Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Tuesday, March 25, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 14)



“Dari peperangan antar komune inilah, lahir klas dalam masyarakat. Karena komune yang kalah, kemudian dijadikan budak dan prajurit perang oleh komune yang memenangkan peperangan. Dan harta kolektif milik komune yang kalah, menjadi harta milik pemimpin komune. Sebagian dibagikan kepada para prajuritnya. Pemimpin komune yang menang perang menjadi tuan budak. Peperangan yang marak terjadi antar komune mendorong adanya perubahan jaman. Nah, dari sinilah fase perkembangan masyarakat memasuki jaman perbudakan. Ada pertanyaan sampai di sini?”

Tidak ada yang menjawab …

“Ya sudah, kalau begitu kita lanjutkan ke jaman perbudakan. Pada fase ini, perempuan tidak lagi mendominasi dan memimpin dalam komune. Sebagian besar dari mereka berada dalam klas budak yang tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri. Artinya, perempuan setara dengan barang. Penindasan terhadap perempuan dapat dilihat pada aspek memposisikan perempuan sebagai barang milik pribadi. Barang milik pribadi siapa? Hayo … siapa yang bisa jawab?”

“Milik pemimpin komune.”

“Ya! Betul sekali. Kenapa?” Suara tegasnya, membuat satu dua orang yang terlihat ngantuk, tersentak.

“Karena perempuan adalah budaknya.”

“Ya! Benar! Bahkan dalam hubungan seks pun diatur. Mereka dilarang melakukan hubungan seks dengan orang lain, selain dengan kepala komune. Tetapi, kepala komune bebas berhubungan seks dengan semua budak yang dimilikinya. Nah, praktek inilah yang mengilhami terjadinya keluarga monogami atau poligami yang bergaris keturunan laki-laki atau patrilineal. Bahkan para budak lelaki yang hendak menikahi budak perempuan, wajib menyerahkan terlebih dahulu calon istrinya, kepada tuan budak untuk ditiduri. Selain dimiliki untuk memuaskan hasrat seks tuan budak, perempuan juga diberi beban pekerjaan mengolah pertanian, peternakan dan meramu makanan. Meskipun pekerjaan itu dilakukan oleh para budak yang sebagian besar adalah perempuan, mereka tetap tidak memiliki hak apapun atas dirinya. Bahkan, tidak setiap hari mereka mendapatkan makanan. Pada jaman ini pula, muncul kasta dalam kehidupan masyarakat. Siapa yang memiliki budak terbanyak, dialah yang menjadi pemimpin.”

Zi menjadi intens melakukan pendidikan di setiap hari Minggu di berbagai tempat, di pusat kota. Giliran  Rini yang mendapatkan tugas mengisi pendidikan ke beberapa daerah. 

***

“Ini laporan penjualan kemarin. Ini pengeluaran, ini pemasukan. Kalau ini bukti pembelian. Semua nota-nya sudah aku tempelkan di lembaran ini, dan ini sisa barangnya. Modal awalnya kan segini, hasilnya jadi segini. Karena kemarin sebagian uangnya sudah diambil panitia untuk pengeluaran di sana, jadi tinggal segini sisanya.”

Zi sedang menjelaskan laporan keuangannya pada Octo, salah satu kawannya yang menjadi panitia.

“Ini laba tertunda, maksudnya apa?”

“Ada beberapa kawan yang berhutang rokok, belum bayar. Ini nama-namanya.”

“Oh …”

Beberapa hari yang lalu, Zi mendapatkan tugas membuka kantin selama tiga hari di acara pendidikan kader pimpinan, yang dihadiri oleh seluruh kader pilihan dari berbagai daerah. Karena modalnya dari panitia, sehingga harus dikembalikan ke panitia. Keuntungannya digunakan untuk membayar sewa gedung plus penginapan, transport, serta konsumsi para peserta. Dari mereka, untuk mereka.

“Buat apa, Zi, begitu saja pakai repot-repot bikin laporan. Aku saja dulu tidak pakai begitu. Langsung aku serahkan saja uang hasil penjualan. Beres. Lagi pula, sisa barang kan buat kita-kita juga di sini.” Anis tiba-tiba nyeletuk.

“Ya, itu kau. Buat aku, tidak bisa begitu.” Tegas Zi menjawab.

Zi lantas teringat kejadian lama, sewaktu ia mendapatkan tugas mengantar nasi bungkus untuk para petani yang sedang melakukan aksi pendudukan di depan Gedung DPR. Karena nasinya berjumlah ratusan, maka ia diberi ongkos oleh ketua untuk naik taksi. Karena kebetulan waktu itu ada seorang kawan yang membawa mobil, Zi mendapatkan tumpangan gratis. Keesokan harinya, ongkos taksi itu dikembalikan kepada ketua.

“Kenapa kamu kembalikan uang itu? Kemarin kan ketua sedang keluar. Dia tidak tahu. Besok lagi, kamu simpan saja buat pegangan kamu.” Bisik Ima, salah seorang tamu yang sering datang ke markas.  

Zi tak menjawab. Ia hanya tersenyum pada kawan yang baru dikenalnya itu. Zi mengerti maksudnya, mungkin kasihan karena Zi orang baru di markas dan kebetulan baru keluar dari tempat kerjanya. Tetapi Zi tidak setuju dengan tindakan itu. Selama itu bukan haknya, maka harus dikembalikan pada yang berhak.

Teringat kembali waktu kecil, ketika ama-nya menyuruh Zi membeli obat di toko depan rumah. Kalau  tradisi masyarakat Cina dalam keluarganya, ama sama dengan nenek. Si ama kaget menerima obat beserta uang kembalian itu. Lama, si ama memandangi Zi penuh keheranan.

“Kenapa ama?”

“Kok kembaliannya segini?”

“Kan uang ama sepuluh ribu, kalau dikurangi dengan harga obatnya segitu, ya kembaliannya segitu.”

“Bukan. Maksud ama, apa kembaliannya tidak kebanyakan?”

“Tadi Zi sudah hitung, dan benar. Coba ama hitung lagi, mungkin ama yang salah.”

“Bukan, bukan begitu. Biasanya kalau Melly yang beli, harganya lebih mahal.”

Zi baru mengerti, kalau saudara sepupunya itu tidak jujur. Ia telah melakukan korupsi dalam bentuk kecil. Sejak kejadian itu, ama-nya lebih sering menyuruh Zi untuk belanja.  

