Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, October 11, 2014

' bullshit '


bullshit!
bullshit itu omong kosong
banyak bullshit banyak omong kosong
ngomong ndakik-ndakik nggak ada bukti
cuma teori nggak ada praktek
tapi segala bullshit bisa jadi invalid
jika tidak sekedar mbacot!

(TT, 11 Oktober 2014) 

' otoritas '


tiba – tiba …
aku seperti tak mengenalnya
hanya karena tak mau kehilangan kenyamanan:
tiduran di siang bolong
dengan kasur gembelnya
yang sudah kehilangan motif dan warnanya
tertutup peperan ingus dan ludah kentalnya
sambil nonton tv
yang akhirnya ditonton tv

(TT, 11 Oktober 2014)

Thursday, September 25, 2014

Cerpen: Kimmy



Aku hanya melihat fotonya sewaktu masih bayi dari ponsel papa-nya. Beberapa kali melihat perkembangannya, juga dari ponsel papa-nya. Terakhir aku lihat gambarnya yang hidup, bergerak-gerak. Video, masih dari ponsel papa-nya. Ia sudah bisa jalan. Barangkali umur setahun atau lebih. Lelaki kecil berwajah oriental itu mengikat hatiku. Aku jatuh cinta. Aku ingin sekali ketemu.

“Ah, dia nakal. Bandel,” kata papanya.

“Tapi anak yang begitu biasanya cerdas, bang,” balasku.

Aku belum bisa memahami kata nakal dan bandel untuk anak-anak yang belum punya banyak pengalaman. Belum mengerti pantas atau tidak, baik atau tidak, berbahaya atau tidak. Yang aku tahu, ada anak-anak yang lamban, aktif dan hiperaktif. Anak balita masih polos. Memorinya masih banyak kosong. Itu sebabnya ia ingin tahu banyak hal, banyak bertanya dan bicara apa adanya. Tangannya tak berhenti memegangi apa saja untuk diamati. Kakinya tak berhenti bergerak ke mana saja mencari tahu. Kecuali ada sesuatu yang menjadi fokus perhatiannya. Menarik baginya. Untuk beberapa saat ia tak berpindah di satu tempat. Tetapi larangan seseorang akan membuatnya berhenti mengikuti kemauannya. Keingin-tahuannya. Ketika otaknya menangkap, mengolah dan memerintahkan untuk diam, sebab ada ancaman. Merasa terancam. Jiwanya menjadi kurang berkembang. Tak bebas lagi. Imajinasinya yang tak terbatas menjadi terbatas. Bagi anak-anak, tidak ada yang tidak mungkin. Dan imajinasi yang tak terbatas itu mengandung daya cipta yang luar biasa.

Hari ini penantianku berakhir. Aku dipertemukan dengan lelaki kecil itu. Wajah orientalnya, kulitnya yang putih, diwarisi dari mama-nya yang keturunan Tionghoa. Papa-nya asli Medan. Kimmy nama bocah itu. Matanya tidak sempit benar. Tidak terlalu gemuk, tidak juga kurus. Pipinya sedikit bulat, bibirnya ciut. Ia lucu. Menggemaskan. Parasnya mengingatkan aku pada aktor cilik yang ku-kagumi berperan dalam film Shaolin Popey yang jago kung fu, namanya Hao Shaowen atau Shi Xiao Long, atau nama Baratnya Aston Chen. Kimmy tak kenal salim, cium tangan. Pasti upaya papa-nya untuk mengikis faham feodal dari yang paling sederhana. Lalu ‘tos’ menjadi gantinya.

Kami langsung akrab. Tentu aku sangat senang. Aku rasa Kimmy menyambut cintaku, sebab tak jarang cintaku bertepuk sebelah tangan pada manusia-manusia kecil sepertinya. Seperti pada Wong yang ginuk-ginuk, pantatnya embol. Juga pada Nayla yang bermata berani. Sama berani dengan mata Kennard dan Carney. Dalam Bahasa Anglo Saxon, Kennard berarti pemimpin dan Carney adalah pejuang. Menurut papa Kennard dan Carney, pemimpin itu tidak hanya memberi perintah. Dalam sebuah pertempuran, pemimpin dan pejuang harus maju bersama. Aku terkesan dengan mata mereka saat kenalan. Kakak beradik yang masih SD kelas 4 dan kelas 2 itu pun menyalamiku tanpa cium tangan. Matanya menatap tajam, mereka menyebut namanya dengan tegas. Tampak berwibawa. Sama tegas seperti Kuna yang kelas 6 SD. Kami bertemu di Goethe Haus. Ketiga lelaki itu sama berani, tak segan-segan mengkritik kami yang dewasa, yang bukan orang-orang terdekatnya. Kalau Dapunta, jelas tak pernah menolak cinta siapa pun. Orang Jawa bilang, Dapunta itu sumeh (murah senyum). Mungkin karena Dapunta masih bayi yang mendekati ulang tahun pertama, belum genap setahun. Mungkin juga karena Dapunta biasa bertemu banyak orang, bersosialisasi, sehingga ia mudah akrab dengan siapa saja.

