Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemailku

Pages

Friday, January 24, 2014

Cerbung: Pelangi Terakhir (Part 5)



Sudah dua jam lebih Zi tak berhasil memejamkan mata. Kantuknya sejak tadi sudah menyerang, tapi pikirannya tak tenang. Ada suara-suara dari dalam yang mengganggunya. Coba tak mengindahkan, tetapi suara-suara itu terus mengiang.
      
“Sekaranglah saatnya! Menunggu kapan lagi?”
      
“Sikap Mas Wi sudah jelas terbaca. Katakan sekarang juga!”
      
“Haduuuhh, masih menunggu apa lagi? Jangan menunda-nunda. Ayo beraksi!”
      
“Ingat, Zi! Kau akan menyesal jika esok tak pernah datang!”
      
Tepat pukul 2 dini hari, Zi bangun dan menyalakan komputer. Tanpa ragu-ragu lagi ia memberanikan diri mengungkapkan perasaannya melalui surat elektronik. Sebentar saja selesai. Ia tak perlu berpikir lama untuk merangkai abjad demi abjad menjadi sebuah ungkapan. Seperti ada yang menuntun jarinya. Dan sebelum isi surat itu dikirim, dibacanya sekali lagi dalam hati …

Dear, Mas Wi

Aku tak peduli Mas Wi mau bilang apa ...
Aku tak peduli orang mau bilang apa ...

Aku cuma mau bilang,


Aku sayang Mas Wi

Sayang banget … sayang banget …

Salam,

Izzi Tan Biyi

      
Surat elektronik sudah terkirim ke email Mas Wi. Tugas dari batinnya sudah tunai. Komputer dimatikan. Terasa longgar. Tak ada lagi yang berontak dari dalam dadanya. Ia kembali melanjutkan tidurnya.

***

      
Hari ini ada diskusi tentang Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Acara itu diselenggarakan di markas pusat. Mengundang banyak orang, wartawan, juga pembicara dari luar. Beberapa hari sejak dikirimkan surat elektronik itu, Mas Wi tak kelihatan. Juga tak membalasnya. Hari ini menjadi hari yang mendebarkan baginya. Menjadi awal pertemuan pasca ia mengutarakan perasaannya. Apakah sikap Mas Wi akan berubah? Atau … sebuah pertanyaan yang belum terjawab, ketika ia tengah mempersiapkan konsumsi untuk keperluan diskusi nanti. Apapun yang terjadi, Zi sudah siap dengan segala resikonya.
      
Mas Wi datang mengenakan pakaian serba putih. Terlihat lebih fresh. Zi akhirnya lega mendapati sikap Mas Wi yang masih seperti kemarin. Masih fasih mengeja namanya, masih memberikan senyum terbaiknya. Dan tatapannya tak berubah. Dengan pakaian serba putih-nya, Mas Wi bahkan tak segan membantu Zi dan kawan-kawannya mengangkuti makanan. Sebab ini bulan puasa, beberapa dipesan dari warung dekat markas –kolak dan es buah dibungkus gelas plastik. Empat bak, masing-masing dua. Dua bak es buah, dua bak kolak. Pada pengangkutan bak kedua, sendal Mas Wi putus terinjak kaki kawan. Mas Wi menuju rak sepatu, pakai sendal yang ada di sana.
        
Tiba waktu berbuka, semua menyerbu makanan. Setelah menyantap kolak, Mas Wi ingin makan nasi, tapi tak menemukan piring. Mas Wi menunggui Zi yang sedang mencuci piring, tapi piring yang dicucinya sedang ditunggu orang. Zi coba mencari-cari piring kotor untuk Mas Wi, semua masih terpakai. Lima belas menit kemudian Zi dapat memungut di bawah kursi, dicuci untuk Mas Wi. Tapi di ruang rapat, Mas Wi sedang ada wawancara dengan seorang wartawan. Zi tak ingin mengganggu. Dan Zi lantas kecewa melihat Mas Wi meninggalkan acara sebelum usai, setelah terlihat berbicara melalui telepon sebelum Zi sempat membawakan piring beserta nasi dan lauk untuk Mas Wi berbuka.  
      
Hari-hari selanjutnya, Mas Wi jadi rajin ke markas. Meski tak bersama ketua, meski tak ada pertemuan. Pagi-pagi sudah datang, selagi yang lain masih tidur. Duduk sendirian di ruang tamu, menunggu Zi pulang dari pasar. Sekedar menyapa dan menatap mata sipitnya. Sebelum tengah hari, Mas Wi sudah menghilang. Begitu seterusnya, membuat Zi semakin penasaran, ingin segera mendapatkan jawaban itu.
      
Sebagian orang berpendapat, bahwa ungkapan sudah tidak diperlukan lagi ketika sikap seseorang sudah mampu menterjemahkan perasaannya. Zi tidak setuju. Baginya, ungkapan adalah kepastian, sedangkan sikap hanya abu-abu. Bisa jadi karena sesuatu hal, mungkin harga diri, si pelaku tidak jujur mengakuinya. Sikap dan ungkapan adalah senyawa.
      
Ungkapan tak bisa diabaikan. Bahkan dalam hubungan rumah tangga, hal itu masih dibutuhkan. Mengungkapkan perasaan tidak mengenal gender. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk membahagiakan pasangannya. Meski hanya tiga kata: aku cinta kamu, aku sayang kamu, aku kangen kamu atau aku butuh kamu. Sebuah kejujuran yang mampu menjadi embun penyejuk jiwa.

***

      
Matanya bergerak-gerak. Ke kiri, ke kanan, memastikan tak ada yang memperhatikannya. Zi sedang mencoba mencari sandal Mas Wi yang kemarin putus. Rak sepatu berantakan tak tertata. Bertumpuk-tumpuk, saling menindih. Markas hampir tak pernah benar-benar sepi meski malam. Selalu saja ada yang lalu lalang bergantian, sebab dihuni banyak orang. Sebentar ia mengacak-acak rak sepatu, sebentar ia pergi ketika ada yang lewat. Rak sepatu dekat ruang tengah, dekat ruang rapat, dekat dapur, dekat kamar mandi. Tempat yang strategis. Bibirnya lantas tersenyum tipis. Senyum kemenangan. Sandal Mas Wi sudah ditemukan. Yang satu tertumpuk beberapa sepatu dan sandal, satu lagi di bawah kolong rak. Sandal kulit warna coklat susu segera dibawa ke kamarnya.
      
Lem alteco sudah disiapkan sebelumnya. Beli dua di warung dekat markas. Segera dioperasi alas kaki itu tengah malam. Tak lupa membasahi lap kain untuk menyapunya dari debu.

Dengan sangat teliti dan telaten dicarinya kap yang tak lagi menyatu dengan sol. Ditumpahkannya lem cair itu, direkatkan. Bibirnya sibuk memberi angin. Tapi Zi jadi panik ketika jarinya lengket pada bagian sandal yang terkena lem, luber. Beruntung bisa dicabut. Kalau kelamaan, mengering, tentu jarinya tak bisa lepas dari sandal itu. Lebih berbahaya jika menyatu kulit dengan kulit. Beberapa bulan yang lalu, kelopak mata sepupunya harus dioperasi. Lengket menyatu terciprat lem besi itu.