Ya, terlalu banyak orang menyepelekan hubungan perkawanan atau kekeluargaan yang berkaitan dengan keuangan. Mereka cenderung memikirkan hal-hal besar. Keuangan dalam jumlah besar, tanggung jawab yang besar. Mereka lupa pada hal-hal kecil, sehingga hanya pandai menunjuk orang lain. Berteriak anti korupsi, gantung koruptor, bunuh koruptor, tetapi mereka tidak memahami dasar-dasar korupsi. Harusnya bertanya terlebih dahulu pada diri sendiri. Pernahkah mereka menggunakan uang seseorang sekedar untuk membeli rokok sebatang, atau minuman, atau makanan kecil tanpa ijin? Pernahkah saat diberi tugas belanja, mereka melebihkan angka dari harga pembelian yang semestinya? ngentit dalam bahasa Jawa. Atau … pernahkah secara diam-diam, mereka tidak mengembalikan sisa uang belanja milik orang lain? Jika jawabannya pernah, maka mereka layak dinyatakan tidak lulus dalam ‘ujian dasar korupsi’. Karena koruptor yang sudah memakan uang rakyat berjumlah milyaran atau trilyunan rupiah itu, berasal dari korupsi kecil-kecilan di lingkungannya masing-masing. Karena semua masalah dalam negara, berangkat dari rumah setiap warga. Akarnya, hanya pada ketidak-adilan.

Demikian juga dalam penggunaan waktu. Begitu gampangnya orang-orang di negeri ini dengan sengaja mengulur waktu dari yang sudah mereka sepakati. Yang sedang menunggu, dengan santai berkata,”Biasa … jam karet …” Sedangkan yang ditunggu tidak merasa bersalah, sehingga hal itu tidak dianggap sebagai tanggung jawab. Atau dengan mudah berkata ‘maaf’, tetapi kesalahan itu terus diulangi. Berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan atau kesempatan, hanya karena menunda waktu? Berapa banyak orang yang kehilangan kepercayaan, karena tidak tepat waktu? Sedangkan para kapitalis begitu disiplin dan sangat menghargai waktu. Tak sedetikpun mereka lewatkan untuk terus meracuni pikiran-pikiran. Mengadakan pendidikan psikologi secara masif dan konsisten pada pengikutnya untuk mengembangkan kualitas diri, menyaingi kapitalis lain, serta menyerang psikologis orang-orang di sekitarnya, sehingga dengan cepat kapitalisme menyebar, meluas dan mengakar.

Transparansi dan disiplin waktu, adalah modal kepercayaan. Sekecil apapun mengambil hak orang lain dengan sengaja tanpa ijin, adalah korupsi.

***

Zi menghentikan aktivitasnya sejenak di depan komputer, ketika Uda’ keluar membeli makanan. Menyandarkan tubuhnya di kursi, Zi merasakan nyaman. Seperti berada dalam dekapan Uda’. Aneh, hanya karena jaket Uda’ ditanggalkan pada tempat duduknya, yang tak biasanya diletakkan di situ.

Juga ketika Uda’ menitipkan laptop di kamarnya, ia berteriak girang dalam hati. Dipandangi terus benda itu. Hanya sebuah benda, kenapa bisa membuatnya damai? Rasanya, seperti ada Uda’ di dekatnya.

Meski begitu, Zi tetap bersikap tenang. Dibiarkan tatapan Uda’ terus menghujaninya. Bahkan Uda’ yang selalu ingin menunjukkan kedatangannya dengan menyapa semua orang, Zi pura-pura tak mendengar. Tak merubah posisi tubuhnya sedikitpun, atau sekedar menggulirkan bola matanya. Uda’ kini jadi peduli dengan aktivitas Zi di depan komputer. Pura-pura lewat, lalu melirik sebentar ke layar komputernya.

Kadang … aku tidak perlu menggunakan mataku untuk melihat, ketika seluruh tubuhku telah menjadi radar yang mampu menangkap setiap geraknya. Tapi entah … apakah yang aku maknai itu seratus persen benar? Bahkan ada yang benar-benar tak mampu kuartikan. Setiap aku memiliki agenda perjuangan dan harus meninggalkan markas, mata Uda’ tak lepas memandangiku hingga aku menghilang. Padahal dulu, hal itu tak pernah sedikitpun mengusiknya. Kami datang dan pergi seperti angin lalu. Apakah itu artinya, Uda’ tak rela kehilangan aku barang sejenak? Atau Uda’ ingin mengantar kepergianku? Tentu menjadi aneh kalau tiba-tiba saja Uda’ menawarkan diri. Apa Uda’ ingin aku memintanya? Ah, itu juga tak mungkin kulakukan selama aku masih ingat. Dua tahun yang lalu, Uda’ pernah menolak ketika aku memintanya mengantar beli elpiji. Uda’ hanya memberikan kunci motornya.

Imagine Me Without You mengalun pelan dari Jaci Velasquez menghantar tidurnya ...

In my life you're all that matters 
In my eyes the only truth I see 
When my hopes and dreams have shattered
You're the one that's there for me …

 
~ Bersambung ~


(Casablanca, 19 Maret 2014)

Theme Song: (Jaci Velasquez – Imagine Me Without You) https://www.youtube.com/watch?v=R-TULb_gUg4 

Photo Source: Google Images



Monday, March 17, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 13)


“Metode bercocok tanam itu berawal dari penemuan biji sisa makanan yang ternyata bisa tumbuh dan terus tumbuh hingga menjadi pohon, berbunga, lalu berbuah. Dan pada perkembangannya, proses bercocok tanam terbukti lebih efektif daripada berburu. Sejak itu, lahir kehidupan baru, dari nomaden atau berpindah-pindah menjadi maden atau menetap. Pada jaman ini, perempuan memiliki peranan yang penting dalam upaya menjinakkan dan mengelola alam. Perempuan kemudian lebih berdominan di kelompok, karena perempuan-lah yang menjadi tulang punggung dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi komune. Dominasi perempuan dalam hubungan produksi kemudian berkembang pada dominasi dalam berbagai aspek kehidupan komune. Dalam pengambilan segala keputusan, setiap komune memiliki sebuah dewan permusyawaratan. Itu juga didominasi oleh perempuan. Dan bahkan banyak sekali perempuan yang menjadi pimpinan komune. Pada fase inilah awal kemunculan pola matrilineal dalam komune, dimana garis keturunan komune berdasarkan pada garis keturunan perempuan atau ibu yang menjadi pemimpin dalam komune. Pada fase ini juga mulai ditemukan baju dari kulit pohon dan binatang, rumah beratap dedaunan, serta mata bajak. Selain itu, ditemukan juga pengobatan dan munculnya orang-orang yang berprofesi sebagai dukun. Nah, ketika buruan semakin sulit diperoleh, pekerjaan laki-laki beralih. Yang tadinya berburu, kemudian terlibat dalam pekerjaan bercocok tanam serta mengembangkan metode beternak hewan yang ditemukan juga oleh perempuan. Tetapi, karena laki-laki jauh lebih mahir menggunakan alat kerja, dari pengalamannya selama berburu daripada perempuan, maka perlahan-lahan perempuan mulai terdesak oleh laki-laki dalam hubungan produksi. Baik itu pertanian, maupun peternakan. Selain itu juga karena perempuan banyak disibukkan oleh proses reproduksinya, seperti hamil, melahirkan dan menyusui. Akibatnya perempuan kembali mendapatkan tugas meramu, karena pekerjaan itu lebih mudah dikerjakan sambil merawat anak. Tetapi waktu itu, belum ada diskriminasi terhadap perempuan.”

