Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Tuesday, March 31, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 5)



Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas dan aktualitasnya yang jika dipahami, dihayati, dipercayai dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa. Pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dituliskan sebagai berikut:
1.       Rasionalitas dari alam pemikiran Pancasila seperti itu mendapatkan pembenaran teoretik dan komparatifnya dalam teori-teori kontemporer tentang ‘public religion’ yang menolak tesis ‘separation’ dan ‘privatization’ dan mendukung tesis ‘differentiation’. Dalam teori ini, peran agama dan negara tidak perlu dipisahkan, melainkan dibedakan dengan syarat, bahwa keduanya saling mengerti batas otoritas masing-masing yang disebut dengan istilah ‘toleransi kembar’ (twin toleration).

2.       Menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah adil dan beradab. Komitmen bangsa Indonesia dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan itu sangat visioner mendahului ‘Universal Declaration of Human Rights’ yang baru dideklarasikan pada 1948. Secara teoretik-komparatif jalan eksternalisasi dan internalisasi dalam mengembangkan kemanusiaan secara adil dan beradab itu menempatkan visi Indonesia dalam perpaduan antara perspektif teori idealisme politik (political idealism) dan realisme politik (political realism) —yang berorientasi kepentingan nasional —dalam hubungan internasional.

3.       Aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan  yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan ‘persatuan dalam keragaman’ dan ‘keragaman dalam persatuan’ yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan ‘Bhineka Tunggal Ika’.

4.       Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak ‘didikte’ oleh ‘golongan mayoritas’ (mayorokrasi) atau ‘kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha’ (minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu. Gagasan demokrasi permusyawaratan ala Indonesia yang menekankan konsensus dan menyelaraskan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu sangat visioner. Gagasan demokrasi seperti itu mendahului apa yang kemudian disebut sebagai model ‘demokrasi deliberatif’ (deliberative democracy), yang diperkenalkan oleh Joseph M Bessette pada 1980 dan juga memiliki kesejajaran dengan konsep ‘sosial-demokrasi’ (sosdem).

5.       Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditukar dari perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu (yang terlembaga dalam pasar) dan peran manusia sebagai makhluk sosial (yang terlembaga dalam negara), juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam suasana kehidupan sosial, perekonomian yang ditandai oleh aneka kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang kooperatif (coopetition) berlandaskan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang peting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi peran masing-masing yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekeluargaan. Peran individu (pasar) diberdayakan dengan tetap menempatkan negara dalam posisi yang penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitas, penyediaan dan rekayasa sosial serta penyediaan jaminan sosial. Gagasan keadilan ekonomi menurut Sosialisme Pancasila mempunyai kesejajaran dengan diskursus-demokrasi di Eropa dan juga memiliki akar kesejarahan dalam tradisi sosialisme-desa dan sosialisme-religius masyarakat Indonesia.

Pada 30 September 1960, Soekarno berpidato di depan anggota PBB ‘To Build The World Anew’ yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia. Bertrand Russel memuji Pancasila dan menyebut Soekarno sebagai ‘Great thinker in the East’. Filsuf dari Inggris itu juga mengatakan, bahwa ajaran yang dikandung Pancasila merupakan jalan tengah, sebagai sintesis kreatif antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan manifesto Komunis (yang merepresentasikan ideologi komunis). Lebih dari itu, seorang ahli sejarah, Rutgers mengatakan, “Dari semua negara-negara di Asia Tenggara, Indonesialah yang dalam konstitusinya pertama-tama dan paling tegas melakukan latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada semua revolusi melawan penjajahan. Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan secara lebih mendalam daripada revolusi-revolusi itu.

