Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Sunday, July 5, 2015

Cerpen: Pacarku, Cinta Matinya



Mendadak aku diserang rindu yang sangat. Aku ingin ketemu Bima. Aku ingin! Pesan balasan dari mamanya, Bima ada di rumah kakaknya. Sepulang kuliah, aku langsung meluncur mengikuti bus warna orange dipadu merah putih yang berhenti di depanku.  

Ini semester tiga. Sejak Bima mengalami kecelakaan, sekalipun aku tak pernah menjenguknya. Berita itu segera menyebar di SMA kami. Ajakan beberapa teman mengunjungi rumah sakit, kuabaikan. Aku tak punya niat pergi ke sana. 

“Apa lagi yang kau tunggu? Jelas-jelas dia terkapar dan aku melihatnya, kau masih tak percaya?” 
Neni coba memprovokasi. Aku tak bisa jawab. Neni melanjutkan, “Hey, kau itu kenapa? Bima itu pacarmu kan?” Nadanya sedikit meninggi. Sepertinya kesal. 

“Iya,” jawabku lemah, tak menoleh. Menatap entah apa. Sepertinya benda padat apa pun bisa kutembus dengan mataku.

“Terus, kau tetap tak mau ke rumah sakit?”

“Tidak.” 

“Bagaimana dia bisa mengabarimu, membalas pesanmu. Bima sedang kesakitan, Dita. Dia kesakitan.” 

Aku masih saja bungkam. Pun tak bergerak. Entah, aku terserang penyakit apa? Semua orang sibuk memikirkan Bima, sementara aku tak berbuat apa-apa. Tak ada yang menggerakkan hatiku, tubuhku. Aku seperti patung hidup. Manusia tanpa hati!

Pesan dari Bima baru saja kuterima, dia selamat sampai di Parapat. Baru saja. Beberapa menit yang lewat ketika aku mengadakan rapat untuk acara perpisahan. Lalu di luar kelas murid-murid ramai membicarakan Bima. Menurut rombongan motor yang selamat, kecelakaan itu terjadi saat perjalanan pulang. Ya, baru saja. Beberapa menit yang lewat. Mana bisa aku percaya Bima kecelakaan? Aku yakin Bima baik-baik saja. Aku yakin Bima segera mengabarkan itu. 

“Kau kenapa, Dik? Aku dengar dari mama, kau tak mau datang lihat Bima.” Hans, kakak Bima angkat bicara di telepon.

“Iya, Kak.”

“Kenapa?” 

“Aku tidak tahu,” jawabku seperti orang bodoh. Jawaban sama yang kuberikan pada mamanya. Mereka tidak marah. Mereka seperti tahu keadaanku. Aku bahkan tak sanggup menangis. Dan aku masih tak mengerti, penyakit apa yang menyerangku?

“Ya sudah. Kau baik-baik ya, Nak, doakan Bima cepat sembuh.” Begitu pesan mamanya di akhir pembicaraan kami.

“Ya, Tante.”

Telepon ditutup. 

Hampir sore aku tiba di sana. Membuka pagar, memasuki halamannya. Di hadapanku berdiri seorang ibu yang menyambutku dengan senyum. Mama Bima. Di sampingnya seorang lelaki duduk di kursi roda. Beberapa saat aku tak mengenali. Bima jadi gemuk, kulitnya makin bersih. Sebentar ia melihatku, lalu mengalihkan pandangannya. Tak ada senyum. Seperti ia tak mengenaliku.

“Apa kabar, Bim?”

Ia diam saja. Melihatku pun tidak.

“Maafkan aku, Bim.” 

Bima masih saja bungkam.

“Bim … Bima …”

Bima tak menoleh. Tatapannya masih lurus ke depan. Kosong.

“Tante, kenapa Bima diam saja? Sebegitu marahkah dia?” 

“Pita suaranya putus, Nak. Kecelakaan waktu itu mengenai otak kecilnya. Padahal menurut teman-temannya sewaktu kejadian, helm yang dia kenakan tidak lepas dari kepalanya. Sekarang dia tidak bisa mengingat lagi. Memori dalam otaknya sudah terhapus.”

