Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, February 28, 2014

"Manusia dengan Tingkat Kesombongannya"


Seringkali orang tidak mampu membedakan antara ‘rasa tidak suka’ dengan ‘rasa iri’ dalam menanggapi sikap sombong seseorang. Dari renungan saya selama ini, saya memiliki kesimpulan, bahwa:

Di dalam setiap diri manusia, ada keinginan untuk diakui sesuai dengan harapannya. Pengakuan atas diri itu, menjadi kebutuhan psikologis. Sehingga bisa dikatakan, bahwa setiap orang pasti memiliki kesombongan. Hanya kadarnya yang berbeda. Dan berdasarkan pengamatan saya selama ini, saya membagi tingkat kesombongan itu menjadi 3, yaitu:

1.     MANUSIA DENGAN TINGKAT KESOMBONGAN RENDAH

Bagi orang yang memiliki kesombongan di tingkat rendah, tentu ia adalah orang yang rendah hati. Meskipun ia pernah menyombongkan dirinya, tetapi sangat kecil dilakukan. Dengan bahasa yang sangat halus, mengalir melalui cerita yang disampaikan. Kadang, ia bahkan terpaksa harus melakukan itu, hanya pada saat ia marah atau dalam keadaan terpojok, ketika seseorang menyerangnya. Sehingga kesombongan serta kecenderungan untuk merendahkan orang lain itu dimunculkan sebagai senjata akhir. Biasanya orang ini hanya mengunggulkan dirinya, dan merasa tidak perlu mengunggulkan orang lain. Ia hanya merasa perlu melakukan itu, jika ia benar-benar tertarik dengan kehebatan seseorang, dengan cara yang tidak berlebihan dan tanpa bermaksud memenangkan sebuah perdebatan. Orang dengan tingkat kesombongan rendah, tidak menyukai sanjungan dari orang lain yang berlebihan atas dirinya.

2.     MANUSIA DENGAN TINGKAT KESOMBONGAN SEDANG

Bagi orang yang memiliki tingkat kesombongan sedang, tanpa diserangpun, ia akan melakukan itu. Hanya tergantung, kapan dan berapa lama kebutuhan atas pengakuan diri itu meningkat, sehingga ia perlu menujukkan eksistensinya. Cara menyampaikannya tidak terlalu tajam, sehingga tidak terkesan membusungkan dada. Biasanya orang ini tidak hanya mengunggulkan dirinya saja, ia juga perlu melakukan untuk orang lain, namun tetap dalam batas yang wajar. Rasa ingin dipuji atau diakui bagi pemilik kesombongan tingkat ini, bisa jadi cukup tinggi. Namun kecenderungannya untuk merendahkan orang lain, cukup kecil. Tetapi ia tidak merasa risih dengan pujian yang berlebihan untuk dirinya.

3.      MANUSIA DENGAN TINGKAT KESOMBONGAN TINGGI

Bagi pemilik kesombongan tingkat tinggi, ia tidak akan pernah berhenti menyombongkan dirinya. Seperti seseorang yang haus pujian atau sanjungan, sehingga ia selalu membutuhkan pengakuan. Dan setiap kesombongan yang ia lakukan, hanya mampu mengatasi dahaganya pada saat itu saja. Sehingga ia terus melakukan dan melakukan kesombongan. Orang di tingkat ini, tidak bisa menerima pendapat yang berbeda. Ia selalu menginginkan, bahwa pendapat setiap orang tentang dirinya ‘harus’ sesuai dengan harapannya. Maka, dengan pendapat yang tidak sesuai dengan keinginannya itu, membuatnya semakin intens melakukan kesombongan. Cara melakukannya pun berbeda dengan yang di tingkat rendah dan sedang. Ditingkat ini, ia akan mengunggulkan dirinya setinggi-tingginya. Dan jika dalam satu bidang tertentu ia menganggap dirinya tidak layak disombongkan, maka ia akan mencari siapa saja yang layak untuk dijunjung setinggi-tingginya. Dan ketika lawan bicaranya tidak mampu memenangkan sebuah perdebatan, itulah kepuasan terbesarnya. Orang di tingkat ini, sangat menyukai sanjungan atas dirinya yang berlebihan dan selalu membutuhkan pengakuan atas kehebatannya. Karena tingkat kesombongan yang tinggi itulah, maka orang-orang ini menjadi sangat sering merendahkan orang lain. Bahkan seolah-olah, tidak ada yang sempurna selain dirinya. 

Saya pernah berusaha menjaga jarak dengan seorang teman baru. Ketika teman saya bertanya, dan saya menjawab, bahwa saya tidak menyukai caranya yang seringkali menyombongkan dirinya atau istilah yang sering kita dengar “ngomongnya tinggi”. Lalu teman saya tersebut berkomentar,”Kamu iri ya?” Sangat salah, menurut saya. Seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa teman saya itu tidak bisa membedakan antara ‘rasa tidak suka’ dengan ‘rasa iri’. 

