Sudah dua jam lebih Zi tak berhasil memejamkan mata.
Kantuknya sejak tadi sudah menyerang, tapi pikirannya tak tenang. Ada
suara-suara dari dalam yang mengganggunya. Coba tak mengindahkan, tetapi suara-suara
itu terus mengiang.
“Sekaranglah saatnya! Menunggu kapan lagi?”
“Sikap Mas Wi sudah jelas terbaca. Katakan sekarang juga!”
“Haduuuhh, masih menunggu apa lagi? Jangan menunda-nunda.
Ayo beraksi!”
“Ingat, Zi! Kau akan menyesal jika esok tak pernah datang!”
Tepat pukul 2 dini hari, Zi bangun dan menyalakan komputer.
Tanpa ragu-ragu lagi ia memberanikan diri mengungkapkan perasaannya melalui
surat elektronik. Sebentar saja selesai. Ia tak perlu berpikir lama untuk
merangkai abjad demi abjad menjadi sebuah ungkapan. Seperti ada yang menuntun
jarinya. Dan sebelum isi surat itu dikirim, dibacanya sekali lagi dalam hati …
Dear, Mas Wi
Aku tak peduli Mas Wi mau bilang apa ...
Aku tak peduli orang mau bilang apa ...
Aku cuma mau bilang,
Aku sayang Mas Wi
Sayang banget … sayang banget …
Salam,
Izzi Tan Biyi
Surat elektronik sudah terkirim ke email Mas Wi. Tugas dari
batinnya sudah tunai. Komputer dimatikan. Terasa longgar. Tak ada lagi yang
berontak dari dalam dadanya. Ia kembali melanjutkan tidurnya.
***
***
Hari ini ada diskusi tentang Pancasila dan Pasal 33 UUD
1945. Acara itu diselenggarakan di markas pusat. Mengundang banyak orang,
wartawan, juga pembicara dari luar. Beberapa hari sejak dikirimkan surat elektronik
itu, Mas Wi tak kelihatan. Juga tak membalasnya. Hari ini menjadi hari yang
mendebarkan baginya. Menjadi awal pertemuan pasca ia mengutarakan perasaannya.
Apakah sikap Mas Wi akan berubah? Atau … sebuah pertanyaan yang belum terjawab,
ketika ia tengah mempersiapkan konsumsi untuk keperluan diskusi nanti. Apapun
yang terjadi, Zi sudah siap dengan segala resikonya.
Mas Wi datang mengenakan pakaian serba putih. Terlihat lebih
fresh. Zi akhirnya lega mendapati sikap Mas Wi yang masih seperti
kemarin. Masih fasih mengeja namanya, masih memberikan senyum terbaiknya. Dan
tatapannya tak berubah. Dengan pakaian serba putih-nya, Mas Wi bahkan tak segan
membantu Zi dan kawan-kawannya mengangkuti makanan. Sebab ini bulan puasa, beberapa
dipesan dari warung dekat markas –kolak dan es buah dibungkus gelas plastik. Empat
bak, masing-masing dua. Dua bak es buah, dua bak kolak. Pada pengangkutan bak
kedua, sendal Mas Wi putus terinjak kaki kawan. Mas Wi menuju rak sepatu, pakai
sendal yang ada di sana.
Tiba waktu berbuka, semua menyerbu makanan. Setelah
menyantap kolak, Mas Wi ingin makan nasi, tapi tak menemukan piring. Mas Wi
menunggui Zi yang sedang mencuci piring, tapi piring yang dicucinya sedang ditunggu
orang. Zi coba mencari-cari piring kotor untuk Mas Wi, semua masih terpakai.
Lima belas menit kemudian Zi dapat memungut di bawah kursi, dicuci untuk Mas
Wi. Tapi di ruang rapat, Mas Wi sedang ada wawancara dengan seorang wartawan.
Zi tak ingin mengganggu. Dan Zi lantas kecewa melihat Mas Wi meninggalkan acara
sebelum usai, setelah terlihat berbicara melalui telepon sebelum Zi sempat
membawakan piring beserta nasi dan lauk untuk Mas Wi berbuka.