Zi mendengar suara gaduh di atas genteng. Matanya diarahkan ke luar ruangan. Hujan turun lagi, kali ini disertai angin hingga memuncratkan sebagian air hujan ke dalam kelas. Zi berjalan menuju pintu, menutupnya.

“Oke, dilajut lagi ya … Pada akhirnya, muncullah ikatan yang dinamakan keluarga atau family. Mereka yang memiliki banyak anggota keluarga, otomatis memiliki hasil tani yang banyak. Sebaliknya, mereka yang memiliki sedikit anggota keluarga, memiliki hasil tani yang sedikit. Perubahan alam yang membuat para keluarga memiliki hasil tani yang sedikit, mulai kekurangan bahan pangan, sehingga mereka meminjam pada keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga. Jika peminjam tidak bisa membayar pinjamannya, maka alat produksi serta lahannya disita oleh kelurga yang memberi pinjaman, dan peminjam menjadi hamba untuk menggarap tanah bekas miliknya. Pada fase ini juga pemikiran manusia mulai berkembang, sehingga ditemukannya tekhnologi. Mereka yang memiliki keahlian khusus membuat alat, mulai meninggalkan pertanian dan hanya menukar alat buatan mereka dengan hasil pertanian. Nah, berkembangnya sektor pertanian, mengakibatkan persaingan antar komune untuk memperebutkan lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Terjadilah perang antar komune. Dan komune yang memenangkan peperangan adalah komune yang memiliki banyak laki-laki dan dipimpin oleh laki-laki. Kenapa? Karena laki-laki lebih mahir dan berpengalaman dalam menggunakan alat kerja serta senjata untuk berburu, bercocok tanam dan beternak. Nah, dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa kekalahan perempuan terhadap laki-laki dalam penguasaan atau menggunakan alat-alat produksi, bukan semata-mata karena perempuan tidak mampu. Tetapi karena kebiasaan saja. Kebiasaan perempuan melakukan tugas yang ringan, membuat mereka kesulitan melakukan tugas yang berat. Coba kalau tugas itu dibalik. Laki-laki yang bertugas meramu, lalu perempuan yang berburu atau mengerjakan pertanian, maka perempuan-lah yang lebih mahir menggunakan alat-alat kerja dan senjata dibandingkan laki-laki. Paham tidak sampai di sini?”

“Pahaaaaamm …”

“Jadi kenapa banyak orang yang menganggap perempuan itu lemah atau perempuan memang lemah? Karena perempuan dilemahkan sejak laki-laki kesulitan menggunakan metode berburu tadi. Juga karena proses reproduksi perempuan, sehingga perempuan diberi tugas yang ringan-ringan saja dan laki-laki yang mengerjakan pertanian serta peternakan. Mengerti ya? Atau ada pertanyaan?”

Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya manggut-manggut saja. Sementara hujan di luar semakin deras, beberapa dinding kelas basah terkena rembesan air dari atap yang bocor.

***

Bulan ini, bulan penuh hujan. Bagi masyarakat Tionghoa, hujan dengan intensitas tinggi yang mengiringi perayaan Imlek, pertanda berkah. Air adalah sumber kehidupan. Air adalah rejeki. Maka bulan ini, menjadi bulan yang penuh berkah bagi mereka. Seperti perasaan Zi yang dihiasi bunga-bunga bahagia, setelah bertahun-tahun dalam kesakitan. Pendekatan yang dilakukan Uda’ selama berbulan-bulan secara konsisten, telah meluluhkan hatinya. Seperti air yang menetesi batu berulang-ulang dengan fokus yang sama, mampu merubah bentuknya.

Jika beberapa lelaki sebelumnya tak mampu menggeser kedudukan Mas Wi dari hatinya, berbeda dengan Uda’. Meski lelaki-lelaki sebelumnya sempat menimbulkan rasa, namun pada akhirnya hanya meninggalkan mual di perutnya. Ada yang sikapnya berlebihan, tidak menjadi dirinya. Ada yang cengeng, mudah menyerah. Lelaki kekanak-kanakan, lelaki-lelaki yang kalah, harus menyingkir dari pikirannya. Zi membutuhkan lelaki dewasa yang tangguh seperti Uda’, yang mampu menguasai dan menjadi dirinya sendiri. Uda’ tak hanya seorang pejuang yang loyal pada gerakan, ia juga memiliki pribadi yang menawan, serta banyak melaksanakan pesan-pesan papa-nya.

Seperti dulu, sewaktu Zi baru tinggal di markas. Uda’ yang sedang serius di depan laptopnya, tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan berteriak,”Woooyy … air di atas luber! Bayarnya mahal itu!” Karena tidak ada yang menjawab, Uda’ segera menaiki tangga menuju lantai atas, lalu menutup kran itu.

Juga saat ia dan kawan-kawannya berkumpul di sebuah lapangan. Zi melihat Uda’ mencari tempat sampah, hanya untuk membuang bungkus kecil bekas permennya. Dan ketika tak ditemukan tempat sampah di dekatnya, Uda’ menyimpan bungkus permen itu ke dalam kantong celananya.

“Apa yang kau lakukan, jika kau memiliki sampah tetapi tak kau temukan tempat sampah?”

Zi kembali teringat pertanyaan papa-nya, semasa ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

“Kalau lokasinya bersih, Zi akan menyimpan sampah itu sampai menemukan tempat sampah.”

“Kalau lokasinya bersih? Jadi, kalau lokasinya kotor atau banyak sampah, kau akan membuangnya di sana?”

Zi terdiam, tak bisa menjawab. Dari pertanyaan papa-nya, ia merasa ada yang salah dengan jawabannya.

“Kalau kau membuang sampahmu di lokasi yang kotor tapi bukan tempat sampah, itu artinya kau ikut andil mengotorinya. Kau menambah banyak sampah yang ada di sana.”

“Jadi, meskipun lokasi itu kotor, Zi tetap harus menyimpan sampah itu sampai menemukan tempat sampah, ya papa.”

“Ya. Jika kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita.”

Suara tegas papa-nya, mengingatkan Zi pada Bapak Putu Oka Sukanta. Seorang penulis sastra yang mendapatkan penghargaan Award Hellman/Hammett – Human Rights Watch, New York 2012. Pertemuannya dengan Bapak yang sudah berusia 75 tahun itu, saat ia menghadiri acara “Dengar Kesaksian” yang diselenggarakan di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta. Bapak yang masih tampak sehat dan selalu terlihat bugar itu, sedang bersamanya di sebuah taman, menikmati snak pagi yang disediakan oleh panitia.

“Lihat itu! Perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab!” Bola matanya reflek mengikuti arah telunjuk Pak Putu. Beberapa gelas bekas kopi dan teh, serta piring bekas snak dari Styrofoam bergeletakan di sembarang tempat. Zi tersenyum. Pak Putu melanjutkan,“Padahal di situ sudah disediakan tempat sampah. Apa susahnya tinggal jalan sebentar dan memasukkan ke sana? Itu aktivis-aktivis! Masih muda. Melayani dirinya sendiri saja, tidak mampu!” Pak Putu lalu melanjutkan makannya.