Sebagai bukti ketidak-sukaan itu, saya contohkan seperti pengalaman saya berikut ini: 

Suatu hari, kami membentuk sebuah grup band. Bassist saya (pemain bass) selalu bicara tinggi dalam hal bermusik. Ia terlalu percaya diri, sehingga seringkali merendahkan orang lain. Meskipun hal itu tidak dilakukan kepada saya pribadi, karena kami satu grup, otomatis grup kami yang selalu diunggulkan. Seperti ia yang selalu membanding-bandingkan grup band kami dengan grup band teman yang lain. Bahkan menganggap orang-orang yang tidak mengerti musik hanya cere-cere, sepele atau kecil. Dan sikap itulah yang tidak saya sukai. Lalu, apakah itu bisa dikatakan ‘rasa iri’? Tidak bukan? Yang saya pikirkan, belum terkenal saja ia sudah sombong, apalagi kalau nanti sukses. Bukan juga karena saya mengkhawatirkan kebencian orang lain terhadap saya atau grup band saya, nantinya.  Rasa tidak suka itu, datang dari dalam diri. Ada yang berontak di dada saya, sehingga saya harus mengundurkan diri. Beberapa kali bassist saya datang merayu, saya tetap pada pendirian saya. Rasa tak tenang berhubungan dengannya, membuat saya bertahan dengan keputusan saya. 

Jika bicara tentang ‘rasa iri’, saya juga akan mencontohkan seperti pengalaman saya berikut ini: 

Dalam kehidupan bermasyarakat, tentu kita memiliki tetangga. Akan sangat dekat dengan mereka, ketika kita tinggal dalam perkampungan (bukan perumahan elit). Dinamika dalam hidup, seringkali berkaitan dengan masalah ekonomi yang kadang naik dan kadang turun. Suatu hari, tetangga di samping kamar saya, baru saja membeli kipas angin berdiri. Ada lima kamar kontrakan berjajar, dan saya yang paling ujung. Tetangga di kamar tengah wajahnya mendadak berubah, menjadi sinis melihat tetangga sebelah saya itu. Lalu ia berkata kepada saya,”Sombong banget dia. Baru bisa beli kipas angin saja.” 

Kata ‘sombong’ yang dikatakan tetangga di kamar tengah untuk tetangga kamar sebelah saya itu, tidak benar. Nah, sikap tetangga kamar tengah inilah yang bisa dikategorikan sebagai ‘rasa iri’.
Kenapa saya berani menyimpulkan demikian? Karena saya tidak melihat sikap pada tetangga di samping kamar saya itu menjadi berbeda setelah mampu membeli kipas angin baru. Buktinya, saya datang ke rumah tetangga saya itu dan bicaranya biasa saja. 

”Beli kipas baru ya, mbak?” Tanya saya. 

“Iya, mbak Tari. Habis, di sini pada doyan kipas semua. Kalau yang duduk, nggak mempan. Itu juga sudah rusak. Iya mbak Tari sendirian. Kipas duduk juga nggak masalah. Jarang dipakai lagi, makanya awet.” Jawab tetangga saya itu. 

Kami lalu ngobrol seputar kipas itu, dan tetangga saya menceritakan detil proses pembeliannya. Tidak ada sesuatu yang ditinggikan. Semua wajar-wajar saja. 

Berapa Minggu kemudian, tetangga sebelah kamar saya itu, belanja lagi. Ia membeli lemari. Tetangga di kamar tengah, kembali sewot. Pasti hatinya semakin cenat-cenut. Alhamdulilah saya tidak memiliki rasa itu, sehingga saya tidak merasa tersiksa setiap kali ada tetangga yang membeli barang baru. 

Saya kembali mendatangi tetangga sebelah kamar saya itu. Melihat keadaan lemarinya dan bertanya seputar lemari itu. Pokoknya, saya selalu merasa senang melihat kehidupan orang lain yang meningkat. Saya selalu berharap dalam hati, semoga saya pun bisa demikian. Lebih senang lagi, jika orang tersebut mampu memiliki rumah. Hati saya ikut merasa tenang, meskipun saya sendiri belum bisa memiliki. 

Akan tetapi, bisa jadi saya akan menjaga jarak dengan tetangga kamar sebelah saya itu, jika ternyata ia suka menyombongkan dirinya, keluarganya, miliknya, atau apapun. Maka, rasa ingin menjauhi seseorang karena sikap sombongnya yang berlebihan itu, bukan semata-mata karena orang itu merendahkan saya. Dalam sebuah pembicaraan, dimana orang itu dengan jelas merendah orang lain, dan itu dilakukan berulang-ulang. Dari sana, saya bisa menilai sikapnya. Ada yang tidak sesuai dengan kontrol batin saya, untuk menghindari ‘ketidak-adilan’. Sehingga saya kerap merasa tersiksa, jika berhubungan dengan orang-orang yang memiliki sikap demikian. 

Sudah jelas bukan? Bahwa ‘rasa tidak suka’ berbeda dengan ‘rasa iri’. Namun jika masih ada yang mengatakan itu sama. Saya rasa hanya pembenaran pribadi, untuk menghibur diri … 


(Casablanca, 27 Februari 2014) 

Photo Source: Google Images

Monday, February 24, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 9)


Zi baru pulang dari pasar. Sementara kelompok piket yang lain membersihkan ruangan, Zi masuk ke kamarnya membaca koran. Rini tiba-tiba datang. Seperti orang kepanikan, ramai berceloteh.
      
“Ih, gila, Zi. Gila benaaar …”
      
“Siapa yang gila?” Zi menanggapi santai, membuka halaman surat kabar.
      
“Cowokku tuh.”
      
“Kenapa?” Masih membuka halaman surat kabar berikutnya.
      
“Ternyata dia itu, mendeteksi semua aktivitasku setiap hari. Dia tahu apa kegiatanku, posisiku di mana, pergi dengan siapa. Dia selalu mengintai, Zi. Seperti spionase. Gila!”
      
