Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, July 11, 2015

' Malala Yousafzai '


Tanggal 12 Juli, bertepatan dengan Hari Koperasi Indonesia, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menetapkan sebagai Hari Malala di tahun 2013. Saya tertarik dengan isi pidato Malala Yousafzai, untuk itu saya ingin berbagi kepada Sahabat Setia Catatan Tari Adinda. Tetapi sebelumnya, saya ingin menjelaskan sedikit tentang Malala, seorang murid sekolah (pelajar) yang memperjuangkan hak anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan.  

Nama lengkapnya, Malala Yousafzai. Lahir di Mingora, Distrik (Lembah) Swat, Pakistan, 12 Juli 1997. Ayahnya bernama Ziauddin Yousafzai, dan ibunya bernama Tor Pekai Yousafzai. Memiliki dua adik laki-laki: Khushal dan Atal. Dari suku Pusthun. Sebagaimana mayoritas orang Pakistan, mereka penganut agama Islam Sunni. (I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban - 2013)

Pada 9 Oktober 2012, Ia ditembak oleh militan Taliban. Waktu itu usianya 15 tahun. Penembakan itu dilakukan, sebab Malala seorang anak perempuan yang berani menentang Taliban. Sikapnya dianggap terlalu kritis. Saat itu Taliban di bawah pimpinan Maulana Fazlullah yang menguasai Lembah Swat melarang semua anak perempuan sekolah. Dua peluru diluncurkan, satu bersarang di kepala dan satu lagi di lehernya. Setelah beberapa hari dirawat di sebuah rumah sakit militer di Peshawar, Pakistan, ia diterbangkan ke Inggris untuk menjalani operasi dan perawatan intensif yang jauh lebih baik, di Rumah Sakit Queen Elizabeth, Birmingham.

Penembakan yang nyaris merenggut nyawanya itu, membuat Malala menjadi ikon perlawanan dunia untuk melawan kelompok ekstremis. Malala kemudian mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian yang diumumkan oleh Panitia Nobel di Norwegia, pada Jumat, 10 Oktober 2014. Peraih Nobel termuda untuk semua kategori sepanjang sejarah.

Pada 12 Juli 2013, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-16, Malala berpidato di Forum Majelis Kaum Muda di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat. Pada saat itulah tanggal 12 Juli ditetapkan sebagai Hari Malala. Ia didaulat menjadi ikon pendidikan global oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Dan bagaimana isi pidato Malala hingga beberapa kali terhenti oleh gemuruh tepuk tangan? Bahkan usai pidato, semua orang termasuk Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon melakukan standing ovation untuknya. Berikut teks lengkapnya yang saya ambil dari TEMPO.CO, New York. Semoga bisa menginspirasi kita semua … 

***

Bismillah Arrahman Arrahim

Atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Yang terhormat Sekjen PBB, Bapak Ban Ki Moon. Yang terhormat Presiden Majelis Umum PBB, Bapak Vuk Jeremic. Yang terhormat Utusan Khusus PBB untuk Pendidikan Global, Bapak  Gordon Brown.

Para tetua dan saudara-saudara: Assalamu’alaikum.

Hari ini adalah kehormatan bagi saya untuk bisa bicara lagi setelah sekian lama. Berada di sini, di antara hadirin yang mulia, adalah moment yang luar biasa dalam hidup saya.

Saya juga merasa amat terhormat hari ini karena saya mengenakan syal dari Benazir Bhutto yang telah sahid.

Saya tidak tahu harus mulai dari mana pidato ini. Saya tidak tahu orang mengharapkan saya bicara apa. Pertama-tama,  terima kasih Tuhan, karena kita semua diciptakan sama. Terima kasih juga pada semua orang yang telah berdoa untuk kesembuhan saya yang cepat dan hidup saya yang baru.

Saya tidak bisa percaya betapa besar cinta yang diberikan pada saya. Saya menerima ribuan kartu ucapan semoga cepat sembuh dari seluruh penjuru dunia.

Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk anak-anak yang dengan dunianya yang polos menguatkan saya. Terima kasih untuk para tetua yang doanya menguatkan saya.

Saya juga ingin berterima kasih pada para  perawat, dokter dan staf rumah sakit di Pakistan dan di Inggris yang telah merawat saya. Juga terima kasih pada pemerintahan Uni Eropa yang telah membantu saya sembuh dan menemukan kembali kekuatan saya.

Saya sepenuhnya mendukung  inisiatif Sekjen PBB, Ban Ki Moon, yakni Global Education First Initiative. Juga kerja-kerja Utusan Khusus PBB, Gordon Brown dan Presiden Majelis Umum PBB, Vuk Jeremic. Saya berterima kasih pada kepemimpinan mereka dan pada upaya mereka untuk terus menerus membantu dan memberi. Mereka juga terus-menerus memberikan inspirasi agar kita terus bekerja.