Uda biasanya pulang sore. Gara-gara hujan tak berhenti, Uda’ tertahan di markas hingga larut malam selama berhari-hari. Bahkan hingga pagi. Kamarnya tiba-tiba bocor, Zi tidur di ruang rapat, meletakkan kepalanya di meja komputer. Hingga dini hari dan ia terbangun, Uda’ masih berada di ruangan yang sama. Masih bekerja di depan laptopnya. Itu juga kehebatan Uda’. Seperti yang banyak terjadi di mana-mana, saat sepasang anak manusia berada di satu ruangan dan hanya berdua. Tanpa rasa, tanpa ada hubungan atau ikatan, seks kilat bisa terjadi atas nama birahi yang tiba-tiba menyerang. Tapi Uda’ tidak begitu. Uda’ bukan tipe laki-laki penggoda. Meski matanya kerap menatap tajam, Zi tak pernah menemukan tatapannya yang sarat nafsu. Dalam banyak pengalaman, membuatnya mampu membedakan tatapan seorang teman, tatapan yang menyimpan rasa, dan tatapan yang mengandung birahi. Uda’ mampu mengendalikan pikirannya.

Ya, di dalam setiap otak manusia, ada yang dinamakan otak primitif, dimana otak itu yang selalu mendorong manusia untuk melakukan nafsu hewaninya. Salah satunya adalah melakukan hubungan seksual. Dan banyak sekali laki-laki yang gagal mengendalikan keinginan itu, sehingga seringkali terjadi kasus perkosaan terhadap perempuan. Lalu pakaian perempuan yang dijadikan alasan. Disalahkan. Padahal dengan pakaian tertutup pun, perkosaan tetap terjadi.

Juga masalah pelacuran. Beberapa orang yang fanatik terhadap agama tertentu, menginginkan kompleks prostitusi ditutup. Di lain sisi ada pembelaan, karena prostitusi dianggap korban kemiskinan. Memang, himpitan ekonomi menjadi salah satu faktor yang berkorelasi dengan kapitalisme. Tetapi kenyataannya, tidak semua pelacur hidupnya miskin. Yang sudah kaya, tetap saja melacur. Seperti pelacur panggilan, yang biasa melayani para pejabat atau para cukong. Maka, untuk mencari akar pelacuran yang sebenarnya bukan pada kemiskinan, melainkan pada laki-laki. Jika setiap laki-laki mampu mengendalikan dorongan otak primitifnya, tak perlu repot-repot menutup kompleks pelacuran. Dan Satpol PP tak perlu mengadakan razia bagi para PSK (Pekerja Seks Komersial). Karena dengan sendirinya, tempat-tempat pelacuran menjadi sepi pengunjung. Dan jika pelacur sudah tidak laku lagi, tidak akan ada perempuan yang mau menjajakan diri.

Di luar masih hujan. Uda’ pasti lapar, pikirnya. Zi pergi ke dapur, berniat membuat makanan kecil. Setelah menyalakan kompor dan meletakkan penggorengan, Zi mengambil dua buah telur dan roti tawar. Sambil menunggu telur matang digoreng, ia mengolesi roti dengan margarine. Rencananya, roti itu akan diisi telur dadar, lalu dimasukkan ke toaster.  

Beberapa hari ini, Zi merasa bahagia. Tetapi … banyak warga yang berduka. Mereka dievakuasi karena banjir. Sebuah ironi kehidupan.

Terus … apa aku harus mengabaikan rasa itu, yang sudah lama tak menyapaku? Ah, penyebab banjir juga kesalahan mereka. Banyak manusia yang tidak peduli menjaga alam sekitarnya. Dari pimpinan hingga rakyatnya. Dari pejabat hingga warganya. Para pemilik kekuasaan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya. Seenaknya membabat hutan, mengeluarkan ijin resmi, kong kali kong dengan para cukong. Para pemilik modal dengan semaunya mendirikan bangunan tanpa mempedulikan tempat pembuangan air. Daerah resapan yang seharusnya tidak boleh didirikan bangunan, justru disulap menjadi kota modern, berkat ijin pejabat setempat. Para Insinyur dibuat bodoh, demi rupiah yang masuk ke kantong-kantong penguasa. Bagaimana air tidak meluber ke mana-mana? Warganya pun begitu, membuang sampah sembarangan. Dari selokan hingga sungai-sungai besar. Gulungan kasur, kursi, meja, rak sepatu, rak piring. Belum lagi sampah kecil lainnya, apapun ada di sana. Juga di jalan raya, dari mobil mewah hingga angkutan umum. Dengan seenaknya para penumpang melempar sampah ke jalanan. Dari tahun ke tahun, dari musim hujan ke musim hujan berikutnya, selalu begitu. Tak ada perubahan, tak dijadikan pelajaran. Ah, entahlah … aku tidak bisa menyembunyikan perasaan itu. Aku senang melihat hujan. Aku senang melihat Uda’ lebih lama di sini …  

Roti bakar sudah jadi. Satu untuknya, satu untuk Uda’.

~ Bersambung ~ 


(Casablanca, 12 Maret 2014) 

Theme Song: (Utopia - Hujan) http://www.youtube.com/watch?v=G4nNBckyZQU 

Photo Source: Google Images

Sunday, March 16, 2014

' tak peduli '


aku tak peduli pada angin yang tiba-tiba diam
tak mengacuhkan udara
yang menggerakkannya
yang menyuarakannya
karena aku telah lama bisu
menyimpan segudang cerita
yang ia suguhkan kemarin
untuk kulukis dicakrawala

aku tak peduli pada angin yang tiba-tiba diam
karena aku tak melekatkan diri
aku tak pernah sendiri

aku bersama Gusti-ku yang Maha Sakti 



(Casablanca, 16 Maret 2014) 




Thursday, March 13, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 12)


Zi tampak sendirian di sebuah warung kopi. Tempat ia dan beberapa kawannya di gerakan biasa nongkrong. Warung sederhana di pinggir jalan itu, tak jauh dari markas. Di sini juga ia biasa membuat janji dengan kawan-kawannya yang lain. Zi memilih tempat ini, karena menurutnya, inilah salah satu cara menghidupkan ekonomi rakyat atau pemodal kecil. Di samping itu, Zi bisa berbaur dengan masyarakat bawah, seperti sopir angkutan, sopir bajaj, tukang ojeg, atau warga kampung setempat. Mengajak diskusi ringan seputar permasalahan mereka, sesekali Zi mengajak mereka bicara tentang kondisi negara saat ini. Dari sana, ia mengetahui bagaimana situasi nasional itu dilihat dari kaca mata mereka. Dari sana juga ia tahu, apa harapan mereka untuk bangsa, negara dan pemimpin Indonesia di masa depan. Sedikit demi sedikit, Zi mencoba memberi pencerahan kepada mereka tanpa terkesan mendikte, sehingga semua orang yang ada di sana, larut dalam obrolan yang mengalir.