“Nggak aneh. Nggak gila juga kok. Biasa saja. Namanya juga lagi pacaran. Masa promosiii … Masih cinta-cintanya. Yang lebih dari itu, ada.”
      
“Dia juga selalu ngabari aku lho. Sms, telpon, setiap kali dia pergi sama teman perempuannya atau perempuan-perempuan yang lain.”
      
“Yah … laki-laki, Rin. Yang dikabarkan ke kamu itu kan yang dia memang tidak ada rasa apa-apa. Coba kalau dia ketemu atau pergi dengan perempuan yang ditaksirnya, atau dengan mantan pacarnya. Apa iya, dia akan cerita sama kamu?”
      
“Hehehe … iya ya …” Wajah Rini mendadak berubah.
      
Zi meletakkan surat kabar tepat di depan wajahnya. Matanya seolah serius membaca, padahal hatinya sedang bicara sendiri …
      
Rini … Rini … tak usahlah kau pamerkan aku, betapa kau sangat dicintai pacarmu. Kau itu masih saja melihat aku hanya di masa kini yang selalu terlihat sendiri. Yang seperti itu, bukan cuma kamu satu-satunya. Aku ini sudah malang melintang di dunia percintaan. Aku sudah menikmati berbagai rasa seperti ramainya rasa permen NANONANO. Aku tidak merasa aneh dengan keromantisan sepasang anak manusia yang sedang pacaran. Yang aku salutkan justru pasangan suami istri yang sudah lama menikah, bahkan sudah memiliki anak, tapi hubungan mereka masih tetap romantis. Masih saling mencintai, saling peduli, dan saling menghormati. Berapa banyak suami yang melecehkan dan menertawakan pasangannya di belakang saat ia berbincang dengan teman-temannya? Memberi julukan-julukan yang buruk atau lucu, membuat aku bertanya, dulu lihat apa sekarang lihat apa? Kemudian aku bandingkan dengan teman kerjaku yang pernah berkata, ”Masak, Si Nelly lihat suamiku, terus nahan ketawa. Kayak menghina gitu. Memang kenapa? Biar semua orang bilang suamiku jelek, item, tapi aku cinta kok. Kalau ada perempuan yang berani menggoda atau menyentuhnya saja, hemm ... langkahi dulu mayatku!”  Ya … begitulah kalau laki-laki mencintai perempuan karena kecantikannya. Dan para perempuan bangga. Justru seharusnya perempuan tidak percaya dengan cinta laki-laki itu, sebab keindahan fisik itu tidak abadi. Manusia semakin hari semakin tua. Kulitnya tak lagi kencang. Lalu berganti dengan generasi baru yang semakin hari semakin modern karena kecanggihan tehnologi, sehingga semakin tampak indah. Jika orientasi manusia dalam mencari pasangan hanya didasarkan pada keindahan fisik semata, tentu mereka akan terus mencari dan mencari yang baru, sebab keindahan itu tak akan ada habisnya. 
 
Kapitalisme memang telah membentuk opini masyarakat tentang keindahan yang hanya tampak dari luar saja. Untuk perempuan Indonesia dibuatlah standart misalnya, bahwa perempuan yang cantik itu yang tubuhnya tinggi, langsing, berkulit putih dan halus, berambut lurus. Untuk laki-laki yang ganteng misalnya, dia yang bertubuh tinggi, sixpack, kulit bersih. Pun tidak sekedar opini. Para Kapitalis memberikan solusi dengan menyodorkan berbagai iklan produk seperti obat peninggi badan, hand body, lulur, obat pelurus rambut, susu bersuplement, make up dan masih banyak lagi. Satu jenis produk lalu dikembangkan menjadi bervariasi baik harga maupun kualitasnya. Para kapitalis terus bersaing menjejali produk iklan melalui media-media. Dan masyarakat tidak sempat berfikir bahwa mereka telah dikontrol oleh segelintir orang yang memiliki modal. Belum lagi opini tentang ‘keren’, bahwa keren itu kalau mereka memiliki barang-barang elektronik yang canggih, seperti ponsel, I pad, laptop. Punya motor atau mobil keluaran terbaru. Kapitalisme telah menciptakan ilusi kebutuhan, sehingga masyarakat tidak bisa lagi membedakan mana kebutuhan dan mana yang bukan. Mereka lupa, mereka bangga bertopeng. Tidak menjadi dirinya sendiri. Mereka dibuat sibuk memikirkan dirinya, tanpa mempedulikan sekelilingnya. Kegiatan untuk bersosialisasi pun mulai ditinggalkan. Lihat saja, dimana-mana orang menunduk, sibuk dengan gadgetnya. Di angkot, bis, kereta api, bahkan saat berkumpul dalam satu meja pun. Bertemu dan tatap muka sepertinya hanya formalitas saja. Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Sendiri tidak merasa sendirian, bersama tapi sendirian. Manusia memang membutuhkan tekhnologi, setiap orang berhak memiliki barang yang diinginkan, tapi sebaiknya tidak membuat mereka menjadi konsumtif. Menjadi budak tekhnologi.

