malam hampir pagi. Sudah tiga jam Tari merebahkan diri, namun belum berhasil juga memejamkan matanya. Di bangku sebuah terminal bus yang terkenal paling besar di Jakarta itu, ia membaringkan tubuhnya yang kurus. Dingin yang menyergap setelah hujan sore itu, membuatnya meringkuk kedinginan. Sesekali pandangannya dibuang ke atas. Sambil menikmati pemandangan langit malam itu, ia terus berpikir mencari cara untuk menemukan Dian, sahabatnya. 

“Nama kamu siapa?” Tanya seorang petugas. 

“Tari,” jawabnya tegas, tanpa menundukkan kepalanya sedikitpun seperti yang lainnya. 

“Tari siapa? Nama lengkapnya.” 

“Tari Adinda.” 

“Umur kamu berapa?” 

“Sepuluh tahun.” 

“Sekolah di mana?” 

“Sudah tidak sekolah.” 

“Kamu tahu tidak kalau anak-anak tidak boleh berkeliaran di jalan?” 

“Tahu,” jawabnya, seperti tak merasa bersalah. 

“Kalau tahu, kenapa kamu lakukan?” 

Tari tak menjawab. Namun matanya masih tetap tajam menatap. 

“Anak kecil itu harusnya di rumah, sekolah, bukan di jalanan. Sudah tahu, tapi masih saja begitu.” 

Tari masih tetap diam. Dan seperti sejak awal, matanya yang belok sama sekali tak bergeser dari sepasang mata milik petugas itu. 

“Kenapa kamu tidak sekolah? Kamu bandel ya? Suka bolos?” Tari tetap bungkam. “Hei! Ayo jawab! Melotot saja matanya!” 

Petugas mendorong kepalanya ke belakang, tapi dengan cepat ia menegakkannya kembali. 

“Orang tua saya miskin. Tidak bisa bayar sekolah,” jawab Tari ketus. 

“Rumah kamu di mana?” 

“Jawa Timur.” 

“Iya, Jawa Timurnya mana? Jawa Timur itu luas.” 

“Surabaya.” 

“Tinggal bilang Surabaya saja, pakai Jawa Timur ... Jawa Timur ... Punya keluarga tidak di sini?” 

“Tidak.” 

“Terus kamu tinggal di mana kalau tidak punya keluarga di sini?” 

“Di mana saja.” 

“Kamu kabur ya dari rumah?” 

Tari tak menjawab. Kali ini, matanya mulai menyapu seisi ruangan. Ia pura-pura tak mendengar pertanyaan itu. 

“Hei! Ditanya malah diam. Kamu kabur dari rumah?” 

“Iya.” 

“Kecil-kecil sudah bandel. Jauh-jauh ke Jakarta cuma jadi gelandangan. Mengotor-ngotori Jakarta saja.” 

Tari tak peduli dengan ocehan petugas itu. Matanya liar ke sana ke mari. Garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, lalu memainkan ujung rambutnya yang di ekor kuda. 

“Siapa nama orang tua kamu?” Tanya petugas lagi. 

“Percuma … orang tua saya itu miskin. Tidak ada ongkos buat ke sini, apalagi buat nebus.” 

“Saya tidak bertanya orang tuamu itu bisa nebus atau tidak! Saya cuma tanya, siapa nama orang tua kamu! Sudah salah, ngeyel lagi kamu!” Bentak Petugas. 

Dari cerita dan pengalaman teman-temannya, Tari jadi tahu kalau orang yang kena razia itu bisa keluar cepat, kalau ditebus dengan sejumlah uang. Kecuali bagi yang memiliki keluarga anggota ABRI. Tari jadi teringat juga apa yang pernah dikatakan Dian, membuat ia semakin berani untuk melawan. 

“Memang salah apa?” Tanyanya sambil iseng, jarinya menggosok-gosok ukulele yang sejak tadi berada di pangkuannya. 

“Hei! Pakai tanya lagi. Kamu dan semua yang ada di sini ini sudah melanggar peraturan, karena kalian jadi gelandangan di Jakarta. Merusak pemandangan ibu kota, tahu!” Petugas terlihat emosi, matanya melotot dan mendekati wajah Tari, lalu mendorong kepalanya lagi ke belakang. Kali ini lebih kencang, sampai-sampai Tari hampir terjatuh dari kursinya. 

Tari memandang sebentar wajah petugas itu, lalu kembali asik menggosok ukulelenya. 

“Memang mau kita jadi miskin? Jadi gelandangan? Kita kan dimiskinkan negara, jadinya ya harus dipelihara dan dijamin oleh negara, seperti bunyi Undang-Undang Dasar 45 pasal 34.” 

“Heh! Kebanyakan ngomong kamu ya!” Hardik petugas sambil berdiri dan tolak pinggang meninggalkan tempat duduknya. 

Petugas sepertinya sudah tidak sabar lagi menghadapi mulut Tari yang cerewet itu. Tangannya yang besar sudah diayunkan untuk segera menampar sekencang-kencangnya, namun akhirnya berhenti tepat disamping wajahnya yang mungil. Dalam keadaan masih geram, mata petugas itu pun beralih pada sebuah ukulele yang berada di pangkuannya. Dan secepat kilat disambarnya alat musik itu, lalu dihancurkan ke lantai menjadi berkeping-keping. 

“Maafin aku, Yan ... ukulele pemberianmu hancur.“ Bisiknya lirih, selirih angin yang bergerak di kawasan terminal itu. 

Pelan ia meniupkan harmonikanya. Sebuah lagu Kulihat Ibu Pertiwi dimainkan untuk mengenang sahabatnya. Tari ingat betul apa yang pernah dikatakan Dian tentang lagu itu, hingga menjadi lagu yang sering mereka nyanyikan bersama. 