Jarinya jadi kasar karena lem yang mengering. Kukunya mengorek-ngorek, tapi semua lem berhasil disingkirkan. Butuh waktu beberapa hari. Dan matanya berkaca. Aroma lem cair itu begitu menyengat. Terhirup hidungnya, membuat matanya perih. Zi membuka pintu kamarnya sebentar untuk mengusir aroma itu.

Kini sandal sudah siap pakai, Zi mulai berpikir bagaimana cara mengembalikan pada pemiliknya. Kalau diserahkan langsung, ia tak punya nyali. Zi lantas berencana mengirimkan lewat paket saja, tapi ia takut kawan lain tahu. Tentu alamat dan nomor telepon harus ada. Ide terakhir hanya membungkusnya saja, lalu menitipkan pada seorang kawan di markas, dan ia tinggal pergi beberapa hari. Zi akan katakan, bahwa barang itu dari seorang lelaki yang datang ke markas mencari Mas Wi. Sebelum benda itu dibungkus serapi-rapinya, Zi mengabadikannya lewat jepretan ponselnya, dijadikan wall paper. Sepasang sandal milik pejuang yang dikasihinya.
      
Aku membayangkan Mas Wi tertawa terpingkal-pingkal ketika membuka bungkusan ini. Tubuhnya berguncang-guncang. Bahu dan perutnya naik turun. Atau paling tidak, Mas Wi tersenyum. Mas Wi, ini sandalmu sudah aku perbaiki. Jangan tanya pakai lem apa sehingga benda itu merekat kuat. Sebab tak ada lem sebagus apa pun yang bisa menandingi kasihku. Sebab lem tak bisa menumpahkan dirinya sendiri, apalagi meratakan dan memilih tempat yang dibutuhkan. Lem tak punya rasa. Aku yang punya. Sandal itu kurekatkan dengan kasih sayang …
      
***

Bocah lelaki itu berusia 4 tahunan. Kulitnya bersih, montok dan lucu. Mata, alis, bibir dan dagunya persis Mas Wi. Seperti hasil foto copy.
      
”Yaaahh, ayah mau ke manaaa …” Suaranya terdengar manja.
      
“Ayah mau ke kamar mandi sebentar.”
     
“Aaahh … enggak aaahh ... ayah nggak boleh pergiiiii …”
      
Bocah itu memeluk kaki ayahnya.
      
“Orang ayah mau pipis kok nggak boleh. Kalau ayah ngompol di sini, gimana? Nanti ayah ke sini lagi.”
      
“Nggak mauuu … nggak mauuu …”
      
Bocah itu lantas bergelantungan di kaki Mas Wi. Sekeranjang mainannya yang berserak di lantai menjadi tak penting. Aku berada tak jauh. Tersenyum. Bahagia melihat keakraban mereka. Aku suka melihat anak-anak yang dekat dengan ayahnya. Menjadi berbeda sebab tak biasa.
      
Mas … itu anak kita, mas. Ya, anak kita …
      
“Zi, materi untuk pendidikan besok sudah dibikin belum?”
      
Zi masih asik melamun. Tak mendengar pertanyaan Rini.
      
“Woy! Pagi-pagi sudah ngelamun.”
      
Teriakan Rini membuyarkan tatapan kosongnya. Zi tergeragap, kaget.
      
“Dih, ngelamunin apa tau, senyum-senyum sendiri.”
      
Zi jadi malu. Pipinya yang putih kini memerah.
      
“Tadi kamu tanya apa?”
      
“Materi untuk pendidikan besok sudah dibikin belum?”
      
“Sudah sudah. Sebentar.”
      
Zi memasuki kamarnya, mengambil beberapa lembar kertas A4 yang sudah diketik semalam, diberikan Rini.
      
“Eh iya, Zi. Kemarin ada yang cari kamu lho. Cowok yang di bengkel itu.”
      
“Ih, tau dari mana tuh orang kalau aku tinggal di sini.”
      
“Cie cieee … Zi ada yang naksir ni yeee …”
      
“Biasa aja kali. Nggak usah aneh gitu kalau ada yang naksir aku. Kayak aku manusia terburuk sedunia aja.”
      
“Yeee … Zi maraaah …”
      
Zi tak mau lagi menjawab. Ia meninggalkan Rini sendirian di ruang tamu. Sekali-kali Zi memang perlu marah di depan Rini agar tak kebiasaan merendahkan orang lain. Sebagai organiser di organisasi perempuan, seharusnya Rini paham dengan kondisi spikologis kaumnya. Perempuan itu sudah terbebani dengan lebel-lebel yang ditempelkan masyarakat. Ditambah lagi peraturan daerah yang membuat aturan tentang perempuan. Perempuan seolah tidak berhak memiliki tubuhnya sendiri. Perempuan selalu dibedakan dengan laki-laki meski secara biologis bentuk tubuh laki-laki dan perempuan memang berbeda. Tulang-tulang lelaki lebih besar. Bentuk dadanya lebih bidang. Hanya semua yang dilakukan laki-laki selalu dipantaskan, sedang perempuan tidak. Perempuan seolah tidak berhak menentukan pilihannya. Belum menikah, dicibir, dianggap tidak laku, tidak ada yang mau. Sudah menikah tidak punya anak, dibilang mandul. Istri bekerja di luar dianggap tidak nurut suami, tidak mau mengurusi rumah tangga, tega meninggalkan anak-anaknya. Ditindas atau dianiaya suami, masih disalahkan. Dianggap asal dapat laki, sudah tidak ada jodoh lagi, bodoh yang dipelihara. Sudah jadi janda, disinisi, direndahkan, dianggap momok yang menakutkan, penggoda suami tetangga, pengganggu rumah tangga orang. Ditambah lagi anggapan laki-laki bahwa janda adalah perempuan kesepian yang gampang ditiduri. Duh, kasihan sekali perempuan.
      
Tak jarang kaumnya sendiri menjadikan predikat janda sebagai bahan candaan. Dengan senyum melecehkan, mereka berbisik kepada teman-teman lelakinya, ”Itu janda lho …” atau “Paket hemat tuh.” Biasanya, perempuan yang gemar melecehkan begitu karena merasa dirinya berada di zona aman. Memiliki keluarga utuh, damai. Mereka tidak menyadari bahwa apa pun bisa terjadi atas dirinya. Jangankan esok hari, lima menit ke depan yang akan dilalui adalah rahasia. Dan ketika skenario hidupnya memaksa mereka menjadi janda, masih ingatkah apa yang pernah dilakukannya?
      
Zi justru mengangkat kedua jempolnya untuk perempuan yang mampu melepaskan diri dari penindasan pasangannya, dengan catatan, ia mampu menepis anggapan negatif masyarakat tentang janda. Membuktikan diri, bahwa tidak semua janda seperti itu. Yang masih gadis, atau bahkan yang sudah bersuami pun berpotensi menjadi penggoda lelaki, perusak rumah tangga orang.
      
Menyandang status janda atau single parents itu berat. Tidak mudah. Butuh keberanian. Berapa banyak perempuan yang mempertahankan hubungan perkawinannya yang tak sehat, melanggengkan penindasan di dalam rumah tangganya? Zi menyalutkan laki-laki yang berkenan menikahi single parents, asal lelaki itu benar-benar menjadi suami dan bapak yang bertanggung jawab, tulus mencintai anak yang bukan keturunannya. Tidak membedakan perhatian dan kasih sayang di dalam rumah tangganya. Dengan begitu, ia sudah membantu meringankan beban spikologis si anak. Tak lagi merasa minder ketika teman-temannya bercerita tentang bapaknya.
      
