Lebaran adalah moment spesial bagi kaum Muslim untuk
berkumpul bersama keluarga dan kerabat dekat. Bagi perantau, tentu akan menyempatkan
pulang dengan suka cita, dengan berbagai cara. Hal-hal seputar Lebaran selalu
menarik dibicarakan. Yang kenal atau tak kenal, yang dekat atau tak dekat akan selalu
memiliki bahan untuk diperbincangkan.
Mudik, asosiasi pertama yang tergambar dalam benak kita
mendengar kata Lebaran; kedua, THR (Tunjangan Hari Raya); ketiga, belanja.
Moment ini kemudian dimanfaatkan oleh produsen besar untuk mengeruk
keuntungan sebanyak-banyaknya. Berbagai iklan produk menarik disuguhkan: obral murah, harga idaman,
discount 70%, beli 2 gratis 1, berhadiah vaucer belanja, dan lain sebagainya. Pengusaha transportasi tak mau ketinggalan menyediakan angkutan untuk rombongan ke berbagai kota, membagikan brosur ke setiap buruh pabrik, menempelkan ke dinding-dinding gedung, ke tiang listrik, ke angkot-angkot. Hanya yang sudah memiliki brand tak perlu terlalu sibuk beriklan. Berapa pun harga yang ditentukan, jasanya pasti dibutuhkan. Masyarakat
kecil hanya sedikit kecipratan rejeki
jika bisa membaca peluang dan mau memanfaatkannya.
Setiap hari kita dijejali iklan produk melalui berbagai
media: TV, radio, surat kabar, tabloid mingguan, majalah, internet, plang-plang
reklame, juga brosur-brosur yang disebar ke pengguna jalan raya hingga dilempar
ke rumah-rumah. Belum lagi agen-agen yang berhasil melakukan kerja sama dengan
manager perusahaan hingga mampu memasuki area pabrik. Semua berlomba
menggelitik rasa kita sehingga barang-barang yang tidak kita butuhkan menjadi
sebuah kebutuhan. Tak mampu cash, bisa kredit.
Menjelang Lebaran, yang tidak pusing menjadi pusing karena
mengikuti tradisi. Lebih pusing lagi jika dibumbui gengsi. Anak-anak merengek
tak mau kalah dengan teman-temannya, ibu-ibu tak mau ketinggalan dengan tetangganya.
Pertengahan puasa biasanya THR sudah dibagikan. Masjid pun sepi. Yang
biasa mengikuti shalat Tarawih berpindah memenuhi mall-mall, supermarket, atau pasar malam
yang ada. Di kampung-kampung, di pabrik-pabrik, juga di perkantoran, akan kita
dengarkan percakapan seputar persiapan Lebaran: mudik atau tidak; pesan tiket
kereta, bus, kapal atau pesawat; naik motor ramai-ramai atau rombongan charter
mobil; dengan temannya, adiknya, kakaknya, atau dengan suami/istri dan
anak-anaknya. Obrolan akan berkembang jika percakapan dilakukan oleh sesama
perempuan: makanan atau oleh-oleh apa yang sudah disiapkan; pakaian apa saja
yang sudah dibeli di pasar mana, di mall apa, dengan harga berapa. Tak jarang yang bertetangga dekat akan saling mengunjungi untuk memamerkan
hasil belanjaan mereka.
Tak hanya mall dan supermarket, pasar
tradisional pun tak luput dikunjungi untuk menumpuk gengsi. Bagi sebagian perempuan,
perhiasan juga dianggap penting untuk merayakan Lebaran. Menjadi salah satu ukuran keberhasilan bagi mereka yang merantau ke kota besar. Jika tak
mampu beli yang asli, yang imitasi pun jadi. Pedagang emas sepuhan yang biasanya sepi, dibuat
sibuk melayani ibu-ibu yang mengantri.
Kawasan pabrik juga memiliki peluang besar untuk meraup keuntungan.
Sebagian karyawan jadi kepanjangan tangan para pemilik modal. Menawarkan produk pada teman sejawat dengan perjanjian bayar di belakang setelah
upah atau THR turun. Tak hanya itu, di sekitar kawasan jadi ramai lalu
lalang pedagang uang menghadang karyawan yang datang dan pulang, menawarkan uang kertas baru yang sedianya
untuk bagi-bagi angpao: sepuluh ribuan, lima ribuan, dua ribuan, juga seribuan.
Bagi karyawan yang malas atau tak sempat menukar ke bank, mereka rela
membeli. Dari uang pecahan sejumlah seratus ribu, bisa dijual dengan harga
seratus dua puluh ribu atau seratus lima belas ribu.
Lebaran … mereka hanya bisa saling menatap seolah setiap
orang mendadak kaya, tanpa sempat berkaca keningnya yang berkerut memikirkan kebutuhan
yang membengkak. Tarif angkutan luar kota bisa naik dua hingga tiga kali lipat,
harga sembako melonjak tinggi dari yang normal, belum lagi tambahan menu selama bulan
puasa, juga keperluan Lebaran: pakaian baru, sepatu/sandal baru, kerudung/jilbab/mukena terkini, kue-kue dan sirup, atau berbagai jenis minuman yang mesti
tersedia di meja tamu. Kalau perlu gadget yang canggih untuk dipamerkan di
kampung. Bagi mereka yang mampu, masih ada lagi tambahan biaya. Yang memiliki binatang piaraan akan
menitipkan ke tempat penitipan hewan saat rumah tak berpenghuni. Yang biasa dilayani pembantu akan menyewa sementara selama pembantu mereka
pulang kampung. Ada juga yang butuh penjaga rumah saat mereka tinggal
mudik sekeluarga. Biasanya mereka percayakan pada penduduk setempat
untuk meninggali rumahnya sekaligus bersih-bersih dan merawat tanaman.