Dian memiliki usia lebih tua dua tahun dari Tari. Karena ia suka membaca, maka ia banyak tahu. Untuk bisa membaca buku, Dian tak perlu membeli. Cukup dengan mengunjungi lapak Bang Bayu yang menjual buku-buku bekas di kawasan Kwitang, Dian bisa membaca buku apa saja. Bebas semaunya, karena mereka sudah kenal baik. 

Awalnya, Dian berniat ingin membeli buku yang ia sukai, tapi rupanya uangnya tidak mencukupi. Hanya membaca satu halaman, Dian lalu pergi. Besoknya datang lagi, pura-pura bertanya harga buku itu sambil membaca lagi satu halaman. Dengan alasan uangnya kurang, Dian pergi lagi. Di hari yang ketiga, Bang Bayu mulai mengenalinya. Bang Bayu seperti tahu, Dian anak yang cerdas, suka membaca, namun tak mampu membeli buku. Karena merasa iba, akhirnya Bang Bayu berbaik hati membebaskan Dian membaca buku di lapaknya. 

Tak hanya buku yang Dian baca, surat kabar pun di lahapnya. Untuk bisa membaca gratis, Dian mendekati agen loper koran yang ada di kawasan terminal, sehingga mereka pun akrab dan Dian bebas membaca koran setiap hari. 

Dari pengetahuan yang ia dapat, diceritakan kepada sahabatnya setiap malam menjelang tidur. Seperti seorang kakak yang mendongeng kepada adiknya. Termasuk, ketika Dian menceritakan lagu Kulihat Ibu Pertiwi itu. Bagi Dian, anak seusia Tari pasti kenal dan hafal menyanyikan lagu itu, tapi belum tentu tahu makna yang sesungguhnya. Seperti pengalaman Dian ketika masih sekolah dulu, tidak ada guru yang mau menjelaskan secara gamblang tentang kondisi negaranya saat ini. Dari membaca buku, koran, serta penjelasan dari Bang Bayu itulah, Dian jadi tahu banyak hal. 

“Indonesia itu kaya, Ri. Negeri kita ini tanahnya subur. Hutannya lebat dan luas. Samuderanya menyimpan banyak kekayaan.” 

“Aku tahu. Guruku pernah bilang begitu. Guruku juga pernah bilang, kalau lagunya Koes Plus yang judulnya Kolam Susu itu, benar, karena Indonesia itu kaya. Tapi dari dulu aku pikir-pikir sampai sekarang … aku masih belum ngerti. Kalau Indonesia itu kaya, kenapa orang tuaku miskin. Dan masih banyak orang-orang miskin yang lainnya.” 

Jalanan mulai agak lengang. Di emperan toko mereka menggelar kardus sebagai alas tidur mereka. Tari yang semula memposisikan tubuhnya sejajar dengan Dian dan menatap lampu toko, kini memiringkan tubuhnya menghadap ke arah sahabat lelakinya itu. 

“Yan, kenapa kamu bilang samudera itu menyimpan banyak kekayaan? Cuma ikan saja kan? Apa karena ikannya bermacam macam, lalu kamu bilang begitu?” Mulut Tari yang bawel, mulai memberondong pertanyaan. 

“Di dalam samudera itu, Ri, selain ikan dengan bermacam-macam jenis, masih ada lagi yang lainnya. Ada mutiara, yang biasa dipakai untuk mata cincin atau bandul kalung, tahu?” Dian menoleh ke arah Tari. 

“He-em,” jawab Tari, mengangguk. 

“Terus ada minyak, gas, dan airnya mengandung garam.” 

“Ooohh … “ 

“Banyak sekali hasil bumi di Indonesia, Ri. Disamping hutan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, hasilnya bisa mendatangkan pendapatan bagi negara, seperti kayu, rotan, dammar, anggrek, dan buah-buahan. Sawahnya yang luas dan tanahnya yang subur, juga bisa menghasilkan beras yang berlimpah. Selain itu juga ada nikel, bouksit, batu bara, bahkan emas saja Indonesia punya.” 

“Oh ya?” Matanya yang belok, jadi terlihat bertambah belok. Tari lalu bangkit dari tidurnya, duduk dan kembali bertanya,”Emas kita punya?” 

“Iya, Ri. Di Papua ada gunung emas.” 

"Wuiiiiihh ... kereeeeenn ..." Mata Tari berbinar, takjub.

Sejenak, Dian menghentikan ceritanya. Memandangi benda-benda langit yang tampak indah. Tari kembali merebahkan tubuhnya, miring. Menatap wajah Dian sambil menunggu anak lelaki itu melanjutkan ceritanya. 

“Harusnya kita tidak miskin, Ri, seperti juga jutaan orang di sana. Dian memalingkan wajahnya ke arah Tari dengan posisi tubuhnya masih menghadap langit, berbantal kedua lengannya. Harusnya kita dan anak-anak yang lain tidak menggelandang seperti ini. Harusnya semua anak-anak itu sekolah. Tiap keluarga memiliki rumah dan setiap orang dijamin kesehatannya oleh negara. Tidak ada orang miskin yang tidak bisa berobat atau diusir pihak rumah sakit karena tak punya biaya, karena Indonesia kaya, Ri … “ 

Dian membuang pandangannya lagi ke atas, mencari bulan sabit yang tertutup awan. 

“Terus, kenapa tidak seperti itu, Yan?” 

“Karena kekayaan alam kita diambil oleh bangsa asing.” 

“Kenapa tidak perang saja seperti tahun 45? Kita kan punya angkatan bersenjata?” 