Aku menangis menggelung-gelung di sisi Bima. Sebelah lenganku menggantung di kursi roda. Bima tak bergerak sedikitpun. Bahkan kepalanya. Bahkan matanya. Aku menyesal menolak tawaran mamanya sewaktu Bima dibawa ke Penang, Malaysia. Rumah sakit di Medan tak sanggup menangani. Padahal saat-saat seperti itu, Bima membutuhkan aku. Tentu setelah keluarganya. Menyemangatinya. Menggenggam tangannya. Menikmati terakhir kali Bima mengenalku. Sebelum batok kepalanya dibongkar. Sebelum ia kehilangan memorinya. 

Langit jingga menghujani pelataran. Kulit Bima jadi jingga. “Om dan tante pasti banyak mengeluarkan biaya.” Suaraku bergetar di sisa-sisa isakku. 

“Ya, Nak. Tanah dan rumah terpaksa kami jual untuk berobat. Sekarang tinggal pemulihan saja sambil dibantu therapy. Papa Bima tak berhenti cari informasi untuk memulihkan anaknya dari kelumpuhan. Katanya ada yang berhasil dengan cara-cara yang dilakukannya selama ini. Mengajak Bima senam pagi. Menggerakkan satu per satu anggota badannya.”  

Aku lalu mengumpulkan koleksi fotoku saat kami bersama. Kucetak. Tiap pagi kulakukan doa novena untuk Bima. Sepulang kuliah kusempatkan datang menjenguknya. Aku ceritakan satu per satu foto-foto itu. Matanya hanya menatapku tanpa senyum. Sebentar melihat, sebentar dibuang ke arah sembarang. Masih kosong. Seminggu sekali kami pergi sekeluarga. Tamasya. Papa mamanya merasa perlu mengajak Bima untuk refresing. Aku dapat ide, mengajaknya ke tempat-tempat yang pernah kami singgahi. Target pertama, sekolah kami. 

Siang itu diantar mama-papanya, kami ke sekolah. Setelah menurunkan kursi roda, meletakkan Bima, kami ditinggal pulang. Sore akan dijemput. 

Ijinku diterima kepala sekolah mengunjungi beberapa ruangan di sana. Guru-guru menatap haru. Beberapa yang dulu mengajar kami, menangis. Murid-murid jadi penonton. Aku segera membawa kursi roda keluar gedung. Bunyi bel membuat aku melawan arus murid-murid yang kembali masuk kelas. Aku ke lapangan olah raga, berhenti di sebuah pohon besar. Terbesar dari yang lainnya. Akarnya yang menonjol ke atas tanah, jadi tempat duduk yang tepat menghadapnya. 

“Kau ingat, Bim? Di lapangan ini kita pertama ketemu. Pertemuan yang tak pernah kurencanakan, apalagi kubayangkan. Hari Senin waktu itu, saatnya upacara. Aku terlambat. Hanya tiga menit saja, satpam kita yang terkenal killer itu menahanku, berdiri dekat pintu gerbang. Ternyata tidak cuma aku, beberapa murid datang di belakangku. Sekitar sepuluh orang. Kami lalu dapat hukuman setelah upacara selesai. Menghormat bendera. Capek, kepanasan campur malu. Aku lihat di lapangan ada yang main basket. Sekitar satu setengah jam kami jalani hukuman, tiba-tiba bola melayang kena kepalaku. Aku jatuh. Seorang laki-laki datang mengambil bola, minta maaf. Aku tak peduli. Aku tak sanggup lagi menjawab, melempar senyum, apalagi emosi. Aku sudah kehabisan energi. Aku kelelahan. Dan laki-laki itu adalah kau. Kau, Bim.” Matanya tetap saja kosong. Dia seperti menatapku, tapi tidak melihatku. Aku seperti manusia transparan yang tembus pandang. 

Aku tidak menyerah. Aku tetap cerita apa saja yang kami alami bersama, hingga bel pulang, hingga sekolah sepi. Aku masuk gedung. Mengunjungi beberapa ruangan yang menyimpan kenangan kami. Aku tak berhenti bicara. Meski tatapannya kosong. Meski bola matanya liar bergerak-gerak. 

Memasuki bekas ruangan kelasku, aku mencari tempat dudukku. Dulu, sewaktu kelas satu. Di sana pertama kali Bima menemuiku …

“Eh, pinjam Alkitabmu dong.” 

Tanpa melihat siapa yang bicara di sampingku, aku merasa kenal pemilik suara itu. Benar saja, laki-laki itu yang bikin aku jatuh kena bola basketnya. 