Sambil menghisap rokoknya, memandangi jalanan yang padat kendaraan. Jam kerja sudah berlalu sejak tadi, namun masih saja jalanan itu menggambarkan kemacetan. Zi masih sendirian. Tak biasanya pada jam-jam begini, warung sepi. Warung-warung kopi rakyat yang mulai terpinggirkan oleh usaha milik para pemodal besar, yang menyediakan tempat tongkrongan di mall-mall serta super market dengan lebih nyaman. Menyamai keberadaan warung kopi rakyat dengan membuka cabang di mana-mana, seperti jamur di musim hujan. Mahasiswa, anak-anak sekolah, ibu-ibu gaul, serta buruh berkerah putih dan biru memilihnya sebagai tempat yang dianggap lebih bergengsi. Maka tumbuh suburnya usaha para pemilik modal besar atau kapitalis asing itu, tak lain karena dukungan mayoritas masyarakat Indonesia sendiri. Beberapa aktivis yang dianggapnya sadar atas penjajahan di negerinya itu, bahkan terlihat juga di sana. Sedang berkumpul bersama kawan-kawannya. Dari sana, Zi bisa menilai, betapa banyaknya orang yang hanya pandai meniru. Berteriak anti kapitalis atau lawan imperialis yang selanjutnya patut dipertanyakan kesadarannya, ketika mereka lebih memilih untuk mendukung dan menguntungkan para pemilik modal. Seharusnya kaum sadar bisa menjadi teladan untuk menghidupkan warung kopi rakyat, sebagai tindak pencerahan terhadap mereka yang belum sadar tentang bentuk penjajahan di Indonesia saat ini. Jika kaum sadar mampu memenuhi warung-warung kopi rakyat, berkumpul dan berdiskusi di sana, serta menularkan kebiasaan itu, maka tak perlu susah-susah mengusir kapitalis. Mereka akan minggat dengan sendirinya dari negeri ini, jika usahanya bangkrut. Seperti beberapa mall yang sepi pengunjung, akhirnya ditutup karena merugi.

“Neng, ibu mau pindah, neng.” Suara Bu Sum, pemilik warung kopi itu, terdengar bersaing dengan deru mesin kendaraan di luar sana.

“Mau pindah ke mana, bu?”

“Belum tahu, neng. Ini juga lagi cari tempat.”

“Memang kontraknya sudah habis? Dan sudah tidak dikontrakkan lagi oleh pemiliknya?”

“Tempat ini bukan ngontrak, neng. Ini punya suami ibu. Warisan mertua.”

“Terus, kenapa pindah?”

“Ya, pindah sendiri saja. Bapak masih tetap di sini. Tetap buka bengkel dan tambal ban di depan kalau pagi, seperti biasa. Hanya ibu minta pisah sama bapak.”

“Memangnya ada apa, bu?”

“Ibu capek. Setiap hari diomeli terus sama bapak. Marah-maraaah saja kerjanya. Ngomongnya nggak pernah enak, bahasa-bahasa kotor setiap hari dikeluarkan. Padahal ibu cari duit sendiri, cari makan sendiri. Ikut bantu juga bayar listrik, sampah, keamanan. Belum biaya sekolah anak ibu yang kecil. Duit dari bapak, nggak cukup neng.”

“Terus, anak-anak ibu yang tiga orang itu kan sudah besar, sudah pada kerja. Tanggapan mereka bagaimana?”

“Ya mereka mendukung ibu. Untungnya anak yang kedua gajinya lumayan, ngerti sama ibu. Dia yang suka bantu, kasih uang kalau gajian. Mereka juga tahu bagaimana kelakuan bapaknya.”

“Lah, dulu memang bapak bagaimana, bu.”

“Dulu waktu ngejar-ngejar ibu, ya baik. Ibu memang janda, neng, waktu ketemu bapak. Anak ibu yang pertama kan dari suami sebelumnya. Nikah awal-awal, masih baik. Lama-lama ketahuan aslinya. Ya selama ini, ibu bertahan saja. Ibu kira nanti bisa berubah. Tapi sampai anak-anak besar, tetap saja begitu. Lebih-lebih sejak rajin sholat dan ikut pengajian, ibu semakin nggak ada benarnya, neng. Sepet mata ibu lihat muka bapak cemberut terus. Nggak ada cerianya, nggak ada senyum-senyumnya.”

“Masak ya nggak pernah bercanda, bu, sama anak-anaknya gitu?”

“Nggak pernah, neng. Sama anak-anaknya juga begitu. Apalagi kalau sama anak ibu yang perempuan itu. Benci sekali bapak. Padahal, itu anak perempuan satu-satunya.”

“Anaknya sendiri kan?”

“Iya, anaknya sendiri. Nggak tahu kenapa?”

“Ya … ibu. Zi nggak bisa nongkrong di sini lagi dong kalau ibu pindah.”

“Siapa tahu nanti ibu dapat tempat di dekat sini, kan nggak jauh juga dari tempat eneng.”

“Terus, bagaimana tanggapan bapak, waktu ibu minta pisah?”

“Ya melarang, terus jadi baik gitu. Tapi ibu ragu, neng. Siapa tahu baiknya cuma sebentar, lama-lama begitu lagi.”

“Ya, mudah-mudahan bisa diselesaikan baik-baik. Tetap semangat ya, bu. Oh ya, Zi mau balik dulu ah, bu. Ngantuk.”

Setelah membayar, Zi segera pergi meninggalkan warung kopi itu. Melewati sebuah lorong, ia berjalan menuju markas. Di sepanjang perjalanan, suara hatinya berceloteh …

Bagaimana ya, orang yang tiap hari marah-marah terus? Nggak pernah senyum. Apa nggak capek? Terus … bagaimana kalau tiba-tiba libidonya tinggi? Dia pasti butuh istrinya dong. Bagaimana cara meminta atau merayunya ya? Kalau dia memaksa, meskipun itu dilakukan pada istrinya sendiri, tetap saja itu dianggap pemerkosaan. Pasti Ibu Sum belum tahu. Dan masih banyak para istri yang belum mengetahui itu. Kalaupun tahu, apa dia mau melaporkan suaminya? Hmm … yang jelas-jelas di hajar sampai babak belur saja, banyak yang tidak mau melapor. Masih saja perempuan menyayangkan suaminya kalau ditangkap dan dipenjarakan. Apalagi yang menyangkut dirinya di atas ranjang. Kebanyakan perempuan menganggap itu aib, sehingga banyak sekali korban perkosaan yang lebih memilih bungkam …

***

Sekolah Dasar Negeri yang sudah menjadi langganan Zi dan kawan-kawannya mengadakan pendidikan, pagi ini disewa lagi. Dalam ruang kelas, tampak Zi sedang menggambarkan penjelasannya di papan tulis.