“Tidak bisa begitu, Ri … karena pemerintah kita mengijinkan mereka mengambil kekayaan kita.” 

“Kenapa dikasih ijin? Kan kita jadinya seperti ini.” 

“Pasti ada timbal baliknya. Pasti ada sesuatu yang mereka dapatkan dari bangsa asing itu, sehingga mereka memberi ijin untuk mengambil kekayaan negara kita.” 

“Tapi guruku tidak pernah bilang begitu. Guruku cuma bilang, kalau negara kita ini kaya. Sudah.” 

“Sama, Ri. Guruku juga tidak pernah bilang begitu.” 

“Terus, kamu tahu dari mana?” 

“Dari buku-buku dan koran. Juga dapat penjelasan tambahan dari Bang Bayu. 

“Siapa itu Bang Bayu?” 

“Bang Bayu itu pemilik lapak buku bekas. Aku diijinkan membaca buku di sana kapan saja aku mau, tanpa harus membeli. Makanya, Ri … kamu juga harus banyak membaca, agar pengetahuanmu terus bertambah.” 

Jalanan semakin lengang. Beberapa orang-orang yang bernasib sama seperti mereka semakin banyak berdatangan. Mulai menggelar apa saja untuk dijadikan alas tidur. Dian memiringkan tubuhnya, berhadapan. 

“Jadi, kalau sekarang kita dan jutaan orang di sana itu miskin, itu bukan keinginan kita atau orang tua kita. Kita dimiskinkan oleh pemerintah kita sendiri. Dan sudah seharusnya itu menjadi tanggung jawab pemerintah, sesuai dengan pasal 34 Undang-Undang Dasar tahun 1945. Kamu masih ingat bunyinya?” 

“Kalau nggak salah … Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” 

“Ya, betul sekali. Kalau pasal 33 ayat 3, masih ingat tidak bunyinya?” 

“Emm ... tidak.” 

“Kalau bunyi kalimat pasal 33 ayat 3 itu: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." 

“Oooh itu ya ... Ya ya aku baru ingat.” 

“Nah artinya, kalau kekayaan alam kita tidak diberikan kepada orang asing, tapi dikelola sendiri dan dipergunakan untuk memakmurkan atau mensejahterakan rakyatnya, maka tidak akan ada orang yang sangat miskin atau gelandangan seperti kita.” 

“Bagaimana caranya? Memang, kita semua bakal dibagi-bagi duit gitu?” 

“Gkgkgkkk … Ups! lupa, sudah malam.” Dian menutup mulutnya sendiri. 

“Ih, kamu mah, ditanyain malah ketawa. Aku kan tidak tahu. Jangan ketawalaaaahh …” Tari meninggikan nada suaranya, lalu membalikkan badannya membelakangi sahabatnya itu. 

“Eit, jangan marah dong … sini aku jelaskan lagi.” Dian meraih bahu gadis kecil itu, tapi Tari tak mau merubah posisinya. “Ayo dong, Tari … mau tidak diceritai lagi?” Bujuk Dian. 

Ya, begitulah si Tari. Wataknya keras, mudah emosi, dan perasaannya terlalu sensitif. Tapi untungnya Dian sangat sabar. Mungkin karena sadar merasa lebih tua dan menganggap Tari seperti adiknya sendiri, jadi ia selalu mengalah. 

Setelah beberapa kali dibujuk, Tari akhirnya bersedia membalikkan badannya dan kembali berhadapan. 

“Ya sudah, tapi janji tidak pakai tertawa.” 

“Iya iya, janji deh.” 

Dian meletakkan tangannya tepat di kepala sahabat perempuannya itu, lalu mengusap lembut sambil tersenyum. Tari tak membalas senyuman itu, hanya matanya tak lepas menatap bola mata lelaki yang ada di hadapannya. 

“Tari … Tari … senyum dulu dong. Sudah tidak marah kan?” 

“Sudah. Jangan tanya-tanya. Buruan cerita.” Suara Tari terdengar ketus, tapi Dian hanya menanggapinya dengan senyum. 

Dian sudah hafal benar karakter sahabatnya itu. Jika Tari benar-benar marah, pasti Dian tak akan menemukan gadis itu ada di dekatnya, apalagi mendengar suaranya. 

“Iya iya iya … jadi caranya itu dengan memberikan jaminan pendidikan, jaminan kesehatan, dan jaminan perumahan. Dengan begitu, semua anak-anak pasti sekolah, semua orang yang sakit pasti bisa berobat, dan semua orang Indonesia pasti punya rumah. Begitu, Ri … “ 

“Emmm …” Tari mengangguk. Matanya menerawang seperti membayangkan sesuatu. 

“Terus, kamu tahu lagu Kulihat Ibu Pertiwi kan?” 

“Tahu.” 

“Hafal?” 

“Hafal.” 

“Tahu artinya ibu pertiwi?” 

“Pahlawan perempuan ya? Seperti ibu kita Kartini?” 

“Bukan. Ibu pertiwi itu bumi yang kita pijak atau tanah air kita.” 

“Tapi guruku tidak pernah bilang begitu.” 

“Sama, Tari … guruku juga begitu. Sekarang, coba kamu nyanyikan, bagaimana syairnya?” 

“Dimarahin orang tidaaak? Nanti mereka keberisikan lagi.” 

“Tidak, pelan-pelan saja.” 

Tari masih ragu, dilihat dulu sekelilingnya. Ketika dirasa aman, ia mulai bernyanyi pelan. 