Rata-rata mereka tidak lagi salim saat kenalan. Mereka menyambut tangan orang dewasa seperti teman sebayanya. Kepalanya tetap tegak. Tidak menunduk. Memang selayaknya begitu, sebab kita semua sama. Sama-sama manusia. Makhluk yang paling sempurna, yang dimuliakan-Nya. Menundukkan kepala saat berhadapan dengan orang lain seperti menunjukkan kelemahan kita. Bukan yang muda yang harus menghormati yang tua, tetapi tua-muda saling menghormati. Sebab setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihormati, termasuk seorang bayi. Sekali pernah kutemui seorang kawan yang sadar benar. Mereka tidak pernah memaksa atau memerintahkan anak balita-nya. Mereka menghindari kata 'jangan' dan 'tidak boleh', yang kemudian diganti dengan komunikasi dalam bentuk ajakan. Mereka juga menanyakan keinginannya atau menawarkan pilihan untuk memberi hak si anak berpendapat. Hmm ... anak-anak yang hebat, tentu karena mereka memiliki orang tua yang hebat pula.  

“Kucing mana? Kucing mana?” Bibir mungilnya bersuara. Aku lalu menyodorkan tangan kiriku. Dari lima jari yang tersedia, Kimmy mengambil satu jari saja, yang tengah. Digenggamnya sangat erat.  Aku mengajaknya keluar mencari kucing. Di pinggir lapangan di antara rimbun tumbuhan yang ditanam di sana, aku temukan induk kucing bersama ketiga anaknya yang masih bayi. Sepertinya baru beberapa hari melahirkan. Aku yang semula tidak bisa melihat pemandangan itu, sesaat lupa dengan kegelianku. Kami mendekat. Kimmy tampak senang sekali. Tapi induk kucing itu jadi galak. Keempat kakinya sebisa mungkin memagari anak-anaknya. Matanya tajam penuh curiga sambil mengeong pendek --tidak panjang seperti suara orang atau kucing yang lagi manja. Kedatangan kami seperti ancaman baginya. Tapi Kimmy tak juga melepas genggamannya yang tetap erat melingkari jariku. Ketiga jarinya yang paling bawah mencengkeram, sedang telunjuk dan ibu jarinya sekongkol memainkan kedua cincinku yang menyatu di sana. Naik turun. Dan aku baru merasa ketika otakku terfokus ke sana. Ada getar-getar yang menjalari seluruh tubuhku. Berpusat di jari tengah, lalu berjalan, menyebar: ke kedua tangan, ke kedua kaki, ke kepala. Getaran yang merata dari ujung kaki hingga ujung kepala itu lalu menyempit, menyatu ke tengah dada, masuk ke dalam. Rasanya sejuk, damai. Mungkin ini yang dinamakan hormon endorphine. Hormon kebahagiaan. Hormon yang keluar dari tubuh seseorang ketika ia merasa bahagia, senang dan bersemangat. Sebaliknya, seseorang akan merasa bahagia, senang dan bersemangat bila hormon endorphine hadir di dalam tubuhnya. Selama ini endorphin sudah dikenal sebagai zat yang banyak manfaatnya. Selain mengatur produksi hormon pertumbuhan dan seks, mengendalikan rasa nyeri serta sakit yang menetap, juga mengendalikan perasaan stres, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Hormon endorphine adalah senyawa kimia yang membuat seseorang merasa senang, nyaman, diproduksi oleh kelenjar pituitary yang terletak di bagian bawah otak. Hormon ini bertindak seperti morphine, bahkan dikatakan 200 kali lebih besar dari morphine. Tentu morphine alami yang dihasilkan oleh tubuh.

Aku yang menyukai anak-anak selalu rindu tangan mungilnya menyentuh mukaku, jari-jariku, telapak tanganku, atau memainkan anak rambutku. Apakah setiap orang dewasa memiliki rasa yang sama sepertiku? Bahagia ketika tangan-tangan mungil menyentuh kulitnya, lalu memperhatikan perasaannya? Entahlah. Semoga Kimmy kelak menjadi pemuda yang berpikir maju seperti papa-nya. Kritis. Wawasannya luas karena melahap buku-buku bacaan dan selalu mengikuti perkembangan situasi nasional. Memiliki kepedulian terhadap sesama. Tidak hanya berteori, tapi juga berbuat, bekerja, berorganisasi. Mewarisi sikap tegas papa-nya. Tidak memelihara rasa sungkan, sehingga lantang berbicara tentang kebenaran. Seperti beberapa saat sebelum aku mengajak Kimmy keluar. Di ruang yang berbeda, bersama beberapa teman - team kerjanya di perusahaan swasta, papa Kimmy bicara berapi-api, ”Kita ini kurang disiplin, man! Gotong royong pun bablas! Sorry, bicaraku memang nggak enak. Tapi ini realita!”

Waktu seperti berlari, pertemuan kami terasa singkat. Malam sudah menunjukkan pukul 9, belum puas bermain bersama Kimmy. Seorang kawan sudah menjemputku, menunggu di luar dengan motornya. Aku menciuminya sekali lagi setelah kesekian kali aku mendaratkan bibirku di pipi bulatnya. Tak peduli bekas bibir siapa saja yang menempel di sana, sebab siapa saja sudah mengajaknya bermain sebelum aku. Dan aku segera meninggalkannya. Belum juga sampai ke pintu, aku memutar kepalaku melihatnya lagi. Ada rasa yang masih mengganjal, aku meraihnya lagi, menggendongnya keluar. Mama Kimmy mengikuti. Sampai di depan pagar, aku serahkan kembali Kimmy-nya dan kami akhiri dengan 'tos' sebagai salam perpisahan. 