Tercegatnya aspirasi politik Islam dalam PPKI, berlanjut dengan penolakan awal terhadap gagasan pembentukan departemen agama. Pada awalnya, Latuharhary menentang gagasan tersebut dengan alasan bahwa gagasan itu akan menjadi sumber perselisihan antara umat Islam dan Kristen. Pandangannya itu mendapatkan dukungan dari sembilan belas anggota PPKI, sehingga mulai dari Kabinet Presidensial Soekarno pertama (31 Agustus – 14 November 1945) sampai Kabinet Perlementer Sjahrir pertama (14 November 1945 – 12 Maret 1946), departemen agama tidak ada. Departemen ini baru dibentuk pada Kabinet Sjahrir kedua (Maret 1946). Yang diangkat sebagai menteri agama pada kabinet ini adalah M. Rasjidi.

Ketika partai-partai Islam (terutama Masyumi) memainkan peran penting dalam pemerintahan selama periode 1950 – 1955, suara-suara kekecewaan atas pencoretan ‘tujuh kata’ itu juga mereda, digantikan oleh pandangan yang lebih positif terhadap Pancasila. Hal ini tercermin dari pidato Mohammad Natsir di depan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952 yang membela Pancasila sebagai hal yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila menurutnya, lima sila itu akan menjadi dasar etika, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid. Pernyataan serupa itu dia ulangi dalam pidatonya pada peringatan Nuzulul Qur’an 1954.

Dalam situasi yang jernih tanpa perasaan terancam, tokoh-tokoh Islam juga memiliki kelapangan hati untuk mengutamakan perdamaian, bersedia menerima konstruksi komunitas politik egaliter yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara tanpa memandang latar agama dan golongan. Dalam kelapangan jiwa, kaum Muslim bisa melihat bahwa kasus pencoretan ‘tujuh kata’ itu sesungguhnya ada preseden historisnya pada ‘Perjanjian (Damai) Hudaibiyah’ (628) antara Nabi Muhammad (wakil Kaum Muslim) dengan pihak pagan Quraisy (diwakili Suhail bin Amr) sebagai ‘seteru’ politik utamanya. Dalam kedudukan Muslim yang kuat, dengan suku-suku Badui yang mulai mengalihkan dukungannya ke pihak Muslim, Nabi lebih memilih kemenangan melalui perjanjian damai ketimbang pemaksaan dan kekerasan. Dalam rangka mencapai konsensus damai, Nabi bersedia mendudukkan lawan dalam posisi setara. Suhail keberatan dengan pencatuman kata-kata yang menjadi ungkapan khas keyakinan dan identitas Muslim, yang kebetulan juga terdiri dari ‘tujuh kata kunci’. Nabi Muhammad memerintahkan Ali menulis sesuai yang didiktekannya dan memulai dengan ‘Bismillah al-Rahman al-Rahim’ (bentuk khas kalimat mukadimah Muslim). Suhail langsung menolak. Quraisy selalu membenci gelar-gelar ketuhanan semacam ini, lantas dia pun menyela, “Aku tak mengenali ini, tapi tulislah: Dengan Nama-Mu, Wahai Allah!” Dan dia tak akan membubuhkan namanya hingga Nabi siap untuk mengubahnya. Di bawah keterperanjatan kaum Muslim, Nabi setuju dan menyuruh Ali mengubah kata-katanya. Nabi melanjutkan, “Di bawah ini, hal-hal yang Muhammad, Rasul Tuhan, sepakati dengan Suhail bin Amr.” Suhail kembali menolak, “Jika aku mengakui engkau sebagai Rasul Tuhan, aku tak akan berperang denganmu,” sangkalnya secara masuk akal. Ali telah menulis kata-kata ‘Rasul Allah’ dan menyatakan tak dapat menghapusnya. Nabi memintanya menunjukkan kalimat dari perkamen yang dimaksud dan membuangnya sendiri. Kalimat itu lantas diubah menjadi ‘Ini hal-hal yang telah disetujui Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr’. Perjanjian disepakati disambut kekecewaan dan demoralisasi para pendukung Nabi.

Akan tetapi, tatkala kelapangan jiwa itu menyempit kembali oleh perasaan terancam, aspirasi politik identitas bangkit lagi. Suasana kebatinan seperti itulah yang mewarnai persidangan Dewan Konstituante yang dihasilkan oleh Pemilihan Umum (Pemilu) pertama, 1955. Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dalam dua tahap: tahap pertama (29 September) untuk memilih anggota parlemen, dan tahap kedua (15 Desember) untuk memilih anggota Konstituante.