// Ku-lihat ibu perti-wi, se-dang bersusah hati / A-ir matanya berli-nang, mas intanmu terkenang / Hu-tan gunung sawah la-utan, sim-panan kekayaan / Ki-ni ibu sedang su-sah, me-rintih dan ber-doa // 

“Nah … itu artinya, bahwa bumi yang kita pijak ini bersedih, Tari … karena kekayaannya terus dikuras. Sementara anak-anaknya seperti kita ini hidup dalam kekurangan. Lagu itu menggambarkan keadaan negara kita dari dulu sampai sekarang.” 

“Ooohh … tapi guruku … “ 

Belum sempat Tari melanjutkan kalimatnya, buru-buru dipotong oleh Dian. “Iya … aku tahu, guruku juga begitu.” Dian tersenyum menahan tawa, lalu melanjutkan,”Ya sudah, tidur yuk. Sudah sepi. Yang lain sudah pada tidur.” 

Teng … teng … teng … 

Bunyi tiang listrik yang dipukul peronda, membuyarkan lamunannya. Sudah pukul tiga dini hari. Udara semakin dingin, Tari semakin meringkuk kedinginan. Sebelum memejamkan mata, ia berbisik hampir tak terdengar. 

“Yan … kamu di mana, Yan …“ 

~ Bersambung ~ 


( Casablanca, 18 Januari 2013 ) 

Theme Song: (Tanah Airku - OST Alangkah Lucunya Negeri Ini) https://www.youtube.com/watch?v=WzLAc8MtcGo


Photo Source: Google Images




Wednesday, January 9, 2013

' tak seperti malam '


kenapa kita menyukai malam?

ketika angin meliarkan angan-angan
bulan tersenyum di tabur bintang
remang memahatkan romantisme

katamu,
saat itulah ruh-ruh malam membawa mimpi
untuk dijabarkan

kataku,
karena malam menyibak rahasia sepi
dan sepi memberiku inspirasi …

(Casablanca, 9 Januari 2013)

Photo Source: Google Images



Sunday, January 6, 2013

Cerpen: Jangkrik Kesepian


Kaget ketika terbangun dari tidur siangku. Seperti di sawah saja, aku mendengar bunyi jangkrik hingga ke dalam kamar. Segera menuruni anak tangga mencari sumber suara. Ternyata berasal dari dapur. Aku mencari Ucha, tapi tidak ada. Sepertinya sedang pergi.

Aku tahu, pasti Ucha yang membawa jangkrik itu. Beberapa waktu yang lalu, dia sempat mengutarakan kekesalannya karena banyaknya tikus yang berkeliaran di dapur, berlarian di tangga serta gudang di samping kamar. Semula, dia berencana akan membeli racun tikus, tapi khawatir nanti mati di sembarang tempat dan menimbulkan aroma yang tak sedap. Lalu rencananya berubah, membeli jebakan tikus. Beberapa hari kemudian, rencananya berubah lagi. Membeli jangkrik. Katanya, suara jangkrik itu mampu mengusir tikus, seperti pengalamannya sewaktu di Makassar ─kampung halamannya.

Aku sempat menyangsikan kebenaran itu. Aku belum menemukan relevansinya antara tikus dengan suara jangkrik. Ucha kemudian menjelaskan, bahwa suara jangkrik itu mengandung gelombang ultrasonik sehingga mampu mengusir tikus.

“Perlu berapa banyak jangkrik, Cha, untuk mengusir tikus?”

“Tidak usah banyak-banyak, Tar, satu saja sudah cukup.”

“Kasihan dong ntar nggak ada temennya?”

“Justru kalau digabung sama temannya, nanti dia berantem loh.”

“Oh … Tapi kalau cuma satu kan suaranya kurang kedengeran, Cha?”

“Tidak, Tar. Nanti pilih satu yang paling kencang suaranya. Jadi belinya jangan yang buat makanan burung. Tapi yang khusus buat mengusir tikus.”

“Oh, begitu … ”

Buat aku, ini adalah pengalaman baru. Dan untuk lebih meyakinkan diri, aku bertanya pada 'Om Google'. Dari sana, aku temukan jawabannya melalui Wikipedia Bahasa Indonesia, bahwa 'ultrasonik' adalah suara atau getaran dengan frekuensi yang terlalu tinggi untuk bisa didengar oleh telinga manusia, yaitu kira-kira di atas 20 kiloHertz. Hanya beberapa hewan, seperti lumba-lumba menggunakannya untuk komunikasi, sedangkan kelelawar menggunakan gelombang ultrasonik untuk navigasi. Dalam hal ini, gelombang ultrasonik merupakan gelombang di atas frekuensi suara. Itu artinya, tikus kabur karena tidak sanggup mendengar suara yang frekuensinya di atas normal, seperti halnya manusia. Masuk akal juga, pikirku. 

Mungkin Ucha tidak akan peduli dengan banyaknya tikus yang ada di kedai, kalau saja dia tak tinggal di sana. Ya, sejak dia ditugaskan di kantor Berdikari Nusantara Makmur yang menyatu dengan Kedai Teh dan Kopi Nusantara, aku dan Ucha tinggal bersama. Tentu saja aku senang. Yang semula sendirian, jadi ada teman untuk berbagi.

Ucha itu orangnya tidak banyak bicara. Tapi setiap aku bertanya atau meminta penjelasan, dia selalu menjawab ─sesibuk apa pun dia. Ucha juga suka rapi-rapi. Aku yang semula merasa tidak sanggup sendirian mengatur kamar yang layaknya gudang buku itu, bersamanya, kami menjadikan tempat itu cukup layak menjadi kamar. Itu pun tidak bisa sekaligus. Butuh waktu berhari-hari.