Ah, tentu aku akan merindukanmu, Kimmy …

(Casablanca, 25 September 2014)  

   

Friday, September 5, 2014

' kawanku '


kawanku ...

ada yang bilang,
kita seperti bapak dan anak
saat berdebat
saling menyalahkan

jadi seperti pacarmu ...
sibuk menghiburku
usap kepalaku
kalau aku lagi ngambek
nggak mau ngomong

kadang seperti istrimu saja
bikin kamu panik mengejar
waktu aku lari kedapur sambil nangis
pegang kepalaku, bertanya: kamu kenapa?
jawabku: tak ada uang untuk bayar sampah dan keamanan ...


(Casablanca, Desember 2013)


Wednesday, August 20, 2014

' cerita hari ini 2 '


rasanya sudah jengah
menunggu waktu merangkak
lima menit saja
lama sekali
apalagi sore ...

mulut kita sudah berbusa - busa
ngobrol apa saja
sementara tak ada sesuatu
menjejali mulut kita
juga kepulan asap

tapi kita tetap berharap
berpikir yang baik - baik saja
paling tidak ...
hari ini ada solusi

ah! benar saja
ada utusan malaikat yang mampir
kau bisa pulang sampai rumah
dan aku aman hingga esok hari


(Casablanca, 30 Juni 2014)


' cerita hari ini 1'


kamu melucu
dan aku ngakak
menertawakan kegelisahan kita

katamu:
tenang, siapa tahu ada koruptor yang lewat
melemparkan segepok uangnya kesini


(Casablanca, 30 Juni 2014)

Sunday, August 3, 2014

Cerpen: Rumah Penuh Cinta



Kemanusiaan adalah nilai tertinggi dalam perwujudan cinta, karena cinta hinggap bukan pada materi yang dimiliki atau fisik yang diinginkan, melainkan pada hakekatnya sebagai manusia. Cinta sejati itu ada dan bisa kita temukan pada setiap pribadi yang mampu memberi cinta tanpa meminta syarat, seperti seorang ibu yang merawat bayinya …

Pertama kali memasuki rumah itu, aku terheran-heran melihat ruangannya yang dipenuhi oleh buku-buku. Di setiap kamar, di ruang tamu, di dekat meja makan, semua didominasi oleh buku. Di lemari kayu, di container plastik, bufet, rak-rak, penuh berisi buku. Di lantai bawah, juga atas.

Kalau belum kenal pemilik rumahnya, mungkin akan tertipu melihat rumah yang tampak indah berlantai dua itu, sebab di dalamnya tidak ada barang-barang mewah seperti layaknya orang-orang mampu. Tidak ada sofa set yang anggun, bufet berukir dengan hiasan cangkir dan gelas nan cantik beserta pernak-perniknya, guci-guci antik yang dibeli dari negeri China, lemari es empat pintu atau televisi LED ukuran 90 inchi, seperti yang sering aku temukan di rumah-rumah pengusaha atau pejabat. Sebagai orang nomor dua di sebuah perusahaan besar, tentu Om Martin, pemilik rumah itu bisa membeli perabotan mewah seperti mereka. Tapi Om Martin dan Tante Mirna, istrinya memilih hidup sederhana. Barang-barang di rumah mereka sudah sangat ketinggalan jaman. Usianya bisa sampai 20 tahun atau lebih. Ponsel mereka pun jadul, kalah canggih dengan milik staf-staf Om Martin di kantor. Tapi mereka tidak malu memilikinya. Berdua sepakat untuk tidak membeli furniture dan barang-barang elektronik yang baru dan lebih memilih untuk memperbaiki yang rusak selama bisa diperbaiki. Alasannya untuk mengurangi pengrusakan alam. Menurut mereka, yang paling dirugikan dari penebangan hutan dan kegiatan pertambangan adalah rakyat miskin. Hmm … pilihan yang sangat bijak. Tak ada perhiasan yang menyilaukan mata. Pakaian mereka pun biasa-biasa saja. Mereka tidak butuh yang ber-merk demi gengsi, sehingga harus membayar mahal. Yang penting bersih dan pantas saat di pakai. Dengan begitu, mereka bisa menyisihkan uang untuk membantu kaum papa yang membutuhkan.

Pasangan suami istri itu sering mengikuti aksi-aksi demonstrasi, baik itu aksi buruh, petani, atau aksi-aksi kemanusiaan lainnya. Mereka tidak lagi memandang agama, warna kulit, bendera atau kelompok. Selama itu membela kepentingan rakyat kecil dan melanggar hak asasi manusia, mereka akan bergabung. Tentu dengan pertimbangan dan pembacaan mereka sebagai orang yang mengikuti pergerakan politik di Indonesia.  

Meskipun memiliki mobil beserta sopir pribadi, mereka tidak selalu menggunakannya. Mobil itupun dibeli 9 tahun lalu. Saat aksi atau sepulang aksi, mereka kerap mendapat tawaran dari kawan-kawannya untuk bergabung dalam mobil pribadi. Tapi ditolak. Mereka lebih memilih jalan kaki atau naik metromini bersama peserta aksi lainnya. Pasangan yang saling menghormati itu tidak melekatkan diri terhadap fasilitas yang memberinya kenyamanan. Jalan kaki, panas terik, naik angkot atau bajaj tidak membuat mereka menjadi alergi.