Tiba-tiba terbayang wajah koko-nya. Zi senang melihat kehidupan rumah tangga mereka. Kalau saja Zi tak pernah menginap beberapa hari di sana, mungkin ia tidak akan pernah tahu. Suami istri itu sama-sama bekerja, tetapi pekerjaan domestik dikerjakan bersama. Pagi-pagi sekali, kakak iparnya bangun, belanja di warung, lalu memasak. Koko-nya mengurusi anaknya yang masih balita. Dari mandi, mendandani, membuat susu, sampai menyuapi sarapannya. Setelah istrinya selesai masak, mandi, lalu berangkat kerja sambil menitipkan anaknya ke rumah familinya. Ganti koko-nya yang mandi. Dan sebelum berangkat kerja, koko-nya membungkus makanan hasil olahan istrinya untuk bekal di tempat kerjanya. Dua hari sekali mereka mencuci pakaian. Sore hari saat pulang, siapa saja yang datang lebih dulu, dia yang mengeluarkan pakaian kotor, lalu mencucinya. Yang belakangan tugasnya membilas dan menjemur. Sementara yang satu membilas dan menjemur, yang lain menyapu, mengepel, lalu mandi. Untuk pekerjaan mencuci peralatan dapur, menjadi tugas istri koko-nya. Jika sempat dikerjakan, pagi setelah memasak. Jika tidak, ya sore hari. Dan siapa yang tugasnya selesai lebih dulu sore itu, maka dialah yang menjemput anaknya. Kerja sama yang bagus. Sangat kompak. Mereka bergantian melakukan tugas rumah tangga tanpa saling perintah. Malam hari, mereka menonton TV bersama. Dan koko-nya selalu membuat kopi sendiri. Sesekali saja jika istrinya sedang menyeduh teh, menawari suaminya membuatkan kopi. Begitu seterusnya setiap hari. Zi ikut bahagia melihat suasana itu. Ia berdo’a, semoga mereka rukun selamanya. Demikian juga selalu terselip do’a untuk setiap lelaki berumah tangga yang dikenalnya. Tentu lelaki yang bertanggung jawab, mencintai keluarganya dan menghormati istrinya.  
      
Zi jadi ingat Mas Wi. Lelaki pejuang yang pernah diharapkan menjadi pelabuhan terakhirnya. Menitipkan benih di rahimnya. Menjadi ayah bagi anak-anaknya. Sudah satu bulan Mas Wi tidak kelihatan. Kabarnya Mas Wi sedang ditugaskan ke Jawa Timur.

***

       
Hari ini tanggal 1 Mei. Dikenal sebagai Hari Buruh Sedunia atau May Day. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di seluruh dunia termasuk di Indonesia, memperingati hari ini sebagai hari kebangkitan kaum buruh. Zi bersama kawan-kawan di gerakan tak ketinggalan. Mereka turut larut dalam aksi itu. Beragam cara dilakukan organisasi-organisasi buruh untuk memperingati May Day. Ada yang turun ke jalan melakukan aksi, mendatangi pusat-pusat pemerintahan. Ada yang hanya menggelar panggung di suatu tempat dengan orasi, diselingi hiburan oleh sekelompok pemain band. Ada yang melakukan keduanya. Setelah unjuk rasa, mereka digiring ke suatu tempat untuk menikmati pentas musik dan joget bersama. Ada juga yang membuat teaterikal atau performance art di sepanjang jalan.
       
Sebelum hari H masing-masing organisasi mempersiapkan atribut atau perangkat aksinya. Ada umbul-umbul, spanduk, atau sekedar kardus yang ditulis tangan atau dicetak berisi tuntutan-tuntutan mereka. Ada beraneka warna bendera serta pakaian seragam atau baju kebesaran yang melambangkan organisasi mereka masing-masing. Semua tumpah ruah di jalanan hingga mencapai puluhan ribu manusia. Tampak dari atas seperti semut yang berbaris menutup jalan. Tetapi, apakah itu artinya bahwa semua kaum buruh telah sadar dan mampu memaknainya? Tidak. Bahkan setengahnya pun belum ada. Beberapa organisasi yang sempat memblokir jalan menuju kawasan pabrik. Dilanjutkan dengan melakukan gedor pabrik memaksa perusahaan yang sedang berproduksi untuk meliburkan pekerjanya, tidak mampu menggiring separuh jumlah buruh untuk turun aksi. Mereka yang tak pernah tersentuh oleh organisasi memilih pulang dan menikmati tidur siang. Mereka yang tidak pernah tercerahkan oleh pendidikan tentang perburuhan, menganggap hal itu hanya membuatnya kepanasan, kelaparan, kahausan dan kelelahan. Jelas, mereka yang tidak mengerti apa dan mengapa ada Hari Buruh Sedunia, tentu tidak mampu memaknainya. Karena mereka belum memahami, bahwa 8 jam kerja yang mereka nikmati saat ini adalah hasil perjuangan para buruh yang sudah mengorbankan nyawa mereka.
      
Seperti beberapa sumber yang mengatakan, bahwa akar sejarah May Day diawali pemogokan kelas pekerja di Amerika Serikat pada tahun 1806. Pemogokan itu dilakukan oleh pekerja Cordwainers, sebuah perusahaan pembuat sepatu. Dan hasil dari mogok kerja itu, para pengorganisir di bawa ke pengadilan untuk menjalani proses hukum. Namun dari sana terungkap fakta, bahwa para pekerja benar-benar diperas keringatnya. Mereka harus bekerja 19 hingga 20 jam per hari. Sedangkan satu hari ada 24 jam. Berarti para pekerja memiliki waktu istirahat hanya 4 jam per hari. Mereka tidak sempat menikmati kehidupan lain di luar dunia kerjanya.
      