Hari-hari selanjutnya, Mas Wi jadi rajin ke markas. Meski
tak bersama ketua, meski tak ada pertemuan. Pagi-pagi sudah datang, selagi yang
lain masih tidur. Duduk sendirian di ruang tamu, menunggu Zi pulang dari pasar.
Sekedar menyapa dan menatap mata sipitnya. Sebelum tengah hari, Mas Wi sudah
menghilang. Begitu seterusnya, membuat Zi semakin penasaran, ingin segera
mendapatkan jawaban itu.
Sebagian orang berpendapat, bahwa ungkapan sudah tidak
diperlukan lagi ketika sikap seseorang sudah mampu menterjemahkan perasaannya.
Zi tidak setuju. Baginya, ungkapan adalah kepastian, sedangkan sikap hanya
abu-abu. Bisa jadi karena sesuatu hal, mungkin harga diri, si pelaku tidak
jujur mengakuinya. Sikap dan ungkapan adalah senyawa.
Ungkapan tak bisa diabaikan. Bahkan dalam hubungan rumah
tangga, hal itu masih dibutuhkan. Mengungkapkan perasaan tidak mengenal gender.
Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk membahagiakan pasangannya.
Meski hanya tiga kata: aku cinta kamu, aku sayang kamu, aku kangen kamu atau
aku butuh kamu. Sebuah kejujuran yang mampu menjadi embun penyejuk jiwa.
***
***
Matanya bergerak-gerak. Ke kiri, ke kanan, memastikan tak
ada yang memperhatikannya. Zi sedang mencoba mencari sandal Mas Wi yang kemarin
putus. Rak sepatu berantakan tak tertata. Bertumpuk-tumpuk, saling menindih.
Markas hampir tak pernah benar-benar sepi meski malam. Selalu saja ada yang
lalu lalang bergantian, sebab dihuni banyak orang. Sebentar ia mengacak-acak
rak sepatu, sebentar ia pergi ketika ada yang lewat. Rak sepatu dekat ruang tengah,
dekat ruang rapat, dekat dapur, dekat kamar mandi. Tempat yang strategis.
Bibirnya lantas tersenyum tipis. Senyum kemenangan. Sandal Mas Wi sudah
ditemukan. Yang satu tertumpuk beberapa sepatu dan sandal, satu lagi di bawah
kolong rak. Sandal kulit warna coklat susu segera dibawa ke kamarnya.
Lem alteco sudah disiapkan sebelumnya. Beli dua di warung
dekat markas. Segera dioperasi alas kaki itu tengah malam. Tak lupa membasahi
lap kain untuk menyapunya dari debu.
Dengan sangat teliti dan telaten dicarinya kap yang tak lagi
menyatu dengan sol. Ditumpahkannya lem cair itu, direkatkan. Bibirnya sibuk memberi
angin. Tapi Zi jadi panik ketika jarinya lengket pada bagian sandal yang
terkena lem, luber. Beruntung bisa dicabut. Kalau kelamaan, mengering, tentu
jarinya tak bisa lepas dari sandal itu. Lebih berbahaya jika menyatu kulit
dengan kulit. Beberapa bulan yang lalu, kelopak mata sepupunya harus dioperasi.
Lengket menyatu terciprat lem besi itu.
Jarinya jadi kasar karena lem yang mengering. Kukunya
mengorek-ngorek, tapi semua lem berhasil disingkirkan. Butuh waktu beberapa
hari. Dan matanya berkaca. Aroma lem cair itu begitu menyengat. Terhirup
hidungnya, membuat matanya perih. Zi membuka pintu kamarnya sebentar untuk
mengusir aroma itu.