Pagi-pagi sekali sekitar subuh, mereka berdua sudah bangun dan memasak bersama untuk sarapan. Meskipun ada seorang pekerja rumah tangga, mereka tidak membebankan semua urusan rumah kepada pekerja rumah tangganya. Piring bekas makan dan gelas minum, mereka cuci sendiri. Kadang berdua bergantian mengambil tanggung jawab. Ucapan terima kasih akan terlontar dari bibir mereka sebagai penghargaan atas apa yang sudah masing-masing lakukan, termasuk untuk pekerja rumah tangganya yang masih muda, yang masih tergolong pelajar. Om Martin membiayai sekolahnya. Pasangan yang saling mengasihi itu sepakat untuk tidak membeda-bedakan antara pekerja rumah tangga, sopir dan majikan. Penghuni di rumah itu saling membantu dan mengambil tanggung jawab si pekerja rumah tangga. Beberapa hari sekali, akan datang seorang perempuan yang khusus mencuci dan menggosok pakaian. Tengah hari, ada catering yang mengantar makanan sebagai bekal makan malam mereka. Ada juga seorang ibu tua yang datang mengambil jatah makan yang mereka sediakan setiap harinya. 

Pasutri yang selalu romantis itu dikaruniai seorang putra yang sudah menikah dan tinggal terpisah. Dari putranya itu, mereka mendapatkan seorang cucu. Tetapi Om Martin dan Tante Mirna tak pernah merasa kesepian. Ada beberapa lelaki yang tinggal di rumah mereka. Bukan siapa-siapa, tetapi sudah dianggap keluarga. Dan masih banyak lagi di luar sana yang dianggap anggota keluarga. Mereka akan bergantian datang dan menginap bersama istri dan anak-anaknya. Menantu dan cucu Om Martin jadi banyak. Apalagi kalau datang bersamaan, ramai dan seru sekali. Beberapa dari mereka adalah kawan-kawan Om Martin sejak kuliah. Bisa dikatakan orang-orang di dekatnya adalah kawan aktivis yang memiliki kesamaan visi dalam berjuang. Mereka dari berbagai organisasi atau komunitas yang peduli terhadap kemanusiaan. Ada yang bergerak di perburuhan, di pertanian. Ada yang hanya sekumpulan kawan, bergerak untuk memberdayakan remaja yang baru lulus sekolah atau pengangguran. Ada juga yang fokus dibidang kesehatan, membuat pengobatan gratis, memasuki desa-desa terpencil atau pegunungan yang luput dari perhatian pemerintah, membantu warga desa yang tidak mampu berobat. Yang di luar negeri juga ada. Tiap sore, kawannya itu berkeliling dengan mobil bak-nya mendatangi toko-toko kue dan roti, mengumpulkan makanan bagus yang sudah tak dijual lagi untuk dibagikan kepada para TKI yang berada di kolong-kolong jembatan. Dulu, sewaktu putranya masih kuliah, mereka bertiga sering bersama-sama mengikuti aksi-aksi demonstrasi. Hmm ... keluarga yang kompak.

Itu sebabnya mereka tidak pernah mengosongkan meja makan. Akan selalu tersedia makanan untuk siapa saja yang datang. Jika isi meja habis saat sore, mereka tinggal telepon dan pesan makanan. Sebab mereka tidak ingin membebankan pekerjaan memasak pada pekerja rumah tangganya. Tak ada tamu dari kawan-kawan mereka yang harus dilayani. Sistem yang diterapkan di rumah itu adalah melayani diri sendiri. Mau ngopi, silahkan ke dapur, memasak air dan menyeduh sendiri. Ada berbagai macam kopi dan teh, serta gula yang sudah mereka sediakan. Layaknya supermarket, orang tinggal pilih mau teh atau kopi yang mana. Mau makan, tinggal ambil saja di meja makan. Tentu setelah itu, mereka harus mencuci bekas makan dan minumnya sendiri ke dapur.

Di rumah itu juga ada hewan peliharaan. Selain kura-kura di kolam yang menyatu dengan taman buatan dekat ruang tamu, juga ada kucing. Kucing betina itu sudah disterilisasi. Tubektomi. Agar tidak berkembang semakin banyak. Binatang itu juga tidak dicampur dengan manusia. Mereka memberikan area khusus. Mungkin karena rumah itu memiliki banyak pintu, sehingga cukup dengan selalu menutup pintu di area khusus yang tembus menuju jalan keluar rumah. Jika tidak, mungkin mereka akan memberikan kandang untuknya. Barangkali juga karena kucingnya cuma satu, tidak kesulitan mengaturnya. Ia pintar. Tahu di mana tempatnya, jadi tak pernah pub sembarangan. Area di mana hewan itu berada pun tetap bersih, karena dijaga kebersihannya. Tentu ceritanya akan berbeda jika banyak kucing dan dibiarkan berkeliaran di seluruh ruangan. Di mana-mana akan ditemukan air kencing, kotoran, serta muntahannya yang membuat kumuh, bau tak sedap, serta mengganggu kenyamanan manusia. Awalnya si pekerja rumah tangganya yang sangat menyayangi si manis, nama kucing itu, membelikan makanan khusus yang dibeli di Pet Shop. Tapi Tante Mirna melarangnya dengan alasan tidak boleh terlalu memanjakan binatang. Kucing itu harus dibiasakan makan yang sama dengan makanan manusia. Ditakutkan kalau suatu saat tidak mampu membelikan makanan yang harganya cukup mahal itu, kasihan untuk si kucing. Ia jadi tidak mau makan, sakit dan kurus. Kucing itu kini makan dengan ikan dan nasi yang sudah diulet jadi satu. Begitu saja, si manis sehat dan montok. Sebelumnya, pekerja rumah tangganya juga suka memberi susu pada kucing itu. Tante Mirna melarangnya juga, katanya, masih banyak orang yang kelaparan, masih banyak bayi yang tidak bisa minum susu. Mending uang susu itu digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan.         
   