Dari kejadian itu, maka kelas pekerja di Amerika Serikat memiliki agenda perjuangan bersama, yaitu menuntut pengurangan jam kerja. Peter McGuire, seorang pekerja asal New Jersey, punya peran penting dalam mengorganisir perjuangan ini. Pada tahun 1872, ia dan 100 ribu pekerja lainnya melakukan aksi mogok kerja untuk menuntut pengurangan jam kerja. McGuire menghimpun kekuatan para pekerja dan pengangguran, serta melobi pemerintah kota untuk menyediakan pekerjaan dan uang lembur bagi pekerja.
      
Pada tahun 1881, McGuire pindah ke Missouri dan mulai mengorganisir para tukang kayu. Hasilnya di Chicago berdiri persatuan tukang kayu dengan McGuire sebagai sekretaris umumnya. Inilah cikal bakal serikat pekerja. Ide membentuk serikat pekerja ini kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh Amerika Serikat. Masing-masing membentuk serikat pekerja di berbagai kota.
      
Tanggal 5 September 1882, Parade Hari Buruh pertama digelar di kota New York dengan 20 ribu peserta. Mereka membawa spanduk yang berisi tuntutan mereka: 8 jam bekerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam rekreasi. Itulah 24 jam kehidupan ideal dalam sehari yang diinginkan kelas pekerja Amerika Serikat.
      
Tuntutan pengurangan jam kerja itu akhirnya menjadi perjuangan kelas pekerja dunia. Kongres Internasional pertama dilangsungkan di Jenewa, Swiss, pada tahun 1886. Dihadiri organisasi pekerja dari berbagai negara. Kongres Buruh Internasional itu menetapkan tuntutan pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari sebagai perjuangan resmi buruh sedunia.
      
Tanggal 1 Mei akhirnya ditetapkan menjadi hari perjuangan kelas pekerja sedunia. Satu Mei dipilih, karena mereka terinspirasi kesuksesan aksi buruh di Kanada pada tahun 1872. Ketika itu buruh Kanada menuntut 8 jam kerja seperti buruh di Amerika Serikat dan berhasil. Delapan jam kerja di Kanada resmi diberlakukan mulai tanggal 1 Mei 1886.
      
Tepat pada tanggal 1 Mei 1886 saat mulai diberlakukannya 8 jam kerja di Kanada, sekitar 400 ribu buruh Amerika Serikat melakukan aksi untuk menuntut yang sama, yaitu pengurangan jam kerja. Aksi ini berlangsung selama 4 hari hingga tanggal 4 Mei 1886. Namun malang, pada hari terakhir itu polisi Amerika Serikat menembaki mereka hingga ratusan buruh meninggal. Sedangkan pemimpin buruh-nya, ditangkap dan dihukum mati. Peristiwa ini dikenal dengan tragedi Haymarket karena terjadi di bundaran Lapangan Haymarket.
      
Maka sebagai penghormatan terhadap para martir atau buruh yang tewas dalam aksi demonstrasi itu, Kongres Sosialis Dunia yang digelar di Paris pada bulan Juli 1889 menetapkan, bahwa tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia atau May Day. Hal ini memperkuat keputusan Kongres Buruh Internasional yang berlangsung di Jenewa pada tahun 1886.
      
Tak terasa hari sudah sore. Sekitar pukul empat, satu per satu massa organisasi membubarkan diri. Zi baru sadar, ia telah kehilangan kawan-kawannya dalam rombongan. Zi tinggal sendiri di antara para buruh yang sedang menunggu angkutannya datang membawa mereka pulang. Matanya menyapu area sekitar. Ia melihat ada yang bergerombol cukup jauh dari tempatnya berada. Zi coba mendatangi, lantas senyum-senyum sendiri mendapati kawan-kawannya berkumpul di sana. Ia melangkah dengan semangat. Tapi tiba-tiba seperti ada yang menggulirkan bola matanya pada sosok lelaki berkaca mata hitam. Zi menghentikan langkahnya, menundukkan kepalanya menatap trotoar ketika dirasa lelaki itu sedang mengamatinya. Ada rasa tak percaya ketika nalurinya berkata, bahwa lelaki itu adalah Mas Wi. Bukannya Mas Wi sedang di Jawa Timur? Bukan ah, itu bukan Mas Wi, kata sisi hatinya yang lain. Zi kembali memberanikan diri menatap lelaki itu. Beruntung lelaki itu sedang terlihat bicara dengan seseorang. Kini Zi bebas memperhatikan setiap gerak, lekuk wajah dan tubuhnya. Ya, Zi mulai yakin, lelaki itu adalah Mas Wi, meski tampilan wajah serta pakaiannya berbeda. Dengan jaket warna krem yang tak pernah terlihat dipakai, juga bulu-bulu yang tumbuh melingkari bibirnya. Zi tak dapat dibohongi. Entah, bulu-bulu itu tak sempat dicukur atau memang sengaja dibiarkan untuk menyamarkan diri. Dan dengan kaca mata hitam, bisa jadi mungkin agar Mas Wi leluasa memandangi gadis berdarah Cina yang semakin menjauhinya.
      
Zi memundurkan langkahnya perlahan, lalu berbalik menuju ke tempatnya semula. Sebuah metro mini datang mengangkut para buruh. Zi menggabungkan diri memasuki metro mini itu. Malam ini Zi berencana akan menginap di sekretariat buruh. Ia masih belum ingin bertemu Mas Wi. Seperti biasa, Mas Wi selalu mampir ke markas sepulang aksi bersama pimpinan-pimpinan yang lain. 
      