Perbedaan pandangan dalam relasi agama dan negara terjadi baik di sidang-sidang DPR maupun di Dewan Konstituante. Akan tetapi, bobot perselisihan di persidangan Konstituante lebih genting karena menyangkut penyusunan dan penetapan Konstitusi baru yang lebih permanen bagi masa depan Republik. 


(Bersambung)
Photo Source: Google Images

Wednesday, March 11, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 4)



Usul Hatta ini mendapat dukungan terutama dari Soekiman dan M. Yamin. Soekiman memandang perlu mempererat perhubungan pembentukan Negara dengan jiwa rakyat, “Pada dewasa ini, maka rakyat merasa tidak mempunyai hak apa-apa sebagai akibat 350 tahun penjajahan, baik yang mengenai jasmani maupun mengenai rohaninya. Pikiran rakyat Indonesia sungguh dikuasai oleh rasa tidak mempunyai harga diri (minderwaardigheid complex), maka dari itu saya setuju sekali usul untuk memasukkan beberapa hak dasar.”

Muhammad Yamin menuntut lebih jauh. Dia mengusulkan agar aturan kemerdekaan warga Negara dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Dia menolak segala alasan yang dimajukan tentang tidak dimasukkannya hal ini dalam hukum dasar. Menurutnya, segala Constitution lama dan baru di atas dunia berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya Undang-Undang Dasar Dai Nippon, Republik Filipina dan Republik Tiongkok. Dalam pandangannya, perlindungan hak warga Negara dalam UUD ini tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kemestian perlindungan kemerdekaan yang harus diakui dalam UUD.

Dengan berbagai argumen itu, akhirnya pada tanggal 15 Juli juga Soepomo bersedia menempuh pilihan kompromistik. Menurutnya, “Dengan tidak dimasukkannya kemerdekaan warga itu ke dalam sistematik kekeluargaan, sesungguhnya tidak berarti rakyat tidak akan mempunyai kemungkinan bersidang atau berkumpul dan lain-lain, karena dalam Negara modern hal itu dengan sendirinya diatur dalam undang-undang. Akan tetapi di sini banyak dari anggota-anggota yang dengan beberapa alasan toh minta supaya hal ini masuk Undang-Undang Dasar juga… Oleh karena itu, kami usulkan suatu aturan yang mengandung kompromistis, akan tetapi tidak akan menentang kepada sistematik dari rancangan anggaran dasar ini. Bentuk komprominya dalam UUD dapat ditambahkan pasal yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan lain-lain yang diatur oleh undang-undang.”

Pokok perdebatan mengenai hak asasi manusia yang terbatas pada hak sipil dan politik (sipol) ini, oleh sebagian dikhawatirkan bisa terjerumus pada individualisme sejauh pengakuan hak itu tidak disertai dengan kewajiban. Itupun sesungguhnya terbatas pada perkara kemerdekaan penduduk untuk bersidang, berkumpul dan berpendapat. Karena hak sipol lainnya, seperti kemerdekaan beragama/berkeyakinan ini posisinya tetap sejak rancangan pertama, kedua, hingga terakhir, yakni pada pasal 29. Demikian juga halnya tentang hak kesamaan kedudukan warga Negara di dalam hukum dan pemerintah, telah diakomodasi sejak rancangan pertama. Semula hal itu terletak pada pasal 28 (1), kemudian bergeser menjadi pasal 27 (1) pada rancangan kedua dan terakhir.