Tetapi masih banyak saja orang berkata, “Memang sudah tidak ada perawan lagi apa? Milih kok PaHe. Paket Hemat. Buy one get two apa Buy one get three?” Mereka lantas tertawa beramai-ramai, seolah janda adalah barang rongsokan yang tidak pantas dipilih oleh lelaki yang masih sendiri. Jika mau jujur, tak hanya janda saja yang bekas orang. Di jaman yang sudah modern ini, banyak juga gadis bekas. Juga perjaka bekas.
      
Gadis bekas, sama saja dengan janda. Sudah tidak perawan lagi. Bekas orang. Lalu siapa yang menghilangkan keperawanannya? Laki-laki bukan? Apakah laki-laki yang menertawakan janda benar-benar masih suci? Masih perjaka? Laki-laki yang pernah tidur dengan perempuan yang menjadi kekasihnya sehingga hilang keperawanannya, lalu meninggalkannya atau berpisah atas kesepakatan berdua, berarti ia telah menjadikan perempuan itu janda bukan? Dan dirinya sendiri telah menjadi duda. Bedanya mereka tidak memiliki anak dan surat nikah. Persetubuhan mereka tidak diakui negara. Kenapa bangga dengan perzinahan? Kenapa bangga dengan persetubuhan yang tidak legal secara hukum? Bukankah kelakuan mereka sama dengan binatang? Tak punya aturan. Atau laki-laki yang mendapatkan gadis bekas orang lain, bukankah ia telah mendapatkan janda juga? Kenapa menertawakan temannya yang jelas-jelas mau bertanggung jawab menikahi janda secara sah? Dan perempuan sendiri, seharusnya mereka berkaca sebelum menertawakan kaumnya yang menjanda, ketika dirinya sendiri sudah tidak perawan dan sudah berpisah dengan kekasihnya. Bukan malah bangga dengan kelakuan hewannya yang menjadikan dirinya menjadi seorang janda juga.
      
Dan baru saja, Zi ditertawakan oleh kawan sekolektifnya hanya karena Zi selalu terlihat sendiri. Bukan karena tidak ada yang mau. Beberapa kali Zi terpaksa bersikap sinis dan memasang tampang jutek pada lelaki yang tidak tanggap terhadap sikap penolakannya. Zi berusaha untuk tidak menolak secara langsung demi menjaga perasaan mereka. Ia berkaca pada dirinya. Untuk hal-hal yang berkelanjutan, memang dibutuhkan ungkapan sebagai bukti. Namun untuk yang tidak, ya tidak perlu.
      
Mereka yang terus mengejarnya, beberapa kawan di luar gerakan, juga seorang kawan seperjuangannya yang jelas-jelas sudah memiliki anak istri. Ada lagi dari lain gerakan hasil perjodohan kawannya melalui pesan singkat. Zi bersikap biasa saja. Hanya menjawab jika pria itu bertanya. Karena merasa tak direspon, lelaki itu lama-lama bosan dan mundur secara teratur. Zi lebih suka laki-laki yang tanggap seperti itu. Tidak memaksakan kehendaknya hingga Zi harus mengeluarkan tanduknya. Zi memang butuh lelaki tangguh. Lelaki yang tidak mudah menyerah. Tetapi ia harus menggunakan cara-cara yang mampu menyentuh hatinya. Menyukai seseorang itu hendaknya memahami keinginannya. Tidak hanya asal dekat, main seruduk.
      
Tentu tidak sepatutnya juga terburu-buru mengambil kesimpulan pada orang lain yang belum dikenalnya betul. Seseorang yang selalu tampak sendiri tidak selalu karena ia tak ada yang mau. Atau bahasa kasar yang sering digunakan untuk melecehkan adalah tidak laku-laku. Lalu dengan rasa iba, orang-orang di dekatnya dengan sukarela menjadi mak comblang. Menjodohkan teman-temannya yang lain yang juga masih sendiri, tanpa berpikir bahwa apa yang dilakukannya itu menyinggung perasaan. Sungguh, itu tidak perlu dilakukan kecuali diminta. Alangkah bijak jika seseorang bisa menghormati orang lain untuk mengatur hidupnya sendiri. Sendiri itu pilihan, tentu dengan berbagai alasan. Dan alasan Zi untuk memilih itu, karena ia tak mudah melupakan orang yang pernah dicintainya. Zi tak mudah jatuh cinta. Baginya, lebih baik sendiri daripada berpasangan tanpa rasa.  

~ Bersambung~


(Casablanca, 24 Januari 2014)

Theme Song: (Ronan Keating - If Tomorrow Never Comes) https://www.youtube.com/watch?v=S4kzGhDEURA

 Photo Source: Google Images


Sunday, January 19, 2014

' januari yang basah '


izinkan aku menyandarkan kisahku
pada rintikmu yang tak sudah
tentang bibirnya yang bisu
jemarinya yang bisu
ia hanya menulis catatannya dilangit
tentang perjuangan dan kemenanganku
tanpa batas waktu
dua puluh lima purnama, masih kurangkah?
aku memilih tetap sendiri
menampung suara - suara sumbang
menikmati luka tanpa darah
tak hanya jantungku
bahkan purnama
mampu dipotong - potong
seperti roti
ia tak bisa bersikap


januari yang basah
jadikan aku kekasihmu
hingga jasadku membeku ...


(Casablanca, 19 Januari 2014)


Friday, January 17, 2014

' air '


mesin pompa air menjerit - jerit
sudah tua
lelah
mati

kering berhari - hari
seperti tubuh tanpa tulang
tak bertenaga
minta air tetangga
secukupnya

aku berdoa
hujan turun seperti kemarin
deras 

tak henti - henti
air luber
semua wadah penuh
jika mau
sendokpun terisi

hari ini doaku dikabulkan
suka cita menyambut air dari atap
hingga malam
hingga stasiun televisi mengabarkan
banyak warga mengungsi
dievakuasi karena banjir ... 



(Casablanca, 13 Januari 2014) 




Sunday, January 12, 2014

Cerpen: Dunia Adalah Penjara


Aku sedang menikmati makan malamku sendirian, dengan sedikit nasi dan lauk ala kadarnya. Di sampingku, seorang lelaki yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Lelaki yang tak banyak bicara dan tak terlalu suka basa basi itu, sedang serius dengan laptopnya.

"Kenapa ya bang, manusia harus bertahan hidup? Padahal, hidup itu hukuman."

Si abang menatapku. Aku santai saja. Menganggap ini pertanyaan iseng, tak berbobot. Aku melanjutkan makanku, memasukkan nasi ke dalam mulutku sesuap demi sesuap.

"Kenapa? Karena manusia tidak pernah terlepas dari persoalan? Karena manusia selalu mendapatkan ujian dan ujian yang harus diselesaikan? Karena kita selalu dihadapkan dengan rintangan demi rintangan dan harus melewatinya?" Si abang balik bertanya.

"Ya. Berbeda sebelum kita dilahirkan. Kita memang tidak mengenal apa itu bahagia, tapi kita juga tidak pernah merasakan sakit atau menderita."

Sebenarnya, aku sedang membicarakan diriku sendiri. Masalah lapar yang dihadapi setiap orang dan setiap saat, menjadi masalah buatku. Aku selalu merasa menderita, setiap kali datang rasa itu. Karena sejak kecil, aku memang paling malas kalau disuruh makan. Makan menjadi nikmat, hanya ketika aku benar-benar ingin. Sampai-sampai aku berpikir, ada pil yang bisa bikin kenyang, sehingga aku tak perlu mengunyah. Tetapi bisa jadi akan timbul masalah baru buatku, seandainya pil kenyang itu benar ada. Jika harganya mahal, dan aku tak mampu membelinya.

