“Dari peperangan antar komune inilah, lahir klas dalam masyarakat. Karena komune yang kalah, kemudian dijadikan budak dan prajurit perang oleh komune yang memenangkan peperangan. Dan harta kolektif milik komune yang kalah, menjadi harta milik pemimpin komune. Sebagian dibagikan kepada para prajuritnya. Pemimpin komune yang menang perang menjadi tuan budak. Peperangan yang marak terjadi antar komune mendorong adanya perubahan jaman. Nah, dari sinilah fase perkembangan masyarakat memasuki jaman perbudakan. Ada pertanyaan sampai di sini?”
Tidak ada yang menjawab …
“Ya sudah, kalau begitu kita lanjutkan ke jaman perbudakan.
Pada fase ini, perempuan tidak lagi mendominasi dan memimpin dalam komune.
Sebagian besar dari mereka berada dalam klas budak yang tidak memiliki hak
apapun atas dirinya sendiri. Artinya, perempuan setara dengan barang.
Penindasan terhadap perempuan dapat dilihat pada aspek memposisikan perempuan
sebagai barang milik pribadi. Barang milik pribadi siapa? Hayo … siapa yang
bisa jawab?”
“Milik pemimpin komune.”
“Ya! Betul sekali. Kenapa?” Suara tegasnya, membuat satu dua
orang yang terlihat ngantuk, tersentak.
“Karena perempuan adalah budaknya.”
“Ya! Benar! Bahkan dalam hubungan seks pun diatur. Mereka
dilarang melakukan hubungan seks dengan orang lain, selain dengan kepala
komune. Tetapi, kepala komune bebas berhubungan seks dengan semua budak yang
dimilikinya. Nah, praktek inilah yang mengilhami terjadinya keluarga monogami
atau poligami yang bergaris keturunan laki-laki atau patrilineal. Bahkan para
budak lelaki yang hendak menikahi budak perempuan, wajib menyerahkan terlebih
dahulu calon istrinya, kepada tuan budak untuk ditiduri. Selain dimiliki untuk
memuaskan hasrat seks tuan budak, perempuan juga diberi beban pekerjaan mengolah
pertanian, peternakan dan meramu makanan. Meskipun pekerjaan itu dilakukan oleh
para budak yang sebagian besar adalah perempuan, mereka tetap tidak memiliki
hak apapun atas dirinya. Bahkan, tidak setiap hari mereka mendapatkan makanan.
Pada jaman ini pula, muncul kasta dalam kehidupan masyarakat. Siapa yang
memiliki budak terbanyak, dialah yang menjadi pemimpin.”
Zi menjadi intens melakukan pendidikan di setiap hari Minggu
di berbagai tempat, di pusat kota. Giliran
Rini yang mendapatkan tugas mengisi pendidikan ke beberapa daerah.
***
“Ini laporan penjualan kemarin. Ini pengeluaran, ini
pemasukan. Kalau ini bukti pembelian. Semua nota-nya sudah aku tempelkan di
lembaran ini, dan ini sisa barangnya. Modal awalnya kan segini, hasilnya jadi
segini. Karena kemarin sebagian uangnya sudah diambil panitia untuk pengeluaran
di sana, jadi tinggal segini sisanya.”
Zi sedang menjelaskan laporan keuangannya pada Octo, salah
satu kawannya yang menjadi panitia.
“Ini laba tertunda, maksudnya apa?”
“Ada beberapa kawan yang berhutang rokok, belum bayar. Ini
nama-namanya.”
“Oh …”
Beberapa hari yang lalu, Zi mendapatkan tugas membuka kantin
selama tiga hari di acara pendidikan kader pimpinan, yang dihadiri oleh seluruh
kader pilihan dari berbagai daerah. Karena modalnya dari panitia, sehingga
harus dikembalikan ke panitia. Keuntungannya digunakan untuk membayar sewa
gedung plus penginapan, transport, serta konsumsi para peserta. Dari mereka,
untuk mereka.
“Buat apa, Zi, begitu saja pakai repot-repot bikin laporan.
Aku saja dulu tidak pakai begitu. Langsung aku serahkan saja uang hasil
penjualan. Beres. Lagi pula, sisa barang kan buat kita-kita juga di sini.” Anis
tiba-tiba nyeletuk.
“Ya, itu kau. Buat aku, tidak bisa begitu.” Tegas Zi
menjawab.
Zi lantas teringat kejadian lama, sewaktu ia mendapatkan
tugas mengantar nasi bungkus untuk para petani yang sedang melakukan aksi
pendudukan di depan Gedung DPR. Karena nasinya berjumlah ratusan, maka ia
diberi ongkos oleh ketua untuk naik taksi. Karena kebetulan waktu itu ada
seorang kawan yang membawa mobil, Zi mendapatkan tumpangan gratis. Keesokan
harinya, ongkos taksi itu dikembalikan kepada ketua.
“Kenapa kamu kembalikan uang itu? Kemarin kan ketua sedang keluar.
Dia tidak tahu. Besok lagi, kamu simpan saja buat pegangan kamu.” Bisik Ima,
salah seorang tamu yang sering datang ke markas.