Metro mini sudah berjalan membelah jalanan ibukota. Suara hatinya seolah bergema mengalahkan riuhnya suara para buruh pabrik itu …
      
Pertemuan tak terduga, tak lagi menyisakan benci. Hanya nelangsa … menghadirkan mendung dilangit jiwa, melemahkan langkah menjauhimu. Waktu tak berjalan mundur. Kau sudah terlanjur mengambil hatiku ...

~ Bersambung ~


(Casablanca, 24 Februari 2014)

Theme Song: (Katon Bagaskara - Cinta Selembut Awan) https://www.youtube.com/watch?v=7PBn9ZdEjCQ

Photo Source: Google Images



' catatan di kepala '


sakit kesekian kali itu ...
tak lagi bisa dibayar
dengan pemberian
dengan dukungan
atau kepedulian

sakit kesekian kali itu ...
hanya bisa ditebus
dengan merubah sikap
menjaga lidah
dan berkaca diri

tapi sudah terlambat
terlalu banyak kau catatkan dikepalaku 
cukup!
aku butuh tempat
untuk catatan yang lain
selain milikmu!

(Casablanca, 21 - 24 Februari 2014)


Sunday, February 16, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 8)


Masih pagi sekali. Tampak jingga langit di ufuk Timur ketika Zi tiba di sebuah pantai. Sendiri. Tak satu orang pun yang terlihat berada di sana. Hanya burung-burung camar yang lalu lalang di atas air, bercanda, berteriak saling memanggil. Dari jauh, perahu-perahu nelayan tampak seperti kapal mainan anak-anak. Meliuk-liuk diayun ombak. Sebagian berdebur tak henti menabrak karang, seperti jantungnya yang selalu berdegup setiap kali teringat kenyataan yang menyakitkan tentang pejuang pujaannya.
      
Pelan Zi mendekati pantai. Dibiarkan air menyentuh kakinya. Zi terus melangkah. Berjalan menuju ke kedalaman hingga setengah tubuhnya menghilang. Sejenak ia mendongakkan kepalanya melihat terang langit sehabis hujan. Ada pelangi di sana. Pelangi terakhir yang dipandangi sebelum ia mengakhiri hidupnya.
      
“Zi! Apa yang kamu lakukan, Zi! Zi!”
      
Zi mendengar ada yang memanggil namanya. Suara itu bersaing dengan nyanyian ombak yang dibawa angin. Zi hafal benar, itu suara Mas Wi.
      
“Zi! Ziiiii …”
      
Suara itu semakin dekat. Zi tak peduli. Kini yang tertinggal hanya kepalanya. Dan sebentar saja, tubuhnya lenyap tak bersisa.
      
Zi meronta ketika Mas Wi berusaha mengangkatnya ke permukaan. Mereka saling berteriak di antara gerakan yang timbul tenggelam.
      
“Lepaskan! Lepaskan aku!”
      
“Tidak. Aku tidak ingin kamu mati, Zi! Aku tidak ingin kamu mati!”
      
“Tapi aku ingin! Aku ingin! Lepaskan aku. Lepaskan akuuu!”
      
“Tidak! Kamu tidak boleh mati! Tidak, Zi. Tidaaak!”
      
Zi masih terus berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Mas Wi. Mendorong, menyiku, menendang. Sebentar lepas tenggelam, sebentar ditarik ke permukaan. Tenggelam lagi, ditarik lagi. Tapi rupanya, tenaga Zi tak mampu bersaing dengan kekuatan Mas Wi. Pergulatan di dalam air itu telah menguras seluruh tenaganya. Zi kelelahan, lemas, terkulai ...
      
Mas Wi menangkapnya, mendekap tubuhnya, menciumi seluruh wajahnya, ”Kamu bodoh, Zi ... Kamu bodoooh ...”
      
Zi tinggal pasrah ketika Mas Wi mengendong tubuhnya, membawa ke tepian. Hanya suaranya yang masih tersisa ditengah nafasnya yang tersengal, ”Lepaskan aku … lepaskan aku … lepaskan aku …”
      
“Kak … kak … bangun, kak.” Ami menggoyang-goyang tubuhnya.

Zi kaget, membuka matanya. “Eh, ada apa?”
      
“Kakak mengigau. Apa kakak sedang mimpi buruk?”
      
“Oh ya?”
      
“Iya.”
      
Sebentar Zi mengingat-ingat. “Tidak kok. Bukan mimpi buruk. Ehm … ini jam berapa ya?”
      
“Subuh, kak.”
      
“Ya sudah, terima kasih. Kakak mau bangun saja.”
      
Ami kembali membaringkan tubuhnya di kasur, memainkan ponselnya. Zi membuka pintu kamar menuju dapur. Tenggorokannya terasa sangat kering, ia ingin minum. Tetapi, astaga! Tidak ada satu gelas pun yang bisa dipakai. Semua dalam keadaan kotor menumpuk di kitchen sink. Bercampur dengan piring, sendok dan peralatan dapur yang lainnya. Sisa-sisa nasi, lauk, tulang dan sayur menyatu di sana, menimbulkan aroma yang sangat tak sedap. Zi memutar kepalanya, melihat sekeliling. Meja makan, kompor, lantai dan tempat sampah, semuanya belepotan terkena sisa-sisa makanan. Tak ada yang bersih. Menggelikan! Semut, kecoak, tikus bersama kotorannya yang menyebar ke mana-mana. Ampuuuuunn … Pekiknya dalam hati. Dengan rasa jijik, Zi mencuci satu gelas saja. Mengambil air minum, meneguknya dan mencuci kembali. Digantungkan pada rak piring. Ia lalu menuju kamar mandi, buang air kecil. Dilihatnya lagi sekeliling ruangan itu. Lantainya kotor, juga dindingnya. Ada tempat sampah di dalamnya, tapi tetap saja sampahnya berserakan. Ada bungkus bekas shampo, deterjen, sabun batangan, pasta gigi, serta puntung rokok yang dibuang sembarangan di sekitar area lubang pembuangan air. Zi merasa jijik menapakkan kakinya yang telanjang. Ia mencari sandal. Ya Tuhaaaaann … Sekali lagi, Zi memekik dalam hati. Semua ruangan tak ada yang rapi. Semua barang berantakan tidak pada tempatnya.
      