Ucha itu orangnya cold, tapi bukan berarti tak peduli. Kalau aku sedang berbagi tentang kekesalanku, dia selalu meredamkan amarahku dengan suaranya yang tenang. Sekali pun, aku belum pernah melihat dia emosi dengan meninggikan nada suaranya. Bahkan ketika aku memarahinya karena sesuatu hal, dia tetap menjawab dengan tenang. Di ledek separah apa pun, dia hanya senyum. Kadang tertawa. Diserang dengan kata-kata yang menyakitkan, diam saja. Aku jadi gemas.

“Cha, kau punya jawabannya kan? Kenapa diam? Jawab lah!”

“Ndak perlu, Tar. Saya ndak mau panjang lebar. Biarkan saja.”

Aku heran, manusia satu ini terbuat dari apa? Benar-benar seperti tak punya emosi. Sempat sekali aku mengetahui dia sedang kesal dengan seseorang, dia tetap hanya diam. Memberikan barang itu ke pemiliknya, lalu pergi. Aku coba membaca mimik wajahnya, tapi sedikit pun tak tersirat kekesalannya. Begitukah kalau orang pendiam marah? Semakin diam dan diam.

Berbeda dengan aku. Kalau emosiku sudah memuncak, darahku sudah naik ke kepala, pasti nada suaraku akan meninggi. Kakiku ingin menendang, tanganku ingin menonjok atau membanting. Tapi masih menggunakan rasio. Tidak seperti mereka yang marahnya membabi buta. Merusak barang-barang berharga yang akhirnya menciptakan penyesalannya sendiri. Aku jadi ingat dulu, sewaktu masih SMA. Aku punya tetangga orang Madura di Surabaya ─kampung asalku. Namanya Mastur. Karena usianya di atasku, aku memanggilnya Cak Tur. Kebiasaannya kalau di rumah hanya mengenakan kain sarung serta telanjang dada. Jika aku sedang emosi, aku selalu menemuinya, "Cak, aku lagi kesel nih." Sambil menggenggam kedua tanganku. Cak Tur yang sudah hafal dan tahu maksudku langsung menyodorkan lengannya yang berotot itu untuk kujadikan sansak. Dan aku akan berhenti meninju lengannya, setelah aku merasa lelah, ngos-ngosan, puas.   

Ya ... itulah Ucha, kawanku. Laki-laki yang sederhana. Tidak neko-neko, tidak suka basa basi. Tidak ribut kalau melihat perempuan cantik, jadi tak terlihat norak atau kampungan. Gaya bicaranya tenang, sabar dan pintar. Pokoknya, perempuan yang akan mendapatkan hati Ucha nantinya, dialah perempuan yang beruntung, menurutku.

“Kau yang beli jangkrik itu ya, Cha?”

Ucha tiba malam itu. Sedang serius membaca sebuah rubrik di Berdikari Online.

“Iya.” 

“Kau taruh di mana sih? Nggak kelihatan barangnya, tapi kedengerannya kenceng sekali di dapur.”

“Itu, Tar … yang menggantung di tempat cucian piring dan di lemari gantung.”

Aku pergi ke dapur menuju tempat yang di maksud Ucha.

“Oh, yang di bambu kecil ini? Lucu sekali sarangnya, Cha.” Sambil mengintip dalamnya melalui lubang kecil. ”Ini isinya cuma satu?”

“Iya.”

“Berarti kamu beli dua dong.”

“Iya.”

“Satunya berapa?”

“Lima ribu.”

“Beli di mana kau, Cha?”

“Di Jatinegara. Ternyata di sana, di jual bermacam-macam binatang, Tar. Tidak cuma burung loh. Ada monyet, kucing juga dijual.”

“Hah, kucing?”

“Iya, Tar, tapi ini kucing yang bagus itu loh, apa lagi itu namanya … Oh ya, kucing anggora.”

“Oh … “ Aku lalu mengalihkan pembicaraan, “Cha, kau mau pakai komputer ini nggak? Kalau enggak, mau aku mati'in.”

“Kenapa, Tar? Kau mau tidur?”

“Iya, aku sudah ngantuk.”

“Ya sudah jangan dimatikan, biar saya pakai. Ndak enak di sini loh, lelet sekali.” Jawab Ucha sambil mematikan komputernya. Aku lalu meninggalkan tempat dudukku dan pergi menuju ke kamar.

***

“Suara apa ini? Jangkrik ya?” Pertanyaan itu yang selalu terlontar dari siapa pun yang datang ke kedai, tak terkecuali Bang Harris. Kebetulan sore itu, suara jangkrik sudah terdengar ketika Bang Harris mampir ke kedai.

“Iya, bang. Piaraannya Ucha,” jawabku.

“Hah, ngapain jangkrik dipiara?”

“Kan buat ngusir tikus.”

“Oh ya? Masak sih?”

“Bener kok. Sejak ada suara jangkrik, nggak ada lagi yang gaduh dan berantakin barang-barang di meja kalau malam.”

“Kenapa bisa begitu ya?”

“Kan suaranya mengandung gelombang ultrasonik. Coba aja cari di Google, bang. Aku juga dibilangin Ucha.”

“Kalau ngusir kecoak bisa nggak ya? Di tempatku itu, kecoak banyak sekali.”

“Kata Ucha sih, bisa juga.”

“Ada berapa tuh jangkriknya?”

“Ada dua.”

“Aku beli dong, satu.”

“Wah, nggak berani bang. Nggak ikut punya. Ntar aja nunggu orangnya.”

“Belinya di mana sih Si Ucha?”

“Di Jatinegara, katanya.”

“Waduh, males amat mau ke sana. Berapaan katanya?”

“Lima ribu.”

“Oh … Tapi berisik juga ya di kuping?”