Kini sandal sudah siap pakai, Zi mulai berpikir bagaimana
cara mengembalikan pada pemiliknya. Kalau diserahkan langsung, ia tak punya
nyali. Zi lantas berencana mengirimkan lewat paket saja, tapi ia takut kawan
lain tahu. Tentu alamat dan nomor telepon harus ada. Ide terakhir hanya membungkusnya
saja, lalu menitipkan pada seorang kawan di markas, dan ia tinggal pergi
beberapa hari. Zi akan katakan, bahwa barang itu dari seorang lelaki yang
datang ke markas mencari Mas Wi. Sebelum benda itu dibungkus serapi-rapinya, Zi
mengabadikannya lewat jepretan ponselnya, dijadikan wall paper. Sepasang sandal
milik pejuang yang dikasihinya.
Aku membayangkan Mas Wi tertawa
terpingkal-pingkal ketika membuka bungkusan ini. Tubuhnya berguncang-guncang.
Bahu dan perutnya naik turun. Atau paling tidak, Mas Wi tersenyum.
Mas Wi, ini sandalmu sudah aku perbaiki.
Jangan tanya pakai lem apa sehingga benda itu merekat kuat. Sebab tak ada lem
sebagus apa pun yang bisa menandingi kasihku. Sebab lem tak bisa menumpahkan
dirinya sendiri, apalagi meratakan dan memilih tempat yang dibutuhkan. Lem tak
punya rasa. Aku yang punya. Sandal itu kurekatkan dengan kasih sayang …
***
Bocah lelaki itu berusia 4 tahunan. Kulitnya bersih, montok
dan lucu. Mata, alis, bibir dan dagunya persis Mas Wi. Seperti hasil foto copy.
”Yaaahh, ayah mau ke manaaa …” Suaranya terdengar manja.
“Ayah mau ke kamar mandi sebentar.”
“Aaahh … enggak aaahh ... ayah nggak boleh pergiiiii …”
Bocah itu memeluk kaki ayahnya.
“Orang ayah mau pipis kok nggak boleh. Kalau ayah ngompol di
sini, gimana? Nanti ayah ke sini lagi.”
“Nggak mauuu … nggak mauuu …”
Bocah itu lantas bergelantungan di kaki Mas Wi. Sekeranjang
mainannya yang berserak di lantai menjadi tak penting. Aku berada tak jauh.
Tersenyum. Bahagia melihat keakraban mereka. Aku suka melihat anak-anak yang
dekat dengan ayahnya. Menjadi berbeda sebab tak biasa.
Mas … itu anak kita, mas. Ya, anak kita …
“Zi, materi untuk pendidikan besok sudah dibikin belum?”
Zi masih asik melamun. Tak mendengar pertanyaan Rini.
“Woy! Pagi-pagi sudah ngelamun.”
Teriakan Rini membuyarkan tatapan kosongnya. Zi tergeragap,
kaget.
“Dih, ngelamunin apa tau, senyum-senyum sendiri.”
Zi jadi malu. Pipinya yang putih kini memerah.
“Tadi kamu tanya apa?”
“Materi untuk pendidikan besok sudah dibikin belum?”
“Sudah sudah. Sebentar.”
Zi memasuki kamarnya, mengambil beberapa lembar kertas A4
yang sudah diketik semalam, diberikan Rini.
“Eh iya, Zi. Kemarin ada yang cari kamu lho. Cowok yang di
bengkel itu.”
“Ih, tau dari mana tuh orang kalau aku tinggal di sini.”
“Cie cieee … Zi ada yang naksir ni yeee …”
“Biasa aja kali. Nggak usah aneh gitu kalau ada yang naksir
aku. Kayak aku manusia terburuk sedunia aja.”