Usulan Hatta mendapatkan banyak dukungan dari anggota-anggota yang kemudian diterima. Dengan penerimaan itu, rancangan UUD 1945 mengandung semangat pemuliaan hak-hak dasar dan visioner. Meskipun pasal-pasal tentang hak dasar itu terbatas jumlahnya, secara substantif sudah meliputi apa yang kemudian sering disebut ‘tiga generasi hak asasi manusia’:
1.       Generasi pertama: hak sipil dan hak politik
Generasi pertama hak asasi manusia ini amat terkait dengan hak sipil yang berhubungan langsung dengan orientasi etis kemanusiaan dan juga konteks ‘habeas corpus’ yang menjadi salah satu pilar hukum internasional. Hak ini menyangkut hak hidup, hak kebebasan beragama dan/atau berkepercayaan, hak untuk diproses secara hukum dengan seadil-adilnya, hak mengemukakan pendapat (freedom of speech) dan hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan bersama (voting rights). Generasi ini sering disebut hak negatif (hak tidak boleh di…) dan hak dengan pendekatan minimalis. Dalam UUD 1945, hak ini antara lain terkandung pada pasal 27 (pasal 1), 28 dan 29.

2.       Generasi kedua: hak demokratis
Generasi kedua hak asasi manusia terkait dengan proses sebuah negara membuahkan kebijakan dan kondisi yang memungkinkan suatu kehidupan semakin manusiawi. Termasuk dalam hal ini adalah hak atas layanan kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas jaminan sosial. Generasi kedua ini sesungguhnya terintegrasi dengan hak sipil dan hak politik. Tatanan kehidupan yang manusiawi diandaikan membutuhkan hak ‘negatif’ dan hak ‘positif’, yaitu hak “untuk me…” untuk membuat kehidupan semakin manusiawi. Dalam UUD 1945, hak ini antara lain terkandung dalam pasal 27 (pasal 2), 31 dan 34.

3.       Generasi ketiga: hak ekonomi – sosial – kultural – kolektif
Generasi ketiga ini adalah bagian dari pengakuan akan perlindungan keseluruhan kehidupan manusia, baik sekarang maupun yang akan datang, baik di satu komunitas maupun antar komunitas. Ada suatu pemahaman bahwa kehidupan dipengaruhi oleh dimensi masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang. Dalam kurun waktu itu, hak generasi pertama dan juga generasi kedua bisa saja digerus atau dipinggirkan secara sengaja (by commission) atau pelalaian (by omission). Generasi ketiga ini adalah termasuk hak atas perlindungan lingkungan, hak masyarakat adat, hak ekonomi dan hak pembangunan, hak penentuan nasib sendiri, dan sebagainya. Dalam UUD 1945 hak ini antara lain terkandung dalam pasal 30,32,33 (3) dan 34.

Kebanyakan hak dasar yang terkandung dalam UUD 1945 adalah hak dasar warga negara. Kandungan hak asasi manusia yang bersifat universal, yang berlaku juga bagi non-warga negara, hanya terkandung pada pasal 28 dan 29. Hal ini mengindikasikan bahwa pengakuan akan HAM itu diletakkan dalam suasana kekeluargaan. Seiring dengan itu, dalam kewajiban memfasilitasi dan memenuhi hak-hak dasar warga, negara (sebagai entitas kolektif) juga diberi haknya tersendiri, antara lain hak mengelola hal-hal yang menyangkut persemakmuran bersama (common wealth). Hal ini tertuang pada pasal 33 (1,2,3). Selain itu, demi kebajikan bersama, hak yang diberikan kepada warga negara juga berkelindan dengan kewajibannya pada kepentingan kolektif. Hal ini terkandung pada pasal 27 (1) dan pasal 30 (1)

Dengan demikian, secara substantif cakupan dan komitmen HAM dalam UUD 1945 telah merefleksikan tuntutan modern atas perlindungan hak-hak asasi manusia, mampu mengantisipasi apa yang kemudian tertuang dalam daftar hak-hak asasi (bill of human rights) dari PBB. Bisa dipahami jika Mohammad Hatta mengatakan bahwa UUD 1945 adalah ‘undang-undang dasar yang paling modern’ (pada zamannya)

Berdasarkan kenyataan ini, Negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 bukanlah negara ‘integralistik’ dalam bayangan awal Soepomo yang melemahkan individu, bukan pula negara ‘liberal’ yang melemahkan kolektivitas. Negara Indonesia adalah negara kekeluargaan yang menghormati hak-hak asasi warga negara dan manusia umumnya, sebagai individu maupun kelompok.