“Memang. Aku aja kalau ke dapur nggak betah lama-lama. Suaranya bisa tembus ke kepala lho. Kepalaku jadi nyut-nyutan.”

“Masak sih?” Bang Harris tertawa. “Ya … orang di depan aja keberisikan, apalagi di dalam. Pantas kalau tikus sama kecoak pada kabur. Rupanya begitu ya?” Bang Haris tertawa lagi. Kali ini lebih seru.

Bang Harris yang semula duduk di dekat pintu sambil memainkan ponselnya, kini berpindah menuju meja komputer. Sedang serius dengan komputernya, Ucha datang dari tugasnya mengirim barang. Ya, selain kantor Berdikari Online, kantor Berdikari Nusantara Makmur, Kedai Teh dan Kopi Nusantara serta Kursus Stir Mobil, di sini juga menjadi tempat Gerai TIKINDO. Ucha bertugas sebagai kurir yang setiap sore mengantar barang ke Tikindo pusat.

Ucha memberiku selembar kertas bukti pengiriman barang. “Cha, jangkrikmu mau dibeli tuh sama Bang Harris, boleh nggak?”

“Iya, Cha. Boleh nggak? Aku beli deh, satu sepuluh ribu.” Bang Harris menimpali.

“Ndak usah, bawa saja satu ndak pa pa.”

“Bener nggak sih bisa ngusir kecoak? Sebel aku, banyak sekali kecoak di tempatku itu lho.”

“Bisa.” Ucha berjalan menuju dapur.

“Cha, ntar dia nggak mau bunyi lagi, karena ngerasa sendirian, nggak ada temennya.”

Tiba-tiba aku khawatir, menyusul Ucha di dapur, mengambil salah satu jangkrik yang akan diberikan Bang Harris.

“Ndak, Tar. Malah yang saya tinggal ini loh yang sering bunyi dan lebih kencang suaranya.”

Kekhawatiranku terbukti. Suara yang aku tunggu-tunggu itu tidak terdengar hingga malam menjelang tidur. Dan benar saja, pagi-pagi ketika aku bangun, peralatan plastik yang ada di meja sudah berantakan, jatuh ke lantai. Jelas ini ulah si ‘jerry’ yang kembali bebas beraksi setiap malam mencari sisa-sisa makanan.

Ucha tidak tidur di kedai semalam. Dia menginap di kantor pusat. Katanya, ada rapat organisasi. Ucha menjabat sebagai bendahara SRMI (Serikat Rakyat Miskin Indonesia). Biasanya Ucha yang memberi makan piaraannya setiap pagi. Karena dia belum datang, aku yang menggantikan tugasnya. Aku sobek sedikit sayuran yang aku simpan di kulkas, lalu memasukkan ke dalam sarangnya.

***

“Hah! Nggak tahan aku. Semalaman nggak bisa tidur gara-gara keberisikan suara jangkrik. Sudah kecoaknya nggak mau pergi lagi. Hah! Payah!” Bang Harris yang datang siang itu, menceritakan pengalamannya sambil tertawa.

“Ya iyalah Ris, kamar cuma segitu kok, gimana nggak berisik.” Mas Aj menimpali.

“Iya Mon, suaranya itu sampai nembus ke kepala. Gila! Aku bawa aja lagi,” kata Bang Harris kesal, masih sambil tertawa.

“Bener kan, bang, yang aku bilang? Kepalaku aja sampai nyut-nyutan.” Aku ikut nimbrung. “Trus, mana jangkriknya sekarang? Yang di sini nggak mau bunyi tuh, bang.”

“Aku taruh di KPP, aku kasih Tegal. Di sana kan banyak tikus juga.”

“Yah … “ Kataku lirih, melemah, kecewa.

Sampai malam berikutnya, jangkrik itu masih tetap bungkam. Tak bersuara. Apa ini bentuk protes agar temannya dikembalikan lagi? Aku bertanya-tanya sendiri, karena malam berikutnya, Ucha tak tidur lagi di kedai.

***

“Cha, jangkriknya nggak bunyi tuh, sudah dua malam ini.” Aku mengadu pada Ucha yang datang pagi itu. “Bawa ke sini ah yang satunya, biar dia mau bunyi.”

“Ambil saja di KPP, Tar. Minta sama Tegal,” jawab Ucha sambil menyalakan komputer.

Aku gelisah, tapi tak mampu memaksa Ucha untuk memahami kegelisahanku. Aku diam saja, berdiri di samping tempat duduknya.

Ternyata Ucha paham. Ia bangkit, berjalan menuju dapur. Aku mengikutinya dari belakang. Ucha mengambil sarang jangkrik itu, lalu membuka, mengeluarkan isinya.

Hingga malam-malam berikutnya, aku tak pernah lagi mendengar bunyi jangkrik di kedai. Terbayang wajah Bang Harris, aku bertanya dalam hati, kira-kira … Bang Harris merasa bersalah nggak ya kalau tahu? Karena sejak pasangan jangkrik itu dibawa dan tak dikembalikan lagi ke kedai, jangkrik itu jadi kesepian, lalu mati ... 


(Casablanca, 5 Januari 2013)

Photo Source: Google Images



Tuesday, January 1, 2013

Cerpen: Sepasang Merpati


“Hayooo … binatang apa yang paling setia dengan pasangannya?”

Mas Kohar tiba-tiba melemparkan tebakan. Di ruang santai itu kami berkumpul, asik nonton TV. Mungkin efek dari tayangan kehidupan fauna, membuat Mas Kohar memiliki pertanyaan itu.

“Kura-kura,” jawab Mbak Desi sekenanya.

“Salah,” kata Mas Kohar.

Sementara aku masih berpikir, Mbak Desi mencoba menjawab lagi, “Buaya.”