Tak seperti kemarin, saat Faizal mengajaknya ke sekretariat salah satu organisasi mereka. Tempatnya bersih dan rapi. Zi tidak menyangka kondisi sekber akan seperti itu. Dengan gambaran sebuah rumah desa yang besar, tinggi dan luas. Di sisi kiri dan kanannya masing-masing ada lima kamar, seperti kost-kost-an. Di tengahnya, los selayak aula untuk pertemuan besar. Lalu paling ujung ada dapur, kamar mandi, serta tempat menjemur pakaian. Pastilah tempatnya menyenangkan. Zi benar-benar salah menduga, karena ia baru sampai pada malam hari, masuk kamar, lalu tidur.
      
Suasana seperti itu bukan pertama kali ia temui di beberapa daerah. Meski demikian, Zi tetap saja merasa tak nyaman. Dan setiap kali ia menanyakan alasannya, hampir semua memiliki jawaban yang sama: Ya, maklumlah, namanya juga orang banyak.

Jawaban yang salah, menurutnya. Jawaban yang paling tidak ia sukai. Jawaban yang paling mudah diucapkan. Dijadikan alasan untuk pembenaran. Sebab bersih tidaknya sebuah rumah atau ruangan tidak tergantung pada berapa banyak penghuninya. Melainkan berapa banyak orang yang sadar tentang kebersihan. Masalahnya ada di masing-masing kepala mereka. Rumah yang besar, banyaknya jumlah penghuni, tidak menjadi masalah jika mereka bekerjasama. Bergotong royong. Bukankah dengan gotong rotong, pekerjaan yang berat menjadi ringan? Atau paling tidak mereka bertanggung jawab terhadap diri mereka masing-masing. Melayani dirinya sendiri. Membersihkan gelas dan piringnya sendiri. Hal-hal yang kecil adalah dasar. Menjadi penentu saat besar. Jika yang kecil-kecil sudah dikuatkan, akan kuat pula saat besar. Cita-cita menuju masyarakat sosialis adalah masyarakat yang bergotong royong. Masyarakat yang saling tolong menolong. Sosialisme Indonesia adalah Pancasila. Seperti usulan Bung Karno yang pernah disampaikan di depan BPUPKI tentang Pancasila, bahwa Pancasila jika disederhanakan akan menjadi Trisila. Lalu Trisila jika disederhanakan menjadi Ekasila. Dan Ekasila itu adalah gotong royong. Jadi Pancasila ya gotong royong. Selalu mengandalkan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, sama saja tidak adanya upaya untuk menghapuskan penindasan. Merupakan wujud penindasan dari hal yang paling kecil. Paling sederhana. Gotong royong tidak hanya mengandalkan orang lain. Gotong royong tidak perlu menunggu. Tapi membadankan diri. Bagaimana mereka bisa menyapu debu-debu di luar sana, jika mereka tidak mampu menyapu kotoran di rumah sendiri. Hanya orang-orang yang setia pada hal-hal kecil lah yang akan setia melakukan hal-hal besar, dimana dalam melakukan setiap pekerjaannya mereka tidak butuh penonton. Semua dilakukan karena terbiasa.     
      
Zi jadi ingat markas pusat, tempat ia dan beberapa kawannya tinggal menetap. Tempatnya bersih, rapi, sedap dipandang mata. Harusnya mereka menjadikan itu sebagai teladan. Di sana sengaja tidak mengambil seorang pekerja rumah tangga, dengan alasan agar masing-masing orang memiliki tanggung jawab terhadap tempat yang mereka tinggali. Berdasarkan hasil rapat dan kesepakatan bersama, terbentuklah kepala rumah tangga yang mengatur pembagian tugas atau piket. Tetapi pembagian tugas itu tetap tidak menghapuskan kewajiban setiap orang untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Pakai gelas ya cuci gelas. Pakai piring ya cuci piring. Piket yang dilakukan oleh beberapa orang itu hanya mengambil pekerjaan yang lebih besar di luar tanggung jawab masing-masing orang terhadap dirinya. Misalnya membersihkan ruangan, memasak, mencuci tempat makanan baik nasi, lauk mau pun sayur, serta membersihkan kamar mandi. Jika ada anggota kelompok yang kebetulan bertugas ke luar kota atau sedang ada pertemuan di pagi hari, ya sisa kelompok yang di markas lah yang menjalankan piket. Zi bahkan kerap menawarkan jasa untuk belanja ke pasar pada kelompok mana saja yang sedang kebagian piket jika ia sedang berada di markas. Hitung-hitung olah raga, jalan-jalan pagi. 
      
