Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Wednesday, October 12, 2016

"Stasiun Manggarai Malam Ini; Matinya Kemanusiaan"



Hujan deras mengguyur Stasiun Manggarai dan sekitarnya. Semakin mendekati malam, semakin padat gerbong kereta. Tiga lelaki muda memaksakan diri masuk ke dalamnya. Yang semula kuanggap tak mungkin ternyata mungkin. Seorang perempuan cantik ber-make up tebal dengan high heels dan busana eksklusif turut menjejalkan diri. Terpental. Beruntung tangannya mendapat pegangan yang kuat. Hampir saja ia terjatuh keluar gerbong. Kalau itu terjadi, aku yakin kakinya akan mengalami cedera. Keseleo. Dan ia terus berusaha dengan tingkah-polahnya: memaksa mendorong penumpang di belakangnya. Sebab tak ada celah lagi yang bisa ia masuki. Menjadikan yang padat semakin padat. Manusia tak ubahnya barang! Benda mati! Atau binatang? (dalam hati aku berkata: mbak mbak ... dengan dandananmu yang mirip artis itu, mestinya kamu naik mobil pribadi). Seorang lelaki kurus setengah baya mencoba menerobos, tak berhasil. Ia terpental keluar, lalu mencari gerbong lain yang bisa ia masuki. Terdengar rekaman suara operator yang diputar melalui sound system dari dalam kereta, "Hati-hati, pintu akan ditutup." Dan sekali lagi, yang semula kuanggap tak mungkin ternyata mungkin. Ketika tubuh perempuan itu menghalangi pintu otomatis, pintu gagal menutup. Satu pintu terbuka, yang lain ikut terbuka. Perempuan itu mendesakkan lagi tubuhnya ke belakang. Petugas menutup kembali pintu otomatis, tapi terganjal oleh sepatunya. Pintu gagal menutup. Terbuka lagi. Perempuan itu tak mau menyerah keluar gerbong. Ia berusaha lebih keras mendorongkan tubuhnya yang tak juga tergerak, sebab sudah benar-benar padat. Ia lalu memundurkan kakinya mencari celah. Hampir saja sepatu setinggi 12 cm itu menginjak kaki penumpang lelaki bersepatu-sandal di belakangnya. Setelah pintu ditutup untuk ketiga kalinya, akhirnya berhasil.

Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan militansi yang cukup tinggi tanpa membedakan jenis kelamin. Dibutuhkan perjuangan yang keras untuk menjadi "pemenang". Laki-laki, perempuan, besar, kecil, semua sama. Kekuatan fisiklah yang menjadi penentu.

Begitulah suasana pagi dan menjelang malam di hari kerja, di setiap stasiun kereta. Selalu dipadati penumpang. Bedanya, di sini jauh lebih banyak. Sebab Stasiun Manggarai adalah stasiun kereta api terbesar di Jakarta. Memiliki 10 jalur kereta api dan berada di persimpangan tujuh. Pusat transit bagi para penumpang Commuter Line.

Di sinilah manusia-manusia yang mayoritas berstatus buruh, tumpah! Ribuan! Buruh berkerah putih yang umumnya tak mau disebut buruh. Pekerja, kata mereka. Padahal sama saja. Dalam keadaan seperti ini, setiap orang menjadi ganas. Lebih ganas lagi saat turun hujan. Masing-masing memiliki kepentingan yang sama: ingin cepat sampai di rumah. Seperti pagi di jam kantor, hujan membuat langkah-langkah kaki terburu-buru. Ada yang berlari mengejar kereta, kepleset, jatuh. Ada yang memanjat pagar memotong jalan. Seorang perempuan mungil terombang-ambing ketika hendak menyeberang berpindah jalur. Ia tak sanggup melawan arus deras penumpang di hadapannya. Tujuannya tak sampai-sampai. Hanya berputar di tempat saja. Dihempas ke kiri, ke kanan, terdorong mundur, maju lagi, dihempas lagi. Begitu seterusnya. Tetiba ia melihat seorang lelaki gendut yang berjalan searah dengannya. Sekuat tenaga ia menyibak para penumpang yang menghalanginya dan segera berlindung di belakang lelaki itu. Maka amanlah ia sampai jalur yang dituju.