Lebaran ... selalu ada celah untuk dimanfaatkan. Transportasi yang mondar-mandir dalam kota pun tak mau kalah menaikkan tarifnya. Saat diprotes oleh penumpang, kondektur akan menjawab, “Ini kan Lebaran.”
Oh Lebaran ... jika gaji satu bulan plus THR tidak cukup, tak ada jalan lain selain berhutang. Beruntung jika ada teman, tetangga, atau saudara yang berlebih materi mau memberikan pinjaman. Jika tidak, pegadaian adalah solusinya. Itupun kalau ada barang berharga yang bisa dijadikan agunan, kalau tidak, bank keliling atau rentenir menjadi alternatif jitu meski dengan bunga tinggi. Semua jalan keluar hanya kelegaan yang bersifat sementara, sebab usai Lebaran masih menyisakan hutang dan kepusingan. Yang memiliki tabungan baru sadar seusai masa liburan: setahun hasil kerjanya habis dalam waktu seminggu. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki upah tetap, yang pengangguran, yang hidupnya tidak beruntung? Dari tahun ke tahun selalu diberitakan meningkatnya kriminalitas setiap menjelang Lebaran. Yang tak biasa malak jadi pemalak, yang tak pernah maling jadi maling, yang bukan penjambret terpaksa menjambret. Semua dilakukan dengan alih-alih ingin bisa merayakan Lebaran.
Sejatinya belanja tidak mengenal moment. Meski ‘mudik’ menjadi asosiasi pertama ketika mendengar kata Lebaran, namun kegiatan belanja lebih dominan di dalamnya. Pola pikir masyarakat kita sudah terkonstruksi menjadi konsumerisme. Sistem kapitalis menjadikan mereka tak mampu lagi memilah mana kebutuhan dan mana keinginan. Sebab kapitalisme melakukan penyerangan melalui psikologi manusia, maka pertama-tama yang harus dilakukan, yang merupakan cara paling sederhana untuk melawannya adalah mengontrol diri agar tidak terbawa arus.
Lebaran ... selalu ada celah untuk dimanfaatkan. Transportasi yang mondar-mandir dalam kota pun tak mau kalah menaikkan tarifnya. Saat diprotes oleh penumpang, kondektur akan menjawab, “Ini kan Lebaran.”
Oh Lebaran ... jika gaji satu bulan plus THR tidak cukup, tak ada jalan lain selain berhutang. Beruntung jika ada teman, tetangga, atau saudara yang berlebih materi mau memberikan pinjaman. Jika tidak, pegadaian adalah solusinya. Itupun kalau ada barang berharga yang bisa dijadikan agunan, kalau tidak, bank keliling atau rentenir menjadi alternatif jitu meski dengan bunga tinggi. Semua jalan keluar hanya kelegaan yang bersifat sementara, sebab usai Lebaran masih menyisakan hutang dan kepusingan. Yang memiliki tabungan baru sadar seusai masa liburan: setahun hasil kerjanya habis dalam waktu seminggu. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki upah tetap, yang pengangguran, yang hidupnya tidak beruntung? Dari tahun ke tahun selalu diberitakan meningkatnya kriminalitas setiap menjelang Lebaran. Yang tak biasa malak jadi pemalak, yang tak pernah maling jadi maling, yang bukan penjambret terpaksa menjambret. Semua dilakukan dengan alih-alih ingin bisa merayakan Lebaran.
Sejatinya belanja tidak mengenal moment. Meski ‘mudik’ menjadi asosiasi pertama ketika mendengar kata Lebaran, namun kegiatan belanja lebih dominan di dalamnya. Pola pikir masyarakat kita sudah terkonstruksi menjadi konsumerisme. Sistem kapitalis menjadikan mereka tak mampu lagi memilah mana kebutuhan dan mana keinginan. Sebab kapitalisme melakukan penyerangan melalui psikologi manusia, maka pertama-tama yang harus dilakukan, yang merupakan cara paling sederhana untuk melawannya adalah mengontrol diri agar tidak terbawa arus.
Dalam keseharian masyarakat kita sudah gila belanja, lebih gila ketika mereka tidak mengukur kemampuan ekonominya, dan semakin gila menjelang Lebaran. Yang ada dalam pikiran
mereka adalah belanja, belanja dan belanja, sehingga tujuan berlebaran lebih kepada
ajang pamer.
Kapitalisme adalah wujud dari keserakahan. Gus Mus (KH.
Achmad Mustofa Bisri) —seorang kyai, penyair, novelis, pelukis,
budayawan dan cendekiawan Muslim dari Nahdatul Ulama mengatakan, “Menyenangi
materi secara berlebihan yang dilakukan oleh segelintir orang, hanya akan
menyeret pada penderitaan yang lebih besar dan luas. Lalu
bagaimana cara melawannya? Dengan kesederhanaan. Kita harus
lawan dengan gaya hidup sederhana.” Bukankah Nabi Muhammad SAW
juga telah mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana?
(Tebet Dalam, 8 Juli 2015)
Photo Source: Google Images |
No comments:
Post a Comment