“Ini adalah Fase Perkembangan Masyarakat. Di sini ada Jaman Komunal Primitif, di sini ada Jaman Pertanian Kolektif Primitif. Lalu di sini Jaman Perbudakan, kemudian Jaman Feodal atau Pertanian Modern. Dan di sini, Jaman Industri.”

Semua peserta pendidikan, terlihat sibuk mencatat. Ada yang menulis di buku. Ada yang menulis di lembaran kertas. Ada juga yang menulis dibalik foto copy materi pendidikan.

“Pada jaman komunal primitif, posisi laki-laki dan perempuan sama. Mereka sama-sama berburu. Perempuan saat hamil pun, ikut berburu. Hanya saat usia kehamilannya tua hingga melahirkan saja, perempuan beristirahat. Setelah melahirkan, mereka kembali berburu. Tangan kiri menggendong anaknya, tangan kanan membawa tombak, mereka berlari mengejar buruannya. Nah, masyarakat komunal priminif hidup berkelompok atau disebut commune dan berpindah-pindah atau disebut nomaden. Mereka memenuhi kebutuhan hidupnya selain dengan metode berburu hewan, juga meramu sayuran dan buah-buahan. Dalam sebuah komune, harta benda atau hewan hasil buruan serta sayuran dan buah-buahan, dimiliki secara kolektif oleh anggota komune, kemudian dibagikan secara adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota. Dalam proses pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka, muncul kebutuhan untuk melakukan pembagian tugas. Perempuan yang memiliki siklus alami reproduksi, seperti hamil, melahirkan dan menyusui, menyebabkan mereka lebih banyak mendapatkan tugas meramu. Sementara laki-laki, berburu. Karena proses berburu pada jaman itu tidak ada kepastian waktu. Bisa sebulan, dua bulan, atau berbulan-bulan baru kembali ke komune, maka stok makanan mereka lama-lama menipis. Keadaan itu yang mendorong perempuan mengembangkan metode bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Jadi, yang menemukan sistim pertanian pertama kali adalah perempuan. Nah, dari sinilah, fase perkembangan masyarakat memasuki jaman pertanian kolektif primitif.”

“Hebat ya kak, perempuan jaman dulu.” Salah seorang peserta berkomentar.

“Sekarangpun masih hebat. Asal perempuan tidak merendahkan atau melemahkan dirinya, hanya karena terlahir sebagai perempuan. Asal perempuan yakin dan mampu menghebatkan dirinya, mereka bisa sejajar dengan laki-laki.”

Perempuan-perempuan pabrik itu melongo melihat gaya bicara Zi yang berapi-api.

“Masih ingat yang kita bahas tadi tentang gender? Apa yang membedakan laki-laki dan perempuan?” Zi melemparkan pertanyaan.

“Alat produksinya.”

“Ya, benar. Bukan jenis kelaminnya. Jangan salah, ya. Oke! Bisa kita lanjut ke jaman berikutnya, jaman pertanian kolektif primitif.”

Suasana kembali tenang. Para perempuan itu serius menyimak penjelasan Zi sambil sesekali mencatat dengan caranya masing-masing.

***

Malam Minggu di markas seringkali tampak sepi. Hanya Zi tak sendirian. Masih ada beberapa kawan yang tinggal, tak memiliki acara malam Mingguan. Seperti biasa, Uda’ tak kelihatan. Setiap hari Sabtu dan Minggu, Uda’ bekerja paruh waktu sambil melanjutkan kuliahnya. Tapi kalau tiba-tiba Uda' datang di Sabtu atau Minggu, jadi malu-malu begitu. Tidak berani menatap Zi yang tercengang melihat kedatangannya. Pandangannya dibuang ke sembarang arah, sedikit salah tingkah. Kalau Mas Wi? Saat ini masih berada di luar daerah. Tetapi dari dulu tak pernah kelihatan.

Sabtu malam, kenapa masih menjadi hari yang penuh cemburu baginya? Padahal dulu, setiap ia berbicara lama di telephon, Mas Wi selalu meledek,”Pacaran terus.” Setelah Zi mengutarakan perasaannya dan tahu tentang Mas Wi, keadaannya menjadi berbalik. Bukan lagi Mas Wi yang mencemburui dirinya.

Tapi akhir-akhir ini, ada sesuatu yang aneh. Setiap bibirnya yang sudah terbiasa memanggil nama Mas Wi, lalu bayang lelaki itu hadir tak lupa senyumnya, wajah Uda’ selalu mengikuti. Menyerobot masuk menutupi wajah Mas Wi. Terus bergantian saling menindih. Kedua bayang wajah itu seolah berebut memasuki alam pikirannya. Selalu dan selalu begitu.

Zi lantas teringat sobekan kertas yang diselipkan Mas Wi dibawah pintu kamarnya. Kata-kata motivasi yang menyemangatinya, juga menderaikan air matanya. Siapa yang Mas Wi maksud akan meng-indah-kan hidupnya nanti? Mas Wi atau orang lain?

Zi masih terus bertahan dengan sakitnya di setiap Sabtu-Sabtu malam. Menunggu dan terus menunggu, seolah menjadi yang kedua …

 ~ Bersambung ~


(Casablanca, 11 Maret 2014)

Theme Song: (Tari Adinda – Yang Kedua) https://www.youtube.com/watch?v=P4KCZ5HckVc

Photo Source: Google Images


Friday, March 7, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 11)




Tak biasanya markas sepi di sore hari. Mereka memiliki agenda masing-masing. Tinggal Zi dan Uda’ saja yang menunggui markas. Berdua membaca koran Minggu di ruang tamu dari surat kabar yang berbeda. Zi tampak serius membaca halaman di Pojok Seni. Sebuah rubrik  yang menampilkan beberapa karya seni dari berbagai pengirim. Ada lukisan, cerpen, cerbung, juga puisi.
      
Zi senyum-senyum sendiri membaca dua buah puisi karya Tari Adinda. Puisi yang menggelitik perasaannya, membuatnya sedikit tersentil. Ia mendongakkan kepalanya sebentar, mengintip aktivitas kawannya yang terkenal super silent itu. Tampak dengan tangannya yang panjang, Uda’ membentangkan harian surat kabar hingga seluruh wajahnya tenggelam. Tinggal batok kepalanya saja yang terlihat, ditumbuhi rambut yang menempel, nyaris botak. Zi kembali menikmati bacaannya. Diulangya lagi puisi itu dalam hati …
  
' perempuan pemuja cinta ' 

kaukah itu?
seperti kerbau dicocok hidungnya
ditindas, manut
dihisap, nurut
diperintah, ikut
tak diberi hak bersuara, manggutmanggut
berbahagialah ...
kau tak akan pernah ditinggalkan lelakimu
sebab sangat sulit
mencari perempuan BODOH sepertimu ... 

' menunggu ' 

seperti dinamika dalam hidup
seperti udara yang bergerak sembarang
begitu rasaku yang tak tetap
kadang ingin menyerah
lelah
kalah
kadang merindu setengah mati
lalu berikrar
mencinta sampai mati
tibatiba ingin membenci
memaki
bodo! persetan!!

fotomu tetap tenang
tersenyum ...

