“Many small people, in small places, doing small things can
change the world” (Banyak orang kecil, di tempat-tempat
kecil, melakukan hal-hal kecil dapat mengubah
dunia)
~ Penulis dan Jurnalis Uruguay, Eduardo Galeano (1940 – 2015) ~
Hampir setahun lalu saya ingin mengulas tentang “gotong royong”.
Tetapi keinginan itu tenggelam oleh kesibukan saya sehari-hari. Tertumpuk oleh
rencana baru. Terlupakan. Dan sebuah kejadian menginspirasi saya. Membangkitkan
kembali ingatan saya untuk menuliskan itu. Membuka lagi catatan-catatan kecil
yang pernah saya buat.
Baiklah, akan saya mulai dari kejadian itu, lalu dari sana
akan saya coba mengupasnya …
Suatu hari, saya mendatangi sebuah kantor organisasi.
Katakanlah nama organisasi itu X. Niat saya hanya untuk bertemu dengan kawan
lama. Kami sudah bikin janji. Tetapi pada waktu yang sudah kami sepakati, melalui
short message service dia mengatakan, sedang keluar
sebentar. Ada keperluan mendadak yang harus diselesaikan, dan saya diminta
menunggu.
Sendiri di ruang tamu, saya iseng mengambil bacaan yang
tergeletak di samping saya. Sebuah mini
magazine yang mereka cetak sendiri sepertinya, sebab tertulis besar-besar
di cover depan, nama organisasi mereka. Ruangan tamu itu bersih. Saya bisa
melihat dari lantai keramik putih yang tampak bening. Berkilau. Kaki saya pun
bisa merasakan kesatnya, sebab alas kaki mesti dilepas dekat pintu. Tidak ada
kursi tamu atau sofa di sana. Hanya permadani yang diletakkan di sisi dekat
jendela sebagai gantinya. Lesehan. Ada satu meja belajar dengan dua bangku
plastik yang ditumpuk jadi satu di sampingnya. Ada satu unit komputer lengkap
dengan speaker systemnya, buku-buku, koran, majalah, dan beberapa box file yang
tertata rapi.
Tetiba saya ingin buang air kecil. Saya masuk saja menemui
salah seorang di dalam untuk ijin ke toilet. Saya dipersilahkan dengan ramah oleh
seorang perempuan yang tadi pagi menerima kedatangan saya dengan ramah pula.
Saya diantar menuju ke sana melewati dapur. Rupanya ada dua orang perempuan
lagi yang sedang memasak di sana. Mereka tersenyum. Barangkali tempat ini
dijadikan kantor plus tempat tinggal, sebab perabotan dapurnya cukup lengkap.
Saya kembali ke ruang tamu, memungut majalah mini dan mulai
membuka isinya. Sedang asik membaca, telinga saya menangkap pembicaraan kedua
perempuan yang tadi saya temui di dapur. Suara mereka terdengar keras. Menggema.
Mengganggu konsentrasi saya saat membaca. Barangkali karena bangunan gedungnya
yang besar dan tinggi, serta suasana kantor yang lengang. Saya coba fokus pada
bacaan saya tapi suara mereka semakin keras terdengar. Rupanya terjadi
perdebatan di tengah mereka sedang memasak. Semakin lama semakin lantang. Pada akhirnya, telinga saya yang jadi pemenang. Saya memilih untuk mendengar
perdebatan sengit itu daripada membaca. Seru. Menarik untuk disimak.
Lalu bagaimana isi perdebatan itu? Baik, saya namakan saja
kedua perempuan itu Si A dan Si B. Saya tidak tahu namanya, tetapi saya bisa
membedakan suara mereka. Dan nama-nama yang disebut dalam perdebatan itu sebagian
saya ingat, sebagian hasil rekayasa saya. Barangkali isi perbedabatan itu juga tidak lengkap atau kata-katanya tidak sama persis.
Maklum, hanya tersimpan di memori otak saja, yang kemudian tertimpa oleh
kejadian-kejadian lain. Tapi saya yakin tidak mengurangi substansinya,
sebab saya sudah dapat menangkap maksudnya.
A: Dulu, Si Bambang itu kebiasaan sekali kalau kami lagi
masak belum selesai, sudah makan duluan.
B: Ya, mungkin dia kelaparan.
A: Semua juga lapar. Tapi apa salahnya menunggu makan
bareng-bareng. Dan itu kan nggak sekali dua kali.