Saudara-Saudariku ...
Ingatlah satu hal, Hari Malala bukanlah hari saya. Hari ini adalah hari ketika semua perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, bersuara untuk hak mereka. Hari untuk ratusan aktivis HAM dan pejuang sosial yang tak hanya bicara untuk diri mereka tapi juga berjuang untuk mewujudkan perdamaian, pendidikan dan kesetaraan.

Ada ribuan orang yang dibunuh teroris dan jutaan orang cedera. Saya hanya salah satu dari mereka. Jadi di sini hari ini saya berdiri: satu anak perempuan di antara yang lain. Saya bicara bukan atas nama saya sendiri, tapi atas nama orang lain yang tidak punya suara yang bisa didengar, mereka yang berjuang untuk haknya. Hak untuk hidup dalam damai, hak untuk hidup secara bermartabat, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama, hak untuk mendapat pendidikan.

Kawan-kawan ...
Pada 9 Oktober 2012, saya ditembak Taliban di pelipis kiri saya. Mereka juga menembak teman-teman saya. Mereka berpikir peluru itu akan membungkam kami. Tapi mereka gagal.

Dari kesunyian itu, muncul ribuan suara lain. Teroris berpikir mereka bisa menghentikan ambisi saya dan mengubah tujuan hidup saya. Tapi hingga kini tak ada yang berubah dalam hidup saya. Kecuali ini: kelemahan, ketakutan dan ketakberdayaan mati. Kekuatan, tenaga dan keberanian lahir.

Saya adalah Malala yang sama. Ambisi saya masih sama. Harapan saya masih sama. Mimpi saya masih sama.

Saudara-Saudariku ...
Saya tidak bermusuhan dengan siapapun. Saya di sini tidak untuk menyerukan balas dendam pada Taliban atau semua kelompok teroris manapun. Saya di sini untuk bicara tentang hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan.

Saya juga mau pendidikan untuk anak-anak Taliban dan anak-anak ekstremis yang lain. Saya bahkan tidak membenci Taliban yang menembak saya. Bahkan jika ada pistol di tangan saya dan dia ada di depan saya, saya tidak akan menembaknya.

Ini adalah welas asih yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, Yesus Kristus dan Budha. Ini adalah warisan perubahan yang diturunkan pada saya oleh Martin Luther King, Nelson Mandela dan Muhammad Ali Jinnah. Ini adalah filosofi anti kekerasan yang diajarkan Gandhi, Bacha Khan, dan Bunda Teresa.

Ini adalah semangat memberi maaf yang diajarkan ayah dan ibu saya. Ini adalah apa yang dibisikkan jiwa saya pada saya, "Damailah dan cintailah semua orang."

Saudara-Saudariku ...
Kita menyadari pentingnya cahaya ketika melihat kegelapan. Kita sadar pentingnya bersuara ketika kita dibungkam. Begitu juga, di Swat, di utara Pakistan, kami sadar pentingnya pulpen dan buku ketika kami melihat senjata api.

Ada yang mengatakan, pulpen lebih perkasa dari pedang. Itu benar. Para ekstremis lebih takut pada buku dan pena. Kekuatan pendidikan menakutkan mereka. Mereka takut pada perempuan, kekuatan suara perempuan menakutkan mereka.

Itulah kenapa mereka menembak 14 murid  tak bersalah belum lama ini di Quetta. Itu kenapa mereka membunuh guru dan pekerja polio perempuan di Khyber Pakhtunkhwa. Itu kenapa mereka meledakkan sekolah setiap hari.

Karena mereka takut pada perubahan, takut pada kesetaraan, yang akan dibawa pendidikan ke dalam masyarakat kita.

Saya ingat ada seorang anak laki-laki di sekolah saya yang ditanya jurnalis, "Kenapa Taliban sangat membenci pendidikan?"

Dia menjawab dengan sederhana. Sambil menunjuk bukunya, dia berkata, "Seorang Taliban tidak tahu apa isi buku ini. Mereka pikir Tuhan hanya mahluk kerdil konservatif yang akan mengirim perempuan ke neraka hanya karena mereka pergi ke sekolah."

Para teroris telah menyalahgunakan nama Islam dan warga Pashtun untuk kepentingan mereka sendiri.

Pakistan adalah negara demokrasi yang cinta damai, orang Pashtun ingin pendidikan untuk anak-anak mereka, dan Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian, kemanusiaan dan persaudaraan. Islam mengajarkan bahwa pendidikan bukan hanya hak anak, tapi juga tugas dan tanggung jawab seorang anak.

Bapak Sekjen PBB ...
Perdamaian dibutuhkan untuk keberlangsungan pendidikan. Di banyak tempat, di Pakistan dan Afganistan, terorisme, perang dan konflik membuat anak tidak bisa pergi ke sekolah. Kami capek dengan semua perang ini.

Perempuan dan anak menderita dalam segala bentuk, di banyak tempat di dunia. Di India, anak-anak miskin dan tak berdosa jadi korban perburuhan anak, banyak sekolah dirusak di Nigeria, rakyat Afganistan menderita di bawah ekstremisme selama berpuluh tahun.