"Semua itu kan kesalahan dari awal. Kalau dalam kitab yang menceritakan tentang Adam dan Hawa, sebenarnya mereka itu sudah enak hidup di surga. Hanya karena Hawa tergoda bujukan ular, sehingga makan buah kuldi. Lalu Adam tergoda ajakan Hawa yang akhirnya ikut memakannya pula. Padahal itu larangan Tuhan, tapi dilanggar. Nah, akibatnya apa? Tumbuhlah sesuatu pada tubuh mereka masing-masing, sehingga terjadi perbedaan. Adam menjadi laki-laki yang ditandai dengan jakun dan buah zakarnya, sedangkan Hawa menjadi perempuan yang ditandai dengan buah dadanya. Timbullah nafsu, lalu mereka bersetubuh. Hawa akhirnya hamil, ditandai dengan perutnya yang membesar. Tuhan marah, lalu menghukum mereka. Dikeluarkan lah mereka dari surga dan ditempatkan ke dunia. Lahirlah kita-kita ini, kan gitu. Kalau bisa diibaratkan, Tuhan itu orang yang sakti, tapi kesepian. Maka dibikinlah mainan untuk menghibur dirinya. Dia bikin planet, bikin gunung, pohon, binatang, dan segala macam termasuk manusia. Nah, karena dia yang bikin, dia punya kuasa dong. Maka dia bisa semena-mena atau seenaknya memperlakukan ciptaannya. Mau diapain kek terserah dia, kan dia yang punya. Maka, kalau kita ingin mendapatkan banyak kebaikan dan keselamatan dalam hidup, kita harus baik-baikin dia. Ya kira-kiranya, gitulah ..."

Di luar dugaan, si abang mau membahas pertanyaanku panjang lebar. Seperti Ustadz yang sedang ceramah, atau Pendeta yang sedang berkhotbah. Seperti menyambungkan renunganku beberapa bulan yang lalu, sewaktu aku pulang ke kampung.

Sehari setelah hari lahirku, si jabang bayi dalam kandungan itu seperti memberi isyarat, bahwa masa kontraknya akan habis. Ia harus segera keluar dari zona nyaman, rahim si ibu. Aku diminta suami istri itu menemani mereka ke bidan. Bersama ibu hamil, aku naik taksi. Suaminya naik motor, dengan alasan, kalau butuh sewaktu-waktu pulang ke rumah, ada kendaraan.

Setelah mendaftarkan istrinya, suami si ibu hamil itu terpaksa pulang, mengganti pakaiannya yang basah kuyup kehujanan. Aku sendirian menjaga. Sebelum sang suami kembali, si ibu hamil sudah ingin melahirkan. Aku yang akhirnya menggantikannya, menunggui si ibu di ruang bersalin. Memberinya semangat, mengipasi dan mengelap keringatnya yang tak berhenti berproduksi. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat kepala si jabang bayi keluar dari liang ibunya. Tangisnya melengking, laki-laki, montok.

"Kalau memotong tali pusat jangan begini. Jangan sejajar dengan posisi tidur bayi. Kalau laki-laki, nanti burungnya ikut kepotong. Ini anak orang. Kalau burungnya kepotong, orang tuanya marah, bisa dituntut kamu. Naikkan dulu seperti ini, baru digunting." Kata bidan memberi arahan kepada perempuan di dekatnya.

Ada tiga orang perempuan yang menangani proses persalinan itu. Pemilik rumah bersalin, assistennya, dan anak didiknya.

"Aduh, ini ari-arinya kenapa nggak mau keluar ya?" Keluh bidan.

Darah membanjiri tubuh si ibu bayi. Ia terkulai lemas, tak berdaya. Sedang aku, merasakan ngilu yang sangat, melihat apa yang dilakukan bidan itu.

"Sudah, nggak usah diurusi dulu bayi itu. Bantu aku sini. Gawat ini." Kata bidan kepada assistennya.

Terlihat kepanikan si bidan. Nafasnya ngos-ngosan. Setelah membersihkan dan membungkus si bayi dengan kain, assistennya mendekat.

"Mbak, tunggu di luar saja, mbak." Bidan memintaku.

Ada rasa was-was. Ada rasa curiga. Mau diapakan si ibu itu, sehingga aku tidak boleh tahu? Meski sebenarnya, aku juga tidak sanggup melihatnya. Seperti boneka mainan yang tergolek di tanah, pasrah diperlakukan apa saja oleh pemiliknya.

Kakiku gemetar, keluar menuju beranda rumah bidan itu, karena jantungku belum berhenti berdebar. Badanku lemas. Baru duduk, ada tukang bakso lewat. Aku panggil dan pesan semangkok, berharap bisa memulihkan tenagaku.

Seorang ibu datang, tersenyum. Setelah mendaftar, ia duduk di depanku menunggu antrian. Satu pasien lagi ia masuk, setelah sepasang suami istri yang membawa anaknya berobat.

"KB ya, mbak?" Tanyaku.

"Iya," jawabnya. "Mbak lagi nunggu lahiran?"

"Iya."

"Sudah lahir belum?"

"Sudah."

"Laki-laki apa perempuan?"

"Laki-laki."

"Tinggal di mana?" Pertanyaanya segera aku jawab, lalu ia kembali melanjutkan,"Jauh sekali sampai ke sini. Memang di dekat rumah mbak nggak ada bidan apa?"

"Ada. Cuma, dia tertarik setelah dikasih tahu tetangganya. Katanya, bidan ini sabar."

"Ya iyalah, mbak mbak. Kalau nggak sabar, ya siapa yang mau jadi pasiennya. Bidan ini kan kalau pagi dinasnya di rumah sakit bersalin swasta yang besar itu. Dan dia terkenal paling galak."

"Oh ya? Masa? Dia cerita juga tuh, kalau bidan ini suka telepon, tanya keadaannya. Perhatian banget pokoknya. Makanya dia suka."

"Ya ... itu maksudnya, biar pasiennya mau melahirkan di tempat prakteknya. Ada kan yang periksa kehamilannya di sini, tapi melahirkan di tempat lain? Jadi biar dapat dua-duanya. Dan kalau ada yang melahirkan, pastilah pemasukannya lebih besar."

"Oh ... iya ya ..."

Masuk akal juga, pikirku. Jadi ingat di awal-awal persalinan tadi. Aku sempat kena semprot. Si ibu bayi juga kena marah. Bahasanya tidak enak sekali di dengar. Sempat protes dalam hati, ngedumel sendiri. Katanya bidan sabar. Apa? Kalau ada orang yang tidak mengerti, bicara baik-baik kan bisa. Kalau saja aku tidak sedang mengantar orang yang sudah kesakitan karena mau melahirkan, pasti sudah kudamprat bidan itu. Seperti sepuluh tahun yang lalu, aku pernah memaki seorang suster rumah sakit, gara-gara ia membentak saudaraku yang baru melahirkan. Semua pasien serta pembesuk yang ada di sal rumah sakit itu, kontan menoleh ke arahku. Dan aku tak peduli.

Si mbak yang suntik KB itu masuk, aku mengembalikan mangkok bakso dan membayarnya. Lima belas menit kemudian, ia keluar.