“Yeee … Zi maraaah …”
Zi tak mau lagi menjawab. Ia meninggalkan Rini sendirian di
ruang tamu. Sekali-kali Zi memang perlu marah di depan Rini agar tak kebiasaan
merendahkan orang lain. Sebagai organiser di organisasi perempuan, seharusnya
Rini paham dengan kondisi spikologis kaumnya. Perempuan itu sudah terbebani
dengan lebel-lebel yang ditempelkan masyarakat. Ditambah lagi peraturan daerah yang
membuat aturan tentang perempuan. Perempuan seolah tidak berhak memiliki
tubuhnya sendiri. Perempuan selalu dibedakan dengan laki-laki meski secara
biologis bentuk tubuh laki-laki dan perempuan memang berbeda. Tulang-tulang
lelaki lebih besar. Bentuk dadanya lebih bidang. Hanya semua yang dilakukan
laki-laki selalu dipantaskan, sedang perempuan tidak. Perempuan seolah tidak
berhak menentukan pilihannya. Belum menikah, dicibir, dianggap tidak laku,
tidak ada yang mau. Sudah menikah tidak punya anak, dibilang mandul. Istri
bekerja di luar dianggap tidak nurut suami, tidak mau mengurusi rumah tangga,
tega meninggalkan anak-anaknya. Ditindas atau dianiaya suami, masih disalahkan.
Dianggap asal dapat laki, sudah tidak ada jodoh lagi, bodoh yang dipelihara.
Sudah jadi janda, disinisi, direndahkan, dianggap momok yang menakutkan,
penggoda suami tetangga, pengganggu rumah tangga orang. Ditambah lagi anggapan
laki-laki bahwa janda adalah perempuan kesepian yang gampang ditiduri. Duh,
kasihan sekali perempuan.
Tak jarang kaumnya sendiri menjadikan predikat janda sebagai
bahan candaan. Dengan senyum melecehkan, mereka berbisik kepada teman-teman
lelakinya, ”Itu janda lho …” atau “Paket hemat tuh.” Biasanya, perempuan yang
gemar melecehkan begitu karena merasa dirinya berada di zona aman. Memiliki
keluarga utuh, damai. Mereka tidak menyadari bahwa apa pun bisa terjadi atas
dirinya. Jangankan esok hari, lima menit ke depan yang akan dilalui adalah
rahasia. Dan ketika skenario hidupnya memaksa mereka menjadi janda, masih
ingatkah apa yang pernah dilakukannya?
Zi justru mengangkat kedua jempolnya untuk perempuan yang
mampu melepaskan diri dari penindasan pasangannya, dengan catatan, ia mampu
menepis anggapan negatif masyarakat tentang janda. Membuktikan diri, bahwa
tidak semua janda seperti itu. Yang masih gadis, atau bahkan yang sudah
bersuami pun berpotensi menjadi penggoda lelaki, perusak rumah tangga orang.
Menyandang status janda atau single parents itu
berat. Tidak mudah. Butuh keberanian. Berapa banyak perempuan yang
mempertahankan hubungan perkawinannya yang tak sehat, melanggengkan penindasan
di dalam rumah tangganya? Zi menyalutkan laki-laki yang berkenan menikahi single
parents, asal lelaki itu benar-benar menjadi suami dan bapak yang
bertanggung jawab, tulus mencintai anak yang bukan keturunannya. Tidak
membedakan perhatian dan kasih sayang di dalam rumah tangganya. Dengan begitu,
ia sudah membantu meringankan beban spikologis si anak. Tak lagi merasa minder
ketika teman-temannya bercerita tentang bapaknya.
Tetapi masih banyak saja orang berkata, “Memang sudah tidak
ada perawan lagi apa? Milih kok PaHe. Paket Hemat. Buy one get two apa Buy
one get three?” Mereka lantas tertawa beramai-ramai, seolah janda adalah
barang rongsokan yang tidak pantas dipilih oleh lelaki yang masih sendiri. Jika
mau jujur, tak hanya janda saja yang bekas orang. Di jaman yang sudah modern
ini, banyak juga gadis bekas. Juga perjaka bekas.
Gadis bekas, sama
saja dengan janda. Sudah tidak perawan lagi. Bekas orang. Lalu siapa yang
menghilangkan keperawanannya? Laki-laki bukan? Apakah laki-laki yang
menertawakan janda benar-benar masih suci? Masih perjaka? Laki-laki yang pernah
tidur dengan perempuan yang menjadi kekasihnya sehingga hilang keperawanannya,
lalu meninggalkannya atau berpisah atas kesepakatan berdua, berarti ia telah
menjadikan perempuan itu janda bukan? Dan dirinya sendiri telah menjadi duda.