Gadis-gadis dipaksa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan dipaksa kawin di usia muda. Kemiskinan, ketakpedulian, ketidakadilan, rasisme, dan perampasan hak dasar, adalah persoalan-persoalan utama yang dihadapi lelaki dan perempuan di dunia ini.

Saudara-Saudariku ...
Hari ini saya fokus pada hak perempuan dan pendidikan untuk anak perempuan, karena mereka yang paling menderita saat ini.

Ada saat ketika perempuan yang menjadi aktivis sosial meminta lelaki berjuang untuk hak-hak mereka. Tapi kali ini, kita akan berjuang sendiri.

Saya tidak mengusir para lelaki dari perjuangan untuk hak perempuan, tapi saya ingin fokus pada para perempuan, yang harus menjadi independen dan berjuang untuk hak mereka sendiri.

Saudara-Saudariku ...
Kini tiba saatnya untuk meneriakkan tuntutan kita. Hari ini, kita menyerukan pada para pemimpin dunia, untuk mengubah kebijakan strategis mereka pada usaha mencapai perdamaian dan kesejahteraan.

Kami menyerukan pada para pemimpin dunia, agar semua perjanjian damai harus melindungi hak perempuan dan anak. Perjanjian yang mengabaikan hak perempuan, tidak bisa diterima.

Kami menyerukan pada pemerintahan di seluruh dunia, untuk mengadakan pendidikan gratis dan wajib untuk semua anak tanpa kecuali.

Kami menyerukan pada pemerintahan di seluruh dunia, untuk terus berperang melawan terorisme dan kekerasan, serta melindungi anak dari kekejaman dan mara bahaya.

Kami menyerukan pada negara-negara maju, memperluas kesempatan pendidikan untuk anak perempuan di negara-negara berkembang.

Kami menyerukan pada  semua masyarakat dan komunitas, untuk bersikap toleran. Untuk menolak prasangka berdasarkan kasta, keyakinan, sekte, agama, warna kulit atau gender. Untuk memastikan ada kebebasan dan kesetaraan bagi perempuan, sehingga mereka bisa sukses.

Kita tidak akan bisa sukses bersama, kalau sebagian dari kita dibelenggu dan tak bisa maju.

Kami menyerukan pada perempuan di seluruh dunia, untuk berani. Untuk menyambut kekuatan di dalam diri mereka dan menyadari potensi mereka sepenuhnya.

Saudara-Saudariku ...
Kami mau sekolah dan pendidikan untuk masa depan yang cerah bagi anak-anak.

Kita akan meneruskan perjalanan kita untuk mewujudkan perdamaian dan pendidikan. Tidak ada yang bisa menghentikan kita.

Kita akan terus bicara untuk hak-hak kita. Kita  akan mengubah keadaan dengan suara kita. Kita percaya pada kekuatan kata-kata kita. Kata-kata kita bisa mengubah dunia kalau kita semua bersama, bersatu untuk pendidikan.

Kalau kita mau mencapai cita-cita kita, mari kita mempersenjatai diri dengan pengetahuan, dan mari membuat perisai dari persatuan dan kebersamaan kita.

Saudara-Saudariku ...
Kita tidak boleh lupa bahwa jutaan orang hari ini menderita akibat kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakpedulian.

Kita tidak boleh lupa, ada jutaan anak yang tak bisa bersekolah.

Kita tidak boleh lupa, saudara-saudara kita sedang menanti masa depan yang damai dan lebih baik.

Jadi, marilah kita kobarkan perang global memberantas buta huruf, kemiskinan dan terorisme. Mari kita teriakkan tuntutan, mari kita gunakan buku dan pulpen kita, senjata kita yang paling utama.

Satu murid, satu guru, satu buku, satu pena, bisa mengubah dunia. 

Pendidikan adalah satu-satunya solusi. Pendidikan harus diutamakan. Terima kasih.


(Tebet Dalam, 11 Juli 2015) 

Photo Source: Google Images


Friday, July 10, 2015

' Lebaran Oh Lebaran '



Lebaran adalah moment spesial bagi kaum Muslim untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabat dekat. Bagi perantau, tentu akan menyempatkan pulang dengan suka cita, dengan berbagai cara. Hal-hal seputar Lebaran selalu menarik dibicarakan. Yang kenal atau tak kenal, yang dekat atau tak dekat akan selalu memiliki bahan untuk diperbincangkan. 

Mudik, asosiasi pertama yang tergambar dalam benak kita mendengar kata Lebaran; kedua, THR (Tunjangan Hari Raya); ketiga, belanja. Moment ini kemudian dimanfaatkan oleh produsen besar untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Berbagai iklan produk menarik disuguhkan: obral murah, harga idaman, discount 70%, beli 2 gratis 1, berhadiah vaucer belanja, dan lain sebagainya. Pengusaha transportasi tak mau ketinggalan menyediakan angkutan untuk rombongan ke berbagai kota, membagikan brosur ke setiap buruh pabrik, menempelkan ke dinding-dinding gedung, ke tiang listrik, ke angkot-angkot. Hanya yang sudah memiliki brand tak perlu terlalu sibuk beriklan. Berapa pun harga yang ditentukan, jasanya pasti dibutuhkan. Masyarakat kecil hanya sedikit kecipratan rejeki jika bisa membaca peluang dan mau memanfaatkannya. 