“Bukan,” kata Mas Kohar lagi. ”Hayooo … apaaa ...?”

“Mana ada binatang yang seperti itu,” jawabku akhirnya. “Binatang kan nggak punya aturan. Siapa aja diembat nggak peduli itu anaknya sendiri. Itu sebabnya, kenapa manusia yang suka berzinah tak kenal korban, tak peduli keluarganya sendiri, maka kelakuannya dianggap seperti binatang.”

“Ada,” kata Mas Kohar merasa yakin.

“Nggak ada,” jawabku tak kalah yakin.

“Udah nih … nyerah?”

“Apa coba?”

“Merpati.”

“Ah, enggak ah,” kataku tak setuju.

“Oh iya … kan sudah ada lagunya Merpati Tak Pernah Ingkar Janji,” Mbak Desi menimpali.

“Ah, itu kan cuma lagu mbak mbak. Hanya keindahan kata-kata,” sanggahku.

“Tapi itu benar.” Mas Kohar meyakinkan lagi.

“Enggak ah. Aku pernah lihat sendiri kok bagaimana tingkah lakunya. Kalau Mas Kohar pernah nggak?”

“Ya pernah lah, kan aku piara merpati. Coba lihat kalau orang adu merpati. Setinggi apapun burung itu terbang, kalau ditunjukkan pasangannya, secepat kilat ia akan turun menemuinya. Coba perhatikan lagi, kenapa burung yang sudah terbang jauh dari sarangnya, tetap akan kembali? Karena ada istrinya di sana.”

Mas Kohar mencoba menjelaskan dengan panjang lebar. Aku tidak mau menyerah dalam perdebatan yang semakin sengit itu. Suara kami semakin kencang. Kami sama-sama ngotot mempertahankan argumen kami.

Perdebataban itu berakhir seri. Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang. Jika kami sama-sama bertahan dengan keyakinan kami, itu karena kami memiliki pengalaman yang berbeda.

Dari peristiwa itu, aku jadi ingat keinginanku menuliskan pengalaman itu sejak lama. Sejak aku duduk di bangku SMP. Dan sampai sekarang, cerita itu masih tersimpan di kepalaku. Sesuatu yang mencengangkanku, melihat tingkah laku binatang yang masuk dalam kategori unggas itu.

Jika mas Kohar merasa yakin karena dia pernah memelihara, aku juga yakin dengan alasanku karena Bapakku juga memeliharanya. Dari hanya sepasang, lalu beranak pinak menjadi banyak. Sampai bapak harus membuat sarangnya menjadi bertingkat-tingkat. Bapak termasuk orang yang tidak suka membuat sesuatu dengan sekedarnya. Asal jadi. Pekerjaannya selalu rapi, sehingga rumah burung itu terlihat seperti sebuah apartemen yang indah.

Entah, bapak menyadari atau tidak kalau setiap pulang sekolah ─siang hari ─aku selalu duduk memperhatikan tingkah laku merpati-merpati itu dari balik kaca nako. Sarang burung itu dibuat Bapak persis di depan rumah, karena tinggal itu satu-satunya tanah yang bisa digunakan sebagai kandang burung. Meski kandang burung itu adanya di depan rumah, tidak mengganggu baik aromanya, kotorannya yang berceceran, atau bulunya yang seringkali rontok dan beterbangan, karena kandang burung itu tertutup tembok dan kaca nako. Sedangkan pintu rumahku menghadap ke samping atau gang. Rumah kami berada paling depan, tapi memiliki gang atau lorong dimana ada beberapa rumah yang berderet ke belakang.

Sebelumnya ada tanah di samping rumah yang lebih luas lagi. Dulu tanah lapang, tempat aku bermain bersama teman-teman. Ada pohon mangga yang besar dan tinggi. Tapi sekarang sudah menjadi rumah dan dikontrak orang. Kalau tempat burung dara itu sebelumnya adalah pekarangan rumah kami. Ada pohon kelapa, pohon pace, pohon juwet, pohon jambu, serta beberapa tanaman kecil lainnya yang ditanam bapak. Bapakku memang bertangan dingin. Apapun yang di tanamnya, selalu tumbuh subur. Dan ketika semua pohon itu akhirnya harus ditebang, hanya satu pohon yang aku sayangkan, pohon jambu. Bukan jambu air, tapi jambu biji. Itu satu-satunya pohon yang sering aku panjat, lalu duduk di atas dahannya sambil memainkan harmonika. Atau kadang hanya diam melihat pemandangan langit sore sambil berhayal.

Bagi anak seusiaku waktu itu, mengamati tingkah laku binatang sangatlah menarik. Aku jadi tahu kalau ternyata cara unggas memberi makan anaknya itu dengan cara menyuapi dengan mulutnya. Tidak seperti binatang mamalia atau karnivora yang memberi makan anaknya dengan cara menyusui.

Awalnya, aku masih belum fokus memperhatikan salah satu merpati. Semua menjadi perhatianku. Berbagai warna merpati bapak punya. Ada putih, hitam, coklat dan kelabu. Yang lucu, jika dua merpati yang berbeda warna dikawinkan. Mereka akan menghasilkan keturunan dengan aneka warna bulu. Ada yang mengikuti induk jantannya, ada yang mengikuti induk betinanya atau mengikuti kedua-duanya. Kalau yang mengikuti kedua-duanya menjadi unik, karena perpaduan kedua warna induknya itu akan menghasilkan bulu dengan warna yang berbeda dari yang lain. Kelak aku tahu, bahwa dalam perkembangbiakan merpati itu, sama seperti kucing dan anjing. Mereka selalu memiliki keturunan yang lebih dari satu dengan berbagai warna mengikuti kedua induknya.