Begitulah yang terjadi di dalam rumah itu. Selain membaca buku di kamar, aku biasa menemui mereka di meja makan. Di sana, aku mendapat banyak pelajaran dari Om Martin dan Tante Mirna. Pengetahuan mereka sangat luas. Aku suka sekali ngobrol atau diskusi bersama. Layaknya anak-anak lainnya, sejak kecil aku selalu ingin tahu tentang banyak hal. Aku tidak berhenti bertanya, dan aku tidak akan puas jika jawaban yang aku terima tidak sampai ke dasarnya. Seringkali para orang tua tidak sanggup meladeni pertanyaan-pertanyaan anaknya, hingga berakhir dengan kalimat “Ya, sudah dari sananya begitu.” 

Pertanyaan-pertanyaan itu masih terus aku simpan. Di meja makan itu, sedikit demi sedikit aku mendapatkan jawabannya. Om Martin dan Tante Mirna sangat sabar menjelaskan setiap pertanyaanku. Tak hanya dijelaskan dari mana asalnya, tapi mereka pilihkan juga bahasa yang paling sederhana lengkap dengan contoh-contohnya, hingga aku benar-benar paham. 

Dan pelajaran yang aku dapatkan hari ini sangat berkesan sebab meruntuhkan keyakinanku selama ini. Mengejutkan. Berawal dari pernyataanku yang tidak sepakat dengan kalimat yang sering digunakan orang-orang di luar sana, bahwa "cinta itu memberi dan tidak mengharap balasan". Pertanyaanku kemudian, apa mungkin orang bisa melakukan itu?

“Ya, memang begitu. Mungkin saja. Kenapa tidak? Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini,” jawab Om Martin tersenyum. 

“Bukankah segala sesuatu itu butuh keseimbangan, Om?” Tanyaku masih penasaran.

“Cinta yang sebenarnya itu tidak butuh keseimbangan, Ay. Kenapa? Karena fitrah manusia adalah mencintai. Jika setiap manusia kembali ke fitrahnya, yang terjadi adalah saling mencintai. So, tidak butuh keseimbangan, bukan?” Tante Mirna menyuapkan buah mangga yang sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil ke dalam mulut Om Martin.

Malam itu, tidak seperti malam-malam sebelumnya dimana kami membicarakan banyak topik. Kali ini pembicaraan kami yang panjang lebar hanya mengulas satu tema, yaitu cinta. Om Martin mengatakan bahwa cinta itu sangat agung, sehingga tidak bisa disamakan dengan perasaan yang hanya sekedar suka. Menyukai dan mencintai itu berbeda. Menyukai itu hanya melihat hal-hal positif atau yang baik-baik saja dari pasangannya atau orang yang diinginkan. Perasaan yang dimiliki oleh orang yang menyukai hanya sesaat seperti berahi. Tetapi kesejatian cinta mampu menghormati harkat dan martabat pasangannya sebagai manusia.

"Tapi biasanya, kalau kita mencintai seseorang kan kita ingin memilikinya?"

“Cinta tidak harus memiliki,” jawab Om Martin sambil mengunyah. “Ego manusialah yang berharap memiliki, karena ingin menguasai. Manusia itu subyek, sehingga tidak bisa dimiliki karena punya pikiran dan berjalan dengan pikirannya sendiri. Seseorang yang ingin memiliki orang lain, sama dengan menjadikannya budak. Cinta itu membebaskan. Tidak mengikat. Cinta itu menyerahkan diri pada orang yang dicintai, maka cinta akan berkata ”aku milikmu”, bukan “kau milikku”. Melihat orang yang kita cintai itu bahagia, itulah sejatinya cinta. Dan di dalam sebuah hubungan perkawinan, yang kita butuhkan hanya komitmen untuk hidup bersama.” 

“Apa tidak ada komitmen setia untuk menjaga perasaan pasangannya?” Tanyaku tak puas. 

“Dengan sendirinya, Ay. Jika pasangan kita mencintai kita, maka ia akan setia untuk menjaga perasaan kita.” 

“Kalau suka itu tidak sama dengan cinta dan kalau ingin memiliki itu adalah ego manusia, kenapa bisa tumbuh rasa cemburu?” 

“Banyak orang menamakan itu semua adalah cinta. Dan di dalamnya ada cemburu. Tetapi cinta yang sejati tidak menjadikan rasa cemburu sebagai alasan atas kemarahannya. Cukuplah dengan rasa sedih melepaskan pasangannya untuk memilih jalannya.” 

“Katanya kalau cinta akan bahagia jika melihat orang yang kita cintai bahagia. Kenapa harus sedih?” 

“Merasa sedih itu tidak salah, Ay. Itu manusiawi. Seperti laki-laki yang menangis, bukan hal yang tabu dilakukan. Meluapkan emosi itu perlu dan menyehatkan, asal tidak merugikan orang lain. Tetapi berlarut-larut dalam kesedihan atau segera bangkit adalah pilihan. Kita bisa menciptakan kebahagiaan kita kapan pun kita mau, jika kita berkuasa atas diri kita.” 

“Cinta juga tidak selalu harus bermanis-manis,” Tante Mirna menambahkan. Suaranya lembut, tak lupa tersenyum. “Kadang dibutuhkan teriakan untuk membuat orang yang kita cintai itu bangun dan berubah.” 

“Seseorang baru bisa dikatakan mencintai pasangannya jika ia tidak mengharapkan imbalan atas apa yang telah dilakukannya, karena cinta tidak mengenal kata "berkorban" atau "pengorbanan". Begitupun dalam organisasi atau dalam perjuangan. Jika kita mencintai sesama, kita tidak akan pernah merasa berjuang, berkorban atau berjasa. Gotong-royong atau saling membantu manusia lain yang tidak berdaya bukan lagi menjadi kewajiban, tetapi hak, sehingga apa yang bisa kita lakukan membuat kita bahagia.” 