      
Ehmm … apakah aku bodoh? Sebodoh perempuan dalam puisi itu? Ah, tidak selalu. Aku menjadi bodoh di saat tertentu saja. Tidak selalu bodoh. Hanya ketika aku menjauhi beberapa lelaki yang coba mendekatiku demi menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan dalam masa penantian itu, berbagai rasa melandaku. Ada benci, ada rindu, juga cemburu. Rasa yang hanya kutujukan untuk satu lelaki saja. Ah … kemana orang yang dulu biasa menungguku di ruangan ini setiap aku pulang dari pasar? Sudah hampir setahun aku tak melihatnya. Mas Wi memang sedang ditugaskan ke pedamalan Sumatera untuk mengurusi para petani di sana. Tapi entah, apakah itu perintah dari ketua, pengalihan tugas dari Inez, atau keinginan Mas Wi sendiri? Dan terakhir sebelum ia pergi, aku hanya menemukan sobekan kertas berisi tulisan tangannya, diselipkan di bawah pintu kamar … 
      
Zi melipat korannya, meletakkan kembali di bawah meja. Kerinduannya pada Mas Wi menyerang lagi, membuatnya ingin menjatuhkan air matanya di atas kasur seperti pada malam-malam sebelumnya. Tetapi mendadak wajahnya berubah. Ia menjadi kikuk, salah tingkah. Sepasang mata lelaki di hadapannya menatap tajam tanpa senyuman. Zi menjadi lupa tujuannya semula. Ke mana arah kamarnya, ke mana ia berjalan. Seperti robot, gerakan kakinya menjadi sangat kaku. Dan setiap jengkal langkahnya seperti harus diatur. Apakah Si Uda’ benar-benar sedang memandangi Zi? Atau tanpa sadar telah menjadikannya media untuk berimajinasi?

*** 

Tak banyak yang tahu tentang Hari Perempuan Sedunia atau Internasional Women’s Day yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Apalagi sejarahnya.  
      
Dari tulisan yang pernah ia baca dikatakan, bahwa Perayaan Hari Perempuan Internasional pertama kali digagas pada abad ke -20, di tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada tanggal 8 Maret 1857, di New York City. Protes tentang apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Namun di tengah aksi, mereka diserang dan dibubarkan oleh polisi. Dua tahun kemudian di bulan yang sama, kaum perempuan dari pabrik garment itu membentuk serikat buruh. 
      
Pada bulan Februari 1908, ratusan perempuan di Amerika Serikat menggelar aksi massa menuntut hak-hak ekonomi dan politik bagi kaum perempuan. Tahun 1909, sekitar 20.000 hingga 30.000 perempuan buruh garment di Amerika Serikat, menggelar aksi massa menuntut kenaikan upah dan 8 jam kerja sehari. Aksi massa yang digelar selama 13 Minggu berturut-turut itu ternyata memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap kebangkitan pekerja perempuan hingga ke Eropa, yang pada akhirnya meraih keberhasilan. Tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi. 
      
Pada tahun 1910, dalam Konferensi Internasional Pekerja Perempuan di Copenhagen-Denmark  disepakati, bahwa momentum tersebut diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Meskipun pada saat itu belum disepakati tanggalnya, namun Clara Zetkin, seorang politisi perempuan dari Partai Sosialis Demokrat Jerman mengusulkan, bahwa kaum perempuan di seluruh dunia harus memiliki momentum tertentu dalam setiap tahun dimana mereka dapat memperingatinya sebagai bentuk penghormatan atas kebangkitan kaum perempuan dalam perjuangan menuntut hak-hak sosial-ekonominya. 
      
Proses penetapan waktu tersebut berjalan selama 7 tahun berikutnya. Minggu terakhir di bulan Februari 1913, kaum perempuan di Rusia menyelenggarakan demonstrasi untuk menentang perang dunia I. Setahun kemudian demonstrasi itu meluas hingga ke seluruh Eropa, jatuh pada Minggu pertama di bulan Maret. 
      
Tahun 1917, kaum Perempuan di Rusia kembali melakukan demonstrasi besar-besaran pada Minggu terakhir di bulan Februari dengan mengusung tuntutan Bread and Peace atau Roti dan Perdamaian. Empat hari kemudian, tepat pada tanggal 8 Maret dalam kalender Masehi, kekuasaan Tsar Rusia jatuh, kemudian kaum perempuan mendapatkan hak pilih mereka. 
      
Sejak saat itu, tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya.
      
Dan hari ini, Zi sedang berada di tengah aksi memperingati Hari Perempuan Sedunia. Perempuan-perempuan dari berbagai profesi tumpah di jalanan. Isu tentang perempuan yang mereka jadikan tuntutan dibentangkan melalui spanduk-spanduk. Kegiatan mereka membuat macet jalanan, mengundang caci maki para pengendara. Klakson berbunyi dari segala arah. Perempuan-perempuan itu semakin beringas menutup jalan. 
      
Begitulah manusia-manusia yang tidak memiliki kesadaran. Menganggap para pendemo adalah pengganggu. Tak peduli apa tuntutannya dan siapa pelakunya. Tak lagi memilah-milah tuntutan-tuntutan itu untuk kepentingan mereka atau tidak. Baik aksi buruh, aksi petani, aksi kaum miskin kota, atau aksi-aksi yang lainnya. Padahal pengunjuk rasa tidak sedang memperjuangkan nasibnya sendiri. Jika tuntutan mereka dikabulkan, yang lain pun yang tidak ikut berjuang, yang hanya duduk diam di rumah, atau yang tetap bekerja dengan gaji utuh dan rasa aman karena tidak mendapatkan intimidasi dari perusahaan, ikut menikmati hasilnya. Bagi yang merasa sudah tercukupi secara ekonomi harusnya bersyukur karena mereka tak perlu berteriak-teriak menuntut haknya. Apalagi mereka yang kekurangan. Tak sekedar hanya bersyukur karena tidak perlu berpanas-panasan, kelaparan, kehausan, kelelahan seperti para demonstran itu. Mereka justru seharusnya men-support. Kalau perlu ikut terlibat di dalamnya, turun di tengah gelombang aksi massa. 
      
“Selamat Hari Perempuan kawan-kawanku, saudara-saudaraku di mana saja berada, kaumku di seluruh penjuru dunia. Hidup perempuan yang melawan!” 
      
Demikian Zi mengakhiri orasinya siang hari itu di atas mobil komando, di tengah massa perempuan yang menyatukan diri, disambut serentak dengan teriakan, “Hidup!” 

*** 

Namanya Krisna Yudhistira. Kawan-kawannya biasa memanggil Kris atau Uda’ Kris. Hanya Zi yang memanggilnya Uda’ saja. 
      
