Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan,
Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis yang kuat.
Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas dan aktualitasnya
yang jika dipahami, dihayati, dipercayai dan diamalkan secara konsisten dapat
menopang pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa. Pokok-pokok moralitas
dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dituliskan
sebagai berikut:
1. Rasionalitas
dari alam pemikiran Pancasila seperti itu mendapatkan pembenaran teoretik dan
komparatifnya dalam teori-teori kontemporer tentang ‘public religion’ yang
menolak tesis ‘separation’ dan ‘privatization’ dan mendukung tesis
‘differentiation’. Dalam teori ini, peran agama dan negara tidak perlu
dipisahkan, melainkan dibedakan dengan syarat, bahwa keduanya saling mengerti
batas otoritas masing-masing yang disebut dengan istilah ‘toleransi kembar’
(twin toleration).
2. Menurut
alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari
hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat
horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara
dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada
persaudaraan itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.
Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya
untuk secara bebas-aktif ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ke dalam, bangsa Indonesia
mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik
sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah adil dan beradab. Komitmen
bangsa Indonesia dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan itu sangat visioner
mendahului ‘Universal Declaration of Human Rights’ yang baru dideklarasikan
pada 1948. Secara teoretik-komparatif jalan eksternalisasi dan internalisasi
dalam mengembangkan kemanusiaan secara adil dan beradab itu menempatkan visi
Indonesia dalam perpaduan antara perspektif teori idealisme politik (political
idealism) dan realisme politik (political realism) —yang berorientasi
kepentingan nasional —dalam hubungan internasional.
3. Aktualisasi
nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam
lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan
dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan
ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan
perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola
berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan ‘persatuan dalam keragaman’
dan ‘keragaman dalam persatuan’ yang dalam slogan negara dinyatakan dengan
ungkapan ‘Bhineka Tunggal Ika’.
4. Nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam
aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat
permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip
musyawarah-mufakat, keputusan tidak ‘didikte’ oleh ‘golongan mayoritas’
(mayorokrasi) atau ‘kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha’
(minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang memuliakan
daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang
bulu. Gagasan demokrasi permusyawaratan ala Indonesia yang menekankan konsensus
dan menyelaraskan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu sangat visioner.
Gagasan demokrasi seperti itu mendahului apa yang kemudian disebut sebagai
model ‘demokrasi deliberatif’ (deliberative democracy), yang diperkenalkan oleh
Joseph M Bessette pada 1980 dan juga memiliki kesejajaran dengan konsep
‘sosial-demokrasi’ (sosdem).
5. Nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan serta demokrasi
permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan
keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus
mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas
pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditukar dari perwujudan keadilan sosial
dalam kehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang
dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani,
keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu (yang terlembaga
dalam pasar) dan peran manusia sebagai makhluk sosial (yang terlembaga dalam
negara), juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak
ekonomi, sosial dan budaya. Dalam suasana kehidupan sosial, perekonomian yang
ditandai oleh aneka kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam
kompetisi yang kooperatif (coopetition) berlandaskan asas kekeluargaan;
cabang-cabang produksi yang peting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi
peran masing-masing yang secara keseluruhan mengembangkan semangat
kekeluargaan. Peran individu (pasar) diberdayakan dengan tetap menempatkan
negara dalam posisi yang penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi,
fasilitas, penyediaan dan rekayasa sosial serta penyediaan jaminan sosial. Gagasan
keadilan ekonomi menurut Sosialisme Pancasila mempunyai kesejajaran dengan
diskursus-demokrasi di Eropa dan juga memiliki akar kesejarahan dalam tradisi
sosialisme-desa dan sosialisme-religius masyarakat Indonesia.
Pada 30 September 1960, Soekarno berpidato di depan
anggota PBB ‘To Build The World Anew’ yang memperkenalkan Pancasila kepada
dunia. Bertrand Russel memuji Pancasila dan menyebut Soekarno sebagai ‘Great
thinker in the East’. Filsuf dari Inggris itu juga mengatakan, bahwa ajaran
yang dikandung Pancasila merupakan jalan tengah, sebagai sintesis kreatif
antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi
demokrasi kapitalis) dengan manifesto Komunis (yang merepresentasikan ideologi
komunis). Lebih dari itu, seorang ahli sejarah, Rutgers mengatakan, “Dari semua
negara-negara di Asia Tenggara, Indonesialah yang dalam konstitusinya pertama-tama
dan paling tegas melakukan latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada
semua revolusi melawan penjajahan. Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila,
dilukiskannya alasan-alasan secara lebih mendalam daripada revolusi-revolusi
itu.
Tercegatnya aspirasi politik Islam dalam PPKI, berlanjut
dengan penolakan awal terhadap gagasan pembentukan departemen agama. Pada
awalnya, Latuharhary menentang gagasan tersebut dengan alasan bahwa gagasan
itu akan menjadi sumber perselisihan antara umat Islam dan Kristen.