Memang dibutuhkan ketegasan untuk hal-hal yang seringkali dianggap sepele. Contoh lain di markas pusat, seperti saat beberapa orang sedang mengadakan rapat. Setelah acara itu selesai dilakukan, masing-masing orang akan mencuci sendiri gelas minumnya. Tak peduli itu pimpinan atau bukan. Membersihkan meja bersama-sama, membuang bungkus bekas makanan atau minuman ke tempat sampah, serta merapikan kembali kursi-kursi. Sehingga yang semula bersih dan rapi, kembali ke asalnya. Bersih dan rapi lagi.
      
Bekerja ya bekerja. Berjuang ya berjuang. Sibuk ya sibuk. Tetapi bukan berarti mengabaikan kebersihan dan kerapian, jika memungkinkan untuk dilakukan. Dengan ruangan yang bersih dan rapi, akan mendatangkan energi positif yang menyegarkan pikiran saat bekerja.
      
Pada akhirnya, semangat gotong royong hanya berhenti pada seruan saja. Menjadi sekedar kalimat yang hanya digerakkan oleh lidah ketika tidak direalisasikan dengan tindakan nyata. Sejatinya, perlu diserukan terlebih dahulu kepada diri sendiri, agar terbangun semangat gotong royong yang murni dari dalam diri. Itulah pondasi yang terkuat.
      
Pada pucuk pagi, ditemani daun-daun pohon yang manja dibelai angin, Zi membatin … Indah tak selalu gemerlap. Indah tak harus mahal. Indah tak hanya perpaduan warna warni yang memikat. Sebuah ruangan yang bersih dan tertata rapi adalah salah satu keindahan

***

      
“Oke, kawan-kawan … sampai tiga jam ke depan, kita akan membahas tentang “Kelas-kelas Sosial dan Perjuangan Kelas” berdasarkan pandangan Doug Lorimer. Apakah yang disebut kelas-kelas sosial itu? Mengapa muncul kelas-kelas dalam perkembangan masyarakat? Bagaimana kedudukan dan hubungan antar kelas dalam kehidupan sosial kita? Jawaban yang tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membawa kita pada pemahaman tentang hakekat gejala-gejala sosial yang penting di jaman modern, seperti negara, hubungan-hubungan politik dan kehidupan ideologis. Pendekatan kelas yang meng-asumsikan bahwa kehidupan masyarakat itu terbagi ke dalam kelas-kelas, merupakan salah satu prinsip metodologi Marxisme yang paling mendasar. Nah, sebelum aku jelaskan lebih lanjut dan kita diskusikan bersama, baiknya kawan-kawan baca dulu, aku beri waktu atau … dibaca langsung satu orang, yang lain mendengarkan, begitu? Bagaimana menurut kawan-kawan?”
      
“Dibaca langsung saja.” Kata salah seorang pemuda.
      
“Bagaimana, yang lain setuju?”
      
“Setujuuu …” Mereka serentak menjawab.
      
“Oke, siapa tadi yang usul?”
      
“Saya.” Pemuda itu mengangkat tangan.
      
“Kenalkan namamu.”
      
“Nama saya, Deni.”
      
“Ya sudah, kalau begitu Kawan Deni yang baca, ya? Baca yang Romawi satu dulu, Konsep Tentang Kelas Sosial.”
      
“Siap!” Jawab pemuda itu, lalu membaca, “Kelas sosial adalah pengelompokan yang ada dalam masyarakat. Namun ada pengelompokan masyarakat yang tidak berdasarkan kelas. Pengelompokan itu misalnya, berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan, pekerjaan dan sebagainya. Beberapa di antara pengelompokan itu ada yang didasarkan atas pengelompokan fisik, dalam kurung, usia, jenis kelamin, ras. Dan ada juga penggolongan yang bersifat sosial, dalam kurung, kebangsaan, pekerjaan. Pembedaan-pembedaan tersebut, dilihat dari segi politik, sebenarnya tidak dengan sendirinya menyebabkan perbedaan-perbedaan sosial, dan hanya di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu saja, maka pembedaan tersebut bisa dikaitkan dengan ketimpangan sosial. Alhasil, ketimpangan yang didasarkan pada ras, sesungguhnya lebih bersifat historis atau menyejarah ketimbang alami. Pengelompokan rasial sendiri merupakan kategori sosial, bukan kategori biologis. Pengelompokan berdasarkan ras, muncul karena ada praktek sosial kapitalisme yang memuja-muja perbedaan fisik manusia, dalam kurung, biasanya merupakan perbedaan warna kulit, yang menganggap bahwa unggul dan rendahnya nilai-nilai sosial itu berasal dari perbedaan fisik tersebut. Akibatnya, muncul pembenaran terhadapnya, juga misalnya ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin, yang sebenarnya lebih disebabkan oleh fakta-fakta historis atau kesejarahan ketimbang fakta-fakta alam. Pada tahap awal perkembangan sejarah, yakni selama “sistem komunal primitif”, kaum perempuan memainkan peranan penting atau pimpinan di tengah masyarakat. Namun peran kepemimpinan itu lambat laun pudar seiring dengan terbagi-baginya masyarakat ke dalam unit-unit keluarga yang dipisahkan satu sama lain berdasarkan pemilikan pribadi ………
      
Suasana menjadi khidmat. Para kader sedang serius mendengar, menunduk, mengamati kertas foto copy yang berisi materi pendidikan. Kegiatan itu dilakukan di sekretariat bersama, tempat Zi tinggal sementara bersama beberapa kawan seperjuangannya.

~ Bersambung ~


(Casablanca, 12 Februari 2014)

Theme Song: (Kotak - Kecuali Kamu) https://www.youtube.com/watch?v=cccW6vIPGzQ


 
Blogger Templates