Bedanya mereka tidak memiliki anak dan surat nikah. Persetubuhan mereka tidak
diakui negara. Kenapa bangga dengan perzinahan? Kenapa bangga dengan
persetubuhan yang tidak legal secara hukum? Bukankah kelakuan mereka sama
dengan binatang? Tak punya aturan. Atau laki-laki yang mendapatkan gadis bekas
orang lain, bukankah ia telah mendapatkan janda juga? Kenapa menertawakan
temannya yang jelas-jelas mau bertanggung jawab menikahi janda secara sah? Dan
perempuan sendiri, seharusnya mereka berkaca sebelum menertawakan kaumnya yang
menjanda, ketika dirinya sendiri sudah tidak perawan dan sudah berpisah dengan
kekasihnya. Bukan malah bangga dengan kelakuan hewannya yang menjadikan dirinya
menjadi seorang janda juga.
Dan baru saja, Zi ditertawakan oleh kawan sekolektifnya
hanya karena Zi selalu terlihat sendiri. Bukan karena tidak ada yang mau.
Beberapa kali Zi terpaksa bersikap sinis dan memasang tampang jutek pada lelaki
yang tidak tanggap terhadap sikap penolakannya. Zi berusaha untuk tidak menolak
secara langsung demi menjaga perasaan mereka. Ia berkaca pada dirinya. Untuk
hal-hal yang berkelanjutan, memang dibutuhkan ungkapan sebagai bukti. Namun
untuk yang tidak, ya tidak perlu.
Mereka yang terus mengejarnya, beberapa kawan di luar
gerakan, juga seorang kawan seperjuangannya yang jelas-jelas sudah memiliki
anak istri. Ada lagi dari lain gerakan hasil perjodohan kawannya melalui pesan
singkat. Zi bersikap biasa saja. Hanya menjawab jika pria itu bertanya. Karena
merasa tak direspon, lelaki itu lama-lama bosan dan mundur secara teratur. Zi
lebih suka laki-laki yang tanggap seperti itu. Tidak memaksakan kehendaknya hingga
Zi harus mengeluarkan tanduknya. Zi memang butuh lelaki tangguh. Lelaki yang
tidak mudah menyerah. Tetapi ia harus menggunakan cara-cara yang mampu
menyentuh hatinya. Menyukai seseorang itu hendaknya memahami keinginannya.
Tidak hanya asal dekat, main seruduk.
Tentu tidak sepatutnya juga terburu-buru mengambil
kesimpulan pada orang lain yang belum dikenalnya betul. Seseorang yang selalu
tampak sendiri tidak selalu karena ia tak ada yang mau. Atau bahasa kasar yang
sering digunakan untuk melecehkan adalah tidak laku-laku. Lalu dengan rasa iba,
orang-orang di dekatnya dengan sukarela menjadi mak comblang. Menjodohkan
teman-temannya yang lain yang juga masih sendiri, tanpa berpikir bahwa apa yang
dilakukannya itu menyinggung perasaan. Sungguh, itu tidak perlu dilakukan
kecuali diminta. Alangkah bijak jika seseorang bisa menghormati orang lain
untuk mengatur hidupnya sendiri. Sendiri itu pilihan, tentu dengan berbagai
alasan. Dan alasan Zi untuk memilih itu, karena ia tak mudah melupakan orang
yang pernah dicintainya. Zi tak mudah jatuh cinta. Baginya, lebih baik sendiri
daripada berpasangan tanpa rasa.
~ Bersambung~
(Casablanca, 24 Januari 2014)
Theme Song: (Ronan Keating - If Tomorrow Never Comes) https://www.youtube.com/watch?v=S4kzGhDEURA
Photo Source: Google Images |