"Ayo, mbak." Pamitnya.

"Iya ..."Jawabku.

Beranda bidan itu, kini sepi. Tinggal aku sendirian, menunggu bapak si jabang bayi datang dan proses persalinan selesai. Melihat lalu lalang orang yang lewat di depan rumah praktek bersalin itu, pikiranku mulai melayang-layang ...

Kenapa ya manusia harus dilahirkan? Pasti jawabnya, untuk melanjutkan generasi. Di dalam sana, ada seorang ibu yang sedang kesakitan karena melahirkan generasi. Tersiksa, terkapar, tak berdaya. Maka semakin banyak perempuan yang dilahirkan, semakin banyak pula yang kesakitan. Tapi tentu si ibu akan tersenyum setelah melihat bayinya. Bapaknya bangga, keluarganya menyambut dengan gembira. Semua orang bahagia mendapatkan anak-anak yang dilahirkan, tetapi bayi-bayi menangis. Apa karena ia tahu, bahwa ia adalah calon terhukum? Apakah ia telah diberitahu, bahwa ia akan diwajibkan menjawab tantangan demi tantangan untuk melanjutkan hidupnya?

Entah ... kenapa aku percaya bahwa reinkarnasi itu ada. Orang mati yang tidak mencapai kesempurnaan dalam hidupnya, tidak akan sampai ke nirwana. Ia akan dilahirkan kembali melalui bayi-bayi yang baru lahir. Aku percaya, karena aku pernah mengalami dejavu. Aku percaya, karena ada anak titisan. Biasanya, ketika anak masih dalam kandungan, si ibu mendapat mimpi dari seseorang yang ingin mengikutinya. Maka ketika lahir, baik sifat, kebiasaan atau kesukaan, bahkan cara berfikir si anak akan menyerupai seseorang dalam mimpi itu. Tetapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kenapa populasi manusia terus meningkat? Lalu bayi-bayi yang lain itu, reinkarnasi dari mana? Ya, mungkin saja mereka memang bayi-bayi atau calon terhukum baru yang menjadi penghuni dunia. Tetapi jelas mereka tidak akan mengalami dejavu, karena mereka bukan termasuk dalam proses reinkarnasi.

Teringat kembali nasib si ibu di dalam sana. Apakah ia baik-baik saja? Apa ia bisa diselamatkan? Jika ia mati, pasti ada yang menangisinya. Kenapa? Kenapa orang-orang harus menangisi kematian? Ya, aku tahu jawabnya. Karena manusia mempunyai keinginan untuk memiliki. Suatu rasa yang menyiksa dan menyakiti diri sendiri. Nafsu atau keinginan lah yang membuat manusia menjadi menderita.

Aku yakin, tidak hanya mereka yang kekurangan ekonomi saja yang mengalami masalah. Meski krisis ekonomi menjadi masalah yang paling dominan menghinggapi manusia. Tetapi orang yang berlimpah hartanya, memiliki rumah selayak istana dan beberapa mobil mewah, tentu tak luput dari masalah. Tentang cinta, cemburu, pengkhianatan. Hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, yang membuat seseorang menjadi sakit hati, tentu tak bisa dibeli dengan uang. Cinta dibayar dengan rasa memiliki yang pantas. Cemburu dibayar dengan kepedulian, keadilan, dan penguatan kepercayaan. Sedangkan pengkhianatan dibayar dengan kesetiaan.

Pernah aku merasakan damai, ketika aku tidak lagi mempunyai keinginan untuk memiliki seseorang. Tidak ada cinta, rindu, cemburu. Benar-benar terbebas dari rasa tersiksa yang menyakitkan. Indahnya ... Tapi sayang, keadaan seperti itu hanya sesaat. Seperti sifat dunia yang hanya sementara, memenjara. Aku kembali bermimpi dan memiliki keinginan yang membuatku sakit lagi.

Teringat seorang teman yang selalu berbicara tentang akhirat dan akhirat. Seolah cita-citanya hanya untuk menuju akhirat. Suatu hari ia bercerita, semalaman perutnya sakit karena terserang 'angin duduk'. Ia panik. Segala cara dilakukan agar ia tetap hidup. Aneh! Jika dalam setiap langkahnya adalah kebenaran dimana tak bertentangan dengan perintah Yang Kuasa, dan dalam kesehariannya selalu dijalankan demi akhirat, kenapa takut mati?

Ya, manusia itu adalah mainan-Nya, seperti kata si abang. Manusia hanyalah boneka-boneka kecil yang tampil dalam panggung sandiwara dan selalu bersandiwara. Ia tak akan menjadi mainan, jika ia tak dilahirkan. Ia tak akan menjadi terhukum jika ia tak dihadirkan ke dunia. Lalu haruskah kita bersyukur kepada-Nya atas kelahiran atau kehidupan kita? Seperti aku yang masih melakukan ritual yang diajarkan bapak sejak kecil, untuk selalu mengucapkan kalimat ini di akhir do'a: Kulo aturaken matursembahnuwun, Gusti, dene ngantos sak priki, kulo tasih saget ngraosaken sedoyo peparingan Panjenengan ... (Saya ucapkan terima kasih, Tuhan, karena hingga saat ini, saya masih bisa menikmati semua pemberian-Mu ...)

Hmm ... kembali aku mengingat-ingat sebelum aku menyadari kelahiranku. Manusia tidak pernah merasakan sakit saat masih menjadi air. Kita tidak pernah mengenal hitam dan putih sebelum ada. Lalu apa sebenarnya yang ditakutkan dalam ketiadaan? Bukankah kematian adalah keindahan? Karena tidak ada kebahagiaan yang sejati dan abadi, kecuali ketiadaan ... 


(Casablanca, 12 Januari 2014)

Photo Source: Google Images


Thursday, January 9, 2014

Cerpen: Perempuan Pabrik


Suatu sore, seorang ibu bercerita kepada keponakannya tentang perempuan pabrik yang tinggal di sebelah rumahnya.

"Tadi kan aku ngajak dia tidur siang di rumah. Eh, dia ngigau. Merengek, kayak mau nangis gitu, begini: bu ... sepurane yo ... aku gak isok kirim. Yo bu ... sepurane ... aku gak isok kirim ..." (bu ... maaf ya ... aku tidak bisa kirim. Ya bu ... maaf ... aku tidak bisa kirim ...)

Ibu itu lantas tertawa terpingkal-pingkal hingga seluruh tubuhnya berguncang. Tapi ditengah-tengah tawanya, air mata si ibu jatuh dan terus jatuh, hingga beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah.

Rupanya alam bawah sadar perempuan pabrik itu telah memunculkan apa yang sedang ia pikirkan. Sedih yang disembunyikan.

Ia memang buruh kontrak di sebuah pabrik garment yang terletak di kawasan PIK (Perumahan Industri Kecil), Penggilingan, Jakarta Timur. Masa kontraknya hanya tiga bulan telah habis seminggu yang lalu. Dua Minggu sekali, ia terima gaji. Dan kebiasaannya mengirim uang ke kampung setiap gajian tertunda, karena gaji terakhir yang ia terima digunakan untuk keperluannya sendiri sambil mencari pekerjaan lagi.

Sudah seminggu ia berjalan mengitari kawasan pabrik di KBN (Kawasan Berikat Nusantara), Jakarta Utara. Tanya sana sini, pabrik mana yang membuka lowongan kerja. Setiap ada yang bergerombol di salah satu pabrik, ia datangi. Ikut berlomba memberikan map berisi surat lamaran kerja. 