“Tapi aku selalu ingin pengertianku terhadapnya dibalas dengan pengertiannya terhadapku, Om …” 

“Kamu tak perlu sedih ketika menyadari bahwa kamu sebenarnya belum mencintai pasanganmu. Cinta itu tidak bisa dipaksa. Cinta itu lahir dengan sendirinya. Muncul dari hati yang paling dalam. Tulus memberi .” 

Hmm … rupanya aku dan banyak orang di sana sudah salah memaknai cinta. Dengan mudah mengatasnamakan rasa suka atau sekedar nafsu dengan cinta. 

“Kami mencintaimu, Ay. Baru kali ini sempat kami katakan ya, Ma?” Tante Mirna mengangguk, tersenyum. “Mencintai itu tidak harus melakukan hubungan seks. Kamu pun tidak harus berubah menjadi seperti apa. Kami tidak perlu tahu juga latar belakangmu dengan mengorek masa lalumu. Tetapi kami siap menjadi pendengar yang baik jika kamu ingin bercerita. Kami mencintaimu apa adanya. Cinta kami juga tidak untuk memilikimu, meski kami sudah menganggapmu sebagai bagian dari keluarga ini. Itu sebabnya kami tidak pernah memaksamu untuk datang, meskipun kami rindu. Kami membebaskanmu mengikuti kata hatimu.” Om Martin lalu menyodorkan tangannya ke arahku diikuti Tante Mirna yang duduk di sampingnya. “Ay, kamu tidak sendirian …” 

Bergantian aku menatap dua pasang mata yang ada di hadapanku. Ada rasa tak percaya, juga haru. Perlahan aku menyodorkan kedua tanganku menyambut tangan mereka. Mataku berkabut, bibirku bergetar tak sanggup mengucap. Hanya dalam hati aku berkata, “Terima kasih atas cinta kalian …”


(Casablanca dini hari, 22 Juli 2014) 


  

Friday, June 20, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 20)



Sprei bermotif bola-bola itu tampak kusut membalut spring bed merah jambu. Di atasnya, tergolek lemas sepasang anak manusia yang saling mengasihi. Separuh tubuh mereka terbungkus selimut berwarna hijau lumut.

“Uda’ …” Zi memanggil pelan. 

“Ya …” 

“Peluk aku …” 

Uda’ segera mengganti posisi tubuhnya. Yang semula tengkurap, kini menghadap ke arah Zi, lalu melingkarkan lengannya. 

“Uda' …”

“Hmm …” 

“Kalau tidak ada keperluan yang benar-benar mendesak, tolong jangan tinggalkan aku setelah senggama kita ya …” 

“Kenapa?” 

"Aku ingin merasa dimiliki. Aku tidak mau diperlakukan seperti pelacur yang ditinggalkan setelah ditiduri.” 

“Apa semua perempuan juga merasakan begitu?” 

“Aku rasa sebagian besar dari perempuan yang menghormati dirinya. Hanya kebanyakan mereka tidak mau berterus terang. Mereka lebih suka memendam keinginannya, lalu menangis diam-diam di saat malam. Paham tua telah mengajarkan mereka, bahwa perempuan tidak boleh banyak menuntut. Harus nurut suami. Mengatakan rindu, malu. Mengakui cemburu, gengsi. Mereka tidak menyadari pentingnya komunikasi atau keterbukaan. Uda’ juga boleh membicarakan padaku, jika Mr. P Uda' mendadak ereksi ketika melihat perempuan lain. Karena bisa jadi itu bukan keinginan Uda’, melainkan dorongan dari otak primitif Uda’. Dorongan untuk melakukan hubungan seks dengan orang lain tidak boleh dilawan, karena itu sama saja dengan memberinya energi, sehingga keinginan itu akan semakin menjadi-jadi.” 

“Kalau melawan sama dengan memberinya energi, terus diapakan dong? Diikuti, sudah tentu salah.”

“Diakui saja, Uda’, lalu biarkan keinginan itu lewat. Atau dibicarakan dengan pasangan, lalu pergi menghindar atau dialihkan untuk memikirkan hal-hal lain yang positif. Sepatutnya-lah manusia berkuasa atas dirinya. Kalau manusia justru yang dikuasai oleh nafsu birahinya, berapa banyak uang dan waktu yang mereka habiskan di tempat-tempat pelacuran, sehingga tidak ada waktu lagi untuk menjadi manusia yang berguna bagi manusia lainnya.” 

“Berarti, kita tidak membutuhkan otak primitif dong. Kalau begitu, bukankah lebih baik dioperasi atau dibuang saja?” 

“Enggak, Uda’. Otak primitif itu juga berguna, agar manusia bisa bertahan hidup. Rasa lapar dan haus yang mendorong kita untuk makan dan minum, dorongan seksual yang membuat manusia bereproduksi sehingga memiliki keturunan, juga rasa takut untuk menghindari bahaya. Itu semua karena adanya nafsu hewani kita. Itu sebabnya, kenapa Tuhan menyelipkan otak primitif ke dalam kepala manusia. Jadi, otak primitif itu tidak perlu dibuang, tetapi dikendalikan, mana yang untuk kebaikan dan mana yang bukan."

“Ohh … begitu. Kau dapat ilmu itu dari mana sih? Kau bilang tak pernah kuliah, tapi kau tahu banyak. Aku juga tak pernah melihatmu baca buku tentang itu.” 