Pandangannya itu mendapatkan dukungan dari sembilan belas anggota PPKI,
sehingga mulai dari Kabinet Presidensial Soekarno pertama (31 Agustus – 14
November 1945) sampai Kabinet Perlementer Sjahrir pertama (14 November 1945 –
12 Maret 1946), departemen agama tidak ada. Departemen ini baru dibentuk pada
Kabinet Sjahrir kedua (Maret 1946). Yang diangkat sebagai menteri agama pada
kabinet ini adalah M. Rasjidi.
Ketika partai-partai Islam (terutama Masyumi) memainkan
peran penting dalam pemerintahan selama periode 1950 – 1955, suara-suara
kekecewaan atas pencoretan ‘tujuh kata’ itu juga mereda, digantikan oleh
pandangan yang lebih positif terhadap Pancasila. Hal ini tercermin dari pidato
Mohammad Natsir di depan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952 yang
membela Pancasila sebagai hal yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan
menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila menurutnya,
lima sila itu akan menjadi dasar etika, moral dan spiritual bangsa Indonesia
yang selaras dengan tauhid. Pernyataan serupa itu dia ulangi dalam pidatonya
pada peringatan Nuzulul Qur’an 1954.
Dalam situasi yang jernih tanpa perasaan terancam,
tokoh-tokoh Islam juga memiliki kelapangan hati untuk mengutamakan perdamaian,
bersedia menerima konstruksi komunitas politik egaliter yang menjamin kesetaraan
hak dan kewajiban bagi setiap warga negara tanpa memandang latar agama dan
golongan. Dalam kelapangan jiwa, kaum Muslim bisa melihat bahwa kasus pencoretan
‘tujuh kata’ itu sesungguhnya ada preseden historisnya pada ‘Perjanjian (Damai)
Hudaibiyah’ (628) antara Nabi Muhammad (wakil Kaum Muslim) dengan pihak pagan
Quraisy (diwakili Suhail bin Amr) sebagai ‘seteru’ politik utamanya. Dalam
kedudukan Muslim yang kuat, dengan suku-suku Badui yang mulai mengalihkan
dukungannya ke pihak Muslim, Nabi lebih memilih kemenangan melalui perjanjian
damai ketimbang pemaksaan dan kekerasan. Dalam rangka mencapai konsensus damai,
Nabi bersedia mendudukkan lawan dalam posisi setara. Suhail keberatan dengan
pencatuman kata-kata yang menjadi ungkapan khas keyakinan dan identitas Muslim,
yang kebetulan juga terdiri dari ‘tujuh kata kunci’. Nabi Muhammad
memerintahkan Ali menulis sesuai yang didiktekannya dan memulai dengan
‘Bismillah al-Rahman al-Rahim’ (bentuk khas kalimat mukadimah Muslim). Suhail
langsung menolak. Quraisy selalu membenci gelar-gelar ketuhanan semacam ini,
lantas dia pun menyela, “Aku tak mengenali ini, tapi tulislah: Dengan Nama-Mu,
Wahai Allah!” Dan dia tak akan membubuhkan namanya hingga Nabi siap untuk
mengubahnya. Di bawah keterperanjatan kaum Muslim, Nabi setuju dan menyuruh Ali
mengubah kata-katanya. Nabi melanjutkan, “Di bawah ini, hal-hal yang Muhammad,
Rasul Tuhan, sepakati dengan Suhail bin Amr.” Suhail kembali menolak, “Jika aku
mengakui engkau sebagai Rasul Tuhan, aku tak akan berperang denganmu,”
sangkalnya secara masuk akal. Ali telah menulis kata-kata ‘Rasul Allah’ dan
menyatakan tak dapat menghapusnya. Nabi memintanya menunjukkan kalimat dari
perkamen yang dimaksud dan membuangnya sendiri. Kalimat itu lantas diubah
menjadi ‘Ini hal-hal yang telah disetujui Muhammad bin Abdullah dengan Suhail
bin Amr’. Perjanjian disepakati disambut kekecewaan dan demoralisasi para
pendukung Nabi.
Akan tetapi, tatkala kelapangan jiwa itu menyempit
kembali oleh perasaan terancam, aspirasi politik identitas bangkit lagi.
Suasana kebatinan seperti itulah yang mewarnai persidangan Dewan Konstituante
yang dihasilkan oleh Pemilihan Umum (Pemilu) pertama, 1955. Pemilu tahun 1955
dilaksanakan dalam dua tahap: tahap pertama (29 September) untuk memilih
anggota parlemen, dan tahap kedua (15 Desember) untuk memilih anggota
Konstituante.
Perbedaan pandangan dalam relasi agama dan negara terjadi
baik di sidang-sidang DPR maupun di Dewan Konstituante. Akan tetapi, bobot
perselisihan di persidangan Konstituante lebih genting karena menyangkut
penyusunan dan penetapan Konstitusi baru yang lebih permanen bagi masa depan
Republik.
(Bersambung)
Photo Source: Google Images |