Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Tuesday, December 29, 2015

' begitulah rasaku '


kau tahu rasanya cemburu?
seperti matamu yang menatap curiga
sewaktu ponselku bernyanyi
dan aku pergi
menghindari bingar di ruang tamu
ke dapur
tempat yang tenang untuk bicara
lalu kau pura-pura kebelet pipis
menuju kamar mandi
sekedar meledekiku: pacaran terus …

kau tahu rasanya cemburu?
seperti bibirmu yang menahan langkahku
bertanya: mau ke mana?
jawabku: pulang dulu ke kost-an  
lalu kau melepasku dengan tatap sendu
senyum palsu
tapi suatu hari kau jadi kesal
keluar ruangan
marah sendirian
sebab tulisan yang kau ketik tak jadi-jadi
sebab tak fokus
barangkali kau berpikir: ada siapa di sana? jangan-jangan …

kau tahu rasanya cemburu?
begitulah rasaku selama ini …


(Tebet Dalam, 29 Desember 2015)

Photo Source: Google Images

Saturday, December 26, 2015

' akulah rumahmu '


pulanglah kekasihku …
sudah kubuatkan makanan kesukaanmu
tape goreng dan pempek
kuhidangkan di meja makan

pulanglah kekasihku …
handuk
sabun
shampoo
sudah kusiapkan untuk kau mandi
sikat gigi sudah kutuangi odol
kuletakkan di atas wastafel

pulanglah kekasihku …
pakaianmu sudah bersih, rapi dan wangi di lemari
kusiapkan sepasang untuk kau pakai ke kantor

pulanglah kekasihku …
akulah rumahmu
tak perlu kau ketuk pintu
sebab kuncinya sudah kuserahkan untukmu

aku milikmu …


(Tebet Dalam dini hari, 26 Desember 2015)

Photo Source: Google Images




Tuesday, December 22, 2015

' 22 desember '


bolehkah aku mengingatnya, sayang?
hari ini …
ya, hari ini hari ibu
empat tahun sudah rasa itu bersarang
timbul tenggelam
tapi tak mati - mati
rasa itu masih ada
rasa itu selalu ada
aku tak pernah menjaganya
tapi ia hidup
kuat
bertahan
tak terganti
mengalahkan rival - rivalnya
ia tetap hidup, sayang …
dan terus hidup
ia hanya akan mati saat aku mati
ia mati bersama jasadku yang beku


(Bukit Duri, 22 Desember 2015)
Photo Source: Google Images

Saturday, December 12, 2015

' secangkir kopi rasa rindu '


yang kutahu
kau bukan pengopi
sukamu air bening
utama yang dingin
dari kulkas

dan tetiba kau ingin ngopi
masuk dapur
ambil cangkir
nuang bubuk kopi
nyendok gula
tapi lupa masak air

(jika saja aku bisa mencicip kopi buatanmu, kupastikan kopi itu rasa rindu)

yang kutahu
kau bukan pengopi …


(Tebet Dalam, 12 Desember 2015)

Photo Source: Google Images

Wednesday, November 11, 2015

' Kepekaan Rasa '



Berita buruk itu … tidakkah mampir di telinganya? Berhari-hari menjadi headline news di TV, di radio, bahkan di mulut-mulut yang berceloteh. Tidakkah terbaca matanya? Beberapa kali aku lihat, ia rajin membaca koran pagi. Menjadi berita utama. Tertulis besar-besar “Hilangnya pesawat Air Asia …” Dan tepat di penghujung tahun 2014 tersiar kabar, ditemukannya bangkai Air Asia yang hilang beserta para korban: 155 penumpang, 7 awak pesawat. Belum semua. 

Sehari sebelumnya kami sudah siapkan sayur-mayur untuk dimasak, ikan untuk dibakar, akan kami eksekusi bersama pada malam tahun baru. Tentu sebelum terdengar berita duka itu. Jika kabar itu sudah terdengar, tentu aku tidak akan turut merayakan tahun baruan. Tapi aku sudah janji datang. Aku lalu membayangkan, kami akan membuat lingkaran. Di hadapan kami ada makanan yang sudah matang dan siap kami santap bersama. Kami akan buat semacam sarasehan dibalut suasana keprihatinan. Ada diskusi ringan, ada do’a-do’a untuk para korban: semoga yang meninggalkan mendapat ketenangan, dan yang ditinggalkan diberi ketabahan, lalu diakhiri dengan merefleksikan apa saja yang sudah kami lakukan selama setahun ini. Apa yang salah. Apa yang perlu dibenahi. 