"Mbak mbak, ini mbak ... Mbak mbak, saya mbak ..."

Tak hanya puluhan tangan yang mengulur dan saling menindih, suara mereka pun berebut saling menenggelamkan.

"Sudah sudah ... sudah cukup. Yang lain nanti ya kalau ada lagi." Kata seorang karyawan yang ditugaskan mencari pekerja baru.

Jumlah pencari kerja dalam sehari bisa ratusan, menyebar di area KBN. Di sana ada seratus lebih perusahaan. Dan yang mendominasi adalah perusahaan garment --memproduksi pakaian jadi. Lebih banyak pakaian luar dengan alat produksi yang sama. Sebagian kecil saja pabrik yang memproduksi pakaian dalam, juga sweater yang menggunakan mesin yang berbeda --mesin rajut. Sebagian kecil lainnya adalah perusahaan yang memproduksi kompor, sepatu, tas kulit, wig (rambut palsu) dan accessories --kaos kaki, sarung tangan, masker (penutup hidung dan mulut). Para pemilik perusahaan pun dari berbagai negara. Ada Cina, Korea, Hongkong, India, juga Jepang. Yang dari Indonesia belum terdengar. Beberapa pemilik perusahaan bahkan mempercayakan kepada orang asing sebagai manager, kepala produksi, kepala mandor atau kepala mekanik. Tapi kebanyakan orang-orang Indonesia yang menjadi mandor atau pengawas. Mereka membantu menggenjot produksi dengan modal teriakan, kadang dibarengi dengan obeng panjang yang dipukul-pukulkan ke meja mesin, selayak memecuti sapi atau kuda.

"Ayo! Buruan buruan buruan!"

Para mandor beserta atasan-atasannya di bagian produksi memang punya keahlian menyatukan potongan-potongan kain yang sudah di-mal (berpola) menjadi sebuah pakaian yang utuh. Tetapi mereka hanya bisa mengajarkan bagaimana cara menjahit yang benar saja, agar hasil jahitannya bagus. Tidak sebagaimana tuntutan mereka agar para pekerja bisa menghasilkan jahitan yang rapih dan cepat untuk memenuhi target. Kalau mereka menjahit cepat (biasanya kalau menggantikan pekerjaan karyawan yang berhalangan masuk karena tidak ada pengganti), hasilnya pun tak serapih saat mereka mengajarkan dengan pelan dan hati-hati. Vermakan ada juga. Bisa banyak. Bisa keteteran. Tapi kalau karyawan mereka yang melakukan itu, caci maki lah yang mereka berikan. Dan kalau pekerja mampu mencapai target yang sudah ditentukan, management perusahaan akan menaikkan lagi targetnya dan terus menaikkan dengan iming-iming bonus. Sebelum diangkat menjadi mandor, mereka pun sama seperti pekerja bawahan itu. Beberapa juga pernah menangis saat keteteran tidak mampu mencapai target. Sayangnya mereka tidak berkaca diri, sehingga perlu berlaku kejam terhadap bawahannya.

Setiap pabrik memiliki kriteria masing-masing yang dijadikan syarat untuk para pencari kerja. Ada yang membatasi umur karena yang muda dianggap lebih energik. Ada yang lebih mementingkan pengalaman kerja, dengan alasan tidak membutuhkan waktu lama untuk memahami pekerjaannya. Ada yang mencari pekerja, khusus bagi mereka yang baru lulus SMU. Alasannya, karena mereka belum memiliki pengalaman, sehingga mudah diatur dan tidak banyak protes. Ada lagi yang mengharuskan pelamar mengumpulkan surat-surat asli (bukan foto copy). Biasanya ini perusahaan bonafide. Tentu dengan seleksi yang super ketat. Ada juga yang mengharamkan pencari kerja dari pabrik yang pernah memiliki sejarah demonstrasi. Perusahaan tahu dan sudah mem-black list pabrik mana saja yang pernah heboh karena aksi buruhnya. Bahkan ada pabrik yang melakukan seleksi secara fisik bagi para pelamar. Kalau kabarnya seperti ini, pasti ada saja yang nyeletuk, "Belagu banget tuh pabrik! Cuma jadi penjahit aja, kuli-kuli pabrik juga, harus cantik dan penampilannya menarik. Emang mau jadi pemain sinetron?"

Selain itu, masing-masing pabrik garment yang membuka lowongan pekerjaan juga memiliki kebutuhan yang berbeda. Ada yang hanya membutuhkan operator mesin. Apakah itu jarum I, jarum II saja, atau obras, kamput, kansai, dsb. Ada juga yang hanya membutuhkan helper (tugasnya membantu para penjahit), atau packing (tugasnya mengepak pakaian jadi) saja, tukang gosok, bagian adminstrasi dan masih banyak lagi, sehingga si pelamar menyesuaikan pengalamannya masing-masing.

Apapun itu tak pernah lepas dari faktor keberuntungan. Ada yang dalam satu sampai dua hari sudah dapat kerja. Ada yang lebih dari seminggu, bahkan berminggu-minggu. Kadang sudah lari sana sini seharian tak mendapatkan pekerjaan, ternyata saat hendak pulang bertemu mobil yang berkeliling mencari pekerja. Berteriak menawarkan pekerjaan ke setiap pelamar yang lalu lalang.

"Kamput kamput, ada yang bisa kamput nggak?"

"Ada yang bisa obras?"

"Kansai, bartex. Ada yang bisa?"

Kalau cocok dengan perusahaan yang akan mempekerjakannya dan sesuai dengan keahliannya, pelamar langsung ikut mobil, dibawa menuju pabrik yang bersangkutan. Para pelamar juga suka milih-milih perusahaan. Dari pengalaman memasuki beberapa pabrik menjadi buruh kontrak, mereka tahu pabrik mana yang managementnya bagus dan mana yang tidak. Ada pabrik yang memasang target sangat tinggi, sehingga para mandornya terkenal galak seperti srigala, yang setiap waktu menunjukkan taring-taringnya. Suasana dalam ruang produksi itu selalu tegang. Mencekam. Pun ada perusahaan yang curang, mencuri waktu dengan dalih target yang mutlak dipenuhi, membuat mereka bekerja sebelum waktunya (sebelum bel masuk) karena ada aturan skors (lembur yang tidak dibayar), semacam hukuman jika hasil pekerjaan mereka dalam sehari itu tidak mencapai target. Ada juga yang lebih kejam. Satu line yang berisi beberapa orang (satu team kerja) yang tidak mendapatkan target akan digiring, dimasukkan ke dalam ruang khusus dalam beberapa jam atau bahkan seharian. Tidak boleh ke mana-mana sampai masa hukuman mereka berakhir.   

Nelangsa, suatu rasa yang tak pernah bisa ia lupakan sepanjang hidupnya. Kepanasan, kehausan, kelaparan dan pulang tanpa hasil, sementara keuangan semakin menipis. Belum lagi sikap karyawan tetap perusahaan yang jutek saat ditanya tentang lowongan pekerjaan. Juga para penjaga yang mengusir selayak anjing, saat pelamar memasuki area pabrik.

"Hei! keluar keluar keluar! Ngelamarnya di luar saja, nggak usah pakai masuk-masuk!" Teriak satpam, lalu menutup pintu pagar.