Begitulah yang terjadi. Saling hempas, saling sikut, saling dorong, saling desak. Mirip cerita dalam Film Titanic. Dalam kondisi seperti ini, kecantikan dan ketampanan tidak lagi penting untuk dilihat. Dinikmati. Yang cantik tak lagi terlihat anggun. Yang ganteng tak lagi terlihat gagah dan berwibawa. Dalam kondisi seperti ini, setiap orang berani mati. Seperti menyimpan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dalam kondisi seperti ini, masing-masing orang meninggikan egonya. Cuma memikirkan nasibnya sendiri. Kemanusiaan mati! Kalaupun tersisa, barangkali tinggal nol koma nol sekian persen. Hanya keberuntungan saja jika kita mendapatkan kepedulian dari orang-orang yang dekat dengan kita. Seperti kata Pram dalam bukunya Bumi Manusia: Cinta itu dipilih, bukan memilih. Keberuntungan itu memilih orang, tidak bisa dipilih. 
 

(Stasiun Manggarai, 11 Oktober 2016) 

Photo Source: Google Images


Monday, October 10, 2016

"Mayat Hidup"


Perempuan itu memasuki peron sambil menangis. Semakin dekat semakin nyata, aku salah. Perempuan itu tidak menangis. Ia hanya berwajah menangis. Entah, apa alasan Tuhan mendesain wajahnya seperti itu. Celananya kaos tipis gombrang menutupi mata kakinya. Seperti baju tidur yang dibeli di pasar pagi, atau dibayar nyicil dari abang kredit harian yang keluar masuk kampung. Sangat kontras dengan penumpang lainnya. Seorang balita digendongan kain lusuh, yang lima tahun digandengan dengan sandal dekil kegedean, aus di tumitnya. Satu tangan lagi menenteng keranjang kue, tersisa beberapa dari yang didagang.

Langkah-langkah kaki yang terburu dikejar waktu sudah lewat dua jam lalu. Perempuan itu nampak gelisah menunggu Jakarta Kota. Berkali-kali lewat: Jatinegara, Tanah Abang, Jatinegara, Tanah Abang. Apa ada yang memperhatikan perempuan itu selain aku? Satu dua orang terlihat ngobrol dengan temannya. Seorang kulihat sedang selfie dengan make up-nya yang masih tebal. Belum kikis tersapu angin. Belum luntur karena lelehan keringat. Lebihnya sibuk dengan gadgetnya. Menunduk. Duduk menunduk, berdiri menunduk, jalan menunduk. Mereka hidup, tapi seperti mati. Mereka seperti mayat hidup ...


(Stasiun Tebet, 10 Oktober 2016)

Photo Source: Google Images

Wednesday, September 21, 2016

"Stasiun Tebet Pagi Ini"


Belasan tahun lalu, mataku diakrabi ribuan buruh berkerah biru. Tiap pagi dan sore luber hingga ke jalanan, sempat mengundang decak kagum dari mulutku. Dari atas pandangku, mereka tampak seperti kerumunan semut.

Kini saban pagi mataku disuguhi puluhan buruh berkerah putih, bergelantungan menjejalkan diri dalam gerbong kereta. Dari luar pintu berkaca yang tertangkap mata, otakku membentuk asosiasi: mereka seperti ikan teri dalam kemasan plastik.


(Stasiun Tebet, 21 September 2016) 


Photo Source: Google Images

Saturday, September 10, 2016

"Dunia Baru Mimpi Lama"


Sempat ragu. Aku merasa terlambat mengambil keputusan. Sebab browsing di internet, informasi yang up-to-date tak kutemukan. Juga disebabkan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang terasa kupaksakan. Berat. Ngos-ngosan. Ibu selalu menunggu hasil keringatku.

Seorang kawan menyemangati. Bercerita tentang kawan seperjuangannya yang tak putus asa meski kondisi kesehatan dan ekonominya dianggap tak memungkinkan, namun ia tetap berusaha menuntaskan mimpinya. Seminggu dua kali harus cuci darah? Aku terperanjat. Ah, ya! Aku pernah membaca beritanya. 

“Tunggu apa lagi? Coba saja dulu. Datangi. Tanya. Kau tidak akan tahu kalau kau belum ke sana,” katanya.
“Dalam kondisi seperti itu saja dia nggak mau nyerah, masak kalah sama dia. Kau, masih muda, masih sehat," lanjutnya.