Semakin lama semakin banyak saja merpati bapak, hingga tempatnya tak mencukupi lagi. Maka, jadilah kami makan sendiri. Ternyata daging merpati itu lebih gurih dari daging ayam. Apalagi kalau masih muda atau anak-an, dagingnya empuk dan manis. Selain itu ada juga sebagian yang dijual bapak, jika ada yang berminat membelinya.

Suatu hari, entah kenapa perhatianku jadi terfokus kepada sepasang merpati putih yang indah itu. Aku senang, dan kadang senyum-senyum sendiri menyaksikan sepasang kekasih yang terlihat saling mencintai itu. Mereka selalu terlihat mesra. Terbang berdua dan kembali pulang bersama. Aku sering melihat mereka berciuman, lalu kawin. Aku juga melihat, seperti tidak ada paksaan dari si jantan atau keterpaksaan dari si betina ketika mereka melakukan persetubuhan. Mereka saling memandang, saling bicara, barangkali juga berikrar bahwa mereka akan saling menyayangi selamanya. Dari perkawinan itu, mereka memiliki empat keturunan.

Seperti induk-induk yang lainnya, dengan penuh kasih sayang merpati betina itu menyuapi anak-anaknya secara bergantian. Sewaktu bayinya masih merah, ia hanya keluar mengambil makanan, lalu masuk ke kandang untuk menemui dan memberi makan anak-anaknya. Sampai suatu saat, bapak membantu mengeluarkan anak-anaknya ketika dirasa sudah cukup pantas berada di luar. “Biar dapat hawa segar,” begitu kata bapak.

Tapi sayang, saat perhatian sang betina tercurah kepada anak-anaknya, merpati jantan berselingkuh dengan merpati kelabu. Sempat aku bertanya-tanya, kenapa pejantan putih dan betina kelabu itu sering berciuman? Awalnya, merpati putih betina seperti tak menghiraukan kekasihnya yang terlihat akrab dengan tetangga ‘apartemen’nya itu. Terbang berdua, kembali bersama. Ia masih tetap melakukan aktivitasnya sehari-hari, memberi makan anak-anaknya.

Aku masih terus mengamati kehidupan sepasang merpati putih itu, seperti biasa sepulang sekolah. Anak-anak merpati putih itu kini sudah mulai tumbuh bulu, meski belum semua menutupi tubuhnya. Juga sudah mulai bisa berdiri, meski jalannya masih tertatih tatih. Tapi mungkin induk betina itu sudah tidak sanggup lagi menahan sakit akibat pengkhianatan kekasihnya. Ia sering terlihat murung, seperti orang melamun. Bagaimana tidak, di depan mata, sang pujaan hati bercinta dengan betina lain.

Suatu hari, aku melihat merpati betina itu benar-benar tampak murung. Ia hanya diam, tak peduli lagi dengan suara anak-anaknya yang berteriak-teriak minta makan. Sampai akhirnya, bapak yang harus menyuapi anak-anaknya. Menumbuk jagung, diberi air, lalu dimasukkan ke mulut mereka satu per satu.

Aku ikut merasa sedih melihat kondisi merpati betina itu. Tatapannya kosong, matanya sayu. Ia tak ceria lagi seperti biasanya. Dan selama aku duduk mengamatinya dari pagi, kebetulan hari itu aku libur sekolah. Aku sama sekali tak melihat ia menggunakan sayapnya untuk terbang, bercanda dengan alam atau sekedar basa basi menyapa mentari, seperti yang dulu ia lakukan bersama kekasihnya. Bahkan untuk sekedar turun ke bawah memungut jagung yang disebar bapak di lantai pun, tidak. Ia hanya keluar dari kandangnya setelah bapak membuka gembok pintu satu per satu, dan diam. Mematung.

Bapak lalu menggerus obat warung, memberi sedikit air, lalu memasukkannya ke dalam mulut merpati itu. Rupanya bapak paham, merpati putih itu sedang sakit. Bapak memang sering melakukan itu jika ada salah satu merpatinya yang terlihat kurang sehat. Hanya memberi obat warung saja, bisa membuat merpatinya sembuh keesokan harinya.

Tapi berbeda dengan yang satu ini, satu dua hari masih terlihat lemas. Ia bahkan tak keluar dari sarangnya. Dan bapak masih terus mencoba mengobatinya, hingga berhari-hari, hingga aku tak lagi melihatnya berada di antara yang lain.

“Pak, merpati putih itu masih sakit? Kok nggak pernah keluar?” Akhirnya aku bertanya pada bapak.

“Sudah mati, Ai’ … kasihan anak-anaknya masih kecil.” Jawab bapak dengan raut muka yang sedikit sedih.

Rupanya bukan obat itu yang bisa menyembuhkan sakitnya, karena yang sakit bukan badannya. Terlalu dalam luka yang menggores hatinya, hingga ia tak sanggup lagi menahannya. Entah, bapak tahu atau tidak tentang penyebab kematiannya, karena hingga saat ini, aku tak pernah membicarakan hal itu. Aku hanya menyimpannya sendiri dalam hati, lalu merenungkannya. Dan dari hasil renunganku itu, aku memiliki kesimpulan, bahwa binatang pun bisa seperti manusia, memiliki hati dan rasa yang bisa terluka karena dikhianati. Aku juga tak tahu, kenapa aku tidak ingin membicarakan itu dengan bapak seperti biasanya. Aku tak pernah mengatakan kalau aku sangat fokus mengamatinya. Ya, sepasang merpati itu …

(Casablanca, 1 Januari 2013)

Photo Source: Google Images
     
 
Blogger Templates