B: Dia itu memang kolokan.
A: Kecuali kalau ikut bantu-bantu, bolehlah, karena punya
andil memasak.
B: Tidak bisa dipaksa. Kan tidak setiap orang bisa memasak.
A: Bantu-bantu kan bukan berarti memasak. Bisa cuma kupas
bawang, potong sayuran atau cuci perabotan.
B: Ya, di rumah saja kan kita biasa begitu. Ibu kita belum
selesai masak, kita sudah makan duluan.
A: Ya jangan disamakan di rumah sendiri dengan di sini. Kita
kan hidup bersama. Apa-apa ya harus dikerjakan bersama.
B: Kan tidak semua orang suka dengan kegiatan memasak.
A: Ya suka nggak suka, namanya hidup bareng kok.
Bersih-bersih juga enggak.
B: Masing-masing orang kan tidak sama. Tidak semua punya
kesadaran seperti kamu. Biarkan saja. Kalau kamu begitu, itu sama saja dengan
membebani dirimu sendiri. Nggak sehat buat kamu.
A: Ya nggak begitu. Kalau nggak ngerti ya mesti dikasih
pengertian. Kalau nggak sadar ya mesti disadarkan.
B: Sudah, kerjakan saja. Biar kepalamu jadi kaki, kaki jadi
kepala, kalau orang sudah begitu ya begitu. Nggak akan berubah.
A: Siapa bilang? Buktinya, beberapa dari mereka sudah mulai
ngerti kok. Kalau mau pergi, dia cuci gelas kopinya sendiri. Habis bikin kopi
juga mereka cuci sendoknya. Biasanya pada digeletakin saja di meja. Numpuk
sendok-sendok kotor. Ya awalnya kita beri contoh melalui tindakan kita, kalau
masih nggak ngerti ya mesti pakai mulut. Ditegur. Sama kayak peraturan yang
ditulis, kalau nggak dijalankan ya mesti ditegakkan. Bagaimana cara
menegakkannya? Ya pakai mulut.
B: Ah, memasak itu tidak penting.
A: Memasak memang tidak harus, karena tanpa masak pun kita bisa
makan. Tinggal beli lauk, jadi. Tapi bersih-bersih, ya harus itu. Kalau kita tidak
bersih-bersih, apa gantinya? Siapa yang membersihkan? Kita kan nggak punya
pembantu. Kalau kantor kita kotor, memang kita nggak malu kalau ada tamu?
Kebersihan dan kerapian kantor itu buat aku, salah satu harga diri organisasi
kita. Kalau kita tidak malu ketika organisasi kita dilecehkan karena kantor
kita yang kayak kandang ayam, ya patut dipertanyakan kadar cintanya pada organisasi.
B: Kamu tidak bisa memaksa kalau kamu pegang sapu, yang lain
juga harus pegang sapu.
A: Ya nggak harus pegang sapu. Paling tidak layanilah diri
sendiri. Jangan tinggalkan gelas-gelas kopi atau gelas-gelas yang sudah
dikotori. Buang bekas bungkus rokok dan bungkus makanan di atas meja, juga abu dan puntung
rokok yang luber dari asbaknya. Kan sudah disediakan tempat sampah dekat pintu.
Tinggal buang di situ apa susahnya sih? Masak buang sampah saja mesti diajarin.
Memangnya anak TK.
B: Biarkan saja, nggak usah kamu bersihkan. Nanti kan ada
saja teman-teman lain yang mengerjakan.
A: Nunggu sampai kapan? Siang, sore, malam atau pagi lagi? Nunggu
kita malu kalau ada tamu? Mereka itu mau melakukan kalau pusarnya lagi miring. Satu
dua orang saja mau bantu kalau kebetulan dia ada. Dan kalau dibiarkan, sama saja
dengan penindasan. Apa dong artinya teriak anti penindasan, kalau realitanya
menindas teman sendiri.
B: Kamu itu terlalu sensitif. Ada hal yang lebih penting dikerjakan.
A: Dari dulu, kamu dan Tono selalu menentang aku soal
bersih-bersih dan rapi-rapi kantor, padahal waktu temanmu datang ke sini,
kantor sudah dalam keadaan bersih, hanya ada makanan dalam plastik yang terbuka
saja lantas kamu singkirkan ke belakang, padahal kan itu bukan sampah. Kamu
malu kan? Bagaimana kalau kantor berantakan kayak kandang ayam. Tono juga, giliran
tempatnya aku tinggal, ngeluhnya nggak karu-karuan karena yang nunggu nggak peduli
kondisi kantornya.