Teringat lagi beberapa hari yang lalu seorang kawan lain berpesan di akhir pertemuan kami, “Kau harus pikirkan itu, Tar. Kau harus pikirkan.”

Ingatanku terus mundur ke belakang, sambung-menyambung. Ketua! Ya, ketua juga pernah mengatakan hal senada. Lalu yang paling ujung. Yang paling awal: Si Om. “Kamu mampu, Tar. Aku yakin, kamu mampu." Si Om tersenyum. Aku hanya menatap matanya. “Jangan takut bermimpi, Tar! Jangan takut berharap!”

Tekadku penuh. Mereka telah membakar semangatku. Pukul sepuluh pagi kakiku sudah menginjak Stasiun Cikini dan bersiap menuju arah keluar. Di tengah perjalanan aku mencium aroma peralatan sekolah yang masih baru. Harum. Wanginya khas. Teringat masa kecilku. Aku seperti kembali pada masa-masa bahagia ketika esok akan menjadi murid Sekolah Dasar. Hatiku penuh bunga-bunga. Buku, pensil, penghapus, orotan, penggaris, kotak pensil, tas, seragam sekolah. Semuanya baru. Dan malam membuat aku susah tidur. Tak sabar menunggu pagi, mengenakan seragam dan alat-alat sekolah yang serba baru, aku membayangkan teman-teman yang baru. Aku membayangkan duniaku yang baru!

Dan kebahagiaan masa kecilku menciptakan kaca-kaca di mataku …

(Tebet Dalam, 7 September 2016)

***

Ada yang bilang, kemiskinan bukanlah alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebab nyata-nyata ia mampu melakukan itu di tengah kemiskinannya. Kemiskinan yang seperti apa? Kita tidak dapat men-generalisir sebuah kemiskinan. Kemiskinan yang ia rasakan tidak sama dengan kemiskinan yang dirasakan orang lain. Memiliki tingkat yang berbeda ditinjau dari masalah yang dihadapi setiap orang. Apakah hanya cukup dengan bekerja dan menghasilkan upah, lantas dengan mudah seseorang akan melanjutkan pendidikan? Tidak. Penilaiannya tidak sesederhana itu. Sebab ada yang masih harus men-support ekonomi keluarganya (membantu orang tuanya atau membiayai sekolah adik-adiknya) di samping memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ada yang hanya memikirkan dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jenis pekerjaan dan besarnya upah pun tidak sama. Masing-masing orang memiliki keberuntungan yang berbeda.
 
Dan aku menggambarkan diriku dengan sebagian kecil orang-orang yang beruntung itu seperti bumi dan langit. Dari ujung kaki hingga ujung rambut sangat jauh berbeda. Aku yang tampil apa adanya, dan mereka yang segalanya mengikuti trend mode. Aku yang ke mana-mana berjalan kaki atau naik angkot, dan mereka yang mengandarai mobil pribadi. Aku yang serba kekurangan, dan mereka yang kebingungan menyimpan uangnya. Dengan materi yang berlimpah, tentu saja secara fisik mereka mampu memuaskan setiap mata yang memandang.

Bagi mereka yang begitu mudah mewujudkan keinginannya, mimpinya-mimpinya, moment seperti ini bukanlah sesuatu yang istimewa dalam hidupnya, sehingga tak perlu menjadikannya sebuah catatan yang kelak akan dikenang.

Berbeda dengan aku yang hampir setiap jengkal memerlukan perjuangan, hingga sebuah tanggal, bulan dan tahun kejadian pun menjadi pengingat yang penting. Sebagai penanda, bahwa aku pernah mengalami masa-masa bahagia ketika sebuah mimpi telah mampu aku wujudkan.

Seperti hari ini. Sabtu. Sebuah hari yang membuat aku merasa mengulang kembali kebahagiaan masa kecilku. Pagi itu aku salah masuk lokasi. Informasi yang kudapat kurang lengkap. Seorang Satpam menolongku. Dengan motornya aku dibawa ke lokasi, tempat acara diselenggarakan.