Suasana batinku masih dibalut mendung sejak pagi. Beberapa kali pandanganku kabur, sebab air bening menggenangi mata. Ingat berita yang kubaca. Ingat ekspresi wajah orang-orang yang ditinggalkan: menangis, histeris. Dan mereka tahu, atau tak mau tahu pada orang-orang yang kehilangan keluarganya? 

Sementara aku menahan sedih, seseorang merengek minta dibelikan mercon. Sementara aku menahan air mataku agar tak kembali jatuh, ia (seseorang itu) berjingkrak-jingkrak kegirangan. Teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, berfoto ria di antara para pembakar ikan dan para penyemangat yang sesekali membantu. Suasana gembira terus ia kobarkan, sebab ia tak berhenti mendapat dukungan. Tertawa dan tertawa … 

Apakah ia menganggap bahwa ia tak perlu berempati sebab para korban itu bukan keluarganya? Ya, banyaknya usia dan tingginya pendidikan memang tak bisa dijadikan ukuran seseorang untuk menjadi dewasa dan memiliki empati. Ini masalah kepekaan rasa. Seorang anak pun kadang bisa lebih peka dari orang dewasa. Aku pernah membaca kata-kata puitis berlatar keprihatinan yang ia sebarkan di medsos, tapi ternyata itu tak berarti ia benar-benar berempati. Serupa pencitraan. Berpura-pura, sekedar untuk mendapatkan jempol. Dan ia semakin bangga dengan kepura-puraannya, sebab banyak komentator yang mampir untuk memujinya. Ya, hanya orang-orang yang berkacalah yang bisa merasakan penderitaan orang lain dan akan menjadi kata-kata itu sendiri. Sebab kata-katanya adalah tindakannya. 

Aku merasa suasana batinku tidak sinkron dengan suasana yang aku hadapi. Aku ingin pergi meninggalkan hiruk-pikuk dan tawa-canda yang didukung ketidak-pedulian warga kota. Kembang api yang ditembakkan dari segala arah sebelum waktunya berdebum-debum di udara. Langit terang dengan warna-warni nyala apinya. Pelan aku melangkah pulang seusai pamit dan mengucap: selamat tahun baru, teman-teman … yang kemudian aku lanjutkan dalam hati saja: semoga dalam waktu dekat, kau tidak ditinggalkan oleh orang terdekat yang kau sayangi …


(TTD, 11 Januari 2015)

***

Tak ada yang tahu kapan bencana datang. Tak ada yang tahu batas hidup manusia. Kematian adalah rahasia. Kematian adalah kebahagiaan abadi bagi yang mati, tetapi bencana bagi yang ditinggalkan. Sebab orang-orang terdekat dan yang pernah dekat akan menghujani waktu demi waktu dengan air mata. Bukan untuk yang mati, melainkan untuk dirinya. Menangisi dirinya sendiri. 

Beberapa bulan berselang aku mendengar kabar, ia menjatuhkan tubuhnya di lantai, menangis menggelung-gelung dengan handphone yang masih tergenggam di tangannya. Ia yang merantau di kota besar, jauh dari keluarganya, mendapat berita: ibunya meninggal dunia secara mendadak … 


(Tebet Dalam, 19 Mei 2015)

***

Dia, bu ... seseorang yang aku ceritakan itu yang pernah menyerangku ketika aku panik menunggu waktu. Ketika aku fokus memikirkanmu. Hanya beberapa jam saja, rasanya aku tak sabar menuju bandara dimana pesawat akan membawaku terbang ke Surabaya. Pulang. Menjengukmu. Ibu yang saat itu berada di rumah sakit tak sadarkan diri, lalu masuk ruang ICU. Dan hari ini, tepat saat tulisan ini aku terbitkan adalah hari jadimu yang ke-67. Selamat ulang tahun, ibu ... sehat dan bahagialah selalu ...