Dalam Rapat Besar Panitia Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soekarno (13 Juli),  perdebatan sengit seputar ikutan ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta kembali mencuat. Dipicu oleh pernyataan K.H. Wachid Hasjim yang mengusulkan agar ‘Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam’, dan pasal 29 diubah kira-kira menjadi: Agama negara adalah agama Islam. Agoes Salim mengingatkan, bahwa hal itu berarti hasil kompromi mentah lagi. Pandangan Hasjim dibela Soekiman yang menurutnya, tidak akan berakibat apa-apa. Namun Wongsonagoro merasa tercengang karena hasil kompromi dimentahkan.

Pada 14 Juli, giliran Ki Bagoes Hadikoesoemo yang melakukan gugatan. Menurutnya, kata-kata ‘bagi para pemeluknya’ (di belakang kalimat ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam) sepatutnya dihapus saja, karena hal itu berarti bahwa dalam satu negara akan diadakan dua peraturan: satu untuk umat Islam, dan yang satu lagi untuk yang bukan Islam.

Sekali lagi Soekarno berseru, “Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya hanya mengatakan, bahwa ini sebagai hasil kompromis yang diperkuatkan oleh panitia pula. Cuma dari ‘bagi pemeluk-pemeluknya’ dibuang, maka itu mungkin diartikannya, yang tidak Islam pun diwajibkan menjalankan syari’at Islam”.

Persoalan belum tuntas juga. Pada 15 Juli, Abdoelrachim Pratalykrama dari golongan kebangsaan (pangreh praja) mengusulkan kembali agar ‘Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam’. Persoalan ini menimbulkan kebuntuan yang hanya bisa diselesaikan pada 16 Juli setelah Soekarno dengan berlinang air mata menghimbau, agar yang tidak setuju dengan hasil rumusan panitia bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan Indonesia.

Demikianlah hasil rumusan Piagam Jakarta itu bisa dipertahankan hingga akhir masa persidangan kedua (17 Juli 1945). Namun demikian, ketidaksetujuan atas perlakuan khusus bagi umat Islam dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan tetap mengendap di hati elemen-elemen golongan kebangsaan. Apalagi rumusan itu dihasilkan oleh mekanisme di luar kerangka formalitas.



FASE PENGESAHAN

Namun demikian, betapa pun terjadi konsesus secara luas dan rancangan UUD sudah disepakati oleh semua anggota BPUPKI pada 16 Juli, kecuali satu orang (Muhammad Yamin), rupanya merasa ada sesuatu yang mengganjal. Bagi anggota-anggota golongan kebangsaan, pencantuman ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta —yang mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam —dirasa tidak cocok dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan. Suasana itu mewarnai sidang PPKI yang didirikan pada 12 Agustus 1945, bertugas mempercepat upaya persiapan terakhir bagi pembentukan sebuah pemerintahan Indonesia merdeka, termasuk menetapkan konstitusi.

Jika kriteria keanggotaan BPUPKI didasarkan pada latar belakang ideologis dan perwakilan golongan, kriteria utama keanggotan PPKI lebih berdasarkan kedaerahan. Konsekwensinya, beberapa anggota kunci seperti Agoes Salim, Abdul Kahar Moezakir, Masjkur, Ahmad Sanoesi, Abikoesno Tjokrosoejoso, Wongsonagoro dan M. Yamin tidak termasuk anggota PPKI yang bisa menimbulkan perubahan terhadap konsensus yang dihasilkan oleh BPUPKI.

Pada awalnya, PPKI terdiri dari 21 anggota yang diketuai juga oleh Soekarno dengan Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat sebagai wakil ketua. Dari 21 anggota ini, 12 diantaranya bisa diklasifikasikan sebagai para pemimpin golongan kebangsaan generasi tua. Sembilan lainnya terdiri dari dua wakil pangreh praja, tiga dari kesultanan (Yogyakarta, Surakarta dan Bugis), dua dari organisasi Islam, satu dari wakil PETA, dan satu dari minoritas keturunan Cina. Organisasi Islam diwakili oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah, dan Wachid Hasjim dari NU.