Sebenarnya memberi embel-embel di depan nama seseorang itu tidak wajib bagi orang gerakan. Seperti mas, abang, mbak, dan sebagainya sesuai dengan jenis kelamin dan asal sukunya. Lalu kata mas dan mbak menjadi tambahan yang umum digunakan dalam masyarakat tanpa mengenal suku. Sebab mereka menganggap semua kawan seperjuangannya itu sama atau setara. Tidak ada yang dianggap lebih tua atau lebih muda seperti pandangan masyarakat pada umumnya.
      
Bagi orang-orang gerakan, mereka biasa mengganti embel-embel di depan nama seseorang dengan bung, khusus untuk laki-laki, dan kawan atau comrade untuk semua teman seperjuangannya. Namun menambahkannya pun tidak lantas menjadi haram. Bisa dikatakan sebagai penghormatan saja.
      
Kalau Zi melakukan itu, hanya karena ia merasa nyaman, atau terbiasa dari awal. Seperti Zi yang menambahkan kata bang, mas atau mbak pada beberapa kawan yang menurutnya, usia mereka lebih muda dari dirinya. Juga saat ia dulu masih bekerja. Di tempat kost-nya, hampir semua tetangga baik ibu-ibu, bapak-bapak, maupun nenek-nenek memanggilnya dengan tambahan mbak atau kak. Zi tidak marah. Hanya orang-orang yang masih feodal saja yang melakukan itu karena menganggap dirinya lebih muda, maunya dipanggil nama saja. Atau sebaliknya. Mereka marah ketika orang yang dianggapnya lebih muda hanya memanggil namanya sebab dianggap tak sopan. 
      
Zi membebaskan siapapun memanggil dirinya meski hanya namanya. Tak terkecuali pada seorang bocah lelaki kelas 1 Sekolah Dasar di tempat kost-nya dulu. Atau keponakannya yang juga memanggil namanya saja. Padahal kalau menurut silsilah, seharusnya keponakannya itu memanggilnya a’i. Seperti tradisi masyarakat Cina dalam keluarganya, sama dengan tante
      
Menurutnya, sopan atau tidaknya seseorang tidak diukur dari hal-hal seperti itu. Zi menjadi geram teringat seseorang yang mengaku teman, tapi seringkali menyerang dengan kata-katanya yang menampar. Membuatnya ngomel sendirian … 
      
Baru sekali aku bertemu orang seperti itu. Dipanggil “mbak” saja marahnya minta ampun, lalu menyerang umurku. Buat apa menganggapku lebih tua, memanggilku ”mbak” tapi “menginjak kepala”? 
      
Ya, yang penting adalah bagaimana menjaga sikap agar saling menghargai dan menjaga lidah agar tidak saling menyakiti.
      
Zi mencoba meredam amarahnya, membelokkan ingatannya pada sebuah nama yang tiba-tiba saja menjadi agung di hatinya. Nama yang memberi warna lain dalam hidupnya, membuatnya rajin mencatat setiap geraknya. 
      
Uda’, artinya sama dengan mas atau abang. Lelaki berdarah Minang satu-satunya di markas itu adalah teman dekat Mas Wi. Meski organisasi mereka berbeda, namun mereka kerap terlihat bersama. Sangat akrab. Mas Wi di organisasi yang mengurusi petani, sedangkan Uda’ menggerakkan mahasiswa dan pelajar. 
      
Uda’ dikenal sebagai lelaki pendiam dan sangat dingin terhadap perempuan. Seindah apa perempuan di hadapannya ditanggapi biasa saja. Tidak menjadi terkagum-kagum, lalu memandangnya tak henti sambil tersenyum, terus mengajaknya ngobrol atau merayu. Tidak. Uda’ tidak begitu. Tak terlihat kampungan. Seandainya pun Uda’ mengagumi keindahannya, mungkin cukup dikatakan dalam hati saja. Zi sangat setuju dengan tindakan itu. 
      
“Jangan memuji terlalu berlebihan untuk sesuatu yang tampak indah. Sebaliknya, jangan pula mencela sesuatu yang terlihat tak indah. Semua ciptaan Yang Kuasa. Kita harus adil menyikapinya.” Begitu pesan papa-nya yang kembali mengiang di telinganya.
      
Dari tampangnya Uda’ terkesan galak. Dari matanya yang terhalang kaca mata minus, terlihat ia seorang pemikir, serius dan tegas. Ada yang cerita, kalau Uda’ pernah punya kekasih. Tetapi kekasihnya itu selingkuh dengan kawannya sendiri. Meski begitu, Uda’ setia menunggu bertahun-tahun, berharap kekasihnya kembali. Dan dalam masa sendiri, berapa saja perempuan yang mengejarnya, Uda’ tak pernah peduli. Namun akhir-akhir ini, Zi merasa ada yang berubah. Uda’ sering mencuri pandang. Memalingkan wajahnya sebentar dari laptopnya, lalu serius lagi bekerja. Itu sebabnya Zi  menjadi salah tingkah ketika tiba-tiba dari jarak dekat Uda’ menatapnya tak berkedip. Meski tak sedekat yang pernah dilakukan Mas Wi. 
      
Kipas angin sudah dinyalakan sejak tadi. Zi sudah bersiap untuk tidur. Merapatkan selimut, memeluk boneka kesayangannya. Namun sebelum memejamkan mata, ia ingin mengenang sejenak cerita baru dalam hidupnya.
      
Aku ingat betul, sejak kapan sikap Uda’ mulai berubah. Tentu karena hampir setiap hari dan bertahun-tahun aku melihatnya di markas. Berawal pada saat semua menghadiri kongres nasional, Uda’ tak kelihatan. Mungkin Uda’ sedang berduka ketika hatinya kembali tercabik-cabik untuk kedua kalinya. Perempuan yang pernah sangat dicintainya, pernah selingkuh dan pergi dari kehidupannya, akhirnya meninggalkan kehidupan dunia. Ia dipanggil Sang Pemilik Hidup. Ya … bagaimanapun, pejuang tetaplah manusia biasa yang bisa rapuh. Hanya Uda’ tak berlama-lama larut dalam kesedihan. Seminggu setelah kongres itu sikap Uda’ menjadi lain. Sepertinya Uda’ sudah mulai membuka hatinya. Meski hanya sepintas lalu, tapi aku bisa merasakan tatapannya yang tak biasa. Dan jika cerita yang pernah kudengar itu benar, berarti  Uda’ memiliki kebodohan yang sama denganku. Mengabaikan beberapa orang yang menawarkan cinta demi menunggu sesuatu yang tak pasti. Dan itu juga artinya, bahwa Uda’ memiliki cinta yang kuat dan tingkat kesetiaan yang tinggi seperti yang dimiliki kebanyakan perempuan. Hmm … kalau saja benar Uda’ menginginkan aku, jelas tak pantas menolaknya. Laki-laki yang berbeda. Laki-laki yang sangat menghargai perempuan … 
 


~ Bersambung ~ 


(Casablanca, 6 Maret 2014)

Theme Song: (Harvey Malaiholo - Wanita) https://www.youtube.com/watch?v=83Jk-gjk3q8 

Photo Source: Google Images
















 
Blogger Templates