(Tebet Dalam, 11 November 2015)

Thursday, October 1, 2015

Mendalami Makna Gotong Royong (Bagian 2)


“Karut-marut di negeri ini akibat terlalu banyak yang mengurusi hal-hal besar saja. Mereka melupakan untuk memperbaiki hal-hal kecil. Padahal hal-hal kecil itulah yang bisa membangun hal-hal besar. Kuat-rapuhnya pondasi bangsa ini tak lepas dari pondasi yang ada di rumah setiap warga.” 
~ Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto (1932 – 2013) ~ 
(https://nusantaranews.wordpress.com/2009/12/20/kisah-prof-sutandyo-hidup-sederhana-tidak-memiliki-rumah/)


Gotong Royong Adalah Kemanusiaan

Seringkali orang salah menafsirkan, bahwa segala pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama dianggap gotong royong, padahal tidak selalu demikian. Jika kita mau mendalami, tentu kita punya pertanyaan-pertanyaan: Apakah dalam melakukan pekerjaan bersama itu ada pihak-pihak lain yang dirugikan? Motivasi menolongnya itu apa? Karena sungkan (merasa tidak enak) atau karena mengharap pujian, atau berharap suatu waktu nanti mendapat balasan pertolongan?

Siapa pun tentu tahu, bahwa membantu atau menolong tidak hanya memberikan tenaga kita secara cuma-cuma. Kita juga bisa membagi sesuatu yang kita punya. Tetapi kegiatan membagi atau saling berbagi pun tidak serta-merta dikatakan gotong royong. Jika kita mau mengupas lebih dalam, kita juga tentu punya pertanyaan-pertanyaan: Yang dibagikan itu apa? Berakibat baik atau buruk? Sumbernya dari mana? Mengambil hak orang lain atau tidak? Motivasi berbaginya itu apa? Hitung-hitungankah?

Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu mengandung cinta, itulah gotong royong. Sebab gotong royong didasari oleh cinta, dimana rasa akan tergetar untuk berbuat sesuatu. Cinta yang tak meminta syarat. Cinta terhadap sesama manusia, yaitu kemanusiaan. Cinta memiliki nilai yang lebih besar dari sekedar bersikap adil, sebab adil belum tentu cinta. Tetapi dengan cinta kita pasti ingin berbuat adil seadil-adilnya. Dan ciri-ciri masyarakat gotong royong, adalah masyarakat yang respect pada harkat dan martabat manusia. Tidak membiarkan dekandensi moral yang akan mengganggu suasana saling menghormati harkat dan martabat masing-masing.

Mulai dari yang Kecil, Mulai dari Diri Sendiri

Menanggapi perdebatan di atas, saya setuju dengan istilah yang digunakan Si A, bahwa gotong royong tidak memilih, kepedulian tidak memilih. Saya juga sependapat bahwa dalam hidup berkolektif ya segala sesuatu haruslah dikerjakan bersama-sama. Jika seseorang terbiasa dimanja, dilayani oleh keluarganya, kebiasaan itu harus ditinggalkan ketika memilih hidup bersama dengan teman-temannya. Tidak ada manusia yang tidak bisa berubah, bahkan karakter yang buruk pun bisa diubah jika ada kemauan untuk mengubahnya, sebab manusia dibekali otak yang super komputer. Kita mengenal istilah adaptasi, tentu dengan situasi dan kondisi yang berbeda manusia bisa melakukan itu. Binatang saja mampu beradaptasi, mengapa manusia tidak? Bukankah manusia dikatakan sebagai makhluk yang sempurna sebab memiliki akal budi? 

Menagih gotong royong bukan berarti tidak ikhlas melakukan pekerjaan sendirian. Bisa saja itu terjadi, tetapi tidak selalu, sebab tidak ada manusia yang benar-benar terbebas dari rasa ikhlas. Pun tidak ada manusia yang seratus persen ikhlas sepanjang hidupnya. Si B yang tampak sabar, adakah dia selalu merasa ikhlas? Tidak. Tentu ada hal-hal yang tidak bisa diikhlaskan. Satu-satunya yang pasti diiklaskan oleh manusia adalah saat nongkrong di Water Closed

Menagih gotong royong bukan berarti hitung-hitungan tenaga, sebab kebiasaan yang dibiarkan atau dilakukan dengan sengaja membebankan tanggung jawab kita kepada orang lain, sama saja dengan melakukan penindasan. Membiarkannya sama dengan tidak mendidik. Apalagi sebagai orang yang mengaku Pancasilais, jika tidak sekedar berteori, tentu tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Dan dalam mini magazine yang saya baca, ada statement anti penindasan, cita-cita menuju kesetaraan, maka membiarkan adanya panindasan dalam bentuk sekecil apa pun sama dengan mendukung adanya klas-klas. Ada klas penindas, ada klas yang ditindas. Ada klas majikan, ada klas pesuruh. Melanggengkan patron-klien. 

Kebanyakan masyarakat kita meremehkan hal-hal kecil yang dianggap sepele. Padahal hal-hal sepele bisa berakibat fatal, sebab tidak pernah dipikirkan. Hal-hal kecil yang tidak dibenahi akan mengganggu kerja-kerja besar dan akan menghambat langkah ke depan. Bukankah sesuatu yang besar berasal dari yang kecil? Pribadi yang baik diciptakan dari kondusifnya rumah tangga. Seperti membuat bangunan, seseorang mesti membuat dulu pondasinya. Jika pondasinya yang terdiri dari bagian-bagian yang kecil tidak dipikirkan kekuatannya, bagaimana mampu menopang yang besar? Jika pondasinya saja rapuh, bagaimana mungkin bangunan yang besar memiliki kekuatan?

Beberapa orang mampu menyelesaikan hal-hal besar di luar sana, tetapi tak terlihat memberikan efek pada perubahan, sebab masih banyak yang melewatkan hal-hal kecil itu dan tidak segera melakukan perbaikan. Sebab tidak mampu bertanggung jawab dalam lingkup terkecil di tempat tinggalnya. Menyerukan gotong royong ke seluruh penjuru, tetapi masih mengandalkan orang lain. Berteriak bak revolusioner sejati, meminjam nama komunitasnya, menjual rakyat tertindas, tetapi melenakan diri sendiri bak bos besar yang tinggal perintah. Dari tidak adanya kemauan, sehingga tidak memiliki kemampuan melayani diri sendiri.  
 
Sudah banyak terjadi, setelah melewati beberapa tahap perjuangan, akhirnya mendapatkan kursi dalam pemerintahan. Tetapi dengan mudah mengkhianati rakyatnya, melupakan tujuan semula yang dianggap mulia, dengan mudah digoyahkan oleh keindahan dan kemewahan sebab tidak kuat tertanam di dalam diri sebagai pribadi yang baik yang meneladani.

Si B tidak setuju dengan konsep Si A, yaitu melayani diri sendiri. Mengapa? Barangkali Si B mengidap penyakit tertentu sehingga memiliki ketakutan tidak bisa melakukan segala hal sendirian ketika datang sakitnya. Padahal melayani diri sendiri itu tentu memiliki pengecualian bagi yang sakit. Di situlah kepedulian diuji, kebersamaan diterapkan. Bisa jadi Si B merasa tidak nyaman dengan konsep itu, sebab ia pemalas yang sukanya dimanja dan diladeni. Atau bisa juga Si B ini type seorang majikan yang lebih suka menyuruh atau memberi perintah. Seperti contoh misalnya peraturan pemerintah yang melarang masyarakat membuang sampah sembarangan dengan ancaman denda dan pidana. Tentu masyarakat yang punya kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya, akan merasa gerah dengan peraturan ini. Contoh lain misalnya peraturan pemerintah tentang larangan merokok di tempat umum atau kampanye-kampanye bahaya merokok. Tentu para perokok tidak setuju sebab mengganggu kesenangannya, maka mereka akan menentang dengan berbagai macam argumentasi, hingga membuat apologi bahwa merokok adalah hak, merokok bukan kriminal.

Saya setuju dengan konsep Si A bahwa semua dimulai dari diri sendiri. Tetapi Si B tidak setuju juga dengan konsep ini. Mengapa? Lagi-lagi ini terjadi akibat ketidak-nyamanan pada dirinya. Barangkali selama ini Si B hanya pandai berteori (tidak pernah berpraktek) dan cenderung mengesampingkan hal-hal kecil. Ya, bagaimana kita bisa menyerukan “Z” jika kita tidak melakukan “Z”. Bagaimana kita bisa mengajak orang untuk tidak melakukan penindasan jika kita sendiri melakukan itu? Bagaimana mungkin kita bisa menciptakan generasi muda yang mandiri, jika kita sendiri tidak mampu melayani diri sendiri? Kalau kita saja tidak mampu melayani diri sendiri, bagaimana kita bisa melayani banyak orang? Jika mengurusi satu rumah saja tidak mampu, bagaimana bisa mengurusi rumah tangga yang besar yang disebut negara?

Ada lelucon satir yang dibawa teman saya dari Singapura, katanya, kalau orang Jepang, sedikit bicara banyak kerja. Kalau orang Cina, banyak bicara banyak kerja. Kalau orang Indonesia, lain yang dibicarakan, lain yang dikerjakan. Begitulah kondisi umum yang terjadi pada masyarakat kita.

Sebagai kumpulan orang-orang yang berorganisasi, tentu mereka akan mengajak masyarakat untuk bergabung dan berjuang bersama. Mereka akan melakukan pengorganisiran dari kampung ke kampung, dari pabrik ke pabrik atau dari kampus ke kampus. Dan sebagai orang awam yang belum pernah bersentuhan dengan organisasi, apa yang bisa mereka lihat dari orang-orang yang dianggap “sadar” dan pintar? Jelas bukan kerja-kerja di depan komputer, urusan surat-menyurat, atau hubungan dengan instansi pemerintah, melainkan hal-hal sederhana yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Perilaku keseharian mereka. Jika mereka berteriak anti penindasan, sementara mereka main perintah atau membiarkan seseorang mengerjakan semua sendirian tanpa ada kepedulian untuk membantu, apakah masyarakat awam percaya bahwa perjuangan yang mereka lakukan adalah perjuangan bersama? Jika mereka berteriak lantang: anti kapitalisme, lawan imperialisme, sementara mereka sendiri mendukung sistem itu melalui perilakunya yang hedonisme, konsumerisme, apakah masyarakat awam akan percaya dengan yang mereka perjuangkan?

Ada satu titik dimana seseorang menyadari kekeliruannya hingga merasa muak dengan perilaku buruknya. Di situlah manusia mengalami perubahan menjadi pribadi yang lebih baik. Inilah kesuksesan yang dicapai manusia secara spiritual.

Yang kecil-kecil itu adalah latihan untuk menuju yang besar. Jika hal-hal kecil sudah kita lakukan dengan baik, tentu akan menjadi kebiasaan yang baik, sehingga kita tidak perlu alergi ketika orang lain membahas hal-hal kecil sebab kita sudah mampu melaluinya. Menyelesaikannya. Jika kita sudah menyadari itu tentu kita setuju, bahwa perbaikan keadaan tidak akan terwujud tanpa tindakan 3M:
      -  Mulai dari yang kecil
      - Mulai dari diri sendiri
      -  Mulai dari sekarang! 

Kita boleh berpikir besar, tetapi selalu dimulai dari yang kecil. Think Big, Start Small. 

(Selesai)


(Tebet Dalam, 10 September 2015)


Monday, September 28, 2015

Mendalami Makna Gotong Royong (Bagian 1)


“Many small people, in small places, doing small things can change the world” (Banyak orang kecil, di tempat-tempat kecil, melakukan hal-hal kecil dapat mengubah dunia) 

~ Penulis dan Jurnalis Uruguay, Eduardo Galeano (1940 – 2015) ~


Hampir setahun lalu saya ingin mengulas tentang “gotong royong”. Tetapi keinginan itu tenggelam oleh kesibukan saya sehari-hari. Tertumpuk oleh rencana baru. Terlupakan. Dan sebuah kejadian menginspirasi saya. Membangkitkan kembali ingatan saya untuk menuliskan itu. Membuka lagi catatan-catatan kecil yang pernah saya buat. 

Baiklah, akan saya mulai dari kejadian itu, lalu dari sana akan saya coba mengupasnya …

Suatu hari, saya mendatangi sebuah kantor organisasi. Katakanlah nama organisasi itu X. Niat saya hanya untuk bertemu dengan kawan lama. Kami sudah bikin janji. Tetapi pada waktu yang sudah kami sepakati, melalui short message service dia mengatakan, sedang keluar sebentar. Ada keperluan mendadak yang harus diselesaikan, dan saya diminta menunggu. 

Sendiri di ruang tamu, saya iseng mengambil bacaan yang tergeletak di samping saya. Sebuah mini magazine yang mereka cetak sendiri sepertinya, sebab tertulis besar-besar di cover depan, nama organisasi mereka. Ruangan tamu itu bersih. Saya bisa melihat dari lantai keramik putih yang tampak bening. Berkilau. Kaki saya pun bisa merasakan kesatnya, sebab alas kaki mesti dilepas dekat pintu. Tidak ada kursi tamu atau sofa di sana. Hanya permadani yang diletakkan di sisi dekat jendela sebagai gantinya. Lesehan. Ada satu meja belajar dengan dua bangku plastik yang ditumpuk jadi satu di sampingnya. Ada satu unit komputer lengkap dengan speaker systemnya, buku-buku, koran, majalah, dan beberapa box file yang tertata rapi. 

Tetiba saya ingin buang air kecil. Saya masuk saja menemui salah seorang di dalam untuk ijin ke toilet. Saya dipersilahkan dengan ramah oleh seorang perempuan yang tadi pagi menerima kedatangan saya dengan ramah pula. Saya diantar menuju ke sana melewati dapur. Rupanya ada dua orang perempuan lagi yang sedang memasak di sana. Mereka tersenyum. Barangkali tempat ini dijadikan kantor plus tempat tinggal, sebab perabotan dapurnya cukup lengkap. 

Saya kembali ke ruang tamu, memungut majalah mini dan mulai membuka isinya. Sedang asik membaca, telinga saya menangkap pembicaraan kedua perempuan yang tadi saya temui di dapur. Suara mereka terdengar keras. Menggema. Mengganggu konsentrasi saya saat membaca. Barangkali karena bangunan gedungnya yang besar dan tinggi, serta suasana kantor yang lengang. Saya coba fokus pada bacaan saya tapi suara mereka semakin keras terdengar. Rupanya terjadi perdebatan di tengah mereka sedang memasak. Semakin lama semakin lantang. Pada akhirnya, telinga saya yang jadi pemenang. Saya memilih untuk mendengar perdebatan sengit itu daripada membaca. Seru. Menarik untuk disimak. 

Lalu bagaimana isi perdebatan itu? Baik, saya namakan saja kedua perempuan itu Si A dan Si B. Saya tidak tahu namanya, tetapi saya bisa membedakan suara mereka. Dan nama-nama yang disebut dalam perdebatan itu sebagian saya ingat, sebagian hasil rekayasa saya. Barangkali isi perbedabatan itu juga tidak lengkap atau kata-katanya tidak sama persis. Maklum, hanya tersimpan di memori otak saja, yang kemudian tertimpa oleh kejadian-kejadian lain. Tapi saya yakin tidak mengurangi substansinya, sebab saya sudah dapat menangkap maksudnya.  

A: Dulu, Si Bambang itu kebiasaan sekali kalau kami lagi masak belum selesai, sudah makan duluan. 

B: Ya, mungkin dia kelaparan.

A: Semua juga lapar. Tapi apa salahnya menunggu makan bareng-bareng. Dan itu kan nggak sekali dua kali. 

B: Dia itu memang kolokan. 

A: Kecuali kalau ikut bantu-bantu, bolehlah, karena punya andil memasak. 

B: Tidak bisa dipaksa. Kan tidak setiap orang bisa memasak.

A: Bantu-bantu kan bukan berarti memasak. Bisa cuma kupas bawang, potong sayuran atau cuci perabotan. 

B: Ya, di rumah saja kan kita biasa begitu. Ibu kita belum selesai masak, kita sudah makan duluan.

A: Ya jangan disamakan di rumah sendiri dengan di sini. Kita kan hidup bersama. Apa-apa ya harus dikerjakan bersama.

B: Kan tidak semua orang suka dengan kegiatan memasak.

A: Ya suka nggak suka, namanya hidup bareng kok. Bersih-bersih juga enggak.

B: Masing-masing orang kan tidak sama. Tidak semua punya kesadaran seperti kamu. Biarkan saja. Kalau kamu begitu, itu sama saja dengan membebani dirimu sendiri. Nggak sehat buat kamu.

A: Ya nggak begitu. Kalau nggak ngerti ya mesti dikasih pengertian. Kalau nggak sadar ya mesti disadarkan. 

B: Sudah, kerjakan saja. Biar kepalamu jadi kaki, kaki jadi kepala, kalau orang sudah begitu ya begitu. Nggak akan berubah.

A: Siapa bilang? Buktinya, beberapa dari mereka sudah mulai ngerti kok. Kalau mau pergi, dia cuci gelas kopinya sendiri. Habis bikin kopi juga mereka cuci sendoknya. Biasanya pada digeletakin saja di meja. Numpuk sendok-sendok kotor. Ya awalnya kita beri contoh melalui tindakan kita, kalau masih nggak ngerti ya mesti pakai mulut. Ditegur. Sama kayak peraturan yang ditulis, kalau nggak dijalankan ya mesti ditegakkan. Bagaimana cara menegakkannya? Ya pakai mulut.

B: Ah, memasak itu tidak penting. 

A: Memasak memang tidak harus, karena tanpa masak pun kita bisa makan. Tinggal beli lauk, jadi. Tapi bersih-bersih, ya harus itu. Kalau kita tidak bersih-bersih, apa gantinya? Siapa yang membersihkan? Kita kan nggak punya pembantu. Kalau kantor kita kotor, memang kita nggak malu kalau ada tamu? Kebersihan dan kerapian kantor itu buat aku, salah satu harga diri organisasi kita. Kalau kita tidak malu ketika organisasi kita dilecehkan karena kantor kita yang kayak kandang ayam, ya patut dipertanyakan kadar cintanya pada organisasi. 

B: Kamu tidak bisa memaksa kalau kamu pegang sapu, yang lain juga harus pegang sapu. 

A: Ya nggak harus pegang sapu. Paling tidak layanilah diri sendiri. Jangan tinggalkan gelas-gelas kopi atau gelas-gelas yang sudah dikotori. Buang bekas bungkus rokok dan bungkus makanan di atas meja, juga abu dan puntung rokok yang luber dari asbaknya. Kan sudah disediakan tempat sampah dekat pintu. Tinggal buang di situ apa susahnya sih? Masak buang sampah saja mesti diajarin. Memangnya anak TK. 

B: Biarkan saja, nggak usah kamu bersihkan. Nanti kan ada saja teman-teman lain yang mengerjakan.

A: Nunggu sampai kapan? Siang, sore, malam atau pagi lagi? Nunggu kita malu kalau ada tamu? Mereka itu mau melakukan kalau pusarnya lagi miring. Satu dua orang saja mau bantu kalau kebetulan dia ada. Dan kalau dibiarkan, sama saja dengan penindasan. Apa dong artinya teriak anti penindasan, kalau realitanya menindas teman sendiri. 

B: Kamu itu terlalu sensitif. Ada hal yang lebih penting dikerjakan.

A: Dari dulu, kamu dan Tono selalu menentang aku soal bersih-bersih dan rapi-rapi kantor, padahal waktu temanmu datang ke sini, kantor sudah dalam keadaan bersih, hanya ada makanan dalam plastik yang terbuka saja lantas kamu singkirkan ke belakang, padahal kan itu bukan sampah. Kamu malu kan? Bagaimana kalau kantor berantakan kayak kandang ayam. Tono juga, giliran tempatnya aku tinggal, ngeluhnya nggak karu-karuan karena yang nunggu nggak peduli kondisi kantornya.

B: Enggak. Kotor pun tidak masalah. Asal kita kerjakan dengan ikhlas, maka masalah-masalah itu tidak akan membebanimu. Menggerogotimu.  

A: Ah ngeles. Nggak ngaku kalau malu sama teman-temannya yang datang. Tapi malu saja juga nggak cukup sih untuk mengetahui kadar cinta kita pada organisasi. Harus ditambah dengan berbuat sesuatu. Dan bukan masalah nggak ikhlas, tapi mana gotong-royongnya? Katanya Pancasilais. 

B: Gotong-royongnya di bagian lain. Di kerja-kerja yang lain. 