“Nggak ada,” jawabku dingin, menatap sepintas saja. Begitulah mereka yang malas bawa Alkitab. Alasannya tebal, berat. Saat pelajaran agama, mereka jadi sibuk cari-cari pinjaman. 

“Ayolah … pinjami aku.”

“Kau itu, sudah bikin aku jatuh kena bolamu, sekarang mau pinjam Alkitab lagi.” Jawabku ketus.

“Nanti sajalah itu kita bahas. Sekarang pinjami dulu aku Alkitabmu. Waktu istirahat sudah mau habis nih, please …”

Tak tega hati, aku keluarkan juga dari dalam tasku. Buru-buru disambarnya. 

“Oke! Sampai nanti!” Teriak Bima lalu menghilang. 

Dari jendela itu aku bisa melihat gerbang sekolah. Di sana Bima pernah meledeki aku ...

“Nunggu bapak ya?” Dia melempar senyum. Aku menatap sepintas. Sinis. Begitu yang ia lakukan setiap jam pulang. Aku jadi hafal, Ferrari 599 yellow itu akan mendekat pelan dan menurunkan kacanya sekedar mengatakan itu. Rupanya ia tahu, aku selalu diantar jemput bapak dengan motornya. Hingga suatu saat Bima menawarkan jasa mengantarku pulang. Aku mau. Sebab bapak telat datang. Sebab sekolah sudah sepi. 

Sejak itu bapak pensiun antar jemput. Tugasnya digantikan Bima. Kami jadian. Ternyata Bima seorang remaja yang dewasa, lembut, hangat. Tapi ia sangat dingin menghadapi murid-murid perempuan yang mengejarnya, tanpa maksud menjaga perasaanku. Cuek. Tak banyak bicara. Begitulah Bima. Rasanya jadi aneh kalau ingat ia meledeki aku. Seorang teman sempat bertanya, “Kok bisa sih kau bertahan pacaran selama tiga tahun dengan orang pendiam macam itu?” 

Aku bawa kursi roda keluar menuju aula. Aula yang jadi indah. Ada taman buatan dengan kolam ikannya. Dikelilingi tanaman hias, bunga-bunga aneka warna. Dari samping kanan lurus, di ujung ada ruangan Osis, kulewati saja. Belok kanan lagi, ada kantin. Tempat kami biasa menghabiskan waktu selepas bel pulang. Bima tak mau makan sendirian. Ia selalu memintaku menunggunya selesai main basket. 

Dari kantin belok kiri ada kelas-kelas. Paling ujung aku masuki. Bekas ruangan kelas Bima. Dan sebuah nama langsung menyambar di kepalaku. Wilda. Teman sekelasnya. Murid perempuan yang mencintai Bima. Ingatanku masih segar tentang kejadian itu … 

“Bim, pinjam tip ex-nya ya?” 

Bima diam, asik saja menulisi bukunya. 

“Bim, pinjam tip ex-nya ya?” 

Bima masih tak menjawab.

“Bim, boleh pinjam tip ex-nya?” 

Pertanyaan ketiga membuat Bima mengangkat kepala. “Matamu lihat kan tip ex ada di sini? Tinggal ambil saja!” 