"Ya Allah ... tidak adakah bahasa yang lebih enak didengar?" Keluhnya dalam hati saja. Darahnya tak sanggup berlari ke ubun-ubun. Emosinya tenggelam oleh rasa lelah, haus dan lapar.

Masih ada lagi catatan yang tersimpan di kepalanya. Menjadi karyawan baru, musti beradaptasi lagi dengan teman dan tempat yang baru. Tak jarang mereka dijadikan sasaran kesalahan. Setiap ada vermakan (pekerjaan yang harus diperbaiki), selalu ditujukan kepada mereka yang baru bekerja. 

Perempuan pabrik itu hanya membutuhkan sedikit waktu untuk memahami situasi. Jika ia telah mampu menguasai, siapapun mereka akan dilawannya selama dirinya benar. Tak peduli atasannya di bagian produksi atau orang kantor sekalipun, hingga suatu saat, ia pernah diancam akan dijadikan tukang sapu.

"Hei! Jangan mentang-mentang pakai seragam ya. Kamu pikir aku takut!"

Semua mata sontak tertuju padanya. Si karyawan tetap, jadi ciut nyali. Bergeming.

Pernah juga ada kejadian tertangkapnya karyawan perempuan yang mencuri baju. Satpam baru mengetahui setelah baju-baju produksi pabrik itu sudah penuh se-loker (tempat menyimpan tas karyawan). Biasanya, setiap masuk dan pulang kerja, satpam selalu memeriksa para karyawan menurut jenis kelaminnya masing-masing --satpam laki-laki memeriksa karyawan laki-laki --satpam perempuan memeriksa karyawan perempuan. Setelah terjadi kasus pencurian itu, pemeriksaan diperketat. Yang semula hanya menggunakan alat pendeteksi logam plus meraba-raba tubuh, kini saat pulang, satpam bahkan menyingkap baju karyawan perempuan hingga terlihat jelas punggung, perut beserta pusarnya, hingga tali bra mereka. Perempuan pabrik menganggap perlakuan satpam itu terlalu berlebihan, sementara beberapa satpam laki-laki di depannya dengan mata menyala menikmati pemandangan itu. Masih ada sepuluh orang lagi di barisan depannya menunggu untuk digeledah. Perempuan pabrik itu sudah tidak tahan mendengar teriakan demi teriakan karyawan perempuan yang diperlakukan kasar dan dipermalukan. Ia tak mampu lagi menahan geramnya.

"Satpam mbokne ancukk!" Umpatnya keras-keras menggunakan bahasa kampungnya. "Buka saja sekalian bajunya! Tanggung kalau cuma kelihatan setengah punggung. Cuma perempuan brengsek yang menelanjangi kaumnya sendiri di depan laki-laki!"

Hampir semua kepala bergerak mencari sumber suara. Satpam laki-laki seperti tak terima dengan protesnya. Matanya terus memelototi perempuan pabrik itu dengan garangnya. Satpam perempuan tampak malu, lalu kembali memeriksa seperti biasa. Hanya ditambah sedikit saja menyingkap pakaian mereka untuk memastikan kalau mereka tidak mengenakan pakaian produksi pabrik yang dirangkap atau diselipkan di dalam bajunya.

Julukan preman dan jagoan lantas mereka ciptakan untuk perempuan pabrik itu.

"Preman preman, memang aku pernah malakin kamu?"

Protesnya tak pernah ditanggapi. Label itu masih terus mereka tempelkan, bahkan saat perempuan pabrik itu telah habis masa kontraknya dan bekerja di lain pabrik.

"Sebentar, aku mau tanya. Kenapa sih kalian pada manggilin aku jagoan? Terus jadi aneh begitu lihat aku punya cowok. Apa siiiiihh ..."

"Penampilan kamu lah. Gaya kamu slenge'an gitu. Tak pernah dandan pula. Dan mata kamu itu, mata yang berani. Mata yang melawan. Jadi jangan salahkan kami kalau ngakak mbayangin kamu pakai rok."

Semua tertawa.

"Tolong dong bawain ini. Bawaanku sudah banyak nih, nggak ada tempat lagi." Seorang teman meminta bantuannya meloloskan makanan ke dalam pabrik.

"Enggak ah, nanti kalau aku ketangkap bakal dicurigai terus."

 "Ah, cemen kamu. Jagoan kok takut."

"Apalah arti keberanian, jika digunakan untuk melakukan kesalahan. Kita hanya jadi terdakwa yang cuma bisa diam saat dicaci-maki, tanpa bisa melawan. Kalau selama ini aku berani, itu karena aku sudah melakukan yang benar." Jawab perempuan pabrik itu, lalu pergi menuju mesin absensi. 

Bisa ditebak. Jika wajahnya terlihat ceria, langkahnya tegap dan jalannya cepat, pasti baru gajian. Bukan karena barang yang diinginkan bisa terbeli, atau nominal di ATM-nya menjadi bertambah menjadi simpanan tetap. Kebahagiaannya adalah ketenangan batinnya, ketika perempuan pabrik itu bisa mengirimkan sebagian upah kerjanya ke kampung untuk ibunya.

Jika teman-temannya berlomba memenuhi isi rumah mereka, atau jalan-jalan ke mall setiap datang gajian, tidaklah mengherankan buat dirinya. Mereka itu yang rata-rata berasal dari desa. Memiliki sawah, kebun atau empang ikan yang mampu memenuhi kebutuhan keluarga mereka di sana. Sekali waktu saja, atau pada saat lebaran mereka membagi uang untuk orang tuanya atau sanak familinya. Upah yang mereka dapatkan di perantauan, dinikmati sendiri untuk memanjakan diri memenuhi apapun keinginannya. Dari dispenser, magic com, kompor gas, DVD player, TV 21 inchi, kipas angin, ponsel keren, sampai kulkas. Dari lemari pakaian, rak piring, spring bed, permadani, bed cover, hingga pakaian yang modis mereka punya.

Rumah perempuan pabrik itu, kosong. Hanya gaung yang mendominasi ruangannya. Tapi ia suka. Tempat itu, selalu membuatnya rindu untuk kembali.

Jika teman-temannya menciptakan surga di petak-petak kamar kontrakan mereka, ia menciptakan surga di dalam jiwanya. Belum ada yang mampu membuatnya bahagia selain bisa mengirimkan uang untuk ibu dan bapaknya yang sudah tak mampu lagi bekerja. Pun ia bersyukur karena tak memiliki rasa iri atas apa yang dimiliki teman-temannya. Iri itu menyiksa diri.

Perempuan pabrik dari kampung kota itu tetap bangga menjadi warga kotanya. Bangga dilahirkan di sana, meski beras tak pernah dipanen keluarganya atau warga kampungnya. Meski sayur mayur bahkan cabai pun musti beli di pasar. Tak ada sawah mau pun kebun di kota kelahirannya.

"Mbok ya sekali-sekali libur dulu kirim ke kampungnya, nduk."

Tetangganya protes, mendapati perempuan pabrik itu mengantongi uang sebesar 50 ribu saja dari ratusan ribu gajinya yang sudah dibagi-bagi. Untuk kirim ke kampung, bayar kontrakan dan bayar pinjaman.

"Buat apa saya pegang uang banyak, budhe, tapi tidur saya nggak tenang."

"Kalau gitu, ya bayar utangnya ditunda dulu."