B: Enggak. Kotor pun tidak masalah. Asal kita kerjakan
dengan ikhlas, maka masalah-masalah itu tidak akan membebanimu.
Menggerogotimu.
A: Ah ngeles. Nggak ngaku kalau malu sama teman-temannya yang datang. Tapi malu saja juga nggak cukup sih untuk mengetahui kadar cinta kita pada organisasi. Harus ditambah dengan berbuat sesuatu. Dan bukan masalah nggak ikhlas, tapi
mana gotong-royongnya? Katanya Pancasilais.
B: Gotong-royongnya di bagian lain. Di kerja-kerja yang
lain.
A: Ya nggak begitulah. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri saja nggak bisa, bagaimana bertanggung jawab pada hal-hal yang besar. Semua itu diawali dari yang kecil.
Itu pondasi. Bagaimana sebuah bangunan bisa kuat kalau pondasinya saja rapuh?
B: Enggak. Enggak begitu. Itu nggak prinsip. Jangan
itung-itungan tenaga. Itu akan menyiksa dirimu sendiri.
A: Bukan juga itung-itungan tenaga, tapi yang namanya
gotong-royong itu tidak memilih mana yang prinsip dan mana yang tidak. Atau di bagian mana gotong royong itu harus dilakukan dan di bagian mana yang tidak.
Kepedulian juga tidak memilih, peduli pada yang “ini” saja atau yang “itu” saja, yang lain bodo
amat. Ya nggak begitu.
B: Kamu itu terlalu perasa.
A: Bukannya kamu dulu pernah bilang, kamu tidak suka kalau
kamu sedang menggoreng, lalu anak-anak main comot.
B: Enggak, aku bercanda.
A: Ah, aku lihat kamu marah-marah waktu ada yang
nyomot makanan, lalu kamu serius mengatakan ketidak-sukaanmu itu.
B: Enggak … enggak, aku bercanda.
A: Ah, nggak ngaku ah. Dulu juga kamu pernah ngomongin Si Ayung
karena dia nggak pernah bantu-bantu masak. Kupas bawang saja nggak pernah,
katamu. Sekarang bilangnya nggak penting. Biarkan saja.
B: Enggak … enggak …
A: Ya, nggak ada yang diakui. Statementnya berubah-ubah.
Nggak konsisten (sambil berjalan menuju ruang yang lain, seperti bicara sendiri).
Kawan saya muncul di pintu, menegur saya. Dia langsung
mengajak saya keluar mencari tempat tongkrongan. Biar ngobrolnya asik, enaknya di
luar sambil ngopi plus “ngudut”, katanya. Maka saya tinggalkan kantor itu
dengan perdebatan yang entah masih berlanjut atau disudahi.
***
Gotong Royong Adalah Saripati Pancasila
Siapa yang tak kenal istilah gotong royong. Dua kata yang
selalu dipasangkan ini sudah sangat familiar di telinga masyarakat. Jika
dijabarkan, gotong berarti pikul, royong berarti bersama. Jika digabungkan, artinya memikul bersama atau bekerja bersama-sama. Seperti
peribahasa yang mengatakan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, maka
dengan gotong royong, beban yang berat akan menjadi ringan. Kalau menurut Bung
Karno, seperti dalam pidatonya yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945 di
depan peserta Sidang BPUPKI: “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.”
Namun tidak semua kegiatan saling membantu bisa dikatakan
sebagai upaya melakukan gotong royong. Bekerja bersama, saling membantu atau
saling menolong baru bisa dikatakan gotong royong apabila kegiatan itu memiliki
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu tentu merujuk pada hasil perenungan
Bung Karno yang telah ditetapkan sebagai dasar negara kita, yaitu Pancasila:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dari Pancasila, jika diperas akan menjadi Trisila:
1. Sosio
Nasionalisme (berasal dari kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan
perikemanusiaan)
2. Sosio Demokrasi (yaitu demokrasi dengan kesejahteraan)
3.
ke-Tuhanan (yang menghormati satu sama lain)
Dari Trisila, jika diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Jadi Pancasila, ya gotong royong, sehingga saling menolong bisa
dikategorikan sebagai gotong royong apabila tidak terlepas dari kerangka
besarnya, yaitu Pancasila.
(Bersambung)
(Tebet Dalam, 10 September 2015)