Rasanya tak percaya Bima bicara sekasar itu. Padahal sekalipun denganku, tak pernah. Di satu sisi aku senang, sebab Bima tak membiarkan aku cemburu dengan sikapnya yang seolah memberi harapan. Di sisi lain aku diajak berkaca, bagaimana jika Wilda adalah aku? Tentu rasanya sangat menyakitkan. Menurutku cukup dengan sikap tegas dan menjaga jarak. Tak perlu berkata kasar dengan nada tinggi, membentak, terkesan tak menghargainya. Ya, Bima tak ubahnya manusia pada umumnya yang membanggakan keindahan fisik, sehingga menanggapi perempuan-perempuan yang dianggap tak layak bagi dirinya harus dengan kekerasan. Meski hanya secara verbal. Aku rasa sikap Wilda biasa-biasa saja, meski ia begitu cinta pada Bima. Barangkali kalau waktu itu aku tidak sedang bersama Bima, aku tidak merasakan kekejaman Bima yang terkesan merendahkannya dengan membandingkan antara Wilda dan aku. Bima pernah mengatakan, aku lebih cantik dibanding Wilda, itu sebabnya ia memilihku. Jika ukuran penghargaan terhadap manusia hanya sebatas fisik, betapa tidak berharganya penyandang disabilitas. Terlahir di dunia saja bukan pilihan, apalagi memiliki fisik yang tidak sempurna. Aku baru sadar, selama ini Bima tidak mencintaiku secara mendalam. Dangkal, karena tidak didasarkan pada kebermaknaan pikiran dan perasaannya. Hanya karena aku cantik dan pintar menata make up, melukis wajah lantas aku pantas mendapatkan cintanya. Artinya, kalau suatu saat nanti aku tidak cantik lagi, Bima tidak lagi mencintaiku. Ya, seperti hidup yang begitu dangkal menjadi tidak bermakna tanpa perjuangan yang berat, maka cinta yang didapat tanpa perjuangan yang keras pun menjadi cinta yang dangkal. Dan manusia seringkali lupa, bahwa dunia berputar, tak abadi. Yang berpunya tak selamanya punya, yang indah tak selamanya indah. Tak ada yang tahu kapan seseorang itu mati. Tak ada yang tahu kapan seseorang mendapat celaka. Bahkan dalam hitungan menit semua bisa berubah. Seperti pesan Bima yang kuterima dalam keadaan baik, beberapa menit kemudian ia kecelakaan. Dan lelaki itu kini tak berdaya di atas kursi roda. Tak ada lagi yang bisa ia banggakan, yang dulu gagah, tampan, sixpack, siapa yang tak mengaguminya? Lelaki pun cemburu lihat Bimaku.


Di semester empat, aku terpilih jadi ketua BEM. Waktuku tersita oleh kegiatan organisasi. Organisasi mahasiswa intra kampus plus ekstra kampus. Kunjunganku ke rumah Bima mulai berkurang. Tidak lagi setiap hari. Tapi doa novena tak berhenti untuk kesembuhannya. Tiap pagi. Di semester yang sama aku pacaran dengan Dion, teman sekampus yang mengejarku sejak semester satu. 

Waktu seperti berlari. Mengalir cepat seperti air yang turun dari pegunungan di sekitar Bukittinggi-Payakumbuh. Tak ada hambatan meski aku disibukkan berbagai kegiatan. Kuliahku selesai. Belum sempat diwisuda, aku meninggalkan Medan menuju Jakarta. Aku terpilih menjadi pengurus nasional di organisasi ekstra kampus. Setahun kemudian Dion menyusul. Aku tak sempat lagi memikirkan keadaan Bima meski doa novena tak pernah putus. Sebab ini janjiku kepada Tuhan, kepada Bima, kepada diriku sendiri. 

Aku dan Dion selalu kompak sejak di Medan. Kekompakan itu kami bawa hingga ke Jakarta. Hampir tiap hari kami bergerak menyisir kampus-kampus di ibukota, menghadiri diskusi-diskusi. Tapi kabar di siang yang menyengat itu membuat aku seperti tersambar petir. Belum juga Kak Hans menutup teleponnya mengabarkan, Bima meninggal dunia. Tanganku lunglai. Ponselku jatuh berantakan. Aku tak sanggup lagi berdiri, roboh di kaki Dion. Tiba-tiba aku diingatkan lagi sebuah nama pada sepenggal kisah yang sempat lepas saat kami mengunjungi sekolah. Wilda. Ya, Wilda yang tak sanggup membenci meski hatinya terkoyak-koyak sebab bahasa Bima yang menampar. Sebab lidah Bima yang menusuk, tajam seperti belati. Mata Bima yang penuh kebencian. Sikap Bima yang merendahkan seolah ia perempuan tak terhormat. Wilda tak sanggup membenci sebab cintanya terlalu besar. Penyakit typhus merenggut nyawanya. Ia meninggalkan pesan untuk Bima melalui surat yang dititipkan pada sahabatnya. Wilda meminta Bima mengikuti prosesi pemakamannya hingga usai dan meninggalkan pemakaman setelah semua orang pergi. Aku menemani Bima mengikuti pesan itu. Aku … Aku merasa cintaku pada Bima tak sebesar cinta Wilda. Sebab Wilda mampu mencintai di tengah rasa sakitnya. Sebab Wilda menyimpan satu nama yang dibawanya mati: Bima, yang kini menyusulnya … 


(Tebet Dalam, 26 Juni 2015) 

Photo Source: Google Images

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates