Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Sunday, December 30, 2012

' Ketika Seni Budaya Nusantara Berada di Persimpangan Jalan '


Siapa yang tidak kenal musik Rap, yang belakangan lebih dikenal dengan musik Hip Hop. Bagi orang awam, mengartikannya sangat sederhana, yaitu orang yang ngomel-ngomel tapi diiringi musik, atau orang yang nyerocos tidak karuan dengan dilatari lagu beat. Atau juga orang yang berbicara cepat dengan mengikuti tempo.

Bermacam macam mereka mendefinisikan musik Rap. Namun lebih sederhanya lagi, musik Rap adalah cerita yang berirama. Musik ini lahir di Amerika Serikat, tepatnya di kota New York tahun 1970-an. Namun ada yang lebih spesifik lagi berpendapat bahwa Rap berakar dari Afrika.

Genre musik yang lebih menekankan pada teknik berceloteh dibanding instrumen musik ini, masuk ke Indonesia pada awal tahun 1990an dan beken di tahun 2010 akhir. Bagi anak-anak muda kita, nge-rap dianggap keren. Merekapun menjadi latah setelah kemunculan Iwa K ―orang Indonesia yang pertama kali mempopulerkannya. Satu persatu musisi Rap atau Rapper lalu bermunculan baik secara group maupun solo, seperti: Saykoji, Denada, Soul id, Ebith Beat A dan masih banyak lagi.

Tapi tahukah anda, apa yang ada di pikiran saya ketika musik rap mulai populer di Indonesia?

“Hey ... Indonesia juga punya!”

Maka jika saya boleh bertanya, kenapa tidak dari dulu saja mereka mendalami genre musik itu? Kenapa setelah Rap masuk ke Indonesia, baru mereka beramai-ramai menjadi Rapper?

Jika kita mau menilik sejarah kesenian Indonesia, sebenarnya seni semacam itu sudah kita miliki jauh sebelum genre musik yang bertutur itu dikenal di negeri Paman Sam.

Kalau di Amerika Serikat kesenian itu dinamakan ‘Rap’ yang diiringi musik ‘Hip Hop’ dengan tempo cepat, sedangkan di Indonesia namanya ‘Parikan/Jula-juli’ yang diiringi dengan musik Gamelan (Gending Jawa), dengan bahasa Jawa Timuran (Suroboyoan) dan dengan tempo yang agak lambat.

Parikan/Jula-juli merupakan bagian dari kesenian Ludruk. Banyak pendapat yang mengatakan, kesenian ini merupakan embrio dari kelahiran Ludruk yang dipakai dalam bentuk ngamen —dari rumah ke rumah, keluar masuk kampung sambil jogetan sekitar tahun 1890 dan terbentuk menjadi Ludruk pada tahun 1907.

Kalau kita tengok dari sejarah lahirnya musik ini, baik Rap maupun Parikan memiliki latar belakang yang sama, yaitu akibat ‘ketertindasan’. Lirik yang dinyanyikan adalah berupa sajak/puisi yang sarat dengan kritik sosial.

Jika musik Rap lahir pada masa perbudakan, karena pedagang budak kulit putih datang dan memisahkan mereka dari keluarga dan suku mereka. Disamping itu, karena para budak juga dilarang menggunakan bahasa Ibu —bahasa asli suku mereka —maka suku-suku di Afrika mengabadikannya dalam bait-bait ritmik dan nyanyian untuk menjaga sejarah dan legenda.

Sedang Parikan lahir pada masa Feodal, di mana para tuan tanah berkuasa dan rakyat kecil mengalami masa-masa sulit. Lalu berkembang menjadi kesenian Ludruk sebagai pertunjukan rakyat yang sifatnya humoris namun bernuansa perlawanan terhadap kekuasaan dan kebudayaan adiluhung yang berkembang di kalangan elit kerajaan. Spirit perlawanan Ludruk pun berlanjut di masa kolonial Belanda dan Jepang. Parikan yang sudah menyatu ke dalam kesenian Ludruk, selain berisi sindiran juga memberi pesan moral —tentang pentingnya kerukunan dan persatuan.

Ludruk ...

Ah ... mendengar gendingnya, ingatan saya seperti di bawa ke puluhan tahun yang lalu ketika saya masih berseragam ‘putih merah’. Ketika Bapak belum mampu membelikan saya sepeda mini, saya harus berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Memasuki kampung, lalu masuk lagi gang dan melewati rumah-rumah yang berderet sembari berteduh dari matahari yang berada tepat di atas kepala, setiap kali pulang sekolah. Hampir setiap rumah, yang terdengar adalah gending Jawa dari pesawat radio yang mengiringi kesenian Ludruk. Berbaur dengan rasa lapar, menjadi bertambah lapar ketika tercium aroma masakan dari setiap rumah yang saya lewati. Lalu saya ingat Ibu. Ingin segera sampai ke rumah sambil membayangkan dan bertanya,”Ibu masak apa ya, hari ini?”

Bagaimana hal itu tidak melekat dalam ingatan saya, jika sepenggal kisah itu terus menerus terjadi setiap hari? ―kecuali hari libur. Bagaimana juga saya tidak merasa sedih, ketika sesuatu yang mengingatkan pada kebahagiaan masa kecil saya harus hilang dan tak terdengar lagi? Kesenian Ludruk adalah kebanggaan kami, pusaka warisan Jawa Timur. Haruskah punah tergerus jaman? ...

Posisi seni dan budaya daerah sekarang seperti berada di persimpangan jalan antara arus modernisasi dari barat maupun dari benua Asia yang tidak kalah gencarnya mulai merambah di kalangan para remaja. Bukan berarti kita tidak boleh menoleh kepada budaya lain, tapi sudahkah kita menggenggam erat budaya sendiri? Jangan sampai terulang kasus pembajakan dari bangsa lain terhadap budaya daerah dan lalu berteriak-teriak ketika ada bangsa lain yang mengklaim budaya Indonesia menjadi miliknya, sementara kita sendiri tidak merasa memilikinya.

Jika saja kita mau menggali sejarah kita, atau jika kesenian Ludruk masih tetap ada di tengah-tengah masyarakat. Dengan kreatifitas generasi muda, kita pun akan memiliki musik Rap dengan nama yang menggunakan bahasa kita sendiri. Parikan, atau apalah yang pasti berbeda dengan nama yang mereka gunakan. Bisa jadi, masih ada lagi seni yang serupa Rap dimiliki oleh suku di daerah lain di Indonesia yang tak pernah dimunculkan. Hingga menjadi kebanggaan bagi kita yang memiliki keanekaragaman suku, agama, bahasa, serta seni dan budaya menyatu dalam sebuah negeri yang bernama Indonesia ...

( Casablanca, 20 Oktober 2012 )

(Ludruk Kartolo Cs - Misteri Gunung Merapi 1) http://www.youtube.com/watch?v=WmQNXPnUay0

Photo Source: Google Images

Friday, December 28, 2012

' just friend '


mungkin, kau pernah menyimpan tanya ...

kenapa aku tiba-tiba menghindar?
kenapa aku tak pulang berhari-hari?
kenapa aku mengunci pintu dan mematikan lampu
agar terkesan sudah tertidur?

aku melihat sikapmu berubah dan tatap matamu jadi aneh ...

aku ingin menjadi temanmu, uda'
dalam suka maupun duka tanpa saling menyakiti
kita isi hari-hari kita menjadi hari yang penuh tawa
kita jadikan saat ini menjadi kenangan yang indah diwaktu nanti

tapi jika aku cemburu dengan pacarmu ...

tinggalkan aku sejenak
biarkan aku sendiri
aku akan berjuang membunuh rasa itu
yang tak boleh tumbuh subur dan berkembang
karena rasa itu menyakitkan
karena rasa itu sangat menyiksaku ...

nanti kalau aku kangen
aku pasti mau menemuimu lagi
dan membuka pintu kamarku
yang sudah kau ketuk berulang kali

aku ingin menjadi temanmu, uda'
selamanya ...

( Cakung,15 September 2008 )

Photo Source: Google Images

Monday, December 24, 2012

' sejauh mungkin '


aku menemukan satu dari beberapa
ia putus asa ...
ketika janji-janji
tak juga jadi bukti
ketika perubahan yang selalu diteriakkannya
tak juga jadi nyata

ia lelah …

diakrabi kemiskinan digauli penderitaan digeluti sakit hati diperkosa kepasrahan
diam, kalah, tak melawan

lalu ia ingin pergi
sejauh mungkin …

( Casablanca, 24 Desember 2012 )

Photo Source: Google Images

Friday, December 14, 2012

Cerpen: Perempuan Itu, Bukan Sahabatku


“ Tadi pagi, aku baca pesan Vivi mas, katanya suruh ingetin mas Tejo bikin surat keterangan kerja.” 

Aku membuka obrolanku dengan mas Tejo yang tengah menikmati secangkir kopi, pagi itu. 

“ Iya,” jawab mas Tejo singkat. 

“Emang, dia mau bikin apa mas?” 

“Bikin passport.” 

“Berarti, dia mau ke luar negeri dong.” 

“Iya,” jawabnya lagi, singkat.

Tiba-tiba ada sesuatu yang terasa berat kutahan. Terpaksa aku harus berlindung di balik komputer agar tak banyak pertanyaan, menyeka air mataku, lalu menulis cerita ini dengan tangan sedikit gemetar.

Aktivitasku terhenti ketika mas Samsul datang menjelaskan tentang pertanyaanku kemarin, seputar pekerjaan yang harus ku handle.

 *****


Sepulang dari pasar, aku mendapati Vivi sudah berada di kedai. Tanpa menyapanya aku langsung masuk ke dapur menyibukkan diri.

Aku, mas Tejo, mas Samsul dan mas Aj melakukan aktifitas kerja sehari-hari di kedai ini. Kedai Jaker Shop's. Kami beraktivitas dari pukul delapan pagi hingga pukul empat sore. Tempat ini adalah tempat usaha sebagai penyandang dana partai kami. Ruangannya tidak terlalu luas tapi santai. Kawan-kawan biasa datang untuk diskusi, main catur, atau sekedar ngobrol yang ringan sembari pesan kopi dan mie instant. Selain membuka usaha pengiriman barang dan penjualan tiket pesawat, tempat ini juga menjual alat musik, PIN, kaset CD, kerajinan, juga buku dari berbagai pengarang.

“lagi masak ya mbak?” Tanya Vivi yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. 

“Enggak, cuma beres-beres aja.” Jawabku, masih sambil mengelap cangkir yang kucuci tadi pagi tanpa sedikit pun menolehnya. 

“Mau kemana, Vi?” 

“Mau ke Kantor Imigrasi.” 

“Sendiri?” 

“Iya,” jawabnya lirih.

Sebenarnya aku ingin bertanya lebih lanjut tentang penugasan dirinya ke luar negeri, tapi aku sudah tak sanggup lagi bersuara. Kami saling diam. Ia hanya berdiri melihatku, sementara aku tetap berusaha menyibukkan diri.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar Vivi berpamitan pada mas Samsul dan mas Tejo. Samar-samar aku mendengar dia memanggil namaku tanpa mendatangiku yang masih berada di dapur. Aku semakin tak tahan, aku berlari menaiki tangga menuju kamar, meledaklah tangisku di sana.   

Maafkan aku, Vi … jika aku terkesan tidak menyambut kedatanganmu dengan ramah. Tak seperti biasanya setiap kita ketemu. Maafkan aku … jika aku memalingkan mukaku selama menjawab pertanyaanmu dan terkesan tidak mempedulikanmu. Aku hanya tak ingin kau melihat kesedihanku, aku tak ingin kau melihat wajahku yang sudah dibanjiri air mata. Sekali lagi, maafkan aku …

*****

Siang sehabis istirahat, sepi. Tak ada customer yang datang untuk mengirimkan barangnya. Tak ada seorang kawan pun yang mampir, sekedar baca buku atau koran hari ini. Hanya mas Alif yang datang sebentar membeli rokok, kemudian pergi lagi. Mas Aj keluar dengan mas Samsul, entah kemana. Tinggal kami berdua yang tersisa, mas Tejo dan aku. Mas Tejo terlihat serius di depan komputernya, aku pun sama. Mencoba mengingat kembali pertemuanku dengan Vivi, aku mulai melanjutkan tulisanku.

Benar-benar aneh jika aku harus menangisi kepergiannya. Perempuan muda yang dulu kubenci karena keangkuhannya. Aku bertemu dia pertama kali di kantor pusat Partai Rakyat Demokratik, tempat para organiser sekaligus kader partai tinggal dan berjuang. Sebuah perumahan yang cukup besar dengan tiga lantai.

Aku baru saja kembali dari tempat kost-ku, malam itu. Sempat kaget melihat perempuan cantik dengan perawakan bongsor berada di sana. Wajah dan bodynya mirip sekali dengan Ida, kawanku sewaktu di pabrik dulu. Dalam hati aku bertanya, kenapa Ida ada di sini? Aku tercengang, dia juga tercengang. Namun perempuan itu lebih dulu membuang mukanya tanpa sedikit pun memberi kesan ramah, lalu aku cuek saja masuk ke dalam. 

“Ka, siapa sih cewek itu?” Aku bertanya pada Ika yang sedang menggosok baju di kamar mbak Desi. 

“Oh … itu kan Vivi.” 

“Sombong sekali dia.” 


“Ah, masak sih … dia baik kok.” 


“Apaan … jangankan negur, senyum aja enggak.” 


“Ya … mungkin belum kenal aja,” jawab Ika sangat bijaksana. 



Aku tidak setuju dengan pendapat Ika, tapi aku tidak ingin berdebat dengannya. Ika orang yang baik dan sabar, aku tahu … dia sedang berusaha meredam kemarahanku. Hanya menurutku, biasanya kalau kita ketemu orang yang baru kita kenal, paling tidak senyumlah …

Oh ya, aku lalu ingat nama itu. Sebelumya aku hanya mendengar namanya saja. Rupanya itu yang kata mbak Desi adiknya Rudj. Berbeda sekali dengan kakaknya. Aku mengenal Rudj sewaktu aku, mas Tejo dan mas Kuncung  menghadiri undangan Kepal SP yang sedang menyelenggarakan acara 'Parade Musik Pengamen Indonesia' di Surabaya. Rudj sangat ramah, sehingga kami cepat sekali akrab. Entah berapa tahun tak ketemu, namun di ‘Aksi Nasional Gerakan Pasal 33 (UUD 1945)’ yang diselenggarakan PRD, kami dipertemukan kembali. Aku sempat tidak mengenalinya ketika dia memanggilku, tapi Rudj masih mengingatku.

“Rudj, emang Vivi itu adikmu?” Tanyaku suatu malam menjelang tidur. 

“Iya.” 

“Angkuh banget sih.” 

“Angkuh gimana … ?” 

“Awalnya kan aku kaget lihat dia seperti kawanku di pabrik dulu, eh … lagi sama-sama ngelihat, dia buang muka” 

“Mungkin karena lihat kamu tercengang kali … ” 

“Ah, jawabanmu nggak masuk akal.” 

“Atau mungkin karena belum kenal. Kalau dia udah kenal dan cocok, asyik kok orangnya.” 

“Ah, nggak begitu juga. Biasanya, kalau orang baru ketemu itu minimal senyum. Masak ... senyum, negur, nunggu kenal deket dulu.” 

“Dia memang cuek. Aku suka kok gayanya. Ya, itu sih menurut aku.” 

“Aku juga suka Rudj yang cuek, tapi kalau kayak gitu itu namanya bukan cuek, tapi angkuh.” 

“Sudahlah … nanti kalau kamu sudah kenal, kamu pasti suka. Kamu itu sangat cocok sama Vivi. Kalian itu sama. Sama-sama mencintai seni, sama-sama memiliki jiwa seni, percayalah!” Rudj menjelaskan dengan panjang lebar, berusaha meyakinkan aku. 

Aku masih tidak terima dengan segala alasan Rudj. Bagaimana bisa kenal dan dekat, kalau semenjak itu kami saling acuh tak acuh. Meski perempuan itu ada di sampingku, jangankan teguran … senyuman pun tak pernah kuciptakan untuk manusia angkuh seperti dia. Aku jadi tahu alasannya kenapa dia memperlakukan aku seperti itu, karena menganggap dirinya senior. Ya, sangat jelas terlihat ketika aku kedatangan seorang teman. Aku dan temanku duduk di ruang tamu. Beberapa kali dia melewati kami --keluar masuk --sekali pun dia tak menolehkan kepalanya. Pandangannya lurus ke depan, seperti kami dianggap tak ada. Temanku bahkan sempat merasakan keangkuhannya, tapi tetap kututupi rasa benciku. 

Beruntung menurutku waktu itu, karena dia segera mendapatkan tugas ke luar kota dan aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Tak ada lagi perasaan yang mengganjal, tak ada kebencian apalagi dendam. Waktu telah membuat aku melupakannya.

Kurang lebih satu bulan, Vivi datang pagi-pagi sekali. Kebetulan aku sedang menyapu ruang tamu dan sepi. Hanya ada aku, karena yang lain masih tidur. Ia memberi salam dan aku menjawabnya. Kali ini ada senyum, akupun membalas senyumannya. Sempat juga aku basa basi menanyakan keberadaan Rudj, Ia menjawab bahwa kakaknya sedang berada di Jawa Tengah.

Satu hari itu, kami tak lagi bertatap muka. Aku hanya melihatnya dari kejauhan, karena Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di lantai atas. Hingga keesokan harinya, Ia mengalami kecelakaan.

Di sini lah titik balik itu terjadi, saat dia harus tinggal beberapa hari di rumah sakit. Sebagai manusia yang masih memiliki perasaan, aku pun tidak bisa untuk tak peduli dengan apa yang sedang menimpanya. Bertiga kami pergi menjenguknya di rumah sakit: aku, Ulfa dan mas Aj. Ulfa membawakan perlengkapan yang dibutuhkannya dan dengan sangat telaten menyeka tubuhnya, serta menggantikan pakaiannya. Sedangkan aku hanya sedikit membantu. Aku benar-benar kikuk waktu itu, komunikasiku pun kaku. Sempat aku terbata-bata  ketika hendak pulang dan berpamitan. Senyumku tak luwes dan hanya ujung jariku yang menyentuh kakinya sambil berkata,”Cepat sembuh ya … ” Meski tak sedikit pun ada kebencian, namun peristiwa itu masih membekas menyebabkan semuanya menjadi kaku.

*****

Selepas SMP, aku tak pernah lagi memiliki sahabat. Buat aku sahabat itu mengikat, karena semasa SMA, karakterku sepertinya sudah terbentuk. Aku cenderung menyukai kebebasan, artinya aku tidak suka dipaksa, tidak mau terlalu diatur dan aku akan berontak jika tidak seirama dengan kata hatiku. Terbukti beberapa kali aku melawan guru, bahkan kepala sekolah. Sewaktu bekerja di pabrik juga begitu, dari teman sekerja, pengawas, chief, leader, sampai orang kantor pun aku lawan. Meski karakterku keras, tak membuat aku dijauhi kawan karena mereka tahu aku juga bisa bersikap lembut. Beberapa dari mereka bahkan mengakrabiku karena merasa cocok, tapi aku tetap bersikap biasa. Aku merasa tak bisa menjadi sahabat yang baik karena aku tak mau terikat. 

Kalau Vivi … ? Ia berbeda meskipun aku juga tak pernah menganggapnya begitu. Aku hanya merasa cocok karena Ia memiliki kelengkapan. Tak hanya cantik, dia juga tegas, smart dan tidak pelit membagi ilmunya. Diajak ngobrol apa saja, nyambung. Apa pun yang aku ingin tahu, dengan sabar dijawabnya, dengan telaten dijabarkannya. Satu yang paling aku suka, dia tahu apa yang ku mau tanpa harus diminta. Itu yang belum pernah kutemui. Seperti ketika aku mau tidur, aku tidak suka melihat kamar yang kotor dan kasur yang berantakan. Melihat aku masuk kamar, Ia buru-buru merapikan tempat tidur. Aku lalu mengambil sapu untuk membersihkan lantainya. Kulakukan itu dengan semangat dan senang hati, karena moment seperti ini jarang sekali terjadi. Juga ketika suatu sore saat aku sedang lemas kelaparan karena tak ada makanan yang tersisa, Vivi dengan segera membuatkan makanan untuk kami berdua. Melihat pengertian dan semangatnya itu, aku jadi memiliki kekuatan untuk memanaskan air, membuat segelas teh hangat kesukaannya.

Kedekatan kami tak lama. Hanya seminggu setelah pulang dari rumah sakit, dia meminta ijin untuk menempati kamar yang biasa aku tempati bersama Rudj dan mbak Desi. Aku dan Vivi jadi sering ngobrol berdua dan itu kami lakukan mulai dari dalam kamar, ruang tamu, teras, hingga ke taman, depan kantor pusat PRD. Kami berdiskusi baik tentang seni, perempuan, juga tentang situasi nasional. Vivi bahkan pernah mengatakan, bahwa 'sosialisme tak akan pernah ada tanpa pembebasan perempuan'.

Berdiskusi tentang situasi nasional, kami sependapat bahwa negeri kami masih terjajah secara politik dan ekonomi. Kami meyakini, bahwa melalui partai lah kita bisa berkuasa untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat. Sebagai seorang mahasiswa, Ia memandang dari segi pendidikan. “Bagaimana bangsa Indonesia bisa cerdas? Kemiskinan diciptakan, pendidikan dijadikan barang dagangan!” Kata Vivi berapi-api. Ya, sama halnya jika dilihat dari pengalamanku sebagai buruh pabrik. Bagaimana buruh bisa sejahtera, jika undang-undang perburuhan selalu berpihak kepada pemodal asing? Dari tahun ke tahun, tak ada perubahan signifikan yang mengacu pada kesejahteraan buruh. Meski setiap tahun mereka mendapatkan kenaikan gaji, namun tak pernah bisa mengalahkan kenaikan harga barang-barang.  

Di dalam berpartai, kami memiliki senjata untuk melawan imperialisme, yaitu dengan berasaskan Pancasila dan melaksanakan Pasal 33 UUD 1945. Ini merupakan amanat yang seharusnya dijalankan demi kesejahteraan rakyat, namun justru tak pernah disentuh oleh pemerintah. Lihat saja, modal asing semakin merajai penguasaan kekayaan alam dan aset-aset strategis kita: sektor migas (85-90%), batubara(75%), mineral (89%), perkebunan (50%), perbankan ( 50,6%), farmasi (80%), telekomunikasi (70%) dan masih banyak lagi. Sedang Pancasila adalah dasar dibangunnya negara ini, ditemukan oleh Soekarno saat beliau mencoba menggali kebudayaan asli masyarakat Indonesia. Lalu dikatakannya, bahwa Pancasila itu adalah 'Gotong Royong'. Namun menurut kami, Pancasila tidak cukup hanya diserukan, melainkan juga harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dari hal yang paling kecil, dari diri sendiri, dan dari lingkungan yang terdekat.

Tanpa sadar, sebenarnya aku dan Vivi sudah melaksanakan Pancasila di dalam kamar kami. Jika saja Pancasila bisa diterapkan di lingkungan yang sangat besar di dalam sebuah negara, serta dilaksanakannya Pasal 33 UUD 1945, maka akan terciptalah 'Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia'.

Sekarang, sudah sebulan lebih aku tinggal di kedai, dan selama itu aku baru sadar bahwa apa yang dikatakan Rudj tentang aku dan Vivi waktu itu, benar. Kami memang memiliki kecocokan, kami saling merindukan sejak berpisah. Aku dan Vivi lalu berkunjung bergantian, atau saling kirim pesan melalui sms, inbox atau dinding face book.

Besok, adalah hari keberangkatan Vivi ke Australia. Sungguh … aku tak sanggup menemuinya, membuat aku semakin sedih. Selamat jalan, Vi … selamat berjuang! Aku akan selalu merindukanmu ...

( Casablanca, 14 Juni 2012 ) 


Wednesday, November 14, 2012

' something '


Senyum itu ...
tak bermaksud kubawa pulang
hingga sampai ke kampung halaman

ranselku telah penuh berisi barang
tanganku sudah lelah menenteng bekal
tapi senyum itu terus mengikuti aku
di sepanjang perjalanan yang sangat melelahkan

kemana arah mataku tertuju ...

di rimbunnya pepohonan yang panjang berbaris
di hijaunya sawah yang luas membentang
di derasnya sungai yang bening mengalir
di sela-sela padi yang tampak menguning
bahkan di pekatnya malam

senyum itu selalu terlihat
mengembang tulus dan manis

ingin kupungut dan kubuang
tapi aku tak kuasa untuk menyentuhnya
karena senyum itu hanya bayang-bayang
karena senyum itu adalah
senyummu ...

( Jakarta-Surabaya, 14 Februari 2012 )




Saturday, November 10, 2012

' kemerdekaan palsu '


seperti sebuah tamparan
menyadari nikmat kemerdekaan palsu yang mereka suguhkan

dadaku terasa sesak
ingin kumuntahkan lautan
biar ombaknya menggulung keserakahan ...

(Casablanca,14 Agustus 2012)


Wednesday, November 7, 2012

' Nonton Bareng Jokowi '


Tim Relawan Jakarta Baru, mengadakan acara "Nonton Bareng Jokowi". Acara ini diselenggarakan pada hari Minggu, 3 Juni 2012 pukul 19.00 hingga 21.30 WIB. Bertempat di Gedung Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan. Selain bertujuan untuk mengenalkan sosok Jokowi-Basuki lebih dekat, juga sebagai ajang temu relawan yang tergabung dalam Tim Sosialisasi dan Pemenangan pasangan Jokowi-Basuki se-Jakarta.

Menurut salah seorang Tim Relawan Jakarta Baru, di dalam acara ini juga akan di umumkan pemenang lomba jingle ”Jakarta Baru" yang sudah dibuka selama sebulan, sejak tanggal 25 April hingga 25 Mei 2012. Karena undangan terbatas, maka peserta lomba yang mendapat undangan hanya diwakili satu orang saja, itupun yang masuk nominasi sepuluh besar. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami (Tari Adinda dan Sahat Tarida), karena kami merupakan salah satu peserta lomba yang mendapatkan undangan itu. Setelah Kawan Sahat Tarida menyatakan tidak bisa hadir, akhirnya saya yang mewakilinya.

Pukul 18.15 WIB, saya sudah sampai di lokasi undangan. Mencari tempat yang belum pernah saya datangi ternyata tidak sulit, karena sekumpulan orang yang menggunakan kemeja kotak-kotak itu secara tidak langsung menjadi penunjuk arah tempat yang saya cari. Memang, syaratnya harus mengenakan kemeja khas Jokowi yang sudah dibagikan beserta undangan. Setengah jam sebelum acara dimulai, peserta juga diharapkan sudah berada di lokasi yang telah ditentukan.

Kedatangan saya langsung disambut oleh tim penyelenggara. Beberapa dari mereka mengenali saya. "Jingle ya? Kalau jingle penukaran undangannya di ujung," kata beberapa lelaki dan seorang perempuan yang menyambut saya dengan kalimat yang sama. Mungkin ini efek positif dari penayangan jingle kami di youtube beberapa waktu yang lalu. Setengah jam sebelum acara dimulai adalah waktu untuk mengisi daftar hadir dan menukar undangan dengan souvenir, snak plus air mineral. Di tempat itu pula para undangan disarankan untuk menikmati makanan yang sudah dibagikan, karena tidak diperkenankan makan di dalam ruangan, tempat acara diselenggarakan.

Pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) DKI Jakarta, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama tiba di lokasi pukul 18.38 WIB. Mereka langsung menuju ke suatu tempat dengan kawalan beberapa orang yang juga mengenakan kemeja kotak-kotak, diikuti para pencari berita.
Kurang dari jam tujuh, kami semua dipersilahkan masuk ke dalam ruangan yang sudah disediakan. Ruangannya tidak terlalu luas, tapi mirip seperti gedung pertunjukan (bioskop) dengan tempat duduk yang bertingkat. Di depan terdapat layar lebar plus panggung, dan semua lantainya dilapisi karpet berwarna merah.
Tepat pukul 19.00, acara dimulai. Diawali dengan penayangan cuplikan kegiatan Cagub dan Cawagub saat mendatangi beberapa tempat di Jakarta. Tak berapa lama, pasangan yang sama-sama memiliki trade reckord itu memasuki ruangan. Standing applause para undangan menyambut kedatangan mereka. Di depan saya, ada tiga baris tempat duduk yang masih kosong, tetapi lelaki kelahiran Solo itu lebih memilih berada di barisan tengah, berbaur dengan para undangan yang lain dan diikuti pasangannya yang duduk di sebelahnya.  

Master Of Ceremony (MC) selanjutnya membacakan rangkaian acara, sedikit basa basi mengajak hadirin meneriakkan yel-yel, lalu mengundang Basuki Tjahaja Purnama ke depan podium. Tak banyak yang dikatakan Ahok, panggilan akrabnya yang malam itu terlihat santai memadukan baju kotak-kotaknya dengan celana blue jeans. Ia hanya menyampaikan tentang pentingnya pengenalan lebih jauh dan mendalam terhadap dirinya dan pasangannya, karena dikhawatirkan akan mudah dipengaruhi dengan berita-berita miring yang belum tentu kebenarannya. Ia juga menyarankan untuk mengunjungi website yang sudah tersedia tentang kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Setengah jam berlalu, giliran Joko Widodo menuju podium. Disambut lagi dengan standing applaus para hadirin. Disini, Ia menyampaikan banyak hal tentang permasalahan kota Jakarta beserta solusinya. Namun sebelumnya, Walikota Solo itu membuka pembicaraan dengan menceritakan beberapa pengalaman pribadinya, membuat semua yang hadir tertawa terpingkal-pingkal. Dengan nada bercanda, Ia kemudian menghimbau kepada para wartawan untuk tidak menulis cerita itu menjadi berita, karena bukan acara "Stand Up Comedy". Hadirin tertawa lagi...

Suasana menjadi tenang ketika Cagub DKI Jakarta yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) ini mulai serius. Sesekali disambut dengan tepuk tangan setiap mendengar keyakinannya membangun Jakarta menjadi lebih baik berdasarkan pengalaman dan capaian-capaiannya selama memimpin kota Solo. Ia juga mengatakan, bahwa semua problem masyarakat itu adanya di lapangan, maka pemimpin juga harus terjun ke lapangan untuk melihat kondisi riil masyarakatnya.

Tiba saat diumumkannya pemenang lomba jingle “Jakarta Baru“. Sebelumnya, MC membacakan sepuluh nominasi beserta total hadiah yang dibagikan kepada tiga pemenang. Juara ketiga mendapat hadiah dua juta rupiah, Juara kedua mendapat tiga juta rupiah, dan lima juta rupiah untuk juara pertama. Sedang ketujuh nominasi yang tersisa, diberikan souvenir sebagai tanda terima kasih atas partisipasinya. Selanjutnya acara ditutup dengan foto bersama Basuki. Jokowi, sudah terlebih dahulu meninggalkan ruangan.
Meski saya pulang tanpa kemenangan, tetapi tidak membuat saya terlalu kecewa. Apa yang saya bayangkan sebelumnya ternyata salah, karena acara yang semula saya kira membosankan, justru mengesankan. Sambutan Tim Relawan Jakarta Baru sangat ramah, mereka juga rapi dalam mengelola acara ─tidak bertele-tele dan tepat waktu. Hal ini juga tidak terlepas dari Calon Pemimpin kota Jakarta beserta wakilnya yang datang sesuai jadwal, bahkan tiba sebelum waktu yang ditentukan.

Semoga pengalaman saya ini bisa menjadi referensi, serta mampu menginspirasi bagi siapapun yang membaca.

 “ Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menciptakan perubahan untuk kesejahteraan rakyatnya. Semua bisa segera terwujud, jika Ia tak menunda-nunda “ 


( Casablanca, 6 Juni 2012 ) 

Theme Song:  http://www.youtube.com/watch?v=nm5rngyx7Vo



Thursday, November 1, 2012

Cerpen: Indahnya Kebersamaan


Pernahkah kau makan bersama kawan-kawanmu saat berkumpul? Pasti rasanya lebih nikmat jika dibandingkan dengan makan sendiri, meski dengan lauk seadanya. Seperti pengalamanku sewaktu masih bekerja di pabrik. Seringkali salah satu diantara kami membawa makanan dari rumah, baik berupa lauk atau kue. Sisa hajatan, lebaran, atau natalan ─bagi pemeluk agama Nasrani. Kalau sebelumnya tidak ada yang mau menyentuh di rumah, begitu dibawa ke pabrik dan dimakan beramai-ramai saat istirahat, sebentar saja sudah ludes. Bukan karena rakus, tapi ada kenikmatan tersendiri jika makan bersama. Ya, dari pada tidak ada yang makan, kadaluwarsa dan akhirnya dibuang, kan lebih baik dibawa ke pabrik. Senang rasanya melihat makanan yang kita bawa diminati kawan-kawan kita. Yang sebelumnya kita tidak bernafsu makan, jadi nafsu.

Tak ubahnya seperti pekerjaan. Jika kita merasa berat mengerjakannya sendiri, maka akan terasa ringan jika dikerjakan beramai-ramai atau gotong royong. Senang rasanya melihat kepedulian kawan-kawan kita. Yang semula kita tak bersemangat mengerjakan, menjadi semangat. Ya, itulah makna dari sebuah pertemanan …

Seperti halnya sebuah kesuksesan. Ada kata-kata bijak yang mengungkapkan: “Tak ada kesuksesan yang berdiri sendiri. Selalu ada campur tangan orang lain yang turut andil dalam menciptakan kesuksesan itu”. Karena tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan manusia lainnya.

Tak berbeda juga dengan mimpi-mimpiku. Meski hanya mimpi-mimpi kecil, aku tak bisa mewujudkannya sendirian tanpa bantuan orang lain. Salah satu mimpi kecilku adalah bakar sate beramai-ramai yang sudah bertahun-tahun tak kulakukan. Dan kali ini, aku benar-benar merindukan suasana itu. Gara-gara tercium aroma sate dari tetangga sebelah ─kanan dan kiri, aku jadi kepingin, terus membayangkan … Seandainya di KPP ada acara bakar sate, wah asik tuh …

KPP itu ya KPP PRD. Singkatan dari Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik. Kantor Pusat PRD yang berada di Jakarta. Hanya, kami biasa menyebutnya KPP saja.

Setelah mengkhayal, lalu aku update status di Face Book:

// Mungkin nggak ya di KPP ada acara bakar sate? Jadi ingat kawan-kawan di sana, gara-gara tercium aroma sate yang terbawa angin.

Kenapa berbeda sekali ya ketika membeli?

Ada kenikmatan tersendiri jika ngumpul dan dibakar rame-rame, meski dapatnya cuma sedikit.

#sama rata sama rasa

colek: Rudi Hartono, Ulfa Ilyas U, Arif Fachrudin Achmad, Edi Susilo, Iskohar Bara Api, Supriadi Prastyo, Irwan Zakaria, Rusdianto Adit Amoersetya, Agus Pranata, Agus Casyono //

Hari itu memang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha atau dikenal juga dengan Hari Raya Qurban. Di mana-mana ─di seluruh dunia, umat Muslim yang merasa mampu atau sudah berlebihan secara finansial, pasti melakukan qurban. Ada yang qurban sapi, kerbau, kambing, atau onta. Ada yang melalui masjid atau di rumahnya masing-masing, yang penting niatnya adalah berqurban. Nah dari hewan yang sudah disembelih dan dipotong, kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa.

Pokoknya, jangan cari warung nasi deh kalau waktunya Lebaran Haji ─istilah lain Hari Raya Idul Adha. Masih mending Lebaran Idul Fitri, satu atau dua warung masih buka jika si pemiliknya tidak ikut mudik. Karena bisa dipastikan semua orang akan memasak. Kalau tidak memasak gulai, rendang, semur, atau dendeng, ya bakar sate. Dan pedagang yang paling laris di moment itu ya pedagang bumbu, arang, dan tusuk sate. Maka, sudah jadi kebiasaan jika hari itu, asap dari efek bakar sate pasti akan beterbangan dari segala arah.

Aku lalu iseng main ke KPP dengan Fifi, siapa tahu ada salah seorang kawan yang membawa daging kambing entah dari mana. Eh, pas datang ke sana ternyata hanya Lik Dir dan Rudj yang kami temui.

“Koq sepi sih … nggak ada acara bakar sate apa?” Aku mendatangi Rudj yang sedang asik dengan laptopnya.

“Ada. Lik Pit dapat koq. Ini lagi diambil Bang Harris sama Lik Hang,” kata Rudj menjawab pertanyaanku.

Setengah jam kemudian, aku mendengar ada suara yang mengembik dari luar. Semula aku kira sudah berupa daging dan siap diolah. Tapi ternyata masih berupa kambing yang masih hidup. Kami pun sempat kebingungan, siapa yang akan mengeksekusinya nanti? …

“Kalau dulu, kawan-kawan di KPP sendiri yang melakukan itu, Tar … “ Cerita Ulfa padaku. ”Tapi sudah dua kali berturut-turut tidak ada acara potong kambing waktu Idul Adha.”

“Kalau nggak salah, terakhir tahun 2009 ya, Fa.” Mbak Desi menimpali.

“Iya,” jawab Ulfa, singkat.

“Disembelihnya di sini juga?” Tanya Lik Hang.

“Sekali di mess, waktu kita masih ada mess. Dan sekali di kantor pusat, tapi di kantor pusat yang dulu.” Jawab Mbak Desi.

“Dulu siapa yang nyembelih, Des?” Tanya Lik Hang lagi.

“Oh dulu masih banyak orang. Yang motong si Bin Bin, yang nguliti ramai-ramai, ada si Yudi segala. Sekarang, Yudinya nggak ada. Lagi tugas ke luar daerah.” Jawab Mbak Desi lagi, lalu melanjutkan,”Padahal, semalam aku iseng lho BBM-an sama Yudi nanyain kambing. Eh, kata dia: Oh iya Des, ada yang ngasih. Besok, anak-anak suruh ambil.”

Lik Hang lalu menghubungi beberapa kawannya, mencari tahu siapa yang biasa menyembelih kambing. Tapi tiba-tiba, Lik Hang tertawa ngakak sendirian. Kami bertiga jadi keheranan. Aku penasaran ingin bertanya, tapi harus menunggu lama Lik Hang selesai tertawa.

“Kenapa sih, lik? Ketawanya geli banget.” Tanyaku akhirnya.

“Baru saja aku BBM-an sama Pak Jabo. Aku bilang kalau kambingnya kecil, paling beratnya sekitar 20 kilo-an. Trus dijawabnya apa coba?” Jawab Lik Hang balik bertanya sambil menahan tawa.

“Nggak tau, apa jawabnya?” Kulemparkan lagi pertanyaannya.

“Oh … berarti itu kambing aktivis, man.” Jawab Lik Hang menirukan Pak Jabo, membuat tawa kami berempat pecah, menggema hingga ke sudut-sudut ruang kantor.

Setelah dipastikan tidak ada referensi dari Pak Jabo, lik Hang mencoba menghubungi kawan-kawannya yang lain. Beberapa menit kemudian ditemukanlah satu nama. Yes! Kami menunggu siang itu.

Tapi, aku lantas putus asa dan bersiap pulang, karena orang yang ditunggu belum datang juga meski waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Coba kalau kita menggunakan rasio, kapan masaknya kalau jam segitu orangnya belum datang. Sedangkan besok hari kerja, sangat tidak mungkin bagi kami untuk begadang sampai pagi. Masing-masing memiliki agenda perjuangan. Tapi Mbak Desi menahanku dan mengajak aku mengolah daging sapi yang ternyata sudah ada di dalam kulkas, yang dibawa Kiting. 

Satu jam kemudian, datanglah kawan Dedy ─si pembantai dari Jakarta Barat. Lima belas menit, selesai semua dikuliti. Hebat! Sudah cepat, tidak meninggalkan bau anyir lagi. Maklum, sudah pakarnya!

Hmm … sebenarnya kasihan juga sih kalau ingat wajah lugu si kambing itu. Sejak awal kedatangannya, ia terus memandangiku, seperti ingin mengajakku bermain. Aku lalu menyapanya,”Hai … ” Sambil melambaikan tanganku. Dan dia menatapku lekat-lekat. Lalu aku coba mengembik, menirukan suaranya. Eh, dia jawab dengan mengembik juga. Aku diam, dia juga diam. Aku lalu masuk ke dalam. Dari dalam, aku mengembik lagi, eh dia jawab lagi. Aku ulang lagi, dia mengembik lagi. Emm … berarti bahasa kambingku sudah benar nih. Cuma sayangnya, aku tidak tahu artinya apa? Coba aku mengerti bahasa mereka, pasti aku akan terharu ketika mendengar salah seekor kambing berkata kepada kawan-kawannya yang lain saat berkumpul.

”Saya turut berduka cita, atas pembantaian terhadap saudara-saudara kita yang sudah dilakukan oleh umat Muslim di seluruh dunia hingga terjadi banjir darah di mana-mana, demi kebahagiaan para manusia. Semoga amal kebaikan mereka diterima di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala .” Lalu dengan serentak yang lain menjawab,"Amin … "

Hehehe … kok aku jadi ngelantur ya? Ah sudahlah, tak usah terlalu dipikir. Toh hidupnya sudah berakhir di golok maut sang penjagal. Seekor kambing yang masih sangat muda. Boleh dibilang, dia belum akil baligh. Masih ABG gitu deh ─anak baru gede.  Mukanya imut dan rambutnya bergelombang. Lucu dan manis. Tapi mau bagaimana lagi, mungkin aku memang harus merelakan kepergiannya ... 

Jadilah kami beramai-ramai memasak, malam itu. Mas Edi, membantu Mbak Desi mengolah sup kambing. Aku dan Ulfa mengiris daging. Pak Doming, dan Will Lee yang baru datang, membantu memasukkan daging ke dalam tusuk sate. Lik Hang membersihkan tempat bekas kambing yang dipotong. Sesekali dibantu Sahat, Lik Hang membuat bumbu untuk diserahkan kepada Lik Dir yang terlihat siap mengabdikan dirinya menjadi tukang bakar sate. Dengan membawa semangat arek-arek Suroboyo, Lik Dir membuka bajunya dan melakukan tugasnya dari awal hingga akhir tanpa meminta pengganti. Beberapa kawan yang belum terlihat, masih sibuk menyelesaikan tugasnya, termasuk Rudj. Sedangkan Fifi yang sejak tadi siang pergi, masih dalam perjalanan menuju KPP. 

Setelah semua makanan siap, Mbak Desi memanggil kawan-kawan yang lain untuk bergabung. Kami pun makan beramai-ramai menikmati hasil masakan kami diselingi tawa dan cerita. Pak Doming, Sahat, juga Ulfa memberiku ucapan ‘selamat’ karena mimpiku akhirnya terwujud. Tapi disela-sela waktu makan bersama, Sahat berkata,”Eh, kayaknya nggak asik ya nggak ada si Yudi.”

Mbak Desi menimpali,”Iya ya, nggak enak kalau lagi ramai-ramai begini nggak ada si Cabi.”

Setelah aku pikir-pikir, benar juga ya, rasanya kurang lengkap kalau tidak ada BOROMANIA …

( Casablanca, 27 Oktober 2012 )



Saturday, October 20, 2012

Cerpen: Jika Momogi Saja Bisa


Seringkali yang kita inginkan jadi ’cumi’, alias cuma mimpi. Tapi di saat yang berbeda, kita mendapatkan sesuatu yang lebih dari itu. Kalau menurut kamu, bahagia tidak? Menurut aku sih bahagia, cuma belum sempurna. Karena kebahagiaan yang sempurna itu kalau apa yang kita impikan benar-benar jadi kenyataan. Seperti waktu aku mendapatkan kejutan dari Jimmy ―kawanku dari Australia.

Awalnya, waktu kami jalan-jalan ke Kebun Binatang Surabaya. Lagi duduk santai di taman, dia bertanya,“Dinda, what’s your dreams?” Bule itu tidak mau panggil Tari. Katanya, dia lebih suka panggil aku Dinda. Ya udah, terserah dia lah, mulut-mulut dia, hehe …

Sambil menerawang jauh layaknya orang yang lagi menghayal, aku menjawab,”If I have a cute baby orangutan, how glad I am ...”

Tepat di hari ulang tahunku, Jimmy benar-benar mewujudkan impianku. Sebuah kado yang special buat aku, bayi orangutan yang lucu. Tidak cuma itu, Jimmy juga tahu kalau aku lebih suka dengan makhluk yang jenis kelaminnya laki-laki. Jadi, dipilihlah bayi orangutan jantan. Olalaaa … bahagianya akuuu …

Bayi itu usianya dua bulan sewaktu pertama kudapat. Dan aku merasa tak perlu bertanya dari mana Jimmy bisa mendapatkan itu, karena aku tahu, orangutan itu satwa yang dilindungi. Yang penting mimpiku terwujud, choy …

Aku merawatnya seperti seorang ibu pada anaknya. Aku perlakukan dia seperti bayi manusia. Dari makan sampai pakaiannya, aku perhatikan benar. Dan kuberi dia nama MOMOGI.

Jangan tanya kenapa dan apa alasanku memilih nama itu. Karena aku tidak punya alasan apapun, apalagi filosofinya. Aku suka saja, titik. Bahkan nama itu sudah kupilih jauh sebelum aku mendapatkan dia.

*****

Memes mengernyitkan dahinya waktu kusampaikan niatku merawat si Mogi ―pangilan sayang Momogi ―yang lagi di gendonganku.

“Kenapa tidak sekalian saja anak macan, anak buaya dan anak gajah yang kamu pelihara? Biar rumah ini jadi kebun binatang!” Ketus Memes menjawab.

Aku diam saja, sedih, terus nangis. Tapi di tengah kegalauanku, senyum Mogi menghiburku.

Beruntung aku tidak tinggal serumah dengan keluarga. Aku punya paviliun di samping rumah sejak aku bekerja, ingin bebas dan mandiri. Beruntung lagi, Ebes mengerti. Kebetulan Ebesku juga suka pelihara binatang, jadi niatku didukung sekali. Ebes lah yang menggantikan aku merawat Mogi kalau aku sedang bekerja.

*****

Tak terasa dikeloni tiap hari, umur Mogi sudah dua tahun lebih dua bulan. Sudah montok, jarang sakit, ganteng lagi. Senang kalau waktu tidur, terus tangannya melingkar di leherku. Ya wajarlah, aku perhatikan benar asupan makanannya. Susunya saja tidak sembarangan. Aku bekerja keras, merelakan separuh gajiku untuk keperluannya. Termasuk beli susu yang bagus, yang bisa mendekati kualitas ASI. Biar Mogi tumbuh besar, sehat dan cerdas. Tapi ada pertanyaan-pertanyaan yang entah karena iri atau apa aku tidak tahu ...

“Kenapa sih sampai segitunya?”

“Cuma monyet saja dibela-belain?”

“Kenapa tidak ambil bayi-bayi yang terlantar saja yang dibuang ke tempat sampah atau di panti-panti asuhan?”

Ini masalah hati, choy. Aku tidak bisa membiarkan suara hati aku. Entahlah, mungkin karena terlalu sayangnya aku sama Mogi, atau karena itu impian aku. Tapi tidak mungkinlah aku kasih dia ASI, karena air susuku cuma untuk calon anakku, dan wadahnya untuk calon bapaknya. Hehehe … jangan dibayangkan ya, nanti ‘ngajo’ lagi ―ngayal jorok.

Lama kelamaan, Memes senang juga lihat tingkah Mogi yang lucu dan menggemaskan. Makin hari makin sayang, perhatiannya pun makin bertambah. Lihat saja kalau Mogi sedang demam, Memes lah yang paling panik. Duh, jadi terharu …

Oh iya, karena Mogi sudah mulai gede, dia sudah ngerti malu lho. Pernah waktu aku selesai memandikan dia, tiba-tiba keponakan aku masuk saja ―tanpa mengetuk pintu. Mogi spontan menutupi tititnya dengan kedua tangannya sambil teriak-teriak cari tempat sembunyi. Mungkin, itu karena aku membiasakan dia pakai celana dalam, celana luar, lengkap dengan bajunya. Itu juga jadi dampak yang positif. Mogi tidak mau pipis sembarangan. Malu, kalau tititnya dilihat orang lain.

Sejak usia dua tahun, Mogi sudah tidak perlu menggunakan pampers lagi. Dia sudah tahu, ke mana harus buang air. Asal ingin pipis atau pub, dia pasti menarik tanganku. Atau Memesku, Ebesku  ―jika aku sedang tidak di rumah ―terus mengajak ke kamar mandi. Karena aku juga tidak mau mengajarinya seperti kebanyakan orang tua. Mentang-mentang anaknya laki-laki, kalau ingin pipis diajaknya ke luar rumah, cari selokan. Dibukalah celananya di sana. Mudah-mudahan besok kalau dewasa, Mogi tidak seperti manusia laki-laki kebanyakan. Asal ada benda tegak yang menghalangi, kencing deh di situ. Saingan sama guk guk. Ckckck …

Mogi juga sudah mulai susah ditinggal. Dia sudah bisa membedakan, aku yang di rumah dengan aku yang mau pergi. Kebiasaanku di rumah yang suka menggunakan celana pendek ditengarai-nya. Dia jadi ribut kalau aku sudah pakai celana panjang. Yang biasanya main sendiri, jadi tidak mau. Baru berdandan saja, tangannya yang panjang sudah melingkar di perutku dan tidak mau lepas kemana saja aku pergi. Yang lebih repot, kalau aku ingin pipis. Hadeeeh …

Meski kebebasanku semakin berkurang, tetapi menjadi kebahagiaan tersendiri buat aku, karena merasa dibutuhkan. Dan Mogi akan melepaskan pelukannya, kalau aku janji mengajaknya pergi dan mencari baju ganti untuknya. Dia langsung semangat pergi ke rak sepatu, terus memilih sesukanya.

Kelucuan Mogi yang lainnya, kalau dia sedang nonton TV. Kebiasaanku yang suka nonton berita dan politik, jadi menular ke dia lho ... Disimak benar acara itu sambil duduk di sofa kecil, mungil dan lucu. Khusus aku beli untuknya. Dan Mogi paling marah kalau chanelnya diganti tayangan sinetron sama bibiku.

Mogi segera turun dari sofanya, teriak-teriak, berjingkrakkan. Maksudnya minta diganti. Dan dia akan duduk manis kembali, jika keinginannya sudah dituruti. Maklum, ibu-ibu sukanya nonton sinetron. Padahal tayangan macam begitu kan tidak mendidik anak-anaknya. Dan jelas-jelas sudah melecehkan logika. Itu memang produk Kapitalis yang sengaja diciptakan untuk meracuni generasi muda. Agar mereka tidak merasa, kalau negaranya sedang dijajah. Membuat mereka malas berpikir karena sudah mendapatkan yang instan, jadi tidak mau melawan.

Pasti kalau ada yang iri, akan berkata,”Mau jadi apa sih, nyet, nonton berita politik? Bicara saja tidak becus!” Ihh …

Sebagai manusia yang berkaca diri, aku sadar kalau binatang juga butuh tempat untuk bersosialisasi. Selain membelikannya mainan, aku juga mengajak Mogi jalan-jalan ke tempat hiburan, atau bermain bersama anak-anak tetangga. Kadang aku mengundang mereka ke rumah. Mereka pasti mau, karena Mogi punya banyak mainan yang tidak semua mereka punyai. Waktu ulang tahunnya saja, tidak ada satupun yang ketinggalan. Karena mereka semua menyukai Mogi dan aku punya banyak cara untuk bisa menyenangkan mereka.

Tapi yang namanya anak-anak, selalu ada saja yang nakal. Tak terkecuali Mogi yang kadang suka usil meledek temannya sampai nangis. Kalau udah begitu, aku tidak perlu banyak bicara. Cukup aku panggil namanya, lalu aku acungkan telunjuk jariku. Dengan cara begitu saja, Mogi sudah tahu. Dia langsung mendatangiku, memeluk dan menciumi aku. Maksudnya merayu, agar aku tidak marah.

Kalau malam lihat Mogi sedang tertidur pulas, aku suka senyum-senyum sendiri. Ingat lucunya, usilnya. Mengikuti siapa ya? Aku kan orangnya tidak suka usil.

Oh iya, aku lupa, dia kan anak orangutan. Berarti, mengikuti bapaknya kali ya, hehehe ...

Tapi dia juga mengerti kok ... Kalau aku lagi sedih, dia tidak rewel. Malah suka bikin aku jadi tertawa lihat tingkahnya. Dia duduk di sampingku, terus mengikuti setiap gerakku. Misalnya aku sedang melipat tangan, dia meelipat tangan juga. Kalau tanganku sedang menahan dagu, dia juga mengikuti begitu. Ghaghaghag …

Lain lagi kalau lihat aku nangis. Dia ambil tissue lalu mengelap air mataku. Dan kalau aku sedang batuk-batuk, diambillah botol minumku. Ya, itu karena dia suka lihat aku melakukan itu pada Memesku.

Pokoknya, apapun yang aku lakukan, semua diikuti. Termasuk buang sampah ke tempatnya. Tidak peduli bekas bungkus makanan dia atau siapapun. Kalau dia menemukan di meja atau di lantai, langsung dipungut dan dibuang ke tempat sampah.

Harusnya manusia malu kalau melihat kejadian ini. Monyet aja mengerti kebersihan. Itulah gunanya pendidikan sedari dini. Tidak selalu harus menggunakan teori dulu. Langsung praktek justru lebih baik, dengan memberi contoh yang baik.

Mungkin, orang yang jorok itu karena induknya juga jorok ya? Dan orang yang tidak mengerti buang sampah di tempatnya itu, karena induknya juga begitu. Bisa jadi, karena banjir sering terjadi karena got yang mampet dan kali yang kotor penuh sampah. Kalau satu induk aja suka buang sampah sembarangan, akan diikuti beberapa generasinya. Apalagi kalau banyak induk begitu. Berarti lebih banyak lagi sampah yang mengotori jalanan dan sungai. Hmm …

Kadang si Mogi itu tingkahnya seperti orang dewasa. Apa aja yang aku kerjakan, direbut sama dia. Maunya dikerjakan sendiri. Padahal kan belum bisa benar. Makanya, sengaja air minum selalu aku siapkan di botol dan tempat minum yang terbuat dari plastik. Tinggal ambil di atas meja. Kalau tidak, berapa kali saja gelas pecah, air tumpah gara-gara dia mengambil air di dispenser.

Melihat kecerdasannya, aku jadi berharap, si Mogi bisa ngomong seperti manusia. Itu sebabnya setiap malam, aku bikin ritual. Sambil menemani dia di tempat tidur, aku ajari dia bicara dan bernyanyi. Dia menyimak betul sambil minum susu botolnya. Kalau bosan dengar aku bicara, dia tutup mulutku. Maksudnya, aku disuruh nyanyi. Heee … lucu ya …

Mungkin ada yang bertanya, kenapa cuma waktu tidur saja diajari-nya?

Ya karena Mogi itu hiperaktif ―tidak bisa diam. Hanya kalau mau tidur saja dia tenang, sambil ngenyot botol susunya.

Tapi aku jadi bertanya-tanya sendiri. Bagaimana ya kalau nanti ternyata Mogi bisa ngomong beneran? Terus dia tanya aku,”Mama mama, kenapa sih Mogi beda sama teman-teman Mogi?”

Emm ... gampang choy, aku akan menjawab,”Iya sayang, karena kalian lain jenis. Kalau teman-teman Mogi itu manusia, kalau Mogi itu binatang.” Ups! Binatang? Kok sepertinya kasar sekali ya? Kalau hewan? Masih kasar juga. Oh iya, satwa. Manusia dan satwa. Sip!

Terus kalau dia tanya lagi,”Mama mama, kenapa sih Mogi tidak punya papa seperti mereka?”

Waduh, aku harus jawab apa nih …

Oke! Aku akan jawab begini saja,”Karena mama tidak menikah, sayang ...”

Lalu, kalau dia terus mengejar dengan pertanyaan,“Kenapa mama tidak menikah? Ayo dong mama, mama harus menikah, biar Mogi punya papa.”

Ampun DJ … ini jawaban yang sulit untuk dijawab. Aku harus jujur apa bohong ya? Kalau aku bohong berarti aku mengajari dia tidak benar. Akibatnya, seperti manusia sekarang yang banyak jadi koruptor. Wah gawat! Korupsi yang udah mengakar di negeri ini kan awalnya dari bohong kecil-kecilan. Juga dari lingkungan yang paling kecil ―rumah. Mudah-mudahan nanti kalau sudah dewasa, Mogi akan menjadi satwa yang jujur. Agar manusia lebih malu lagi. Karena sejatinya, derajat manusia kan lebih tinggi dari binatang.

Kalau janji? Tidak bagus juga kalau nantinya tidak bisa menepati. Aku saja tidak suka diperlakukan begitu, masak aku mau melakukan itu. Itu namanya tidak berkaca diri. Ya sudah, jujur sajalah …

“Sepertinya, mama sudah tidak punya cinta lagi, sayang … Cinta mama yang tinggal satu-satunya, dipermainkan sama orang yang paling mama sayangi. Mama belum bisa lagi mencintai yang lain. Mau dia punya pacar, punya istri, atau mati sekalipun, cinta mama tetap buat dia …”

Huuuuffftt … aku jadi sedih membayangkan Mogi yang kecewa mendengar jawabanku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku kan musti jujur. Ya, kejujuran memang tidak selamanya manis. Kadang, bahkan terasa sangat pahit. Tapi ya sudahlah, yang terjadi terjadilah. Siapa tahu nanti jawabanku bisa berubah seiring berjalannya waktu. Karena rencana manusia, seringkali tak sejalan dengan rencana Tuhan …


( Casablanca, 7 Oktober 2012 )

Note: Memes = Ibu
          Ebes    = Bapak
     =>Bahasa gaul arek-arek Suroboyo





 
Blogger Templates