Zi tak menjawab. Ia hanya tersenyum pada kawan yang baru
dikenalnya itu. Zi mengerti maksudnya, mungkin kasihan karena Zi orang baru di
markas dan kebetulan baru keluar dari tempat kerjanya. Tetapi Zi tidak setuju
dengan tindakan itu. Selama itu bukan haknya, maka harus dikembalikan pada yang
berhak.
Teringat kembali waktu kecil, ketika ama-nya menyuruh Zi
membeli obat di toko depan rumah. Kalau
tradisi masyarakat Cina dalam keluarganya, ama sama dengan nenek. Si ama
kaget menerima obat beserta uang kembalian itu. Lama, si ama memandangi Zi
penuh keheranan.
“Kenapa ama?”
“Kok kembaliannya segini?”
“Kan uang ama sepuluh ribu, kalau dikurangi dengan harga
obatnya segitu, ya kembaliannya segitu.”
“Bukan. Maksud ama, apa kembaliannya tidak kebanyakan?”
“Tadi Zi sudah hitung, dan benar. Coba ama hitung lagi,
mungkin ama yang salah.”
“Bukan, bukan begitu. Biasanya kalau Melly yang beli,
harganya lebih mahal.”
Zi baru mengerti, kalau saudara sepupunya itu
tidak jujur. Ia telah melakukan korupsi dalam bentuk kecil. Sejak kejadian itu,
ama-nya lebih sering menyuruh Zi untuk belanja.
Demikian juga dalam penggunaan waktu. Begitu gampangnya orang-orang di negeri ini dengan sengaja mengulur waktu dari yang sudah mereka sepakati. Yang sedang menunggu, dengan santai berkata,”Biasa … jam karet …” Sedangkan yang ditunggu tidak merasa bersalah, sehingga hal itu tidak dianggap sebagai tanggung jawab. Atau dengan mudah berkata ‘maaf’, tetapi kesalahan itu terus diulangi. Berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan atau kesempatan, hanya karena menunda waktu? Berapa banyak orang yang kehilangan kepercayaan, karena tidak tepat waktu? Sedangkan para kapitalis begitu disiplin dan sangat menghargai waktu. Tak sedetikpun mereka lewatkan untuk terus meracuni pikiran-pikiran. Mengadakan pendidikan psikologi secara masif dan konsisten pada pengikutnya untuk mengembangkan kualitas diri, menyaingi kapitalis lain, serta menyerang psikologis orang-orang di sekitarnya, sehingga dengan cepat kapitalisme menyebar, meluas dan mengakar.
Transparansi dan
disiplin waktu, adalah modal kepercayaan. Sekecil apapun mengambil hak orang
lain dengan sengaja tanpa ijin, adalah korupsi.
***
Zi menghentikan aktivitasnya sejenak di depan komputer,
ketika Uda’ keluar membeli makanan. Menyandarkan tubuhnya di kursi, Zi
merasakan nyaman. Seperti berada dalam dekapan Uda’. Aneh, hanya
karena jaket Uda’ ditanggalkan pada tempat duduknya, yang tak biasanya
diletakkan di situ.
Juga ketika Uda’ menitipkan laptop di kamarnya, ia berteriak
girang dalam hati. Dipandangi terus benda itu. Hanya sebuah benda, kenapa bisa
membuatnya damai? Rasanya, seperti ada Uda’ di dekatnya.
Meski begitu, Zi tetap bersikap tenang. Dibiarkan tatapan
Uda’ terus menghujaninya. Bahkan Uda’ yang selalu ingin menunjukkan
kedatangannya dengan menyapa semua orang, Zi pura-pura tak mendengar. Tak
merubah posisi tubuhnya sedikitpun, atau sekedar menggulirkan bola matanya.
Uda’ kini jadi peduli dengan aktivitas Zi di depan komputer. Pura-pura lewat,
lalu melirik sebentar ke layar komputernya.
Kadang … aku tidak
perlu menggunakan mataku untuk melihat, ketika seluruh tubuhku telah menjadi
radar yang mampu menangkap setiap geraknya. Tapi entah … apakah yang aku maknai
itu seratus persen benar? Bahkan ada yang benar-benar tak mampu kuartikan.
Setiap aku memiliki agenda perjuangan dan harus meninggalkan markas, mata Uda’
tak lepas memandangiku hingga aku menghilang. Padahal dulu, hal itu tak pernah
sedikitpun mengusiknya. Kami datang dan pergi seperti angin lalu. Apakah itu
artinya, Uda’ tak rela kehilangan aku barang sejenak? Atau Uda’ ingin mengantar
kepergianku? Tentu menjadi aneh kalau tiba-tiba saja Uda’ menawarkan diri. Apa
Uda’ ingin aku memintanya? Ah, itu juga tak mungkin kulakukan selama aku masih ingat.
Dua tahun yang lalu, Uda’ pernah menolak ketika aku memintanya mengantar beli
elpiji. Uda’ hanya memberikan kunci motornya.
In my life you're all that matters
In my eyes the only truth I see
When my hopes and dreams have shattered
You're the one that's there for me …
~ Bersambung ~
(Casablanca, 19 Maret 2014)
Theme Song: (Jaci Velasquez – Imagine Me Without You) https://www.youtube.com/watch?v=R-TULb_gUg4