Rupanya di sana sudah berkumpul banyak orang. Memenuhi kursi-kursi yang berjajar di halaman. Tentu saja karena gedung sudah tidak mampu lagi menampung. Aku mendapatkan kursi di luar tenda. Panas matahari terasa langsung menyengat kulit meski belum tengah hari. Dengan seorang teman yang baru kuajak kenalan, kami berpindah mencari tempat yang teduh. Akhirnya kami mendapatkan kursi yang paling depan. Ternyata dari ujung kiri hingga ujung kanan masih kosong. Ada dua puluh-an bangku. Keherananku melahirkan tanya: mengapa di setiap acara yang kukunjungi, sering kudapati orang-orang yang enggan duduk di bangku paling depan? Mengapa selalu bagian tengah dulu yang mereka ambil? 

Tak lama kemudian, lagu-lagu nasional diputar melalui pengeras suara. Tetiba aku merasa terharu. Ingin menangis. Begitulah aku yang katanya cengeng. Mudah terbawa emosi menghadapi situasi yang menyentuh hati. Ujung-ujungnya pasti nangis. Rasanya tak percaya berada di antara ratusan orang yang berpakaian seragam denganku. Ini mimpiku. Ya, ini mimpiku! Mimpi yang pernah kurajut sejak SMA, yang akhirnya mati terenggut dendam. Tapi rupanya, ia tidak benar-benar mati. Nyatanya ia bangkit dan menganugerahiku sebuah dunia baru. Dunia baru yang aku tunggu-tunggu. Meski aku masih saja kepikiran sebab bebanku semakin berat. Semoga aku mampu menyelesaikannya dengan baik di waktu yang tepat. Terima kasih, Gusti. Terima kasih, kawan-kawan yang menyayangiku … 


(Tebet Dalam, 10 September 2016)  

Pelantikan Mahasiswa Universitas Bung Karno Tahun Ajaran 2016/2017





Tuesday, August 30, 2016

' tertinggal di ponselku '


di mana ia?
mataku menyapu
di rak sandal
di hanging shoes organizer
tak ada ...

apa ia sudah tua dan mati?
atau dikubur hidup - hidup dalam tumpukan sampah?

aku pernah merawatnya
saat ia tak berdaya
tiga tahun lalu
sebab ada bekas tapak kakimu di sana
juga keringatmu yang tanpa aroma
lalu aku kembalikan dalam keadaan baik
tapi di mana ia kini?
aku tak melihatnya
yang tersisa tinggal gambarnya
di ponselku ...

(Tebet Dalam, 31 Maret 2015) 

Photo Source: Private Collection

Saturday, July 23, 2016

' anak bangsa '


setiap anak adalah anakku
setiap anakku adalah anak bangsa
stop kekerasan terhadap anak!
dengar dan hargai pendapat mereka
kita dan anak - anak adalah sama
setara
saling menghormati



(Tebet Dalam, 23 Juli 2016)

Sumber Gambar: Indonesia Media Monitoring Center

Saturday, July 16, 2016

Salah Kaprah dan Tradisi


Sejak saya mengetahui beberapa tahun yang lalu bahwa kalimat berbahasa Arab yang berbunyi: Minal aidin wal faizin itu artinya bukan permintaan maaf, saya tidak menggunakannya lagi sebagai ucapan di Hari Raya Idul Fitri. Ada dua kalimat yang biasa saya gunakan, itu pun saya bedakan kepada siapa saya berikan ucapan itu. Untuk orang-orang yang sekedar kenal atau baru bertemu, saya pilih: Selamat ber-Lebaran. Untuk orang-orang yang kenal dekat atau pernah dekat: Maaf lahir batin.


Tetapi beberapa tahun setelah saya temukan kesalahan yang saya dan banyak orang lakukan, beberapa tahun ini pun kesalahan itu masih terjadi di mana-mana. Salah kaprah. Salah kaprah yang berlangsung selama puluhan tahun. Saya ingat waktu masih sekolah banyak kartu Lebaran yang dijual di toko-toko menggunakan ucapan berbahasa Arab yang di-Indonesia-kan, kemudian disambung di bawahnya dengan Bahasa Indonesia. Begitu seterusnya dan diikuti oleh masyarakat kita. Tidak hanya itu, lagu-lagu yang dinyanyikan, media cetak mau pun elektronik juga melakukan hal yang sama, bahkan para tokoh agama, sehingga diasumsikan “Minal aidin wal faizin” artinya “Mohon maaf lahir dan batin”. Parahnya masyarakat kita yang terkenal latah itu hanya mengambil Bahasa Arab yang di-Indonesia-kan agar terkesan Islami. Padahal Bahasa Arab bukan bahasa kaum Muslim saja. Yang non Muslim, yang mereka kafirkan juga menggunakan Bahasa Arab, termasuk kitab-kitab non Muslim juga berbahasa Arab, sebab mereka penduduk Arab Saudi. Masyarakat kita tidak menyadari bahwa kalimat ucapan berbahasa Arab yang mereka gunakan itu tidak ada hubungannya dengan permintaan maafnya. Lalu apa arti yang sebenarnya? Baik, dari beberapa tulisan yang saya baca, artinya sebagai berikut:


-  Min: Termasuk

-  Al-aidin: Orang-orang yang kembali

-  Wal: dan

-  Al-faizin: Menang


Jadi jika dimaknai secara harfiah dari kalimat “Minal Aidin wal Faizin” dalam bahasa Indonesia menjadi: “Termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang”. Bukan “Maaf lahir dan batin”. 



Tradisi Hari Raya Idul Fitri di Indonesia


Selain mempersiapkan segala kebutuhan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri seperti menyediakan kue-kue dan minuman, membeli pakaian baru, sandal/sepatu baru, mukena dan hijab terkini hingga gatget tercanggih dan bagi-bagi angpao, tradisi yang tidak pernah lepas adalah bermaaf-maafan. Dimulai dari keluarga inti, lalu mengunjungi tetangga, kerabat, teman untuk bersalam-salaman dan bermaaf-maafan.  Bagi yang memiliki kerabat atau teman dekat yang tinggal jauh, mereka bisa menggunakan media sosial atau telepon seluler sekedar mengucapkan maaf. 

“Maaf” … kata itu lalu saya renungkan beserta suasana saat Hari Raya tiba. Saya membaca status seorang teman di akun facebook-nya yang bunyinya begini: “Barangkali, maaf hanya ritual, menggenapi keterbiasaan. Barangkali, kesalahan hanya candaan semata. Barangkali, kita selalu gagap untuk mengakui..barangkali...”


Pada salah satu webside saya temukan tulisan yang sebagian saya kutip demikian: "Sehubungan dengan akan datangnya Idul Fitri, sering kita dengar tersebar ucapan: Mohon maaf  lahir dan batin, seolah-olah saat Idul Fitri hanya khusus untuk minta maaf. Sungguh sebuah kekeliruan, karena Idul Fitri bukanlah waktu khusus untuk saling maaf-memaafkan. Memaafkan bisa kapan saja tidak terpaku di Hari Idul Fitri. Demikian Rasulullah mengajarkan kita. Tidak ada satu ayat Qur'an atau pun suatu Hadits yang menunjukkan keharusan mengucapkan: Mohon maaf lahir dan batin, di saat-saat Idul Fitri.”


Dan komentator dari webside yang sama memiliki pendapat begini: “Orang yang minta maaf di hari raya In Syaa-Allah tidak meyakini minta maaf itu hanya khusus di hari raya. Ini adalah ikhtiar untuk kesempurnaan ibadah.”


Bagi saya pribadi, benar meminta maaf tidak harus di saat Hari Raya Idul Fitri, tetapi melakukannya pun tidak keliru. Barangkali ada kesalahan-kesalahan kecil yang terlupakan, maka Idul Fitri menjadi pengingat atas kesalahan-kesalahan itu. Bahkan kesalahan-kesalahan besar yang semula tak termaafkan, suasana Idul Fitri mampu meluluhkan hati membuka pintu maaf seluas-luasnya. Sebagai tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun, rasanya kurang lengkap tanpa bermaaf-maafan. Dan disebabkan tradisi itu pula, terkadang saya merasa berjabat tangan dan bermaafan hanya sekedar basa-basi.


Tetapi ada sesuatu yang berbeda saya rasakan di Idul Fitri tahun ini. Ada kelegaan. Ada beban yang berkurang. Seumur hidup, baru kali ini hati saya diluluhkan untuk merendah serendah-rendahnya kepada seseorang. Ya, hanya kepada seseorang itu saya benar-benar tulus meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan. Tentu itu di luar keluarga saya, sebab dengan keluarga, saya tak pernah basa-basi.



(Tebet Dalam, 14 Juli 2016)


Photo Source: Google Images



 
Blogger Templates