Setiap hari kita dijejali iklan produk melalui berbagai media: TV, radio, surat kabar, tabloid mingguan, majalah, internet, plang-plang reklame, juga brosur-brosur yang disebar ke pengguna jalan raya hingga dilempar ke rumah-rumah. Belum lagi agen-agen yang berhasil melakukan kerja sama dengan manager perusahaan hingga mampu memasuki area pabrik. Semua berlomba menggelitik rasa kita sehingga barang-barang yang tidak kita butuhkan menjadi sebuah kebutuhan. Tak mampu cash, bisa kredit. 

Menjelang Lebaran, yang tidak pusing menjadi pusing karena mengikuti tradisi. Lebih pusing lagi jika dibumbui gengsi. Anak-anak merengek tak mau kalah dengan teman-temannya, ibu-ibu tak mau ketinggalan dengan tetangganya.

Pertengahan puasa biasanya THR sudah dibagikan. Masjid pun sepi. Yang biasa mengikuti shalat Tarawih berpindah memenuhi mall-mall, supermarket, atau pasar malam yang ada. Di kampung-kampung, di pabrik-pabrik, juga di perkantoran, akan kita dengarkan percakapan seputar persiapan Lebaran: mudik atau tidak; pesan tiket kereta, bus, kapal atau pesawat; naik motor ramai-ramai atau rombongan charter mobil; dengan temannya, adiknya, kakaknya, atau dengan suami/istri dan anak-anaknya. Obrolan akan berkembang jika percakapan dilakukan oleh sesama perempuan: makanan atau oleh-oleh apa yang sudah disiapkan; pakaian apa saja yang sudah dibeli di pasar mana, di mall apa, dengan harga berapa. Tak jarang yang bertetangga dekat akan saling mengunjungi untuk memamerkan hasil belanjaan mereka. 

Tak hanya mall dan supermarket, pasar tradisional pun tak luput dikunjungi untuk menumpuk gengsi. Bagi sebagian perempuan, perhiasan juga dianggap penting untuk merayakan Lebaran. Menjadi salah satu ukuran keberhasilan bagi mereka yang merantau ke kota besar. Jika tak mampu beli yang asli, yang imitasi pun jadi. Pedagang emas sepuhan yang biasanya sepi, dibuat sibuk melayani ibu-ibu yang mengantri. 

Kawasan pabrik juga memiliki peluang besar untuk meraup keuntungan. Sebagian karyawan jadi kepanjangan tangan para pemilik modal. Menawarkan produk pada teman sejawat dengan perjanjian bayar di belakang setelah upah atau THR turun. Tak hanya itu, di sekitar kawasan jadi ramai lalu lalang pedagang uang menghadang karyawan yang datang dan pulang, menawarkan uang kertas baru yang sedianya untuk bagi-bagi angpao: sepuluh ribuan, lima ribuan, dua ribuan, juga seribuan. Bagi karyawan yang malas atau tak sempat menukar ke bank, mereka rela membeli. Dari uang pecahan sejumlah seratus ribu, bisa dijual dengan harga seratus dua puluh ribu atau seratus lima belas ribu.

Lebaran … mereka hanya bisa saling menatap seolah setiap orang mendadak kaya, tanpa sempat berkaca keningnya yang berkerut memikirkan kebutuhan yang membengkak. Tarif angkutan luar kota bisa naik dua hingga tiga kali lipat, harga sembako melonjak tinggi dari yang normal, belum lagi tambahan menu selama bulan puasa, juga keperluan Lebaran: pakaian baru, sepatu/sandal baru, kerudung/jilbab/mukena terkini, kue-kue dan sirup, atau berbagai jenis minuman yang mesti tersedia di meja tamu. Kalau perlu gadget yang canggih untuk dipamerkan di kampung. Bagi mereka yang mampu, masih ada lagi tambahan biaya. Yang memiliki binatang piaraan akan menitipkan ke tempat penitipan hewan saat rumah tak berpenghuni. Yang biasa dilayani pembantu akan menyewa sementara selama pembantu mereka pulang kampung. Ada juga yang butuh penjaga rumah saat mereka tinggal mudik sekeluarga. Biasanya mereka percayakan pada penduduk setempat untuk meninggali rumahnya sekaligus bersih-bersih dan merawat tanaman.

Lebaran ... selalu ada celah untuk dimanfaatkan. Transportasi yang mondar-mandir dalam kota pun tak mau kalah menaikkan tarifnya. Saat diprotes oleh penumpang, kondektur akan menjawab, “Ini kan Lebaran.”

Oh Lebaran ... jika gaji satu bulan plus THR tidak cukup, tak ada jalan lain selain berhutang. Beruntung jika ada teman, tetangga, atau saudara yang berlebih materi mau memberikan pinjaman. Jika tidak, pegadaian adalah solusinya. Itupun kalau ada barang berharga yang bisa dijadikan agunan, kalau tidak, bank keliling atau rentenir menjadi alternatif jitu meski dengan bunga tinggi. Semua jalan keluar hanya kelegaan yang bersifat sementara, sebab usai Lebaran masih menyisakan hutang dan kepusingan. Yang memiliki tabungan baru sadar seusai masa liburan: setahun hasil kerjanya habis dalam waktu seminggu. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki upah tetap, yang pengangguran, yang hidupnya tidak beruntung? Dari tahun ke tahun selalu diberitakan meningkatnya kriminalitas setiap menjelang Lebaran. Yang tak biasa malak jadi pemalak, yang tak pernah maling jadi maling, yang bukan penjambret terpaksa menjambret. Semua dilakukan dengan alih-alih ingin bisa merayakan Lebaran.

Sejatinya belanja tidak mengenal moment. Meski ‘mudik’ menjadi asosiasi pertama ketika mendengar kata Lebaran, namun kegiatan belanja lebih dominan di dalamnya. Pola pikir masyarakat kita sudah terkonstruksi menjadi konsumerisme. Sistem kapitalis menjadikan mereka tak mampu lagi memilah mana kebutuhan dan mana keinginan. Sebab kapitalisme melakukan penyerangan melalui psikologi manusia, maka pertama-tama yang harus dilakukan, yang merupakan cara paling sederhana untuk melawannya adalah mengontrol diri agar tidak terbawa arus. 

Dalam keseharian masyarakat kita sudah gila belanja, lebih gila ketika mereka tidak mengukur kemampuan ekonominya, dan semakin gila menjelang Lebaran. Yang ada dalam pikiran mereka adalah belanja, belanja dan belanja, sehingga tujuan berlebaran lebih kepada ajang pamer. 

Kapitalisme adalah wujud dari keserakahan. Gus Mus (KH. Achmad Mustofa Bisri) —seorang kyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan Muslim dari Nahdatul Ulama mengatakan, “Menyenangi materi secara berlebihan yang dilakukan oleh segelintir orang, hanya akan menyeret pada penderitaan yang lebih besar dan luas. Lalu bagaimana cara melawannya? Dengan kesederhanaan. Kita harus lawan dengan gaya hidup sederhana.” Bukankah Nabi Muhammad SAW juga telah mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana?


(Tebet Dalam, 8 Juli 2015)

Photo Source: Google Images

Sunday, July 5, 2015

Cerpen: Pacarku, Cinta Matinya



Mendadak aku diserang rindu yang sangat. Aku ingin ketemu Bima. Aku ingin! Pesan balasan dari mamanya, Bima ada di rumah kakaknya. Sepulang kuliah, aku langsung meluncur mengikuti bus warna orange dipadu merah putih yang berhenti di depanku.  

Ini semester tiga. Sejak Bima mengalami kecelakaan, sekalipun aku tak pernah menjenguknya. Berita itu segera menyebar di SMA kami. Ajakan beberapa teman mengunjungi rumah sakit, kuabaikan. Aku tak punya niat pergi ke sana. 

“Apa lagi yang kau tunggu? Jelas-jelas dia terkapar dan aku melihatnya, kau masih tak percaya?” 
Neni coba memprovokasi. Aku tak bisa jawab. Neni melanjutkan, “Hey, kau itu kenapa? Bima itu pacarmu kan?” Nadanya sedikit meninggi. Sepertinya kesal. 

“Iya,” jawabku lemah, tak menoleh. Menatap entah apa. Sepertinya benda padat apa pun bisa kutembus dengan mataku.

“Terus, kau tetap tak mau ke rumah sakit?”

“Tidak.” 

“Bagaimana dia bisa mengabarimu, membalas pesanmu. Bima sedang kesakitan, Dita. Dia kesakitan.” 

Aku masih saja bungkam. Pun tak bergerak. Entah, aku terserang penyakit apa? Semua orang sibuk memikirkan Bima, sementara aku tak berbuat apa-apa. Tak ada yang menggerakkan hatiku, tubuhku. Aku seperti patung hidup. Manusia tanpa hati!

Pesan dari Bima baru saja kuterima, dia selamat sampai di Parapat. Baru saja. Beberapa menit yang lewat ketika aku mengadakan rapat untuk acara perpisahan. Lalu di luar kelas murid-murid ramai membicarakan Bima. Menurut rombongan motor yang selamat, kecelakaan itu terjadi saat perjalanan pulang. Ya, baru saja. Beberapa menit yang lewat. Mana bisa aku percaya Bima kecelakaan? Aku yakin Bima baik-baik saja. Aku yakin Bima segera mengabarkan itu. 

“Kau kenapa, Dik? Aku dengar dari mama, kau tak mau datang lihat Bima.” Hans, kakak Bima angkat bicara di telepon.

“Iya, Kak.”

“Kenapa?” 

“Aku tidak tahu,” jawabku seperti orang bodoh. Jawaban sama yang kuberikan pada mamanya. Mereka tidak marah. Mereka seperti tahu keadaanku. Aku bahkan tak sanggup menangis. Dan aku masih tak mengerti, penyakit apa yang menyerangku?

“Ya sudah. Kau baik-baik ya, Nak, doakan Bima cepat sembuh.” Begitu pesan mamanya di akhir pembicaraan kami.

“Ya, Tante.”

Telepon ditutup. 

Hampir sore aku tiba di sana. Membuka pagar, memasuki halamannya. Di hadapanku berdiri seorang ibu yang menyambutku dengan senyum. Mama Bima. Di sampingnya seorang lelaki duduk di kursi roda. Beberapa saat aku tak mengenali. Bima jadi gemuk, kulitnya makin bersih. Sebentar ia melihatku, lalu mengalihkan pandangannya. Tak ada senyum. Seperti ia tak mengenaliku.

“Apa kabar, Bim?”

Ia diam saja. Melihatku pun tidak.

“Maafkan aku, Bim.” 

Bima masih saja bungkam.

“Bim … Bima …”

Bima tak menoleh. Tatapannya masih lurus ke depan. Kosong.

“Tante, kenapa Bima diam saja? Sebegitu marahkah dia?” 

“Pita suaranya putus, Nak. Kecelakaan waktu itu mengenai otak kecilnya. Padahal menurut teman-temannya sewaktu kejadian, helm yang dia kenakan tidak lepas dari kepalanya. Sekarang dia tidak bisa mengingat lagi. Memori dalam otaknya sudah terhapus.”

Aku menangis menggelung-gelung di sisi Bima. Sebelah lenganku menggantung di kursi roda. Bima tak bergerak sedikitpun. Bahkan kepalanya. Bahkan matanya. Aku menyesal menolak tawaran mamanya sewaktu Bima dibawa ke Penang, Malaysia. Rumah sakit di Medan tak sanggup menangani. Padahal saat-saat seperti itu, Bima membutuhkan aku. Tentu setelah keluarganya. Menyemangatinya. Menggenggam tangannya. Menikmati terakhir kali Bima mengenalku. Sebelum batok kepalanya dibongkar. Sebelum ia kehilangan memorinya. 

Langit jingga menghujani pelataran. Kulit Bima jadi jingga. “Om dan tante pasti banyak mengeluarkan biaya.” Suaraku bergetar di sisa-sisa isakku. 

“Ya, Nak. Tanah dan rumah terpaksa kami jual untuk berobat. Sekarang tinggal pemulihan saja sambil dibantu therapy. Papa Bima tak berhenti cari informasi untuk memulihkan anaknya dari kelumpuhan. Katanya ada yang berhasil dengan cara-cara yang dilakukannya selama ini. Mengajak Bima senam pagi. Menggerakkan satu per satu anggota badannya.”  

Aku lalu mengumpulkan koleksi fotoku saat kami bersama. Kucetak. Tiap pagi kulakukan doa novena untuk Bima. Sepulang kuliah kusempatkan datang menjenguknya. Aku ceritakan satu per satu foto-foto itu. Matanya hanya menatapku tanpa senyum. Sebentar melihat, sebentar dibuang ke arah sembarang. Masih kosong. Seminggu sekali kami pergi sekeluarga. Tamasya. Papa mamanya merasa perlu mengajak Bima untuk refresing. Aku dapat ide, mengajaknya ke tempat-tempat yang pernah kami singgahi. Target pertama, sekolah kami. 

Siang itu diantar mama-papanya, kami ke sekolah. Setelah menurunkan kursi roda, meletakkan Bima, kami ditinggal pulang. Sore akan dijemput. 

Ijinku diterima kepala sekolah mengunjungi beberapa ruangan di sana. Guru-guru menatap haru. Beberapa yang dulu mengajar kami, menangis. Murid-murid jadi penonton. Aku segera membawa kursi roda keluar gedung. Bunyi bel membuat aku melawan arus murid-murid yang kembali masuk kelas. Aku ke lapangan olah raga, berhenti di sebuah pohon besar. Terbesar dari yang lainnya. Akarnya yang menonjol ke atas tanah, jadi tempat duduk yang tepat menghadapnya. 

“Kau ingat, Bim? Di lapangan ini kita pertama ketemu. Pertemuan yang tak pernah kurencanakan, apalagi kubayangkan. Hari Senin waktu itu, saatnya upacara. Aku terlambat. Hanya tiga menit saja, satpam kita yang terkenal killer itu menahanku, berdiri dekat pintu gerbang. Ternyata tidak cuma aku, beberapa murid datang di belakangku. Sekitar sepuluh orang. Kami lalu dapat hukuman setelah upacara selesai. Menghormat bendera. Capek, kepanasan campur malu. Aku lihat di lapangan ada yang main basket. Sekitar satu setengah jam kami jalani hukuman, tiba-tiba bola melayang kena kepalaku. Aku jatuh. Seorang laki-laki datang mengambil bola, minta maaf. Aku tak peduli. Aku tak sanggup lagi menjawab, melempar senyum, apalagi emosi. Aku sudah kehabisan energi. Aku kelelahan. Dan laki-laki itu adalah kau. Kau, Bim.” Matanya tetap saja kosong. Dia seperti menatapku, tapi tidak melihatku. Aku seperti manusia transparan yang tembus pandang. 

Aku tidak menyerah. Aku tetap cerita apa saja yang kami alami bersama, hingga bel pulang, hingga sekolah sepi. Aku masuk gedung. Mengunjungi beberapa ruangan yang menyimpan kenangan kami. Aku tak berhenti bicara. Meski tatapannya kosong. Meski bola matanya liar bergerak-gerak. 

Memasuki bekas ruangan kelasku, aku mencari tempat dudukku. Dulu, sewaktu kelas satu. Di sana pertama kali Bima menemuiku …

“Eh, pinjam Alkitabmu dong.” 

Tanpa melihat siapa yang bicara di sampingku, aku merasa kenal pemilik suara itu. Benar saja, laki-laki itu yang bikin aku jatuh kena bola basketnya. 

“Nggak ada,” jawabku dingin, menatap sepintas saja. Begitulah mereka yang malas bawa Alkitab. Alasannya tebal, berat. Saat pelajaran agama, mereka jadi sibuk cari-cari pinjaman. 

“Ayolah … pinjami aku.”

“Kau itu, sudah bikin aku jatuh kena bolamu, sekarang mau pinjam Alkitab lagi.” Jawabku ketus.

“Nanti sajalah itu kita bahas. Sekarang pinjami dulu aku Alkitabmu. Waktu istirahat sudah mau habis nih, please …”

Tak tega hati, aku keluarkan juga dari dalam tasku. Buru-buru disambarnya. 

“Oke! Sampai nanti!” Teriak Bima lalu menghilang. 

Dari jendela itu aku bisa melihat gerbang sekolah. Di sana Bima pernah meledeki aku ...

“Nunggu bapak ya?” Dia melempar senyum. Aku menatap sepintas. Sinis. Begitu yang ia lakukan setiap jam pulang. Aku jadi hafal, Ferrari 599 yellow itu akan mendekat pelan dan menurunkan kacanya sekedar mengatakan itu. Rupanya ia tahu, aku selalu diantar jemput bapak dengan motornya. Hingga suatu saat Bima menawarkan jasa mengantarku pulang. Aku mau. Sebab bapak telat datang. Sebab sekolah sudah sepi. 

Sejak itu bapak pensiun antar jemput. Tugasnya digantikan Bima. Kami jadian. Ternyata Bima seorang remaja yang dewasa, lembut, hangat. Tapi ia sangat dingin menghadapi murid-murid perempuan yang mengejarnya, tanpa maksud menjaga perasaanku. Cuek. Tak banyak bicara. Begitulah Bima. Rasanya jadi aneh kalau ingat ia meledeki aku. Seorang teman sempat bertanya, “Kok bisa sih kau bertahan pacaran selama tiga tahun dengan orang pendiam macam itu?” 

Aku bawa kursi roda keluar menuju aula. Aula yang jadi indah. Ada taman buatan dengan kolam ikannya. Dikelilingi tanaman hias, bunga-bunga aneka warna. Dari samping kanan lurus, di ujung ada ruangan Osis, kulewati saja. Belok kanan lagi, ada kantin. Tempat kami biasa menghabiskan waktu selepas bel pulang. Bima tak mau makan sendirian. Ia selalu memintaku menunggunya selesai main basket. 

Dari kantin belok kiri ada kelas-kelas. Paling ujung aku masuki. Bekas ruangan kelas Bima. Dan sebuah nama langsung menyambar di kepalaku. Wilda. Teman sekelasnya. Murid perempuan yang mencintai Bima. Ingatanku masih segar tentang kejadian itu … 

“Bim, pinjam tip ex-nya ya?” 

Bima diam, asik saja menulisi bukunya. 

“Bim, pinjam tip ex-nya ya?” 

Bima masih tak menjawab.

“Bim, boleh pinjam tip ex-nya?” 

Pertanyaan ketiga membuat Bima mengangkat kepala. “Matamu lihat kan tip ex ada di sini? Tinggal ambil saja!” 

Rasanya tak percaya Bima bicara sekasar itu. Padahal sekalipun denganku, tak pernah. Di satu sisi aku senang, sebab Bima tak membiarkan aku cemburu dengan sikapnya yang seolah memberi harapan. Di sisi lain aku diajak berkaca, bagaimana jika Wilda adalah aku? Tentu rasanya sangat menyakitkan. Menurutku cukup dengan sikap tegas dan menjaga jarak. Tak perlu berkata kasar dengan nada tinggi, membentak, terkesan tak menghargainya. Ya, Bima tak ubahnya manusia pada umumnya yang membanggakan keindahan fisik, sehingga menanggapi perempuan-perempuan yang dianggap tak layak bagi dirinya harus dengan kekerasan. Meski hanya secara verbal. Aku rasa sikap Wilda biasa-biasa saja, meski ia begitu cinta pada Bima. Barangkali kalau waktu itu aku tidak sedang bersama Bima, aku tidak merasakan kekejaman Bima yang terkesan merendahkannya dengan membandingkan antara Wilda dan aku. Bima pernah mengatakan, aku lebih cantik dibanding Wilda, itu sebabnya ia memilihku. Jika ukuran penghargaan terhadap manusia hanya sebatas fisik, betapa tidak berharganya penyandang disabilitas. Terlahir di dunia saja bukan pilihan, apalagi memiliki fisik yang tidak sempurna. Aku baru sadar, selama ini Bima tidak mencintaiku secara mendalam. Dangkal, karena tidak didasarkan pada kebermaknaan pikiran dan perasaannya. Hanya karena aku cantik dan pintar menata make up, melukis wajah lantas aku pantas mendapatkan cintanya. Artinya, kalau suatu saat nanti aku tidak cantik lagi, Bima tidak lagi mencintaiku. Ya, seperti hidup yang begitu dangkal menjadi tidak bermakna tanpa perjuangan yang berat, maka cinta yang didapat tanpa perjuangan yang keras pun menjadi cinta yang dangkal. Dan manusia seringkali lupa, bahwa dunia berputar, tak abadi. Yang berpunya tak selamanya punya, yang indah tak selamanya indah. Tak ada yang tahu kapan seseorang itu mati. Tak ada yang tahu kapan seseorang mendapat celaka. Bahkan dalam hitungan menit semua bisa berubah. Seperti pesan Bima yang kuterima dalam keadaan baik, beberapa menit kemudian ia kecelakaan. Dan lelaki itu kini tak berdaya di atas kursi roda. Tak ada lagi yang bisa ia banggakan, yang dulu gagah, tampan, sixpack, siapa yang tak mengaguminya? Lelaki pun cemburu lihat Bimaku.


Di semester empat, aku terpilih jadi ketua BEM. Waktuku tersita oleh kegiatan organisasi. Organisasi mahasiswa intra kampus plus ekstra kampus. Kunjunganku ke rumah Bima mulai berkurang. Tidak lagi setiap hari. Tapi doa novena tak berhenti untuk kesembuhannya. Tiap pagi. Di semester yang sama aku pacaran dengan Dion, teman sekampus yang mengejarku sejak semester satu. 

Waktu seperti berlari. Mengalir cepat seperti air yang turun dari pegunungan di sekitar Bukittinggi-Payakumbuh. Tak ada hambatan meski aku disibukkan berbagai kegiatan. Kuliahku selesai. Belum sempat diwisuda, aku meninggalkan Medan menuju Jakarta. Aku terpilih menjadi pengurus nasional di organisasi ekstra kampus. Setahun kemudian Dion menyusul. Aku tak sempat lagi memikirkan keadaan Bima meski doa novena tak pernah putus. Sebab ini janjiku kepada Tuhan, kepada Bima, kepada diriku sendiri. 

Aku dan Dion selalu kompak sejak di Medan. Kekompakan itu kami bawa hingga ke Jakarta. Hampir tiap hari kami bergerak menyisir kampus-kampus di ibukota, menghadiri diskusi-diskusi. Tapi kabar di siang yang menyengat itu membuat aku seperti tersambar petir. Belum juga Kak Hans menutup teleponnya mengabarkan, Bima meninggal dunia. Tanganku lunglai. Ponselku jatuh berantakan. Aku tak sanggup lagi berdiri, roboh di kaki Dion. Tiba-tiba aku diingatkan lagi sebuah nama pada sepenggal kisah yang sempat lepas saat kami mengunjungi sekolah. Wilda. Ya, Wilda yang tak sanggup membenci meski hatinya terkoyak-koyak sebab bahasa Bima yang menampar. Sebab lidah Bima yang menusuk, tajam seperti belati. Mata Bima yang penuh kebencian. Sikap Bima yang merendahkan seolah ia perempuan tak terhormat. Wilda tak sanggup membenci sebab cintanya terlalu besar. Penyakit typhus merenggut nyawanya. Ia meninggalkan pesan untuk Bima melalui surat yang dititipkan pada sahabatnya. Wilda meminta Bima mengikuti prosesi pemakamannya hingga usai dan meninggalkan pemakaman setelah semua orang pergi. Aku menemani Bima mengikuti pesan itu. Aku … Aku merasa cintaku pada Bima tak sebesar cinta Wilda. Sebab Wilda mampu mencintai di tengah rasa sakitnya. Sebab Wilda menyimpan satu nama yang dibawanya mati: Bima, yang kini menyusulnya … 


(Tebet Dalam, 26 Juni 2015) 

Photo Source: Google Images

 
Blogger Templates