Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Saturday, February 28, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 3)



Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPKI (11 Juli), Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua BPUPKI membentuk tiga kelompok panitia:
1.       Panitia perancang hukum dasar (diketuai oleh Soekarno)
2.       Panitia perancang keuangan (diketuai oleh Mohammad Hatta)
3.       Panitia perancang pembelaan tanah air (diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoejoso)

Sebelumnya, hasil rumusan Piagam Jakarta mendapat respon yang tajam dari Latuharhary. Dalam tanggapannya pada 11 Juli, dia menyatakan keberatan atas pencantuman ‘tujuh kata’. Tanggapan itu merangsang pro-kontra menyangkut pasal-pasal ikutannya, seperti ‘agama Negara’ dan ‘syarat agama seorang presiden’ yang nyaris membawa sidang ke jalan buntu. Dalam pandangannya:

“Akibatnya akan sangat besar sekali, umpamanya terhadap agama lain. Maka dari itu, saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini terlalu berat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam. Saya usulkan supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada kemungkinan apa pun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan yang bersangkutan.”

Berkat kewibawaan Soekarno, untuk sementara waktu kemacetan itu bisa diatasi. Namun di luar persoalan tujuh kata, prinsip Ketuhanan yang dipindah dari sila terakhir menjadi menjadi sila pertama disetujui oleh seluruh anggota BPUPK. Selain itu, mereka juga menerima pokok-pokok pikiran dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 yang disepakati pada 11 Juli 1945.

Pada perkembangannya, panitia perancang hukum dasar yang diketuai oleh Soekarno membentuk panitia kecil yang bertugas untuk merumuskan rancangan UUD. Mereka yang ditunjuk oleh Soekarno sebagai anggota panitia kecil ini adalah: Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis, Soepomo, Soekiman dan Agoes Salim. Atas usul Wonsonagoro, Soepomo menjadi ketua. Penunjukkan Soepomo mencerminkan kualitasnya sebagai ahli hukum, karena ia adalah seorang sarjana yang cemerlang, yang meraih gelar Doktor dari Universitas Leiden dalam bidang hukum pada 1927 dengan predikat ‘cum laude’ dan merupakan orang kedua yang mendapatkan gelar profesor pada zaman Hindia Belanda tahun 1942. Selain itu, dia juga memiliki pengalaman keterlibatan dalam komisi ketatanegaraan (Komisi Visman) yang dibentuk pada 14 September 1940 untuk merespon aspirasi kalangan pergerakan, seperti menuntut agar Indonesia mempunyai parlemen sendiri dengan semboyan ‘Indonesia Berparlemen’. Lebih dari itu, Soepomo bersama Soebardjo dan Maramis sejak 4 April 1942 bahkan telah menyusun rancangan UUD Indonesia Merdeka.

Dalam membuat rancangannya, Panitia Kecil mendasarkan susunannya pada apa yang disebut Soepomo sebagai ‘sistematik Negara kekeluargaan’. Dengan demikian, jika dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong royong, maka dasar dari semangat dan sistematik penyusunan UUD pun senafas dengan itu, yakni ‘kekeluargaan’. Dalam arus besar semangat dan konsepsi kekeluargaan itu Soepomo tidak memaksakan pikirannya sendiri. Hal ini terlihat dalam proses perumusan UUD dimana Panitia Kecil mematuhi keputusan sidang tanggal 11 Juli, dengan menyusun UUD 1945 berdasar Piagam Jakarta (dengan ‘tujuh katanya’), bukan berdasar ‘staatsidee’ negara integralistik yang sebelumnya dianut oleh Soepomo.

Dengan berlandaskan Piagam Jakarta, panitia ini terlebih dulu merumuskan lima (5) pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD. Inti dari kelima pokok pikiran itu adalah:
1.       Negara —begitu bunyinya —yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan ini kita menolak bentukan Negara yang berdasarkan atas individualisme dan juga menolak bentukan Negara sebagai ‘klase-staat’, sebagai Negara yang hanya mengutamakan satu kelas, satu golongan seperti menurut sistem Soviet yang mengutamakan golongan pekerja dan tani. 

2.       Negara yang berdasar atas hidup kekeluargaan, akan menyelenggarakan dasar itu bukan ke dalam, akan tetapi juga keluar….. Jadi dengan ini, kita akan membentuk Negara berdasarkan kekeluargaan, tidak saja terhadap dunia dalam negeri, akan tetapi juga terhadap dunia di luar negeri.

3.       Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem Negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.

4.       Negara berdasar atas ke-Tuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

5.       Negara  Indonesia memperhatikan keistimewaan bagi penduduk yang terbesar dalam lingkungan daerahnya, yaitu penduduk yang beragama Islam. Dengan terang dikatakan dalam ‘Pembukaan’, kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Dengan itu, Negara memperhatikan keistimewaan penduduk yang terbesar, yaitu yang beragama Islam.

Selanjutnya dikatakan, bahwa pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Selain itu, pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (undang-undang dasar), maupun hukum yang tidak tertulis.

Batang tubuh UUD kemudian dirancang dengan dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD tersebut. Pemenuhan atas prinsip ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ terkandung pada pasal 29 (1,2) dalam rancangan akhir UUD. Pemenuhan atas prinsip ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ terkandung dalam pasal-pasal yang menyangkut hubungan luar negeri —pasal 11 dan 13 ; serta pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia —pasal 27 (1,2), 28, 29, 30, 31, 34. Pemenuhan atas prinsip kebangsaan/persatuan terkandung dalam pasal 1,2,3,18,26,32,35,36. Pemenuhan prinsip ‘Demokrasi permusyawaratan’ terkandung dalam pasal-pasal tentang sistem pemerintahan negara, terutama pada pasal 1-28. Prinsip ‘keadilan sosial’ terkandung pada pasal 23,27 (2), 31,33 dan 34.

Dalam pembukaan UUD tampak jelas bahwa para pendiri bangsa mempunyai argumen yang kuat, bukan hanya untuk mendirikan suatu bangsa, melainkan dengan hidup dan ‘beropersi’-nya sebuah organisme bernama Negara. Argumen pertama menegaskan bahwa kolonialisme adalah penindasan atas manusia dan atas bangsa. Argumen kedua adalah argument self-determination (from alien domination). Argumen  ini menjadi fondasi dari perlindungan hak dasar, yang kemudian dikenal sebagai hak asasi manusia (HAM), seperti yang diakomodasi secara bertahap dalam kerangka Liga Bangsa-Bangsa (1919 – 1946), International Labour Organization (berdiri 1919), Piagam Atlantik (1941), dan kemudian tertuang dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditandatangani pada 26 Juni 1945, empat hari setelah penandatanganan Piagam Jakarta.

Pengalaman terjajah dan keterlibatan para pendiri bangsa dalam berbagai gerakan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme, memberi pembelajaran dan kepekaan bagi pembebasan umat manusia. Indonesia mempunyai Pembukaan Konstitusi sebagai grundnorm, yang mendasarkan Negara pada hukum (rectsstaat) atas dasar pengakuan akan kemerdekaan manusia. Hal ini merupakan prinsip HAM yang penting, apalagi diperkuat oleh komitmen negara pada perlindungan warga, terutama menyangkut hak ekonomi, sosial dan budaya yang terkandung dalam alinea keempat: ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial’, Indonesia juga menegaskan komitmennya pada kemanusiaan universal dalam pergaulan antarbangsa.

Akan tetapi, pengalaman ketertindasan membuat rancangan UU ini lebih memiliki kepekaan dalam usaha memuliakan hak-hak dasar kemanusiaan dalam konteks keindonesiaan. Dalam rancangan UUD yang serba ringkas ini, pasal-pasal tentang HAM itu memang terbatas jumlahnya karena tekanan yang diberikan pada dasar kekeluargaan. Harap juga diingat bahwa ketika rancangan UUD ini disusun, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) belum lahir, meskipun rumusan awal tentang prinsip-prinsip HAM memang sudah muncul dalam berbagai piagam, seperti dalam Magna Carta (1215) yang sudah menggariskan tentang ‘due process of law’, Petition of Rights (1689), dan lain-lain. Pendapat umum di persidangan BPUPKI hanya bisa merujuk pada deklarasi-deklarasi HAM yang masih tahap awal pertumbuhannya itu; yang kerap disebut adalah Declaration of Rights (1774), Deklaration of Independence (1776) dari Amerika Serikat dan Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789) dari Perancis.

Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, melainkan perpaduan dari banyak unsur. Pengakuan konstitusional atas hak warga (khususnya hak sipil dan politik) pada mulanya mengundang pro-kontra, terutama dalam relasinya dengan sistematika Negara kekeluargaan yang dipertahankan Soepomo, yaitu Negara integralistik.

Sebagai ahli hukum adat, Soepomo sangat dipengaruhi oleh profesor-profesor dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, terutama Cornelis van Vollenhoven sebagai induk dari kesarjanaan hukum adat. Penemuan para sarjana Leiden mengenai persamaan dasar di antara masyarakat-masyarakat adat di seluruh Nusantara membantu para sarjana (hukum) Indonesia untuk mengkonseptualisasikan Indonesia sebagai suatu entitas budaya tunggal. Aliran Leiden juga menyumbangkan dua gagasan lainnya. Pertama, proposisi umum bahwa pemerintah dan hukum nasional harus mencerminkan budaya dan tradisi yang unik. Kedua, bahwa budaya Indonesia pada dasarnya berorientasi komunal, spiritual dan cinta keselarasan bertolak belakang dengan arus utama budaya Barat yang oleh para sarjana Leiden dilihatnya sebagai individualistik, materialistik dan penuh konflik. Lebih lanjut aliran Leiden ini termasuk dalam tradisi khusus filsafat hukum yang berasal dari gerakan Romantik Jerman pada awal abad-19 yang sebagian berakar pada ajaran Katolik dan sebagian lain sebagai reaksi terhadap Revolusi Perancis yang bersifat anti-liberal dan anti-individualistik.

Hasil rumusan panitia kecil yang dirancang pada 11 – 12 Juli, diperbincangkan dalam Rapat Besar Panitia Perancang yang diketuai oleh Soekarno (13 Juli). Dari sana, lahirlah Rancangan Pertama UUD. Setelah rancangan pertama ini dibahas dalam Rapat Besar BPUPKI (14 Juli), lahirlah Rancangan Kedua UUD. Rancangan ini kemudian mendapat masukan-masukan baru lagi pada Rapat Besar BPUPKI pada 15 – 16 Juli 1945, maka lahirlah Rancangan Ketiga (terakhir).

Dalam pemenuhan prinsip ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, semula ada perdebatan sengit menyangkut isu hak-hak dasar (hak-hak asasi manusia) dalam hubungannya dengan konsepsi ‘negara kekeluargaan’ sebagai arus utama pemikiran politik Indonesia saat itu yang sangat mewarnai perumusan rancangan UUD. Titik krusialnya terletak pada persoalan hak sipil dan politik, dan secara lebih khusus lagi menyangkut kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Untuk hak ekonomi, sosial dan budaya, tidak ada masalah.

Pada Rapat Besar 11 Juli 1945, Yamin menyatakan bahwa tiap-tiap konstitusi dari bangsa merdeka terbentuk atas tiga bagian: Paling akhir berisi pasal-pasal, bagian tengah berisi pernyataan kemerdekaan dan dasar Negara, dan bagian awal terdapat keterangan tentang hak manusia di atas dunia sebagai bangsa yang hendak merdeka. Selanjutnya, dia memberi contoh konstitusi Amerika Serikat yang menurutnya juga terdiri dari tiga bagian: (1) Declaration of Rights (1774), (2) Declaration of Independence (1776), dan (3) Konstitusi (1787).

Atas pernyataan Yamin dalam Rapat Panitia Hukum Dasar yang dipimpin Soekarno itu, pada tanggal yang sama, Soepomo menyatakan ketidaksetujuannya:

“Saya belum mengerti apa yang dimaksudkan, karena Declaration of Rights sebagai dikemukakan di waktu Franse Revolutie dan di Amerika bersandar atas individualisme, yaitu kepercayaan bahwa manusia sebagai seseorang harus dijamin hak-haknya yang diberikan kepadanya oleh alam dan Negara. Ini sebetulnya penting seklai, oleh karena apakah kita akan menghendaki juga prinsip itu atau tidak. Maka aliran itu sesudah perang dunia ke-1 dan terutama di zaman akhir ini, bukan saja di Asia Timur, tetapi juga di Amerika dan Eropa pun sudah verauderd (kadaluwarsa). Jadi jangan menyandarkan Negara kita pada aliran perseorangan, akan tetapi pada kekeluargaan. Oleh karena menurut pikiran saya, aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan Declaration of Rights.”

Soekarno mengajukan pandangan alternatif, apakah tidak mungkin membuat Declaration of Rights dalam suasana kekeluargaan (in de damkring van kekeluargaan). Tentang ide ini, Soepomo menyatakan mufakat dengan Declaration of Rights mengenai suatu bangsa (namun tidak mengenai seseorang), meskipun dia merasa tidak memahami bagaimana isinya.

Agoes Salim mempunyai pendangan lain. Baginya tidak menjadi persoalan paham apa yang dianut, yang penting menurutnya, dalam hukum dasar harus terdapat ‘pagar-pagar penjaga supaya keadilan tetap berlaku’. Lantas dia katakan, “Sebab dalam Negara merdeka tentu saja rakyatnya mempunyai perasaan dirinya merdeka juga. Jadi dalam hukum dasar Nippon pun hak-hak orang yang menjadi rakyat disamping kewajiban dimuat, juga hak bahwa orang tidak akan dihukum jikalau tidak dengan keputusan Mahkamah Pengadilan atas Undang-Undang yang sudah diadakan dulu daripada perbuatan yang dilakukan itu, sedikit-sedikitnya semacam itu harus ada. Jadi ini termasuk dalam Declaration of Rights yang disebutkan itu bahwa tiap rakyat akan diadili oleh sesamanya dan kemerdekaan seseorang itu tidak akan direbut daripadanya, melainkan jika menurut aturan undang-undang yang sudah ditentukan.”

Pada rapat Besar 15 Juli 1945, Soekarno menegaskan bahwa dengan diterimanya rancangan Pembukaan UUD, anggota-anggota telah mufakat bahwa dasar, falsafah dan sistem yang dipakai dalam penyusunan rancangan UUD adalah dasar kekeluargaan (gotong royong). Dengan menyetujui kata keadilan sosial dalam preambule, berarti merupakan protes kita yang mahahebat kepada dasar individualisme. Oleh karena itu menurutnya, “Betapapun dalam UUD Negara merdeka, lazimnya dimasukkan apa yang disebut ‘les Droits de l’Homme et du Citoyen’ atau ‘the Rights of the Citizens’, Indonesia akan membuat pilihannya sendiri. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan Negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme dari padanya.”

Meski demikian, Soepomo, pada hari yang sama berusaha menjernihkan persoalan jaminan hak dasar individu dalam paham kekeluargaan. Dalam pandangannya:  

“Jikalau jaminan hak-hak dasar orang seorang dalam undang-undang dasar yang bersifat kekeluargaan tidak diadakan, itu sama sekali tidak berarti bahwa rakyat tidak boleh berserikat, tidak boleh bersuara atau tidak boleh berkumpul sama sekali! Tentang hal ini Soepomo menunjukkan contoh bahwa beberapa hak dasar warga negara dan penduduk telah terkandung dalam rancangan pertama dan kedua UUD. Yang dia sebutkan adalah pasal-pasal yang menyangkut ‘hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’, ‘hak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara’, ‘hak mendapatkan pengajaran’, ‘kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama’.”

Bagi Soepomo, dalam Negara yang bersifat kekeluargaan bukanlah tidak ada jaminan hak bagi hak dasar individu, tetapi menghendaki agar warga Negara lebih mengedepankan pemenuhan kewajibannya ketimbang menuntut haknya: “Dasar kekeluargaan dan dasar permusyawaratan yang telah kita terima sebagai dasar-dasar Negara Indonesia, dengan sendirinya menghendaki kemerdekaan rakyat berserikat dan berkumpul. Tuan Paduka Ketua, kita menghendaki semangat kekeluargaan. Semangat itu harus meliputi seluruh lapangan hidup manusia, bukan saja dalam lapangan ekonomi dan sosial, akan tetapi juga dalam lapangan politik, dalam lapangan pemerintahan, dalam perhubungan antara pemerintah dan warga Negara. Dalam sistem kekeluargaan sikap warga Negara bukan sikap yang selalu bertanya ‘apakah hak-hak saya?’, akan tetapi sikap yang menanyakan ‘apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar ialah Negara Indonesia ini?’… Inilah pikiran yang harus senantiasa diinsyafi oleh kita semua.”

Pandangan Soepomo ini seperti dicatat A.B. Kusuma (2004:367) mendahului apa yang kemudian ditekankan oleh John F. Kennedy kepada rakyat Amerika Serikat pada 1961, “Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country.” (Jangan tanyakan apa yang dapat diberikan oleh Negara bagi dirimu; tanyalah apa yang dapat diberikan oleh dirimu kepada Negara).

Betapapun juga Mohammad Hatta tetap menghendaki agar ada jaminan yang lebih tegas atas hak berserikat, berkumpul dan berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dengan dalih semangat kekeluargaan di kemudian hari. Dia sepakat dengan dasar kekeluargaan, dan menurutnya, diapun lebih dari 20 tahun berjuang menentang individualisme. Akan tetapi harus dihindari kemungkinan Negara kekeluargaan menjelma menjadi Negara kekuasaan. Selengkapnya dia katakan:

“Tetapi suatu hal yang saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungjawaban kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir mengkhianati di atas undang-undang dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui. Sebab dalam hukum Negara sebagai sekarang ini mungkin timbul satu keadaan ‘kadaver dicipline’ (disiplin mati/bangkai) seperti yang kita lihat di Rusia dan Jerman, inilah yang saya kuatirkan….. Hendaklah kita memperhatikan syarat supaya Negara yang kita bikin jangan menjadi Negara kekuasaan. Kita menghendaki Negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita ialah memperbaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita berikan kekuasaan yang sekuasa-kuasanya kepada Negara untuk menjadikan di atas Negara baru itu suatu Negara kekuasaan.”

Oleh karena itu menurutnya, perlu dimasukkan beberapa pasal mengenai hak warga Negara seperti hak untuk berkumpul, bersidang dan mengeluarkan pendapat. Sebab, selain didasarkan pada asas kekeluargaan, Negara kita juga didasarkan ‘kepada kedaulatan rakyat’. Hatta juga mengingatkan bahwa dalam collectivisme ada sedikit hak bagi anggota-anggota dari keluarga itu mengeluarkan perasaannya untuk mengadakan, menjadikan badan collectivisme itu dengan sebaik-baiknya. Usul untuk memerhatikan hak pokok warga Negara itu menurutnya tiada lain untuk menjaga supaya Negara yang kita dirikan itu ialah Negara pengurus, supaya Negara pengurus itu nanti jangan menjadi Negara kekuasaan, Negara penindas. 


(Bersambung)
Photo Source: Google Images

Thursday, February 26, 2015

' Surat untuk Anakku '


anakku …
kau boleh salim dengan buyut, kakek dan nenekmu
tapi jangan denganku
kecup saja keningku, pipiku
seperti aku menciummu
atau ... kita bisa toss saja
sebab aku bukan orang tua produk lama
yang selalu menjejali kewajiban
bukan hak

kita sama, anakku …
kita setara

bukan cuma kau yang menghormati aku
aku pun mesti menghormatimu
menghormati harkat dan martabatmu sebagai manusia
bahkan sejak kau belum mengerti apa - apa

anakku ...
kau memang terlahir dari aku
tapi bukan karena aku
kau hanya manusia kecil yang dititipkan melalui persetubuhan
maka kuberi kau pilihan
kubebaskan kau berpendapat

jika kau tak mau mengikuti mauku
tak menuruti nasihatku
tak peduli keadaanku
itu hakmu

bahkan jika kau tak sudi membalas lelahku
membahagiakanku
dari 9 bulan mengandungmu
menggantung di perutku beban yang makin lama makin berat
membawa ke mana – mana dengan gerak yang makin hari makin tak bebas
melahirkanmu
merawatmu
mendidikmu
aku tak akan menganggapmu anak durhaka
apalagi berteriak: kembalikan air susuku!
tidak, anakku …

aku orang tua yang tercerahkan
melahirkanmu adalah kebahagiaanku
belum tentu kebahagiaanmu
sebab kau tak punya pilihan
sebab kau tak bisa meminta untuk tak dilahirkan

jangan khawatir, nak …
aku tak akan membebanimu kecuali inginmu
menghidupiku, merawatku
saat aku telah renta
tak lagi mampu bekerja
siapa tahu aku mati muda
yakinlah …
aku akan mati baik – baik
membersihkan semua yang kukotori
lalu berbaring di kasur yang hangat dengan rambut basah setelah keramas
dan aku segera menemui kebahagiaan yang abadi

sekali lagi, anakku …
kau boleh mencium tangan buyut, kakek dan nenekmu saja
sekedar tak mengecewakan mereka
sebab paham tua sudah lama melekat di kepala
diturunkan dari ibu ke ibu
tapi tidak untuk aku
dan kepada manusia dewasa lainnya
jabat saja tangan mereka dengan sikap tegak
jangan membungkuk, menunduk – nunduk
tatap matanya
ucapkan namamu, berkatalah dengan tegas
sebab tak pernah sedetik pun kuimpikan
kau menjadi manusia bermental budak

kita semua sama, anakku …
sama – sama manusia
kita setara


(Tebet Timur Dalam, 26 Februari 2015)
 

Thursday, February 19, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 2)



Di akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPKI membentuk panitia kecil yang bertugas untuk mengumpulkan usul-usul para anggota yang akan dibahas pada masa sidang berikutnya, 10 – 17 Juli 1945. Panitia kecil yang resmi ini beranggotakan delapan orang yang kemudian disebut ‘Panitia Delapan’ dibawah pimpinan Soekarno. Panitia Delapan ini terdiri dari enam orang wakil golongan kebangsaan, yaitu: Soekarno, Moh. Hatta, M. Yamin, A. Maramis, M. Sutardjo Kartohadikoesoemo dan Oto Iskandardinata. Dan dua orang wakil golongan Islam, yaitu: Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wachid Hasjim.

Dalam kapasitasnya sebagai ketua panitia kecil di masa reses, Soekarno melakukan berbagai inisiatif yang menurut pengakuannya sendiri, di luar kerangka formalitas. Dia memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi In VIII (18 -21 Juni) di Jakarta untuk mengadakan pertemuan yang terkait dengan tugas panitia kecil. Sebanyak 47 orang diundang untuk menghadiri pertemuan (32 anggota Chuo Sangi In yang merangkap anggota BPUPKI, ditambah 15 orang anggota BPUPKI yang bukan anggota Chuo, tetapi tinggal di Jakarta). Selama pertemuan yang ternyata hanya dihadiri oleh 38 orang tersebut, panitia kecil dapat mengumpulkan dan memeriksa usul-usul dari 40 lin menyangkut beberapa masalah yang dapat digolongkan ke dalam 9 kategori, yaitu:
1.       Indonesia merdeka selekas-selekasnya
2.       Dasar (Negara)
3.       Bentuk Negara Uni atau Federasi
4.       Daerah Negara Indonesia
5.       Badan Perwakilan Rakyat
6.       Bentuk Negara dan kepala Negara
7.       Soal pembelaan
8.       Soal keuangan

Khusus mengenai dasar Negara, usul-usul yang dapat dikumpulkan secara garis besarnya bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
1.       Kebangsaan dan Ketuhanan, diusulkan oleh 11 lin
2.       Kebangsaan dan Kerakyatan, diusulkan oleh 2 lin
3.       Kebangsaan, Kerakyatan dan Ketuhanan, diusulkan oleh 3 lin
4.       Kebangsaan, Kerakyatan dan Kekeluargaan, diusulkan oleh 4 lin
5.       Kemakmuran hidup bersama, kemajuan kerohanian dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Agama Negara ialah agama Islam, diusulkan oleh 1 lin
6.       Kebangsaan, Kerakyatan dan Islam, diusulkan oleh 3 lin
7.       Jiwa Asia Timur Raya, diusulkan oleh 4 lin

Soekarno menyadari bahwa kegiatan pertemuan dan rumusan-rumusan yang dihasilkannya itu melanggar formalitas. Bukan saja tempat dan mekanismenya yang tidak resmi, tetapi juga melampaui kewenangannya.

Di akhir pertemuan tersebut, Soekarno juga mengambil inisiatif informal lainnya dengan membentuk Panitia Kecil (tidak resmi) yang beranggotakan sembilan orang yang selanjutnya disebut ‘Panitia Sembilan’. Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang di dalamnya termuat dasar Negara.

Karena penghormatan Soekarno pada golongan Islam, komposisi Panitia Sembilan ini lebih seimbang daripada Panitia Delapan (bentukan resmi BPUPKI), sehingga terdapat dua golongan, yaitu: golongan kebangsaan dan golongan Islam.

Wakil golongan kebangsaan ada lima orang termasuk Soekarno sebagai penengah, terdiri dari:
1.       Soekarno (ketua)
2.       Mohammad Hatta
3.       Muhammad Yamin
4.       A.A. Maramis
5.       Soebardjo

Wakil golongan Islam ada empat orang, terdiri dari:
1.       K.H. Wachid Hasjim
2.       K.H. Kahar Moezakir
3.       H. Agoes Salim
4.       R. Abikusno Tjokrosoejoso

Ki Bagoes Hadikusumo tidak menjadi bagian dari panitia ini karena (kemungkinan) pulang ke Yogyakarta sebelum pembentukan Panitia Sembilan. Dan sidang ini tetap dilangsungkan meski jumlah wakil golongan Islam di BPUPKI maupun dalam pertemuan ini kurang dari 25% total anggota/peserta pertemuan.

Dengan komposisi yang relatif seimbang antara golongan tersebut, panitia ini berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan Pembukaan UUD yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Oleh Soekarno, rancangan Pembukaan UUD ini diberi nama ‘Mukadimah’. Oleh M. Yamin dinamakan ‘Piagam Jakarta’, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut Gentlemen’s Agreement.

Pembentukan ‘Panitia Kecil’ yang illegal ini oleh Ichibangase Yosio dianggap pembangkangan, tetapi Jepang tidak bisa berbuat apa-apa karena Amerika Serikat telah menduduki Okinawa yang sangat dekat denganTokyo.

Hingga menjelang akhir penjajahan Jepang, pengelompokan kekuatan politik utama pada garis besarnya terbelah ke dalam apa yang lazim disebut golongan kebangsaan dan golongan Islam. Penyebutan itu, meski bersifat semena-mena karena golongan Islam pun merasa tidak kalah nasionalisnya, memang lazim digunakan pada saat itu. Tetapi sebagian penulis seperti Endang Saifuddin Anshari menghindari penggunaan istilah tersebut, lalu menggantinya menjadi golongan ‘nasionalis sekuler versus nasionalis Islam’. Pada akhir zaman Jepang (28 Juli 1945), kedua badan itu dipersatukan ke dalam Gerakan Rakyat Baru, tetapi nuansa perbedaan pandangan antara kedua golongan itu tetap bertahan.

Golongan kebangsaan tergabung dalam Djawa Hὀkὀkai, sedangkan golongan Islam tergabung dalam Masjumi:
-          Karena memburuknya kondisi ekonomi Jawa dan moral rakyat, Gunseikan (kepala pemerintahan militer) Jepang merasa perlu untuk membentuk sebuah organisasi baru yang bisa mereka kontrol secara efektif. Pada tanggal 1 Maret 1944, didirikan sebuah organisasi yang bernama ‘Perhimpunan Kebaktian Rakyat’ yang secara umum dikenal dengan nama Jepangnya ‘Djawa Hὀkὀkai’. Dibentuk dengan tujuan untuk memobilisasi massa, khususnya kekuatan golongan nasionalis, Hὀkὀkai berada di bawah tanggung jawab langsung Gunseikan. Soekarno merupakan ketua simbolik dari organisasi ini. 

-          Majilis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) didirikan pada November 1943 sebagai federasi yang menghimpun kekuatan golongan Islam. Federasi ini pada awalnya didirikan oleh perhimpunan-perhimpunan yang memiliki status legal dan diketuai secara simbolik oleh pemimpin kalangan tradisionalis yang terkemuka, Hasjim Asj’ari. Pada saat Masjumi berdiri, status legal diberikan hanya kepada Muhammadiyah dan NU, dan federasi yang baru ini memang anggotanya terutama berasal dari kedua organisasi tersebut. Namun dalam perkembangan lebih jauh, kyai dan ulama secara individual bisa menjadi anggota Masjumi dengan persetujuan ‘Shumubu’ yang mengontrol federasi baru tersebut.

Kedua golongan ini sepakat dalam memandang pentingnya nilai-nilai Ketuhanan dalam Negara Indonesia merdeka, namun berselisih mengenai hubungan Negara dan agama. Hal ini tercermin dalam perdebatan-perdebatan yang berlangsung pada persidangan BPUPKI yang diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat.

Golongan Islam berpandangan, bahwa ‘Negara’ tidak bisa dipisahkan dengan ‘agama’. Sedangkan golongan kebangsaan berpandangan, bahwa Negara hendaknya ‘netral’ terhadap agama. Namun demikian, di dalam masing-masing golongan ini pun terdapat perbedaan pandangan; tidak semua golongan Islam menghendaki penyatuan sepenuhnya antara agama dan Negara (Negara Islam), pun tidak semua golongan kebangsaan menghendaki adanya pemisahan antara urusan Negara dan urusan agama.

Meskipun seorang Muslim yang taat beribadah, pada sidang BPUPKI (30 Mei 1945) dengan tegas Hatta menyatakan perlunya pemisahan urusan agama dan Negara. Dalam pidatonya kemudian Hatta melancarkan kritik, bahwa kebanyakan argumen tidak mampu melepaskan pandangannya dari bayang-bayang persoalan ‘Kerk en Staat’ (gereja dan Negara) sebagaimana yang didapati dalam sejarah hukum negara-negara Barat. Pengaruh bayang-bayang itu memunculkan kelatahan seakan-akan Indonesia pun menghadapi persoalan apakah mesti atau menolak diadakan pemisahan antara ‘Islam dan Negara’. Menurut penilaiannya: Pandangan ini salah, karena perhubungan ‘Kerk en Staat’ berlainan dengan perhubungan ‘Islam dan Negara’. ‘Kerk’ juga ‘Staat’ pada asalnya mempunyai organisasi dari atas ke bawah yang menguasai hidup orang banyak. Kalau ada pertentangan antara ‘Staat’ sebagai Negara dengan ‘Staat’ sebagai ‘Kerk’ yang kedua-duanya mau berkuasa atas umat yang sama, itu tidak mengherankan. Tetapi antara Islam dan Negara tidak ada pertentangan, oleh karena Islam adalah agama, pimpinan jiwa, dan bukan Negara. Paling jauh boleh dikatakan dengan ucapan agak paradoxal, bahwa ‘Islam adalah masyarakat’. Ia mempunyai lingkungannya dalam masyarakat, tetapi ia tidak mempunyai organisasi seperti gereja, sebab itu ia bukan ‘Staat’.

Lebih lanjut Hatta mengemukakan, bahwa dalam ajaran Islam memang tidak dikenal pemisahan atau pertentangan antara agama (sebagai gereja) dengan Negara, karena Islam memang tidak mengenal kependetaan. Paling-paling pertentangan terjadi dalam perjuangan memperebutkan jabatan kepala Negara. Meski agama dan Negara tidak terpisah, otomatis Negara dan otoritas agama dalam Islam bisa dibedakan. Kenyataan empiris menunjukkan bahwa khalif setelah Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) bukanlah kepala agama, melainkan semata-mata kepala negara untuk mengembangkan urusan dunia. Dengan pemindahan pusat kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus, terjadilah pemisahan antara urusan agama yang tinggal di Madinah dan urusan dunia yang berpusat di Syiria, meskipun memang khalif kerapkali menggunakan agama sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan. Lantas dia simpulkan, bahwa dalam menciptakan Negara baru bagi Indonesia, kita tidak akan mendirikan Negara dengan dasar perpisahan antara agama dan Negara, melainkan kita akan mendirikan Negara modern di atas dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan Negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh Negara, maka agama menjadi perkakas Negara, dan dengan itu hilang sifatnya yang murni.

Soekarno, sebagai pemimpin berlatar pendidikan Barat yang mempunyai keterpautan historis dengan organisasi-organisasi Islam dan menghormati para ulama, mencoba menjembatani kesenjangan antara kedua kutub tersebut dalam desain institusional. Dalam giliran pidatonya (1 Juni) ketika menguraikan apa yang disebutnya sebagai ‘philosofische gronslag’, dia tidak mendukung gagasan Islam sebagai dasar Negara, tetapi memberi peluang bagi golongan Islam untuk mengorganisasikan diri secara politik yang akan memengaruhi keputusan-keputusan politik di lembaga perwakilan. “Jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Lebih dari itu, salah satu prinsip dari lima filosofi dasar Negara yang disebutnya Pancasila adalah prinsip ‘Ketuhanan’ yang dia letakkan dalam sila kelima……

Dalam uraiannya mengenai prinsip Ketuhanan, Soekarno berkata, “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!”

Sebagian golongan Islam berkeberatan dengan peletakan prinsip Ketuhanan pada sila terakhir karena memandang urutan itu dalam skala prioritas. Namun demikian, seperti dijelaskan belakangan oleh Roeslan Abdoelgani, urutan sila-sila dalam pidato Soekarno itu hanyalah mengikuti sistematik penjelasan saja. Malahan menurutnya, penyebutan dalam bagian akhir itu hendaknya diartikan sebagai sesuatu yang mengunci di dalam kekuasaan keempat dasar sebelumnya. Namakanlah sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu ‘urat tunggangnya Pancasila’. Demikian juga seperti yang dikatakan oleh Soekarno dalam pidatonya, bahwa urutan-urutan itu hanya kebiasaan saja, tidak prinsipiil.

Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) mencerminkan usaha yang kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan. Titik temu antara kedua golongan tersebut diikat pada alinea ketiga: ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas …..’ Alinea ini mencerminkan pandangan golongan kebangsaan —yang menitikberatkan kehidupan kebangsaan yang bebas, dan golongan Islam —yang melandaskan perjuangannya atas rahmat Allah.

Menurut Muhammad Yamin, dengan menyebut ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’, Konstitusi Republik Indonesia berlindung kepada Allah dan dengan itu maka syarat agama dipenuhi dan rakyat pun tentu menimbulkan perasaan yang baik terhadap hukum dasar ini.

Ujung kompromi bermuara pada alinea terakhir yang mengandung rumusan dasar Negara berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Islam tidak dijadikan dasar Negara (dan agama Negara), tetapi terjadi perubahan dalam tata urut Pancasila dari susunan yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni. Prinsip ‘Ketuhanan’ dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (kemudian dikenal dengan istilah ‘tujuh kata’).

Setelah mengalami penyempurnaan redaksi, perubahan posisi prinsip Pancasila menjadi seperti ini:
1.       Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.       Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3.       Persatuan Indonesia
4.       Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5.       Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi —prinsip ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ideologi Negara tidak berubah karenanya, melainkan Negara memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Dengan demikian, fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan lima). Semangat gotong royong (kekeluargaan) sebagai sifat dasar manusia Indonesia yang disebutkan oleh Soekarno, tercermin dalam penerimaan ini, juga terefleksikan dalam proses perumusan hukum dasar (batang tubuh UUD).


(Bersambung)

Photo Source: Google Images


Saturday, February 14, 2015

Lahirnya Negara Kekeluargaan (Bagian 1)



Berawal dari sebuah diskusi, saya bersama beberapa kawan mahasiswa. Sempat terjadi perdebatan antara saya dengan salah satu dari mereka tentang hak asasi manusia. Saya tidak mampu mengungkapkan apa yang saya yakini dan saya anggap masuk akal, yang saya dapat dari diskusi-diskusi saya sebelumnya. Saya tidak punya bukti yang kuat dari sumber buku yang saya baca, hingga perdebatan berakhir dengan tidak memuaskan. Saya merasa ada yang kurang ia pahami, atau materi yang ia baca kurang lengkap? Dari sanalah saya tertarik membaca sebuah buku yang mengulas cukup detail situasi dan kejadian hingga perdebatan-perdebatan alot di luar maupun di dalam sidang BPUPKI. Tentu buku ini memiliki kekuatan, sebab ditulis berdasarkan dokumen-dokumen resmi milik Negara. Saya lalu merangkumnya untuk saya bagikan kepada Sahabat Setia Catatan Tari Adinda. Tulisan ini saya ambil dari buku "Negara Paripurna" karya Yudi Latif, dengan harapan kita semua bisa belajar. Selamat Membaca ...

*** 

Siapa yang tak kenal Indonesia. Istilah yang lazim dipakai untuk melukiskan Negara ini adalah Negara kepulauan yang mengandung bias daratan. Menarik, bahwa Soekarno pernah menyebut Negara Indonesia sebagai Negara lautan yang ditaburi pulau-pulau. Hal itu lebih sesuai dengan istilah ‘archipelago’ yang berarti ‘kekuasaan lautan’ (arch/archi = kekuasaan ; pelago/pelagos = lautan)

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia yang membujur di titik strategis persilangan antar-benua dan antar-samudera, dengan daya tarik kekayaan sumber daya yang melimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban. Maka, jadilah Nusantara sebagai taman-sari peradaban dunia. 

Selain itu, jenius Nusantara juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur, terutama akibat debu muntahan deretan pegunungan vulkanik. Tanah yang subur memudahkan segala hal yang ditanam, sejauh sesuai dengan sifat tanahnya untuk tumbuh. Seturut dengan itu, jenius Nusantara adalah kesanggupan untuk menerima dan menumbuhkan. Di sini, apa pun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat berkembang secara berkelanjutan. 

Etos pertanian masyarakat Nusantara bersifat religius dan gotong royong dalam rangka meringankan penggarapan lahan secara bersama-sama. Sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan daya-daya etis dan estetis yang kuat. Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya yang mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan Asia mana pun. 

Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan, religius, toleransi dan kekeluargaan dari tanah air ini. Di sisi lain, kolonialisme-kapitalisme juga mengandung kotradiksi-kontradiksi internal sendiri yang membawa unsur-unsur emansipasi baru, seperti humanisme, perikebangsaan, demokrasi dan keadilan yang dapat memperkuat karakter keindonesiaan. Persenyawaan antara anasir karakter asal yang mengendap laten dalam jiwa penduduk dan visi emansipasi baru itu diidealisasikan oleh para pendiri bangsa sebagai sumber jati diri, dasar falsafah dan pandangan hidup bersama. 

Maka prinsip-prinsip dasar Negara Indonesia merdeka yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa tidaklah dipungut dari udara, melainkan digali dari bumi sejarah keindonesiaan yang tingkat penggaliannya tidak berhenti sampai zaman gelap penjajahan, tetapi menerobos jauh ke belakang hingga ke zaman kejayaan Nusantara. Dan ketika Dr. Radjiman Wediodiningrat, selaku Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (Negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan ‘anamnesis’ yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang. Hal ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam dalam lumpur sejarah, sehingga  proses sejarah konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase pembuahan, fase perumusan dan fase pengesahan.


FASE PEMBUAHAN 

Fase pembuahan setidaknya dimulai pada tahun 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antar ideologi dan gerakan seiring dengan proses penemuan Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nasionalism). Berbagai kreativitas intelektual mulai digagas sebagai usaha mensintesiskan aneka ideologi dan gugus pergerakan dalam rangka membentuk ‘blok historis’ (blok nasional) bersama demi mencapai kemerdekaan.

Sejak tahun 1924 Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda mulai merumuskan konsepsi ideologi politiknya bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip, yaitu: 
1.    Persatuan Nasional berarti keharusan untuk melakukan pengikatan bersama dari ragam ideologi dan identitas (etnis, agama dan kelas) ke dalam front perjuangan bersama untuk melawan kolonial.
2.    Solidaritas berarti menghapuskan perbedaan-perbedaan di antara rakyat Indonesia dan lebih menghiraukan konflik-konflik kepentingan antara pihak penjajah dan rakyat yang terjajah.
3.    Non-kooperasi berarti keharusan untuk mencapai kemerdekaan melalui usaha-usaha bangsa Indonesia sendiri, karena pihak penjajah memang tidak akan pernah mau memberikannya secara sukarela.
4.    Kemandirian (self-help), berarti keharusan untuk membangun sebuah struktur nasional, politik, sosial, ekonomi dan hukum alternatif yang berakar kuat dalam masyarakat pribumi yang sejajar dengan struktur pemerintahan.  

Konsepsi ideologis PI merupakan buah sintesis dari ideologi-ideologi terdahulu;
1.       Persatuan Nasional, merupakan tema utama dari Indische Partij.
2.       Non-Kooperasi, merupakan platform politik Kaum Komunis.
3.       Kemandirian, merupakan tema dari Sarekat Islam.
4.       Solidaritas, merupakan simpul yang menyatukan ketiga tema utama.

Bersamaan dengan PI, tahun 1924, Tjokroaminoto mengidealisasikan suatu sintesis antara Islam, sosialisme dan demokrasi . “Jika kita kaum Muslim benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran-ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati”. 

Di tahun yang sama pula (1924) Tan Malaka mulai menulis buku: Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dia percaya bahwa paham kedaulatan rakyat (demokrasi) memiliki akar yang kuat dalam tradisi masyarakat  Nusantara. Keterlibatannya dengan Organisasi Komunis Internasional tidak melupakan kepekaannya untuk memperhitungkan kenyataan-kenyataan nasional dengan kesediaannya untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur revolusioner lainnya. Dia pun pernah mengusulkan kepada Komintern (Komunis Internasional) agar komunisme di Indonesia harus bekerjasama dengan Pan-Islamisme, karena menurutnya, kekuatan Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja. 
 
Tahun 1926 Soekarno menulis essai dalam majalah Indonesia Moeda dengan judul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi besar tersebut demi terciptanya senyawa antar ideologi dalam kerangka konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Soekarno memandang bahwa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat: Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis. Paham itu yang menjadi roh-roh pergerakan di Asia. 

Pada awal tahun 1930-an Soekarno sudah mulai merumuskan sintesis dari substansi ketiga unsur ideolagi tersebut dalam istilah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.  Sosio-Nasionalisme yang dimaksudkan adalah semangat kebangsaan yang menjujung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan ke luar. Sedangkan Sosio-Demokrasi adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial yang tidak hanya memedulikan hak-hak sipil dan politik, juga hak ekonomi.

FASE PERUMUSAN

Mendapati posisinya yang makin goyah, akhir tahun 1942 Jepang berusaha menarik dukungan penduduk di Negara jajahan dengan merencanakan pemberian kemerdekaan kepada Burma dan Filipina, tetapi tidak menyebut nasib Indonesia. Soekarno dan Moh. Hatta mengajukan protes yang ditanggapi oleh pemerintah Jepang dengan memberikan peran kepada tokoh-tokoh Indonesia di dalam lembaga pemerintahan. 

Pada 5 September 1943, Saiko Shikikan (Kumaikici Harada) mengeluarkan Osamu Seirei No. 36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) dan Chuo Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Karesidenan).

Pada sidang Chuo Sangi In, 17 Oktober 1943, Soekarno dilantik sebagai ketuanya didampingi dua orang wakil ketua: R.M.A.A. Kusumo Utoyo dan dr. Buntaran Martoatmojo.
BPUPKI didirikan pada 29 April 1945 menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso pada 7 September 1944 yang mengucapkan janji historisnya bahwa Indonesia pasti akan diberi kemerdekaan pada masa depan.  

Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap: pertama melalui BPUPKI, kemudian disusul dengan pendirian PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Tugas BPUPKI hanyalah usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, sementara tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI.

Sidang BPUPKI terdiri dari dua babak:
-          Babak I : 29 Mei – 1 Juni 194
-          Babak II: 10 Juli – 17 Juli 1945

Pada awalnya jumlah anggota BPUPKI sebanyak 60 orang, ditambah 1 orang ketua; Radjiman Wediodiningrat dan dua orang wakil ketua; Itibangase Yosio dan R.P. Soeroso, sehingga jumlahnya menjadi 63 orang. Dalam perkembangan selanjutnya bertambah 6 orang menjadi 69 orang yang di dalamnya terdapat anggota istimewa dari orang-orang Jepang; Tokubetu lin, Tokonomi Tokuzi, Miyano Syoo zoo, Itagaki Masamitu, Matura Mitokiyo, Tanaka Minoru, Masuda Toyohiko dan Ide Toitiroe.

Keanggotaan BPUPKI minus perwakilan komunis disebabkan oleh kombinasi dari politik non-kooperasi serta status legalnya yang belum dicabut sejak pemberontakan 1926/1927.

Tetapi tidak semua anggota BPUPKI adalah kaum pria karena ada dua orang perempuan, yaitu: Ny. Maria Ulfa Santoso dan Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito. Oleh karena itu, istilah founding fathers tidaklah tepat. Adanya perwakilan perempuan dalam BPUPKI merupakan suatu lompatan besar dalam sejarah politik Negeri ini. Bahkan di Amerika Serikat, hak politik perempuan dalam pemilihan baru diaktualisasikan setelah perang dunia kedua.

Pada masa persidangan BPUPKI (31Mei), prinsip-prinsip yang diajukan para anggota masih bersifat serabutan, belum ada yang merumuskan secara sistematis dan holistik sebagai suatu dasar Negara yang koheren. Barangkali Muhammad Yamin dan Soepomo yang agak mendekati apa yang diminta oleh Radjiman. Secara eksplisit atau implisit, Yamin dan Soepomo mengemukakan pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen kenegaraan. Masalahnya dalam kategorisasi, tidak semua prinsip itu dimasukkan sebagai dasar Negara. Seperti yang dikemukakan oleh Yamin, bahwa ‘permusyawaratan’, ‘perwakilan’ dan ‘kebijaksanaan’ (rasionalisme) disebut sebagai ‘dasar’ (dasar yang tiga). Sementara ‘kebangsaan’, ‘kemanusiaan’ dan ‘kesejahteraan’ disebut sebagai asas. Di bagian lain, ‘perwakilan’ digolongkan sebagai ‘paham’, sedangkan ‘kerakhmatan Tuhan’ tidak jelas dia golongkan di mana. Selain itu Yamin juga mencampur-adukkan antara dasar Negara dan bentuk Negara. Bahkan yang dimaksud Yamin dengan ‘dasar Negara’ juga termasuk ‘pembelaan Negara’, ‘budi-pekerti Negara’, ‘daerah Negara’, ‘penduduk dan putera Negara’, ‘susunan pemerintahan’ dan bahkan tentang ‘hak tanah’. Adapun dalam pernyataan Soepomo, prinsip-prinsip itu hanya disebutkan secara implisit dalam uraiannya mengenai aliran pikiran Negara integralistik. Ketika Soepomo menyebut istilah ‘dasar’, yang dimaksudkannya malah dalam konteks bahwa Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatsidèe) Negara yang integralistik. Juga dalam konteks ‘dasar’ kewarganegaraan dan ‘dasar’ sistem pemerintahan. Alhasil yang dimaksud dasar (dasar Negara) oleh Yamin dan Soepomo bukanlah dalam pengertian ‘dasar falsafah’ (philosofische gronslag).

Betapapun juga, pandangan-pandangan tersebut memberikan masukan penting bagi Soekarno dalam merumuskan konsepsinya yang kemudian dikombinasikan dengan gagasan-gagasan ideologinya yang telah dikembangkan sejak tahun 1920 dari refleksi historisnya yang akhirnya mengkristal dalam pidatonya 1 Juni.
Konsepsi itu dirumuskan sebagai berikut:
1.       Kebangsaan Indonesia
2.       Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3.       Mufakat atau Demokrasi
4.       Kesejahteraan Sosial
5.       Ketuhanan Yang Berkebudayaan

Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. “Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” Mengapa dasar meja statis dan leitstar dinamis yang mempersatukan bangsa itu dibatasi lima? Jawaban Soekarno, selain kelima unsur itulah yang memang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, dia juga mengaku suka pada simbolisme angka lima. Angka lima memiliki nilai ‘keramat’ dalam antropologi masyarakat Indonesia. Soekarno menyebutkan, “Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apalagi yang lima bilangannya? (seorang yang hadir menjawab: Pandawa Lima). Pandawa pun lima bilangannya.” Hal lain juga bisa ditambahkan, bahwa dalam tradisi Jawa ada lima larangan sebagai kode etika yang disebut istilah ‘Mo-limo’, yaitu: maling (mencuri, termasuk korupsi), madat (mengisap candu), main (berjudi), minum (mabuk-mabukan) dan madon (main perempuan). Taman Siswa dan Chuo Sangi In juga memiliki ‘Panca Dharma’, tapi Soekarno menolak penggunaan istilah tersebut, karena menurutnya, Panca Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Selain itu bintang —yang amat penting kedudukannya sebagai pemandu pelaut dari masyarakat bahari —juga bersudut lima. Asosiasi dasar Negara dengan bintang itu digunakan dalam penggunaan istilah leitstar (bintang pimpinan).

Meskipun Soekarno mengajukan lima sila dasar Negara, dia juga menawarkan kemungkinan lain jika ada anggota yang tidak menyukai bilangan lima. Seperti yang dijelaskan oleh Soekarno, bahwa Panca Sila bisa diperas menjadi Tri Sila, yaitu:
1.       Socio-Nationalisme (berasal dari kebangsaan dan Internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan)
2.       Socio-Democratie (bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan)
3.       Ketuhanan (yang menghormati satu sama lain)

Dan dari Tri Sila bisa dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila, yaitu: gotong royong.

Dalam penjelasan selanjutnya Soekarno mengatakan, “Pancasila  dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) Negara, pandangan hidup, ideologi nasional dan ligature (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas dan haluan keselamatan bangsa. Pancasila bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi  juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme.”

Untuk bisa diterima sebagai (rancangan) dasar Negara harus disepakati oleh konsensus bersama, setidaknya pada fase ini, melalui persetujuan anggota-anggota BPUPKI. Pada proses inilah, prinsip-prinsip Pancasila dari pidato Soekarno mengalami  reposisi dan penyempurnaan. Proses ini berlangsung segera setelah masa persidangan pertama BPUPKI berakhir.  

(Bersambung)



Photo Source: Google Images

 
Blogger Templates