“Uda’ … Untuk mendapatkan ilmu kan nggak harus di bangku sekolah atau di universitas. Asal kita mau belajar dan merenungkan itu, maka setiap waktu yang kita lalui adalah pelajaran dan setiap orang yang kita temui adalah guru. Bahkan kita juga bisa menjadi guru bagi orang lain, sehingga setiap orang adalah guru.” 

Mata Uda’ terbuka. Tangannya meraba-raba. “Zi … Zi …” 

Uda’ bangkit dari rebahnya. Masih berada di atas tempat tidur. Matanya sibuk mencari-cari. “Zi … Zi … Hah! Cuma mimpi!” Kesal Uda’ meninju kasur. 

Hari ini, Uda’ berniat tinggal di markas, menempati kamar Zi yang sudah hampir setahun ini kosong. Tiba-tiba, matanya seperti diarahkan pada kardus yang terletak di atas lemari paling ujung. Uda’ penasaran ingin tahu isinya. Iapun membukanya. Kardus itu penuh debu, seperti tak ada yang pernah menyentuhnya selama ini. 

Mata Uda’ melebar mendapati lukisan Mas Wi ada di sana. Di bawah lukisan itu ada coretan bertuliskan “Ki Suhardi”. Ya, Uda’ ingat, Ki Suhardi banyak melukis kawan-kawannya di gerakan. Lukisan itu sudah terbingkai dan terbungkus rapi. Seperti hendak dikirim, namun masih tersimpan. Sebelum kertas pembungkusnya dibuka, jelas terbaca tulisan yang tertera, dari Zi untuk Mas Wi. Di atas kaca pigura, ada sobekan kertas bertuliskan tangan, direkatkan dengan sedikit isolasi. Sobekan kertas yang pernah diselipkan Mas Wi dari bawah pintu kamar Zi. Dan Uda’ hafal benar siapa pemilik tulisan itu … 

Kita terluka, agar kita dewasa
Kita gagal, supaya kita belajar
Karena seringkali pelajaran terbaik,
dinyatakan melalui penderitaan dan rasa sakit
Ingatlah selalu…
Jika ingin melihat indahnya pelangi,
maka kita harus kuat bertahan
dengan derasnya hujan dan badai…

- Widiaz Tahta Brahmana -

Terbayang wajah kawan dekatnya. Uda’ tak tahu lagi kabar Mas Wi setelah hampir setahun tidak lagi aktif di gerakan, beberapa hari setelah Zi dinyatakan hilang dari rumah sakit. Dan hingga kini, tak ada perkembangan yang mengabarkan tentang keberadaan Zi saat ini, baik dari kawan-kawan di daerah maupun dari pihak kepolisian. Dua orang yang sama-sama dekat di hatinya.

“Hey, mana bojoku? Katanya tadi boncengan sama kau?” Tanyaku pada Joko.

“Cie cieee … yang merasa punya bojo, takut ilang ni yeee …” Rini meledek.

“Ya iyalah … nanti kalau nggak dicari dibilang nggak peduli. Kan repot kita ini,” balasku sambil tertawa.

“Nggak jadi ikut aku, karena masih ada sisa satu bangku di mobil,” kata Joko.

Uda’ masih terpaku. Pandangannya kosong menatap dinding kamar, seolah ada inFokus yang menggambarkan pikirannya. Seperti sedang menikmati layar lebar di sebuah gedung XXI, dimana ia menjadi pemeran utamanya.

“Hey … bangun …” Bisikku sambil mengelus hidung Zi yang tengah tertidur pulas.

Dini hari itu aku pulang setelah menjalani tugas organisasi di luar kota selama sebulan, langsung menuju kamar.

Zi pelan membuka matanya. Ia kaget melihatku ada di dekatnya.

“Emmm … kenapa pulang nggak ngomong-ngomong?” Zi merengek manja.

“Sekali-sekali bikin surprise kan nggak pa pa.” Aku tersenyum meledeknya. “Eh, kenapa kau pakai kemeja lengan panjangku? Sudah kedodoran, tangannya ilang, macam pakai daster saja.”

Aku masih membiarkan separuh badanku di kolong tempat tidur sambil mengusap-usap kepalanya.

“Abis, kangen Udaaa’ …” Sekali lagi, aku mendengar suara manjanya.

“Uuuh kaciaaaaann …” Balasku sambil menaikkan kaki menenggelamkan diri ke dalam ranjang, mendekap erat tubuh istriku. Zi membalas pelukanku. Tubuh kami menyatu, kami saling melepas rindu.

Uda’ tersadar dari lamunannya. Bermenit-menit ia membuang waktu hanya untuk mengenang mimpi-mimpinya yang tak tersampai. Segera dimasukkan kembali barang-barang itu ke asalnya, dilakban, lalu dibawa ke gudang. Uda’ tak mau lagi tersakiti dengan kenangan-kenangan itu.