"Buat apa juga saya pegang uang yang bukan hak saya. Janji itu harus ditepati, budhe, karena kepercayaan itu mahal harganya. Kalau kita bayar utang sesuai dengan janji kita, kan besok-besok kita boleh ngutang lagi."

"Tapi, masak kamu cuma pegang uang segitu. Apa cukup sampai gajian lagi?"

"Ya nanti pinjam lagi ke yang lainnya, budhe. Biar cuma kebagian 50 ribu, tapi hati saya tenang kok, karena ini murni uang saya. Tidak ada hak orang lain yang saya tahan."

"Oalah nduk nduk ... yo sak karepmu." ("Oalah nak nak ... ya terserah kamu.")

Hanya panen lembur yang membuat perempuan pabrik itu bisa mengirimkan sebagian upahnya ke kampung tanpa berhutang, untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dan teman-temannya bisa bersenang-senang membelanjakan uangnya di mall-mall atau pasar malam. Tanpa lembur, ibarat masa paceklik. Kenaikan upah menjadi tidak berarti. Ibu kost menaikkan harga sewanya sebelum gaji tambahan jatuh ke tangan. Tarif angkutan naik diikuti yang lainnya. Kenaikan upah buruh pabrik dari tahun ke tahun tak bisa melawan kenaikan harga barang-barang. Semakin sulit saja memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hanya lembur dan lembur yang membantu. Jika masa paceklik datang bisa berbulan-bulan, hingga di kalangan perempuan pabrik dan teman-temannya lahir istilah detik-detik terakhir, yaitu tiga hari menjelang gajian. Rata-rata mereka mengalami krisis keuangan, sehingga sangat sulit mencari pinjaman karena kondisi mereka pun sama. Recehan lima ratusan, dua ratusan, bahkan seratusan logam pun dicari-cari dan dikumpulkan.

Satu hari yang ditunggu saat pembayaran upah kerja tetaplah terasa lama, ketika krisis keuangan sudah mencekik leher. Perempuan pabrik itu tak lagi mampu berjalan tegap dan cepat. Ia seperti menghitung langkahnya satu-satu. Dan malam ini, perempuan pabrik itu berdoa. Do'a yang sama seperti malam-malam sebelumya, saat masa-masa sulit itu melanda.

"Gusti ... semoga sepotong roti ini mampu mengenyangkan perutku hingga esok hari ..."


(Casablanca, 8 Januari 2014)

Photo Source: Google Images

Sunday, January 5, 2014

' orang itu '


beberapa kali
aku dengar nama itu
setiap kali
jantungku seperti diremas
sakit ...
aku ingin tuli sekedar tak mendengar nama itu!

aku mencari namanya
melihat gambarnya
sekali bertemu seorang ibu
mirip gambar itu
ia tersenyum
kubalas dengan senyum palsu
dua kali bertemu
kutatap setiap geraknya
ia salah tingkah

hari ini tak sengaja
baca beritanya 

profesinya
ternyata aku salah
ia seorang penari ... 



(Casablanca, 5 Januari 2014) 




Wednesday, January 1, 2014

Cerpen: Mendung yang Masih Menggantung di Bumi Pertiwi


Untuk kesekian kalinya, bahkan 3 tahun berturut-turut, saya dan beberapa kawan mengadakan acara malam tahun baru-an bersama para petani yang tengah berjuang melakukan pendudukan. Menghibur mereka dengan nyanyian atau lagu-lagu perlawanan. Berharap, kami mampu membunuh kejenuhan mereka. Berharap, kami mampu membakar jiwa mereka agar tetap semangat mengahadapi kondisi yang sangat memprihatinkan.

Tahun pertama, 2011. Para petani membangun tenda tepat di depan gedung DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia). Gedung megah tempat para wakil rakyat yang katanya membela rakyatnya. Beralamat di Jl. Jenderal Gatot Subroto, Senayan - Jakarta.

Photo Source: Google Images


Tahun kedua, 2012. Para petani membangun tenda di samping gedung Kemenhut (Kementrian Kehutanan). Adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan kehutanan dan perkebunan. Beralamat di Gedung Manggala Wanabakti, Jl. Gatot Subroto, Senayan - Jakarta.

Photo Source: Google Images


Tahun ketiga, 2013. Para petani menginap di Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Adalah sebuah lembaga mandiri di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya. Berfungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia. Beralamat di Jl. Latuharhary No. 4B, Menteng - Jakarta Pusat.

Photo Source: Google Images


Tak cukup sehari atau dua hari. Bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Tak selalu datang dengan angkutan laut dan darat. Berjalan kakipun mereka tempuh hingga ratusan kilo meter dari kampung halamannya menuju Jakarta. Tak hanya laki-laki dan perempuan muda, nenek-nenek dan kakek-kakek pun, serta anak-anak ada di sana. Tidur di ruangan terbuka dengan beralaskan terpal. Memasak dan makan beramai-ramai ala kadarnya, hingga harus menunggu sumbangan dari orang-orang yang peduli ketika logistik sudah menipis. Hujan, kebanjiran, kedinginan, hingga jatuh sakit. Demi perjuangan, mereka rela meninggalkan keluarga di kampung halamannya.

Ini artinya, bahwa konflik agraria masih terus terjadi di negeri yang kita cintai ini. Hak-hak mereka dirampas. Mereka diusir dari tanah kelahirannya.

Saya jadi ingat sewaktu saya masih di Sekolah Dasar kelas 3. Duduk di sebuah bangku kayu bikinan bapak, di pelataran rumah. Berada di tengah-tengah antara ibu dan bapak malam itu, saya menyimak pembicaraan mereka.

"Bagaimana ini, pak, dengan PBB? Bulan ini sudah terakhir kita harus bayar. Kalau tidak, nanti kena denda."

"Oh ya? Aduh, bagaimana ya?" Mata bapak terlihat sedang menerawang jauh, mencari cara.

"PBB itu apa sih, bu?" Saya nyeletuk bertanya.

"PBB itu Pajak Bumi dan Bangunan." Jelas ibu.

"Terus, ibu harus bayar untuk bangunan rumah ini, gitu?"

"Iya. Tanahnya juga. Kan bumi dan bangunan."

"Tapi tanah ini kan punya nenek. Kita nggak ngontrak kok. Yang mbangun rumah ini juga nenek. Pakai uang nenek. Kenapa harus bayar ke pemerintah?" Mulut saya yang bawel, protes.

"Ya, bagaimana lagi. Sudah begitu aturannya." Jawab ibu lemah.

"Kayak jaman penjajahan aja. Kita kan hidup di Indonesia. Pemerintahnya juga orang Indonesia. Bukan pemerintah Belanda." Mulut saya masih nyerocos, tapi tak terdengar lagi jawaban dari ibu atau bapak. Mereka sama-sama diam. Sepi.

Saya lalu sadar, ternyata ada kondisi yang lebih parah dari kekecewaan saya puluhan tahun yang lalu terhadap peraturan pemerintah. Para petani itu. Mereka bahkan digusur dari tanah miliknya. Beberapa tentara atau polisi bayaran menguasai lahan produksi mereka. Rumah-rumah dibakar, pemiliknya dipukuli, bahkan ditembaki jika bertahan. 

Tetap semangat, kawan-kawan petani! Tetaplah berlawan dan setia pada slogan: Pantang Pulang Sebelum Menang!


(Casablanca, 1 Januari 2014)

Theme Song: (Tari Adinda - Duduki!) http://www.youtube.com/watch?v=PGKBYaxQvzo

 
Blogger Templates