A: Ya nggak begitulah. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri saja nggak bisa, bagaimana bertanggung jawab pada hal-hal yang besar. Semua itu diawali dari yang kecil. Itu pondasi. Bagaimana sebuah bangunan bisa kuat kalau pondasinya saja rapuh? 

B: Enggak. Enggak begitu. Itu nggak prinsip. Jangan itung-itungan tenaga. Itu akan menyiksa dirimu sendiri. 

A: Bukan juga itung-itungan tenaga, tapi yang namanya gotong-royong itu tidak memilih mana yang prinsip dan mana yang tidak. Atau di bagian mana gotong royong itu harus dilakukan dan di bagian mana yang tidak. Kepedulian juga tidak memilih, peduli pada yang “ini” saja atau yang “itu” saja, yang lain bodo amat. Ya nggak begitu. 

B: Kamu itu terlalu perasa.

A: Bukannya kamu dulu pernah bilang, kamu tidak suka kalau kamu sedang menggoreng, lalu anak-anak main comot. 

B: Enggak, aku bercanda.

A: Ah, aku lihat kamu marah-marah waktu ada yang nyomot makanan, lalu kamu serius mengatakan ketidak-sukaanmu itu. 

B: Enggak … enggak, aku bercanda.

A: Ah, nggak ngaku ah. Dulu juga kamu pernah ngomongin Si Ayung karena dia nggak pernah bantu-bantu masak. Kupas bawang saja nggak pernah, katamu. Sekarang bilangnya nggak penting. Biarkan saja.

B: Enggak … enggak …

A: Ya, nggak ada yang diakui. Statementnya berubah-ubah. Nggak konsisten (sambil berjalan menuju ruang yang lain, seperti bicara sendiri). 

Kawan saya muncul di pintu, menegur saya. Dia langsung mengajak saya keluar mencari tempat tongkrongan. Biar ngobrolnya asik, enaknya di luar sambil ngopi plus “ngudut”, katanya. Maka saya tinggalkan kantor itu dengan perdebatan yang entah masih berlanjut atau disudahi.

*** 

Gotong Royong Adalah Saripati Pancasila

Siapa yang tak kenal istilah gotong royong. Dua kata yang selalu dipasangkan ini sudah sangat familiar di telinga masyarakat. Jika dijabarkan, gotong berarti pikul, royong berarti bersama. Jika digabungkan, artinya memikul bersama atau bekerja bersama-sama. Seperti peribahasa yang mengatakan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, maka dengan gotong royong, beban yang berat akan menjadi ringan. Kalau menurut Bung Karno, seperti dalam pidatonya yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945 di depan peserta Sidang BPUPKI: “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.”

Namun tidak semua kegiatan saling membantu bisa dikatakan sebagai upaya melakukan gotong royong. Bekerja bersama, saling membantu atau saling menolong baru bisa dikatakan gotong royong apabila kegiatan itu memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu tentu merujuk pada hasil perenungan Bung Karno yang telah ditetapkan sebagai dasar negara kita, yaitu Pancasila:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Dari Pancasila, jika diperas akan menjadi Trisila:

1. Sosio Nasionalisme (berasal dari kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan)
2. Sosio Demokrasi (yaitu demokrasi dengan kesejahteraan)
3. ke-Tuhanan (yang menghormati satu sama lain)

Dari Trisila, jika diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Jadi Pancasila, ya gotong royong, sehingga saling menolong bisa dikategorikan sebagai gotong royong apabila tidak terlepas dari kerangka besarnya, yaitu Pancasila. 

(Bersambung)


(Tebet Dalam, 10 September 2015)


Monday, September 21, 2015

' pesan gajah '


Kataku, “Jika suatu hari nanti aku tidak lagi ada di sana, bukan berarti aku tak cinta. Aku tidak mudah cinta, pun tidak mudah lupa.”

dan malam … 
duduk bersila
diteras rumah bertingkat
dipandang tangga berkelok
pagar besi yang selalu tertutup
motormotor yang ditinggal dihalaman
satu jam sebelum mengantarku pulang
satu hari sebelum aku kembali ke ibukota
ia berpesan: jangan pernah takut ditentang, dibenci, bahkan dimusuhi banyak orang karena niat baikmu, ning … 

(Surabaya, 3 Agustus 2015)



Photo Source: Google Images

 

 
Blogger Templates