Kembali Uda' dikejutkan dengan post-it yang jatuh, saat baru saja meletakkan barang dan berdiri. Rupanya kertas kecil itu sempat menempel di bajunya. Sebuah tulisan tangan yang sangat rapi, dibacanya dalam hati …

Laut … datanglah …
Jemput aku di manapun aku tersembunyi
Tak perlu kau tanya kesiapanku
Tak perlu bertanya, aku tengah sedih atau bahagia
Aku hanya ingin hidup damai di rahimmu …

' Izzi Tan Biyi '

~ Selesai ~


(Casablanca, 30 Januari 2014) 

Theme Song: (Tari & Ulfa - Kepadamu) http://www.youtube.com/watch?v=nNTr8Dh7r9k

Photo Source: Google Images


Wednesday, June 11, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 19)


Di depan ruang ICU, semua kawan-kawan gerakan berkumpul. Rico mengabarkan diagnosa dokter yang mengatakan, bahwa jantung Zi sempat tidak berfungsi. Namun kerja keras team medis berhasil, kini jantungnya terdeteksi normal kembali. Tetapi Zi masih belum sadar. Tampak dari pintu kaca yang membatasi ruang ICU, beberapa selang terpasang pada anggota tubuhnya, sebagian dihubungkan pada monitor elektrokardiograf.

Dari jauh, Mas Wi dan Uda’ tergopoh-gopoh mendekat. Semua mata menatap heran melihat wajah mereka yang penuh ketegangan. Kedua lelaki itu langsung menuju pintu ruang ICU. Kawan yang bersahabat itu tampak sedang bicara, seperti orang yang sedang berunding. Mas Wi kemudian masuk. Setelah mengenakan pakaian khusus, Mas Wi mendekati Zi yang tengah terbaring tak sadarkan diri. Uda’ masih mengintip dari luar melalui kaca pintu. Terlihat, kawan akrabnya itu lama memandangi Zi. Sebentar kemudian, Mas Wi mendaratkan bibirnya pada kening Zi. Uda’ terkejut, tak percaya dengan apa yang dilakukan sahabatnya. Yang ia tahu, Zi dan Mas Wi tak pernah terlihat akrab seperti keakraban Zi dengan beberapa kawan lelaki di markas.

Mas Wi kembali tergopoh-gopoh saat keluar dari ruangan. Tak ada sepatah katapun yang terdengar menyapa orang-orang yang ada di sana. Matanya merah. Semua kawan-kawannya kembali menatap heran. Niat Uda’ memasuki ruang ICU dibatalkan, ia mengejar Mas Wi.

“Diaz, kau kenapa?” Tanya Uda’ kepada Mas Wi. Uda’ memiliki panggilan khusus pada sahabatnya.

Mas Wi bergeming dengan langkah yang semakin cepat. Uda’ masih terus mengejar. Beberapa saat bibir Mas Wi bergetar dan air matanya luruh. Mas Wi cepat mengusap dengan tangannya. Di perbatasan menuju area parkir, Mas Wi berhenti, meletakkan telapak tangannya tepat di dada Uda’. Uda’ segera paham maksud sahabatnya itu. Mas Wi tidak ingin terus diikuti. Dengan kendarannya, mas Wi segera pergi meninggalkan rumah sakit.

Uda’ kembali dengan langkah lesu. Sejenak Uda’ menepi di sebuah bangku panjang, lorong rumah sakit. Berpikir dan coba menganalisa yang baru saja terjadi. Uda’ segera menyadari dan harus menerima kenyataan, bahwa ada kedekatan hati melebihi hubungan seorang kawan antara Zi dengan sahabatnya itu. Sesuatu yang tak pernah terpikir sedikitpun.

***

“Zi hilang ... Zi hilang ...”

Kabar itu segera menyebar, membuat orang-orang di markas pusat menjadi panik dan segera meluncur ke rumah sakit.

“Bagaimana kejadiannya, Jok? Kok Zi bisa hilang sih ...” Ali bertanya.

“Aku masih tidur waktu itu, kaget dibangunkan Inez karena kamar ICU kosong.”

“Jam berapa Inez melihatnya?”

“Sekitar jam enam pagi.”

“Memangnya tidak ada petugas piket?”

“Ada, tapi mereka tidak tahu. Semula, Inez mengira Zi sudah dipindahkan ke kamar lain, ternyata tidak.”

“Sudah kau temui kepala rumah sakit?”

“Sudah. Dia hanya minta maaf. Ya aku bilang, tidak cukup hanya minta maaf, dia harus bertanggung jawab atas hilangnya Zi di rumah sakit ini.”

Terus, apa jawab kepala rumah sakit itu?”

”Anda mau menuntut? Silahkan, katanya. Asal anda ingat, bahwa yang hilang itu bukan bayi. Jadi bisa saja kawan anda itu kabur karena ketakutan membayar biaya rumah sakit yang tentu sangat besar jumlahnya.”

“Kabur? Tadinya aku pikir kalau Zi diculik, Jok.”

“Iya, aku juga berpikir begitu. Tapi kalau kabur, kenapa Zi tidak ada di markas?”

“Kalau dia ke markas, sama saja kita yang bayar biaya rumah sakitnya. Aku kenal Zi. Dia itu tidak mau merepotkan. Setiap dia sakit saja, tidak pernah mau dibawa ke dokter. Katanya, cukup dengan istirahat saja. Pernah juga aku lihat dia sedang membersihkan tempat yang tak pernah tersentuh tangan kita. Sewaktu aku tanya, katanya, dia sengaja cari keringat karena badannya sedang meriang.

“Ya, kita lihat saja perkembangannya nanti. Siapa tahu kawan-kawan yang ada di Malang bisa menemukan Zi di rumahnya.”

“Sudah kau hubungi basis di Malang?”

“Sudah, setelah dapat informasi bahwa Zi tidak ada di markas dan di beberapa sekretariat di Jakarta.”

~ Bersambung ~


(Casablanca, 25 Februari 2014) 

Theme Song: (Sita - Dona Dona) http://www.youtube.com/watch?v=jdXpeCb2zXU 

Photo Source: Google Images



 
Blogger Templates