Atas saran Soekarno, beberapa orang ditambahkan dalam anggota PPKI, yaitu:
1.       Kasman Singodimedjo (komandan PETA di Jakarta)
2.       Teuku Hasan (mewakili suara Islam)
3.       Wiranatakusumah
4.       Ki Hadjar Dewantara
5.       Sajuti Melik
6.       Iwa Kusuma Soemantri
7.       Soebardjo

Semula, akan ditambahkan pula Sukarni, Chairul Saleh dan Adam Malik (dari kalangan pemuda), namun mereka menolak bergabung karena PPKI dianggap buatan Jepang.

Dalam pertemuan antara ketua/wakil ketua PPKI dengan pihak pemerintah Jepang (Marsal Terautji), semula Soekarno dan Hatta mengusulkan kemungkinan pertemuan pertama PPKI pada 25 Agustus. Tentang usul itu, Terautji mempersilahkan panitia untuk menentukan sendiri. Sepulang di tanah air, mengingat perubahan cepat dan desakan politik yang berkembang, rencana pertemuan PPKI dipercepat menjadi 16 Agustus. Namun pada tanggal itu, Soekarno dan Hatta ‘diculik’ oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Keesokan harinya ada proklamasi kemerdekaan Indonesia, sehingga sidang pertama PPKI baru bisa dilaksanakan pada 18 Agustus 1945.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah ‘Piagam Jakarta’ sebagai pembukaan UUD 1945 kecuali ‘tujuh kata’ di belakang sila Ketuhanan. ‘Tujuh kata’ itu dicoret, lalu diganti dengan kata-kata ‘Yang Maha Esa’, sehingga menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Selain itu, pencoretan ‘tujuh kata’ juga disetujui dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 6 ayat 1, bahwa ‘Presiden ialah orang Indonesia asli’ tanpa tambahan kata-kata ‘yang beragama Islam’. Demikian pula bunyi pasal 29 ayat 1 menjadi ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’ tanpa disertai ‘tujuh kata’ di belakangnya.

Tentang pencoretan ‘tujuh kata’ tersebut, Mohammad Hatta punya andil besar. Dia mendekati tokoh-tokoh Islam. Seperti diakui sendiri dalam otobiografinya (Memoir Mohammad Hatta – 1979); pada tanggal 18 Agustus pagi, dia melakukan rapat pendahuluan dengan Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan untuk merundingkan usulan perubahan itu, alasannya demi menjaga persatuan bangsa.  Wachid Hasjim tidak hadir pada pertemuan itu karena sedang ke Surabaya.

Atas usul perubahan itu, Teuku Hasan menyambutnya secara positif, sedangkan Kasman belum siap  karena baru menerima undangan pagi itu. Menyisakan Ki Bagoes mengambil sikap. Usaha untuk membujuk Ki Bagoes dilakukan oleh Teuku Hasan dan Kasman. Dengan berbagai argumen persuasi yang dikemukakan, akhirnya Ki Bagoes bersedia menerima usul perubahan itu. Dengan demikian, kubu Islam akhirnya menerima pencoretan ‘tujuh kata’ itu, tetapi tidak ada seorang pun wakil golongan Islam yang menghadiri rapat dan menandatangani Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945.

Meski menimbulkan kekecewaan di sebagian golongan Islam karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya, secara de facto dan de jure pencoretan ‘tujuh kata’ itu mencerminkan realita politik yang ada dan memiliki keabsahan. Kekuatan representasi politik Islam di PPKI nyatanya memang tidak seberapa, sedangkan yang berwewenang menetapkan UUD tidak lain adalah PPKI, bukan BPUPKI. Lagi pula menurut Hatta, semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan ‘tujuh kata’. 

Pada akhirnya, rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945.


(Bersambung)
Photo Source: Google Images

 
Blogger Templates